Minggu pagi, Karina bangun lebih awal. Tidak seperti biasanya, memang. Sebabnya Arjuna tampak sangat tenang sejak kembali dari rumah lamanya hingga tiba di rumah. Tak sedikitpun berkomentar tentang mengunjungi Selena, juga tidak berceloteh tentang Cheryl.
Pagi ini, Karina tidak menemukan suaminya di ranjang. Jam 06.30, waktu yang cukup pagi untuk Karina. Mencoba menajamkan pendengarannya, menanti bunyi sendok dan wajan beradu dari dapur. Nihil.
'Kemana dia?'
Dengan malas Karina bangun dari ranjang dan memakai jubah tidurnya. Mencoba membuka pintu sepelan mungkin, begitupun saat menutupnya kembali. Menapaki lantai yang dingin tanpa alas kaki. Sedikit berjinjit agar kehadirannya tidak diketahui oleh Arjuna.
Sudah berkeliling rumah dan tidak berhasil menemukan sosok suaminya. Namun mobil masih ada di garasi. Suaminya belum berangkat ke restoran. Mana mungkin pergi sesubuh ini.
"Mas ... mas Juna ...." panggilnya sekali lagi berkeliling dapur. Tidak ada
"Kenapa, Karina? Ada apa di Singapura?"Arjuna meremas tangan isterinya semakin erat. Ia memang tidak bisa melihat wajah Karina yang bersembunyi di lengannya, tapi ia bisa merasakan sesuatu aneh karena jemari mereka semakin basah."Karina? Kamu baik-baik saja?" tanya Arjuna menarik dagu isterinya hingga bisa menatap langsung kedua netra itu."A-aku baik-baik saja, mas. Hanya sedikit deg-degan, kalau benar hamil, aku akan sangat bahagia" ujarnya membuat senyum di bibir. Bibir itu bergetar, halus."Bahagia? Sungguh?" ujar Arjuna masih memegangi dagu Karina."Aku serius, mas. By the way, kamu udah mendingan? Hari ini gak ke restoran, kan? Aku mau di rumah aja dengan kamu" kata Karina melepaskan diri dari genggaman Arjuna."Oh, iya. Aku harus ke restoran. Mungkin agak siang. Kita istirahat saja dulu" jawab Arjuna sambil menunjuk ponselnya di meja rias Karina.Menyerahkan ponsel ke Arjuna, lalu kembali menempel manja di lengan suaminya. Ik
Selena membereskan tas berisi pakaian ganti Cheryl. Ini hari kedua ia mengantar puterinya ke rumah Delia sebelum berangkat ke kantor. Awalnya ia tak nyaman karena membebani sampai urusan anak. Namun Delia meyakinkannya bahwa Cheryl perlu suasana yang kondusif agar tidak terlalu larut dalam kebingungan karena pindah rumah. Dan, di rumah Delia ada pengasuh anak yang bisa diandalkan."Anakku masih setahun, cocoklah role play kakak adik dengan Cheryl. Kamu gak perlu repot siapin makanan dari rumah, di rumahku juga bisa, supaya fresh. Cheryl 'kan sudah bisa ikut makan menu rumah?"Delia selalu detil memperhatikan setiap keperluannya. Selena tak bisa menahan haru saat dipeluk oleh sahabatnya, meyakinkan bahwa semua pasti berlalu. Bahwa Cheryl bisa juga cukup tangkas belajar hal baru."Terimakasih banyak, Delia"Selena tak bisa lupa untuk terus mengucap terima kasih saat meninggalkan Cheryl di rumah sahabatnya itu."Kamu harus fokus bekerja, jangan khawat
Beranjak dari kursi dan berpamitan ke luar ruangan. Telinganya mendengar dengan jelas celotehan Ibu Linda si manajer sesaat sebelum menutup pintu. "Belagu! Baru mau diajuin jadi asisten manager, pake sok sibuk segala. Kek kita gak punya kerjaan aja" Tawa kedua wanita itu terdengar samar di telinga Selena. Membuang nafas dengan kasar, ia sangat ingin menghubungi Harris. Meminta penjelasan tentang semua ini. Namun ia harus kembali ke ruangan, ponselnya tertinggal di meja. "Udah balik, Bu?" tanya Rina yang masih berkutat dengan lembar faktur dan tanda terima. "Iya, aku mau share sesuatu, nih! Mohon perhatiannya sebentar, ya" kata Selena sembari membuat tepukan dengan kedua telapaknya untuk meminta perhatian timnya. "Saya harus mengikuti serangkaian pemeriksaan psikologi pagi ini, jadi saya minta setiap deadline pekerjaan dilaporkan ke saya melalui chat si hijau saja Kalau ada perlu, tolong kabari langsung. Ada pertanyaan?" "Tes untuk prom
Roy terlihat sibuk di dapur. Ia sedang menyiapkan sarapan. Meja dipenuhi dengan potongan sayur dan beberapa bumbu. Di kompor se-panci air sedang dipanaskan."Duh, jam berapa ini?" Matanya mencari-cari jam menempel di tembok.Jam 07.00. Cepat sekali waktu berlalu, padahal tadi dia sudah bangun lebih pagi, 06.30. Diputuskannya untuk meninggalkan dapur dan mandi.'Sarapan di cafetaria saja' pikirnya sambil menggosok tubuhnya di bawah shower.Bukan tidak ingin menghampiri Melissa dan meminta sarapan, tapi dia harus menjaga harga diri. Harus bisa berlakon seperti biasa meski Selena sudah pergi dari rumah. Tidak akan ada yang berubah, juga frekuensi singgah sarapan di apartemen Melissa.Menuruni tangga, Roy membaui bau wajan gosong dari dapur. Cepat berlari dan mematikan kompor. Panci yang tadinya berisi air sudah gosong, airnya menguap."Astaga, aku lupa mematikan kompor. Hampir saja aku membakar rumah" desah Roy panik. Sekali lagi memastikan kom
"Sudah selesai, kan? Gak ada photo shot lagi?" tanya Karina tanpa memandang wajah asistennya. Ia sibuk dengan ponsel, membalas pesan managernya yang makin lama makin kurang ajar."Iya, gak ada photo lagi" jawab si asisten merapikan semua perlengkapan Karina ke dalam tas. Memanggil penata rambut supaya merapikan kembali rambut Karina."Si Indra emang lagi di mana, sih?" tanya Karina terlihat jengkel."Masih di ruangan manajer marketing kantor ini" jelas si asisten menyerahkan sebotol minuman dingin untuk Karina."Ngapain lagi dia? Gue benci banget!" pekik Karina tertahan. Hanya dia dan asisten yang paham kemarahan itu."Kamu gak bawa sedotan yang stainless? Mau minum langsung dari botol?" Si asisten ragu-ragu menyodorkan botol minuman ke bibir Karina."Biar gue minum sendiri, nanti dulu. Gue lagi kesal" sahut Karina melipat tangan di dada. Rambutnya sedang di tarik ke segala penjuru dan kulit kepalanya sesekali terasa nyeri.Bunyi pesa
Rutinitas pagi Selena tidak jauh-jauh dari beberes rumah dan memasak. Meski ada Bu Minah yang datang per dua hari, ia tetap tidak nyaman meninggalkan pakaian kotor lebih dari sehari. Apalagi Mba Minah mengaku jasanya digaji oleh Delia. Ia cukup tahu diri agar tidak terlalu merepotkan Bu Minah.Sudah jam 05.30, Cheryl masih lelap di tempat tidur. Ia tampak ceria saat Selena menjemput dari rumah Delia. Namun saat kembali ke rumah, Cheryl lebih banyak diam. Tidur lebih awal karena seharian capek main dengan bayinya Delia. Selena terpikir agar segera membelikan beberapa jenis mainan dan buku agar Cheryl mulai menyatu dengan suasana baru di rumah ini. Ia perlu mengatur waktu dan keuangannya.Terpikir untuk menghubungi Harris lebih awal karena banyak yang ingin dia tanyakan. Diambilnya ponsel dan memeriksa baterainya. Penuh. Ia berharap bosnya mau memberi waktu untuknya. Dalam hati ia berucap.Nada sambung terdengar di seberang sana, tapi hingga tiga kali panggilan ta
Arjuna menyudahi panggilan teleponnya ke Delia. Ponsel ia letakkan di sebelah piring."Kita dapat antrian pertama, jam 11 siang. Nanti kita mampir ke restoran dulu, ya, sayang" katanya meremas jemari Karina yang terletak di meja."Oke"Karina tak bisa lagi menghindar pertemuan dengan dokter. Ia sudah berjanji dan hasil test pack barusan cukup membuatnya bingung. Seharusnya ia merasa lega karena tidak hamil tapi terjebak dengan dokter kandungan dan rencana memilik anak ternyata jauh lebih rumit dari yang ia duga.Hatinya belum ikhlas. Ia belum siap untuk berhenti dari dunia model dan harus berdiam diri hingga dua tahun demi merawat bayi. Umurnya masih muda.'Ini semua karena Indra tapi aku juga tidak tega mematahkan semangat Arjuna' batinnya sambil menarik nafas berat."Kenapa, sayang? Makannya tidak enak?" tanya Arjuna seperti menyadari arti desahan istrinya."Enak, kog. Cuma aku sudah kenyang" sahut Karina cepat."Ya, sudah. K
Perjalanan kembali menuju restoran menjadi lebih lama dari perkiraan Kirana. Terutama karena Arjuna terlihat menurunkan kecepatan, lalu mengambil lajur kiri menuju bahu jalan."Kita mau kemana, mas?" tanya Karina yang semakin gugup melihat mobil berhenti."Coba kamu hubungi manajer kamu sekarang. Aku mau make sure dia kasih kamu ijin untuk Rabu depan. Biar dia kosongin jadwal kamu setiap Rabu" ujar Arjuna membuka seat belt-nya.Wajah Karina mendadak tegang, ia sungguh tidak ingin berbicara dengan Indra setelah seluruh pesan yang dihapusnya barusan. Susah payah menelan salivanya sambil mengedarkan pandangan ke luar. Rasanya tidak mungkin mencari alasan untuk menghindari permintaan Arjuna kali ini."Karina ... hei ...."Lambaian tangan Arjuna di wajah membuatnya berhenti menggigit bibir."I-iya, mas. Sebentar, ya" ucapnya sedikit kaku saat mengambil ponsel dari tasnya. Mengaktifkan layar dengan enggan, berharap baterai ponselnya tidak support