Season Dua
Tidak pernah ada yang namanya mantan anak. Hanya ada mantan istri. Berulang kali Randi meminta maaf pada Raka, sang anak sama sekali tidak mau memaafkannya.
Sudah enam tahun lamanya, Raka pun sudah kembali bersama Yasmin. Setelah menempu pendidikan di luar negeri. Kini, mereka terkadang memanggilnya dengan sebutan Dokter Raka."Dia tetap Papa kamu, Nak," ujar Yasmin."Aku sudah lama menganggapnya tidak ada, Ma. Sejak dia mengusir kita. Apa Mama lupa?" Raka mencoba mengingatkan sang ibu."Ka," panggil Yasmin lirih."Sudah, Yas. Jangan paksa Raka, emosinya masih belum stabil. Kalau kamu paksa, malah kalian tidak henti berdebat." Kini Hendri merelai mereka berdua.Yasmin hanya ingin sang anak tetap baik pada sang ayah. Namun, luka di hati Raka belum juga sembuh. Perselingkuhan Randi, membuat trauma besar dalam hidup sang anak. Sejak perceraian kedua orang tuanya. Raka tidak"Raka."Aku itu menoleh saat suara yang kukenal terdengar memanggil. Aku bangkit, dan langsung mencium takzim Bude Arni. Tidak menyangka bisa bertemu di tempat makan ini."Bude gabung sini," ujar Luna."Boleh, Budhe juga lagi nggak ada urusan."Sejenak aku terdiam, jujur saja tidak begitu suka berlama-lama bersama Budhe Arni. Pasti nanti akan membahas masalah adiknya. Itu sangat aku hindari.Walaupun keberatan, aku harus tetap bersikap ramah. Bagaimanapun Budhe orang tua."Kamu sama Mama sehat, Ka?""Sehat, Budhe."Sejenak kami terdiam dalam pikiran masing-masing. Setelah itu, Luna lebih dahulu pamit karena jam makan siangnya sudah hampir habis.Aku tahu, setelah Luna pergi, akan ada sesuatu yang membuat moodku kurang baik."Budhe mau bicara, Raka bersedia mendengarkan?""Selagi itu bukan tentang dia."Budhe Arni pasti paham yang kusebut den
Mimpi itu selalu datang. Hinaan teman satu sekolah masih terngiang di telinga. Jika aku tidak kuat, mungkin akan seperti Melati. Mencoba mengakhiri hidup untuk menghilangkan semua rasa malu.Dia menorehkan luka, tetapi kini memohon maaf untuk kesekian kali. Jika semua kesalahan seseorang mudah dimaafkan, maka akan kembali mengulangnya.Sebuah catatan kecil di ponsel berbunyi. Aku lupa menghapusnya. Sebuah tanggal yang kulingkari sebagai tanda pengingat tentang hari kelahiran Angel.Sejak perpisahan itu, ia tidak pernah muncul dan memberikanku kabar. Angel menepati janji untuk pergi dan tak akan muncul di hadapanku lagi. Namun, kali ini aku merindukannya.Kupostiny di halaman instagramku.'Selamat ulang tahun, untuk kesekian kali, hanya itu yang bisa aku katakan.'Tanpa bisa meng tag namanya. Walau aku tahu, ia aktif dan masih berteman di instagramku.Foto cantik Angel lewat di timelineku,
Suara keributan memancingku turun ke lantai bawah. Gegas kupercepat langkah karena mendengar teriakan Mama dan Luna.Aku berlari saat melihat tubuh Mama tersungkur ke lantai."Bajingan!"Kutarik kerah baju pria itu, tangan ini tak kuasa Manahan emosi. Kulayangan pukulan keras menghantam perut pria berkaos hitam yang mendorong Mama."Raka, sudah!"Kalau Om Hendri tak menarik tubuh ini, habis pria itu ditanganku. Siapa pun, tida ada yang boleh memukul Mamaku.Ia memegangi perutnya, kuedarkan pandangan kesekeliling, Melati berlindung di belakang Luna. Apa pria ini suami Melati?"Lo berani masuk rumah ini, berani mendorong nyokap gue, gue habisi!""Gue nggak ada urusan sama nyokap, lo. Ini urusan gue sama istri gue, Melati. Makanya jangan sok pahlawan kesiangan semuanya." Suami Melati itu berujar sangat kasar.Benar, pria kasar ini suami Melati. Pantas saja Melati ingin b
Bagaimana juga dia memang Papaku. Benar kata Mama, tidak ada bekas anak. Aku benci dalam posisi seperti ini."Argh!"Berteriak pun tidak akan bisa membuat semua kembali. Gemuruh dalam dada membuat kembali diri ini sesak. Untuk apa dia datang lagi? Seperti luka yang sudah kering, kini menganga kembali."Kamu kenapa, Ka?" tanya Mama menghampiri aku di kamar."Raka tidak apa-apa. Hanya saja banyak yang membuat hati mengganjal. Untuk apa mereka kembali mengganggu aku?""Siapa? Papamu?""Iya.""Ka, dia hanya ingin berdamai dengan kamu. Maaf dari kamu sangat berharga baginya. Ia sudah mendapatkan balasan atas kesalahannya. Lumpuh permanen."Aku bukan Mama yang mudah memberikan maaf. Menjalin hubungan dengan lawan jenis pun aku trauma. Takut dengan semua ikatan, ngeri jika aku dikhianati.Kasus Melati, mengingatkan aku pada kisah kelam Mama. Perselingkuhan, mengorbankan perasaan.
"Suster Bella, tolong bawa wanita gila ini ke luar!" perintahku pada Suster Bella."Siap, Dok."Suster Bella berbicara dengan Citra. Memang tidak tahu malu. Sudah gila, kenapa ia bisa sembuh. Harusnya ia mendekam di rumah sakit jiwa untuk selamanya. Seperti dulu, kenapa Citra tidak mati dalam kecelakaan itu."Saya bisa ke luar sendiri. Raka, aku tetap menunggu kamu."Aku tidak sudi mendengar penuturan Citra. Wanita perusak seperti dia kenapa ada di muka bumi ini.Setelah Suster Bella mengusir Citra, ia diam tanpa bertanya apa pun. Namun, setelah semua pasien habis, ia mulai bertanya-tanya padaku tentang wanita gila itu."Dok, dia mantan pacar, Dokter Raka?""Bukan.""Oh, pasti mantan cewek yang pernah ngejar-ngejar, tapi cintanya ditolak, ya, kan?"Benarkan aku bilang, Suster Bella pasti banyak bertanya. Kali ini ia serius, sebab aku sangat marah saat kedatangan wanita labi
Kata-kata Marco masih terngiang di kepalaku. Aku sama sekali tidak berniat merebut hati Angel. Apalagi menjadi pebinor. Tidak akan pernah.Reuni tadi sangat berkesan. Saat wajah cantik itu terlihat begitu bahagia bersama sang suami, aku hanya bisa menatap dengan luka.Kalau saja aku tidak datang, mungkin rasa ini tidak akan ada. Suntuk memang rasanya. Aku ke luar kamar untuk mencari angin.Luna menatap layar TV dengan serius. Tumben sekali dia sudah pulang kerja. Tidak seperti biasa, suka minta jemput malam hari."Ka, mau ke mana?" tanya Luna."Cari angin.""Angin dicari. Istri cari kenapa. Jomblo nggak enak tahu," ejek Luna.Aku tersenyum mendengar perkataan adik tiriku. Menggurui orang bisa, dia sendiri saja tidak memiliki pacar. Dasar labil."Melati mana?" Tiba-tiba saja mulut ini tidak bisa di rem. Kenapa menanyakan Melati?"Sudah tidur. Katanya capek di rumah terus. Be
Malam ini udara begitu panas,aku beranjak duduk di depan TV. Pukul 21.00 orang rumah sudah pada tidur. Namun, Mama ke luar dari kamarnya.Usianya kini sudah mulai menua, tetapi dia semakin cantik di mataku. Mama, dia yang menjadi semangatku untuk menjadi seperti sekarang. Pengorbanannya, dan semua yang telah kami alami selama ini.Perjalanan hidup kami yang begitu terseok-seok, sampai bertemu dengan Om Hendri. Mama bahagia dengannya, semoga saja mereka berjodoh sampai akhir nanti."Ka, belum tidur?" Mama menyapa sambil duduk di sampingku."Belum, lagi kegerahan.""Emang AC nggak nyala?"Aku tersenyum kecil, benar kata Mama, AC bisa menyegarkan. Kali ini bukan tubuh yang panas, tapi perasaan terasa gundah. Memikirkan undangan Papa untuk makan malam."Nggak usah bohong, kenapa? Cerita sama Mama," desak Mama."Tahu aja," celotehku."Tahulah, kamu pikir Mama baru kemarin keluar
"Setelah selesai persidangan, kamu mau bagaimana?" tanyaku.Melati menghentikan makannya. "Aku nggak tahu, mungkin akan melanjutkan kuliah, Ka."Om Hendri pernah bilang, Melati tidak melanjutkan kuliah karena menikah dulu. Padahal, kedua orang tuanya yang akan menanggung biaya kuliah Melati. Namun, tetap saja dia tidak mau.Kasihan, andai saja dia kuliah, mungkin sekarang dia bisa menikmati pekerjaan yang tertunda."Kamu sabar saja, pasti hal baik akan datang padamu." Tanpa sadar tangan ini menggenggam tangan Melati."Terima kasih, Ka."Aku seperti mimpi atau ini nyata. Seulas senyum terpancar dari wajah cantik yang berdiri di hadapanku. Langsung aku melepas genggaman tangan ini.Angel, sedang apa ia di sini? Pasti dia berpikir aku dan Melati adalah sepasang kekasih."Hai, Ka," sapanya."Ngel, sedang apa?" tanyaku."Nebus obat Mama, nggak sengaja haus ke kantin.