Ujung minggu sudah tentu menjadi hari yang paling ditunggu-tunggu. Kepenatan akan rutinitas sepanjang seminggu akhirnya bisa dijeda dengan bersantai. Setidaknya ada kesempatan untuk bangun siang.
Seperti halnya Kirana yang memilih libur di hari Sabtu. Meski jarang melakukan urusan domestik rumah tangga, di hari kerja ia harus bangun pagi untuk beryoga. Salah satu cara untuk menjaga kebugaran dan bobot tubuhnya. Khusus Sabtu, jam yoganya mundur karena ia bangun lebih siang.
Lain halnya dengan Arjuna yang tidak punya kata libur dalam kamusnya. Hampir seluruh waktunya dihabiskan oleh urusan restoran. Terutama karena belum ingin memiliki asisten pribadi yang mengurus langsung stok dan keuangan, maka rutinitas hariannya wajib seputaran restoran.
Dengan berbisnis restoran ia justru bebas bangun siang. Karena restoran baru akan buka jam 11 siang. Itu sebabnya ia suka mengerjakan sedikit urusan dapur di pagi hari selain workout ringan.
"Sayang, sarapan sudah siap
[Tolong hubungi aku besok pagi, sebelum jam 06.00.]'Aku?'Dahi Selena mengernyit membaca isi pesan Harris. Tidak biasanya bosnya menyebut 'aku' dalam berkirim pesan. Diminta menghubungi sebelum jam 6 pagi pula, ada apa? Bukankah terlalu pagi untuk berbicara urusan pekerjaan? Besok hari Minggu, kan?Ia sengaja menunggui Karina di depan pintu kamar juga menunggu kalau-kalau Harris menghubungi lagi. Mengusap layar ponsel berulang kali, tapi hasilnya tetap sama. Terdengar suara langkah Karina dari arah dapur."Karina, kamu tidak apa-apa?"Selena melihat mata itu memerah seperti baru saja menangis. Tak ketinggalan sisa bulir air mata di bulu mata bawahnya."Kenapa? Kamu beneran peduli?"Tidak ada kesan ramah dalam sahutan Karina dan Selena semakin tidak nyaman dengan dirinya sendiri."Aku menyadari dirimu tidak nyaman sejak pertama masuk terutama setelah Cheryl bersama Arjuna. Meski aku tidak ...."Ungkapan simpatinya memang
Detik berlalu, seseorang menekan bel di pintu utama.Selena mematikan kompor dan meletakkan celemeknya di atas meja. Gegas menuju pintu utama. Dalam hati mencoba menebak siapa yang datang sepagi ini. Tak terpikir siapapun karena baru semalam tinggal di rumah ini. Sangat tidak mungkin Roy yang datang."Halo, Bu. Saya Minah yang biasa bersih-bersih di rumah ini. Ibu Delia meminta saya datang pagi ini supaya bantu ibu beberes"Seorang wanita paruh baya berdiri di depan pintu. Memakai celana panjang hitam dan blouse merah muda. Penampilannya bersih dan rapi."Halo, Bu Minah. Saya Selena" sahutnya sambil menyodorkan tangannya hendak bersalaman."Silahkan masuk, Bu Minah. Saya sedang masak sarapan. Bu Minah sudah sarapan?"Selena mengajak Bu Minah masuk dan menutup pintu."Terimakasih, Bu. Saya sudah sarapan di rumah. Oya, Bu. Tolong panggil mba Minah saja"Menuju dapur, Selena mendengar celotehan Cheryl dari kamar. Meminta Bu Minah
Minggu pagi, Karina bangun lebih awal. Tidak seperti biasanya, memang. Sebabnya Arjuna tampak sangat tenang sejak kembali dari rumah lamanya hingga tiba di rumah. Tak sedikitpun berkomentar tentang mengunjungi Selena, juga tidak berceloteh tentang Cheryl.Pagi ini, Karina tidak menemukan suaminya di ranjang. Jam 06.30, waktu yang cukup pagi untuk Karina. Mencoba menajamkan pendengarannya, menanti bunyi sendok dan wajan beradu dari dapur. Nihil.'Kemana dia?'Dengan malas Karina bangun dari ranjang dan memakai jubah tidurnya. Mencoba membuka pintu sepelan mungkin, begitupun saat menutupnya kembali. Menapaki lantai yang dingin tanpa alas kaki. Sedikit berjinjit agar kehadirannya tidak diketahui oleh Arjuna.Sudah berkeliling rumah dan tidak berhasil menemukan sosok suaminya. Namun mobil masih ada di garasi. Suaminya belum berangkat ke restoran. Mana mungkin pergi sesubuh ini."Mas ... mas Juna ...." panggilnya sekali lagi berkeliling dapur. Tidak ada
"Kenapa, Karina? Ada apa di Singapura?"Arjuna meremas tangan isterinya semakin erat. Ia memang tidak bisa melihat wajah Karina yang bersembunyi di lengannya, tapi ia bisa merasakan sesuatu aneh karena jemari mereka semakin basah."Karina? Kamu baik-baik saja?" tanya Arjuna menarik dagu isterinya hingga bisa menatap langsung kedua netra itu."A-aku baik-baik saja, mas. Hanya sedikit deg-degan, kalau benar hamil, aku akan sangat bahagia" ujarnya membuat senyum di bibir. Bibir itu bergetar, halus."Bahagia? Sungguh?" ujar Arjuna masih memegangi dagu Karina."Aku serius, mas. By the way, kamu udah mendingan? Hari ini gak ke restoran, kan? Aku mau di rumah aja dengan kamu" kata Karina melepaskan diri dari genggaman Arjuna."Oh, iya. Aku harus ke restoran. Mungkin agak siang. Kita istirahat saja dulu" jawab Arjuna sambil menunjuk ponselnya di meja rias Karina.Menyerahkan ponsel ke Arjuna, lalu kembali menempel manja di lengan suaminya. Ik
Selena membereskan tas berisi pakaian ganti Cheryl. Ini hari kedua ia mengantar puterinya ke rumah Delia sebelum berangkat ke kantor. Awalnya ia tak nyaman karena membebani sampai urusan anak. Namun Delia meyakinkannya bahwa Cheryl perlu suasana yang kondusif agar tidak terlalu larut dalam kebingungan karena pindah rumah. Dan, di rumah Delia ada pengasuh anak yang bisa diandalkan."Anakku masih setahun, cocoklah role play kakak adik dengan Cheryl. Kamu gak perlu repot siapin makanan dari rumah, di rumahku juga bisa, supaya fresh. Cheryl 'kan sudah bisa ikut makan menu rumah?"Delia selalu detil memperhatikan setiap keperluannya. Selena tak bisa menahan haru saat dipeluk oleh sahabatnya, meyakinkan bahwa semua pasti berlalu. Bahwa Cheryl bisa juga cukup tangkas belajar hal baru."Terimakasih banyak, Delia"Selena tak bisa lupa untuk terus mengucap terima kasih saat meninggalkan Cheryl di rumah sahabatnya itu."Kamu harus fokus bekerja, jangan khawat
Beranjak dari kursi dan berpamitan ke luar ruangan. Telinganya mendengar dengan jelas celotehan Ibu Linda si manajer sesaat sebelum menutup pintu. "Belagu! Baru mau diajuin jadi asisten manager, pake sok sibuk segala. Kek kita gak punya kerjaan aja" Tawa kedua wanita itu terdengar samar di telinga Selena. Membuang nafas dengan kasar, ia sangat ingin menghubungi Harris. Meminta penjelasan tentang semua ini. Namun ia harus kembali ke ruangan, ponselnya tertinggal di meja. "Udah balik, Bu?" tanya Rina yang masih berkutat dengan lembar faktur dan tanda terima. "Iya, aku mau share sesuatu, nih! Mohon perhatiannya sebentar, ya" kata Selena sembari membuat tepukan dengan kedua telapaknya untuk meminta perhatian timnya. "Saya harus mengikuti serangkaian pemeriksaan psikologi pagi ini, jadi saya minta setiap deadline pekerjaan dilaporkan ke saya melalui chat si hijau saja Kalau ada perlu, tolong kabari langsung. Ada pertanyaan?" "Tes untuk prom
Roy terlihat sibuk di dapur. Ia sedang menyiapkan sarapan. Meja dipenuhi dengan potongan sayur dan beberapa bumbu. Di kompor se-panci air sedang dipanaskan."Duh, jam berapa ini?" Matanya mencari-cari jam menempel di tembok.Jam 07.00. Cepat sekali waktu berlalu, padahal tadi dia sudah bangun lebih pagi, 06.30. Diputuskannya untuk meninggalkan dapur dan mandi.'Sarapan di cafetaria saja' pikirnya sambil menggosok tubuhnya di bawah shower.Bukan tidak ingin menghampiri Melissa dan meminta sarapan, tapi dia harus menjaga harga diri. Harus bisa berlakon seperti biasa meski Selena sudah pergi dari rumah. Tidak akan ada yang berubah, juga frekuensi singgah sarapan di apartemen Melissa.Menuruni tangga, Roy membaui bau wajan gosong dari dapur. Cepat berlari dan mematikan kompor. Panci yang tadinya berisi air sudah gosong, airnya menguap."Astaga, aku lupa mematikan kompor. Hampir saja aku membakar rumah" desah Roy panik. Sekali lagi memastikan kom
"Sudah selesai, kan? Gak ada photo shot lagi?" tanya Karina tanpa memandang wajah asistennya. Ia sibuk dengan ponsel, membalas pesan managernya yang makin lama makin kurang ajar."Iya, gak ada photo lagi" jawab si asisten merapikan semua perlengkapan Karina ke dalam tas. Memanggil penata rambut supaya merapikan kembali rambut Karina."Si Indra emang lagi di mana, sih?" tanya Karina terlihat jengkel."Masih di ruangan manajer marketing kantor ini" jelas si asisten menyerahkan sebotol minuman dingin untuk Karina."Ngapain lagi dia? Gue benci banget!" pekik Karina tertahan. Hanya dia dan asisten yang paham kemarahan itu."Kamu gak bawa sedotan yang stainless? Mau minum langsung dari botol?" Si asisten ragu-ragu menyodorkan botol minuman ke bibir Karina."Biar gue minum sendiri, nanti dulu. Gue lagi kesal" sahut Karina melipat tangan di dada. Rambutnya sedang di tarik ke segala penjuru dan kulit kepalanya sesekali terasa nyeri.Bunyi pesa
Selena berulang kali membaca hasil putusan pengadilan yang baru saja ia terima hari ini. Tangannya bergetar memegang kertas. Gemuruh di dada semakin mengguncang pundaknya. Air matanya tak ayal tumpah. Sakit.Tak pernah membayangkan akan menjalani usia pernikahan yang singkat. Kalah dengan usia pernikahan orang tuanya. Pun tidak pernah menyangka akan menjadi janda diusia menjelang 30. Dengan satu balita.Kalau ada yang harus disesalkan, tak lain adalah komunikasi yang buruk dengan suaminya. Ketidak mampuan mereka dalam hal menyamakan persepsi tentang persiapan memiliki bayi. Kebanyakan pasangan kurang pemahaman dan pengetahuan tentang kehamilan dan mengasuh anak. Peran istri dan suami sama pentingnya dalam setiap fase. Sama-sama merasakan lelah dan bahagia menanti sang buang hati. Ayah dan ibu ada pada setiap tumbuh kembang janin bahkan hingga lahir ke dunia.Namun waktu tak lagi diulang. Tak guna juga berlama-lama dalam penyesalan. Toh, ia pun sudah berusa
POV SelenaLangkahku sedikit kaku menuju ruang kerja direktur keuangan. Pagi tadi, intercom di mejaku berbunyi sesaat setelah meletakkan bokong di kursi."Bu Selena, ada pesan dari direktur keuangan. Ditunggu jam 10 di ruangannya. Terima kasih."Intercom ditutup begitu saja. Dari nomor yang tertera di layar pesawat telepon, panggilan dari resepsionis. Entah apa yang membuat mereka sesinis itu denganku. Mengucap salam pagi pun tidak saat memulai pembicaraan.Aku tak bisa menebak apa topik pembicaraan kali ini. Ku ingat-ingat lagi seluruh list KPI-ku sebagai asisten manajer. Rasanya tidak ada yang meleset dari target. Tunjangan jabatan dan insentif tidak akan cair jika pencapainku kurang dari 75%.Perihal ijin dan kasus persidanganku, juga tidak mungkin. Sidang terakhir pun tidak ku ikuti. Semua urusan administrasi ku percayakan ke Aldo. Roy tak pernah lagi mampir dan membuat keributan.Apa berurusan dengan internal birokrasi kantor yang tidak tertulis? S
"Del, mau makan ke mana? Jangan jauh-jauh. Jam 1 sudah harus di kantor lagi." Sungkan menolak ajakan Delia dan Aldo, tapi ia juga tak ingin membuat masalah baru. Jangankan si resepsionis, tembok gedung kantor pun bisa membuat laporan ke direktur."Cafe dekat sini aja, Len. Yuk!" sahut Delia dengan mata teduh seolah menenangkan sahabatnya.Tak membantah, Selena masuk ke kursi penumpang, tepat di belakang Aldo. Mobil melaju dengan perlahan dan berhenti pada sebuah cafe yang jaraknya tak lebih 500 meter dari kantor."Roy benar-benar sentimen ke Arjuna, Len. Untung aja si Juna lagi waras tadi, kalo gak, beuhh!" Delia membuka percakapan setelah memesan menu untuknya dan Aldo."Sampai Aldo kehabisan kata dengan kepercayaan diri si Roy. Ha-ha-ha. Iya, gak, Al?" sikut Delia ke Aldo yang masih sibuk dengan ponselnya sejak turun dari mobil."Hm ... mungkin, dia baru ngerasa salah langkah sudah mengusir Selena dari rumah." imbuh Aldo sambil memastikan
"Mas, aku sudah bikin janji dengan dokter, hari ini hari pertama haidku." Karina membuka mulut, memasukkan sepotong sandwich berisi irisan alpukat dan telur."Oh, ya? Jadwalnya jam 11, kan?" Arjuna terlihat kaget. Tangannya yang sedang memotong roti terhenti sejenak."Aku berangkat sendiri saja, mas. Kamu nyusul." Karina tak membalas tatapan rasa bersalah Arjuna. Ia tahu suaminya harus hadir sebagai saksi di sidang perceraian Selena. Keputusan Arjuna yang tidak bisa diterimanya hingga sekarang. Jangankan menjadi saksi, mencarikan pengacara saja sudah sangat membuat Karina cemburu."Sayang, maaf, aku tidak menyangka akan jadi sulit begini. Jadwal sidang jam 10.00." sesal Arjuna menarik jemari istrinya ke sisi mejanya."Gimana kalau nanti pas kamu konsul, video call denganku, di ruangan si dokternya." pinta Arjuna sambil membujuk Karina.'Sudahlah, mas! Kamu dengan sadar memberi perhatian untuk perempuan lain.'Anggukan ringan kepa
POV MelissaHari ini lelahnya maksimal. Sejak pagi, jam 08.00 hingga pukul 09.00 malam berkutat dengan banyak data dan memandangi laptop. Aku dan Mey bersemangat membenahi sistem dan fasilitas yang diperlukan untuk mengembangkan bisnis start up IT Om Arman.Iya, data klien dan seluruh informasi dari perusahaan Pak Fendy, ku olah bersama Mey. Tidak meniru bulat-bulat, kami melakukan modifikasi dan membuat program menarik. Baik secara hardware dan software. Berbekal pengetahuan selama dua tahun bekerja di perusahaan Pak Fendy dan kemampuan manajemen SDM yang dikuasai Mey, kami memperkuat pilar-pilar bisnis baru Om Arman.Hari ini finishing, tahap terakhir, setelah hampir 3 minggu menjalani puluhan rapat direksi, beberapa kali briefing dengan konsultan IT bersertifikat, dan banyak agenda lain di luar kantor. Dan, aku sangat lega. Meskipun tidak mendapat posisi dalam perusahaan rintisan Om Arman, tapi aku dan Mey punya jumlah saham yang sama. Atas pemberian Om
Hari-hari berlalu terasa cepat. Sidang pertama serasa baru kemarin ia jalani, malam ini Roy menjumpai amplop coklat di pagar. Amplop yang membuat ingatannya akan kehilangan Selena dan Cheryl.Sejak ditegur oleh orang tuanya, Roy tak lagi bernyali menemui istrinya. Meski ia sangat ingin berbicara dari hati ke hati, seperti yang dulu sering mereka lakukan. Saat Cheryl belum ada.'Ah, itu sudah lama sekali. Aku baru merasa rindu sekarang. Mungkin Selena merindukannya sejak lama dan aku tidak peka.'Masuk ke rumah dengan lesu, Roy berencana langsung tidur. Ia tak ingin tidur di kamar lagi. Mendadak ia merasa kamar itu sangat sepi dan kosong. Belakangan lebih nyaman berlama-lama di sofa hingga terlelap sembari membayangkan Selena masih sibuk membersihkan dapur dan Cheryl ketiduran di karpet rasfur ditemani mainannya.Tak ia hiraukan jeritan perut yang minta diisi. Sejak pagi memang hanya diisi semangkuk mie instan. Siang tadi ia menyibukkan dir
POV RoyKepalaku berdenyut seperti dipukuli palu kecil persis di kedua pelipis. Tengkukku terasa panas dan tegang. Entah karena otakku mulai panas atau karena lapar yang ku tahan sejak siang.Aku harus makan kalau tak ingin sakit. Ku seret kaki ke dapur hendak memeriksa isi lemari. Berharap ada sisa roti setidaknya untuk pengganjal perut. Tanganku sedikit gemetar saat mengambil air minum di dispenser. Ah ... kenapa jadi konyol begini? Tak pernah terlintas dalam bayangan akan tinggal sendiri dengan kondisi mengenaskan.Ku periksa dompet, hanya ada selembar pecahan 100 ribu. Bensin belum ku isi lagi. Seingatku jarum penunjuknya sudah di garis kedua dari bawah.Tak ada stok roti. Isi kulkas kosong, bersih.Ah, kenapa gak stok mie instan dan telur, sih? Si Lala bikin stok beras gak, sih? Perutku harus diisi nasi kalau sudah begini. Container beras diletak di mana lagi.Rasanya lelah sekali mengitari dapur padahal ukuran
POV RoyAku tidak bisa menahan golak amarah melihat Selena meninggalkanku begitu saja. Dia berubah jadi pembangkang sejak ku usir dari rumah. Belum lagi temannya si Delia yang sok tahu tentang cinta. Ta* kucing!Tidak ada yang salah dengan sikap dan omonganku. Aku jelas tidak akan mencari kenikmatan dari perempuan lain kalau Selena sanggup memenuhi kebutuhanku. Istri itu, kan, memang harus sedia setiap kali suami butuh. Selena malah tidak mengakui kekurangannya. Padahal kalau dia minta maaf dan mencabut gugatan, aku siap menerimanya kembali. Meskipun dia sudah bekasnya Arjuna.Belum selesai amarah karena sikap sombong Selena, foto Bram dan Melissa di restoran Arjuna menambah tegang otot leherku. Ku lampiaskan amarah dengan meninju kaca mobil dan setir bergantian.Ku pikir aku harus melakukan sesuatu. Melissa harus tahu aku marah. Dia gak bisa pergi begitu aja dan membuatku hancur. Karir dan pendapatanku di ujung tanduk. Mengenaskan.K
Roy berulang membaca pesan terakhir Bram. Rasanya tak percaya kalau Bram kenal dengan Arjuna dan pengacara Selena. 'Selena punya pengacara? Ia mampu membayar jasa pengacara? Pasti si Arjuna yang membantunya. Sialan!'Telapak tangannya membuka, Roy menepuk meja dengan kesal. Ia tak menyangka Selena seniat itu bercerai.'Dia silau oleh harta dan kenyamanan dari Arjuna. Cih! Perempuan itu memang tak layak ku pertahankan!'Mie instannya sampai mengembang karena masih asik menggerutu. Panggilan intercom menyadarkannya, waktu sepuluh menitnya sudah berakhir."Istrimu mengajukan gugatan cerai? Apa dia tahu tentang Melissa?" tanya pak direktur terkesan mengejek. Roy terpaksa harus jujur tentang keperluan cuti mendadaknya besok. Ia bertekad hadir dan membela diri. Ia akan mengungkapkan semua kebenaran. Persetan dengan Bram, Melissa dan Arjuna!"Iya, pak. Ini hanya salah paham, itu sebabnya saya ingin meluruskan semuanya. Berdamai dan ruk