Belum sepenuhnya tersadar dari keterkejutan hebat yang tengah melanda diri mereka bertiga masing-masing karena baru saja melihat nominal saldo sebesar 800 miliar di rekening Aditama, mereka bertiga harus dibuat terkejut lagi dengan sesuatu yang tengah diperlihatkan Vania. Setelah meletakan surat-surat di atas meja—di hadapan mereka bertiga—Vania kembali menghempaskan punggung ke sandaran kursi dan berujar. "Itu adalah sertifikat kepemilikan unit apartemen yang dibeli suamiku yang sekarang telah resmi menjadi milik kami, serta surat-surat bukti kepemilikan mobil BMW kami." Ekspresi wajahnya dingin kala mengatakan hal tersebut. Seketika pandangan mereka bertiga jatuh pada beberapa surat-surat yang kini berada di atas meja.Selagi mereka bertiga terdiam tengah memandangi surat-surat itu, Vania angkat suara lagi. "Silahkan bisa kalian cek sendiri sertifikat dan surat-suratnya." Titahnya dengan mempertahankan ekspresi wajah dan nada dinginya. Akhirnya, setelah terdiam beberapa saat,
Vania menghela napas pelan. "Aku tidak tahu ... apakah kabar yang akan aku sampaikan ini akan menjadi kabar bahagia bagi kalian atau tidak," Vania menghentikan kalimatnya sejenak. Lipatan di kening mereka bertiga semakin bertambah. Apa sebenarnya yang akan Vania sampaikan? Vania lanjut berkata. "Mengingat ... apa yang telah kalian lakukan kepadaku ... kalian merasa iri dengan keberhasilanku mewujudkan perusahaan kita bekerja sama dengan Gandara corporation ... apalagi ... setelah aku dan Aditama melaporkan kalian ke polisi ... pasti ... kalian menjadi marah dan kecewa kepada kami berdua, bukan?" Mendengar ucapan Vania, Bastian, Susan dan Mario saling pandang satu sama lain, kemudian saling memberikan kode atas perkataan Vania barusan. Akhirnya, setelah melalukan hal itu beberapa saat, mereka bertiga kembali menatap Vania dan menggeleng pelan. Seakan ingin memberitahu jika mereka bertiga tidak marah dan kecewa seperti apa yang Vania pikirkan. Tiba-tiba Susan menyipi
Namun tiba-tiba rahang Bastian mengeras. Kemudian, tatapanya hanya terfokus pada Vania. "Tapi ... kenapa kamu langsung berpikir bahwa kehamilan itu, tidak akan menjadi kabar bahagia bagi kami, Van?" ujar Bastian, ingin mendengar alasan dari wanita itu mengapa berkata demikian tadi. Sementara Mario menggertakan giginya. "Benar itu ... itu artinya kamu berprasangka buruk dengan kami, Van. Padahal, kami bahagia mendengar jika kamu hamil!" Sambung Mario dengan nada agak meninggi. Kentara jelas jika tersinggung. "Apa yang telah kalian lakukan kepada istriku itu ... membuat kami jadi agak sulit untuk mempercayai kalian lagi." Tiba-tiba Aditama berujar. Mendengar ucapan Aditama, membuat mereka bertiga beralih menatap pria itu. "Walau kami memaafkan kalian ... tapi aku dan Vania tidak bisa langsung percaya dengan kalian begitu saja. Butuh waktu sampai kami melihat kalian benar-benar menyesali perbuatan kalian dan benar-benar tidak akan berbuat jahat lagi kepada istriku." Kata Aditam
Sebuah pesan dituliskan Bella. [Apakah kamu dan Aditama sudah pulang dari rumah kakek?] Di bawahnya, ada pesan lain. [Ngomong-ngomong, apakah kalian sudah makan malam di rumah Kakek? Jika belum, jangan makan di luar, makan di rumah saja karena aku sudah memasakan untuk kalian]Vania sekilas menyunggingkan senyum tipis selagi membaca pesan itu.Vania menggeleng. "Astaga ... repot-repot sekali Kak Bella," gumam Vania, lalu jari jemarinya seketika berkutat pada layar ponsel, hendak mengetikan balasan. [Kami masih dalam perjalanan pulang, Kak] [Wah, kebetulan sekali kami belum makan malam di rumah kakek. Baik lah. Kami akan makan di rumah saja.] Mendengar nama Bella disebut, Aditama menebak jika sang istri mendapatkan pesan dari kakak sepupunya. Namun, Aditama memilih tak bertanya lebih dulu, memutuskan menunggu sang istri selesai mengirimkan pesan kepada Bella.Setelah selesai mengirimkan balasan, Vania segera mematikan layar ponselnya. Melihat hal itu, Aditama menoleh ke ar
Di ruangan rapat sebuah perusahaan, terlihat dua pria paruh baya sedang saling duduk di kursi masing-masing, saling pandang satu lain, terlibat dalam pembicaraan serius. Pria itu adalah Robert dan Andika—sahabat dari usia muda sekaligus partner bisnis. Rahang pria paruh baya bernama Andika itu kini mengeras, seperti tengah memikirkan sesuatu. Dia kemudian berkata. "Kau yakin, Bert? Laksana sudah tidak bisa apa-apa sekarang? Sudah tak berdaya?" Ia menatap sang sahabat dengan serius. Mendengar itu, Robert mengangguk, "Aku yakin sekali, An. Baru-baru ini ... aku menemuinya di kediamanya, dia masih menggunakan kursi roda." Balas Robert. Kemudian, ia menghela napas. "Walau tidak menutup kemungkinan jika dia akan segera pulih dalam waktu dekat ini." Andika terdiam. "Maka, kita harus segera bertindak cepat sebelum hal itu terjadi, bukan?" ucap Andika, hendak memastikan kepada partner bisnisnya itu. Robert mengangguk. "Ya. Kita memang harus segera bertindak cepat sebelum Laksana pu
Setelah meminta maaf serta mengakui kesalahan kepada Aditama dan Vania, Bastian beserta keluarganya mendatangi rumah Jauhar untuk melakukan hal yang sama. Seperti perkataan Jauhar pada saat Bastian dan Hermanto datang ke ruanganya—jika ia akan mencabut laporanya terhadap mereka bertiga, dengan catatan mereka bertiga sudah harus dimaafkan oleh Aditama dan Vania terlebih dahulu—baru ia pun akan mencabut laporanya. Di hadapan Jauhar, Bastian beserta keluarganya benar-benar tidak berani berkata apa-apa selain permintaan maaf yang keluar dari mulut mereka masing-masing, mengaku salah dan amat begitu menyesal. Mereka bertiga benar-benar tidak bisa berkutik dan tidak berdaya sama sekali. Setelah memastikan kepada Aditama mengenai pengakuan Bastian beserta keluarga jika sudah melakukan apa yang ia minta, juga mendapat perintah dari Aditama, akhirnya Jauhar pun mencabut laporanya terhadap mereka bertiga. Hal tersebut tentu membuat Bastian, Susan dan Mario langsung senang bukan main. Lega
Aditama menghadap Panji, lalu menganggukan kepala, sebagai pertanda untuk Panji menuruti permintaan keduanya. "Tidak kah Anda melihat ada yang mencurigakan di sini?" tiba-tiba Robert berujar dengan memasang ekspresi wajah datar serta merentangkan kedua tanganya lebar-lebar, seakan tengah memperlihatkan kepada Panji bahwa keadaan di ruangan itu aman-aman saja. Tidak ada tanda-tanda bahaya. "Hanya ada saya dan Andika di sini. Kami juga tidak membawa senjata," Kata Robert lagi seraya menyingkap jas yang dikenakanya, berusaha meyakinkan orang kepercayaan Laksana Gandara tersebut diikuti oleh Andika. Panji terdiam. Seketika memperhatikan secara saksama dengan apa yang tengah keduanya lakukan. Melihat Panji bersikap demikian, Andika berujar lagi, "Apakah selama ini ... kami mencari gara-gara dengan Tuan Laksana?" Andika berkacak pinggang dengan sebelah alis terangkat.Tanpa menjawab, mata awas Panji terus mengedar ke sekitar, seperti sedang memastikan sesuatu, tapi ia tidak kunjung m
Lagi-lagi, keduanya memandang remeh pertanyaan yang diajukan Aditama.Robert lalu melambaikan tangan dan berujar, "Hei ... santai saja, Tama. Jangan terburu-buru.""Seperti diawal kami katakan, jika Om dan Om Andika itu ... hanya ingin mengetahui kabarmu saja yang sudah lima tahun menghilang." Kata Robert lagi yang dibenarkan oleh Andika. Mendengar hal tersebut, Aditama menautkan kedua alisnya selagi masih menatap Robert dengan lekat. Robert lalu menepuk-nepuk pundak Aditama lagi dan melanjutkan kalimatnya. "Om sangat mengerti apa yang kau rasakan, Tama setelah Papamu mengusirmu dan ibumu dari rumah!" Robert menghentikan kalimatnya sejenak."Papamu memang jahat, Tam ... sungguh keterlaluan, tidak memikirkan perasaanmu dan mamamu sama sekali!" Suara Robert berubah meninggi dan wajahnya juga mengeras. Aditama mengerjap, mencerna dalam sepersekian detik perkataan Robert. Dalam hati ia membenarkan apa kata Robert tentang Ayahnya yang jahat, sudah sangat keterlaluan! Namun harus ka
Satu bulan yang lalu, Vania telah melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama Darren Alvaro Gandara. Sebagai bentuk untuk mengungkapkan kebahagiaan yang tengah dirasakan anggota keluarga Gandara, khususnya bagi pasangan Aditama dan Vania, sekaligus untuk menyambut anggota keluarga Gandara yang baru, keluarga Gandara kembali menggelar pesta besar-besar an. Pesta diadakan di ruangan dan halaman rumah. Malam ini, ruangan dan halaman itu disulap menjadi tempat pesta yang megah. Ada ratusan undangan yang datang dalam acara. Kerabat dekat, kolega, rekan bisnis dan kenalan keluarga Gandara. Meja-meja makanan tampak tersusun rapi dengan menu spesial di atasnya. Dekorasi acara terhampar di setiap titik-titik paling pasnya. Juga halaman rumah dihiasi lampu-lampu yang membuat belakang rumah itu terlihat lebih menawan. Di saat ini, Aditama dan Vania—yang sedang menggendong bayinya—tampak berdiri di dalam ruangan menyambut para tamu yang terus berdatangan silih berganti. Tamu-tamu it
Begitu melihat sang suami memasuki rumah, Vania yang sedang duduk di sofa ruang tamu bersama sang ibu—langsung bangkit dari duduknya—segera berhambur setengah berlari ke arah Aditama, lantas langsung memeluknya dengan erat. "Kenapa malam sekali pulangnya, Tam ... aku sungguh mencemaskanmu tadi ... takut terjadi apa-apa denganmu. Juga Papa. Aku tidak bisa tidur, sayang. Entah kenapa, rasanya tidak tenang saja kalau kamu belum pulang." Ucap Vania dalam posisi wajah tenggelam di dada suaminya. Di saat yang sama, Vania merasa sangat lega karena sang suami pulang dengan selamat. Dalam keadaan baik-bajk saja. Begitu pula dengan sang Ayah. Aditama menghela napas. "Maafkan aku, sayang karena baru sampai rumah. Karena urusannya baru selesai. Jadi, aku dan Papa baru bisa pulang." Balas Aditama seiring menghembuskan napas lega, mengusap kepala sang istri dengan lembut, juga terus mengecup keningnya. Aditama lanjut berkata. "Sekarang aku sudah pulang sesuai janji aku tadi, Van ... p
Sementara itu, Aditama dan sang Ayah memutuskan beranjak dari perumahan Paradise hendak pulang. Di dalam mobil, tiba-tiba ponsel Aditama berbunyi menandakan ada panggilan masuk yang membuat perhatian pria tampan itu teralihkan. Seketika ia merogoh saku jas, mengeluarkan ponsel dari dalam sana, nama Heru terpampang jelas di layar ponsel. Melihat hal itu, mata Aditama melebar! Mendadak, ia teringat sesuatu. Apakah Kak Heru hendak memberitahu kabar mengenai Edwin? Juga Robert dan Andika? Pikir Aditama. Melihat sang anak laki-lakinya bersikap demikian, Laksana Gandara mengernyitkan kening. "Telepon dari siapa, Tam?" tanya Laksana Gandara seraya menghadap Aditama.Mendapatkan pertanyaan dari sang Ayah membuat Aditama menoleh. Dia kemudian menjawab. "Kak Heru, Pa,"Laksana Gandara mengerjap mendengarnya. Dia kemudian buru-buru berkata. "Cepat angkat, Tam ... sepertinya dia mau mengabarkan sesuatu tentang Edwin." Laksana Gandara langsung mendesak Aditama yang dijawab angg
Sementara itu, tiba di gedung kasino milik Robert dan Andika, Edwin disambut keributan dan kericuhan oleh orang-orang di sana. Kesibukan pun menyertai. Para petugas pemadam kebakaran tengah berusaha memadamkan api yang melahap gedung kasino tersebut. Beberapa mobil-mobil tampak keluar, sebagian besar adalah para pengunjung kasino yang sedang bergegas pulang, tapi ada pula yang masih berada di sana—menonton. Namun Edwin tidak mempedulikan hal tersebut, ia bergegas mencari dua orang yang sebelumnya ia agung-agungkan, tapi kini ia telah berubah benci pada keduanya.Selang sebentar saja, tiba-tiba Edwin menghentikan langkah saat melihat dua orang yang sedang ia cari—berdiri di dekat salah satu mobil—menyaksikan kesibukan. Melalui ekor matanya, Robert menyadari kedatangan Edwin, ia pun segera menoleh diikuti Andika setelahnya. Kemudian, Robert memicingkan pandangan. Detik berikutnya, dia terhenyak. Begitu pula dengan Andika. Edwin!? Selama sesaat, keduanya kompak tercengang. Seg
Begitu melihat sosok Arumi dan Haikal, Laksana Gandara langsung murka bukan main. Seketika ekspresi wajahnya menjadi masam, seruan marah, sumpah serapah dan makian terlontar keluar dari mulutnya. Mendapati hal tersebut, Arumi dan Haikal hanya bisa pasrah. "Aku pikir kau sudah takut denganku, Arumi ... sudah takut dengan keluarga Gandara ... tidak mau berurusan dengan keluargaku lagi setelah kuusir dirimu," seru Laksana Gandara dengan emosi menggebu seraya menunjuk-nunjuk Arumi. "Tapi apa yang malah akan kau lakukan kepada anggota keluargaku, wanita iblis!? Kau bahkan berencana mau membunuh anggota keluarga tercintaku!?" Lanjut Laksana Gandara. Mendengar itu, Arumi refleks mengangkat wajah menatap Laksana Gandara. Kemudian, ia langsung menggeleng cepat. "Tidak, tuan. Bukan seperti itu. Itu bukan ide saya. Saya tidak ada niatan sedikit pun mau menghabisi anggota keluarga anda. Itu sepenuhnya adalah ide tuan Robert, tuan Andika, juga Edwin." Jawab Arumi yang langsung dibenarkan
Aditama menatap Arumi dan Haikal dengan saksama. Juga dengan dingin. Ekspresi wajahnya datar. Kemudian, ia pindah menatap Arumi untuk beberapa saat. "Akhirnya kita bertemu lagi, Nona Arumi ... setelah sekian lama," ucap Aditama. Dia kemudian menambahkan. "Aku tidak menyangka kalau anda benar-benar licik. Tak selemah yang dibayangkan. Aku pikir, anda sudah kapok, tak akan mau berurusan dengan keluarga kami lagi, tapi nyatanya aku salah." "Anda memang tidak bisa kami anggap remeh. Dan hal yang membuat aku cukup terkejut adalah ... Anda bekerja sama dengan Robert, Andika dan Edwin untuk membalas keluarga Gandara. Sungguh menakjubkan. Tapi terlepas dari itu, anda tidak bisa berbuat apa-apa." Aditama terdiam sebentar. "Seorang wanita seperti anda ... bisa meyakinkan Papa? Hal itu juga sungguh tak bisa dipercaya. Dan anda yang memfitnahku dan mama dulu ... benar-benar tidak akan pernah kulupakan, Nona Arumi." Kata Aditama lagi. Mendengar itu, Arumi mengangkat wajah menatap Aditama.
Aditama dan Edwin membahas soal pembunuh keluarganya Edwin yang sebenarnya yang tak lain tak bukan adalah Robert, juga Andika, pun termasuk kejahatan dan kebusukan yang telah mereka berdua lakukan. Kala membicarakan hal itu, mendadak, dendam kesumat pada diri Edwin seketika membara, juga tekad ingin membunuh mereka berdua langsung mencuat deras. Akhirnya, setelah terdiam beberapa saat, Edwin mengangkat wajah menatap Aditama. "Silahkan jika tuan muda ingin menghukum saya, ingin membunuh saya sekali pun. Saya rela tuan muda! Saya menerimanya karena saya memang jahat kepada keluarga Gandara! Telah berkhianat!!!" seru Edwin tegas penuh penekanan pada kalimatnya. Tidak ada sedikit pun keraguan dalam setiap kata yang diucapkannya. Semua orang kaget mendengar hal itu. Edwin menyerahkan diri untuk dihabisi? Untuk dibunuh? Dia mengakui kesalahannya? Namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena semua keputusan ada di tangan Aditama. Sementara Aditama menatap Edwin dengan lekat. Te
Sesampainya di depan rumah yang ditinggali Arumi perumahan Paradise, Aditama, Letnan dan para tukang pukul bergegas turun dari mobil. Akan tetapi, mendadak Aditama menghentikan langkah ketika hendak berjalan menuju rumah itu kala mendengar bunyi tanda ada panggilan masuk dari ponselnya. Aditama pun mengurungkan niatnya. Begitu pula dengan anak buahnya. Menunggu sang tuan muda. Aditama kembali mengecek ponselnya dan nama sang Ayah terpampang jelas di layar. Seketika ia mengerjap, baru ingat jika ia belum mengabari sang Ayah. Kemudian, ia segera mengusap layar ponsel dan menempelkannya di telinga. "Bagaimana, Tam? Apakah rencanamu berhasil? Kamu tidak kenapa-kenapa, 'kan, Nak?" tanya Laksana Gandara dengan nada cemas sekaligus penasaran begitu panggilan terhubung. Mendengar itu, Aditama pun langsung menceritakan apa yang terjadi di gedung kasino tadi. Setelah Aditama selesai bercerita, terdengar helaan napas lega di sebrang sana. Detik berikutnya, sang Ayah terkekeh puas
Selagi Aditama menyilangkan tangan di depan dada—duduk di jok mobil belakang masih dalam perjalanan menuju perumahan Paradise—memikirkan semua musuhnya yang sebentar lagi akan berhasil ia bereskan, sebuah dering berbunyi berasal dari ponsel miliknya menandakan ada panggilan masuk membuat lamunan pria tampan itu terbuyar. Ia pun kembali mengecek ponselnya dan nama sang istri terpampang jelas di layar ponsel. Melihat hal itu, demi apa pun, Aditama langsung merasa senang bukan main. Namun di sisi lain, ia tidak mau sang istri mengetahui apa yang sebenarnya sedang ia lakukan, mengetahui apa yang terjadi dengan keluarga Gandara! Demikian, ia tidak mau membuat Vania cemas berlebihan—apalagi jika sampai tahu ia, sang ibu dan bayi yang ada di dalam kandungnya itu menjadi target pembunuhan. Akan tetapi, hal itu tidak akan pernah terjadi mengingat rencananya yang sebentar lagi akan selesai. Akhirnya, setelah terdiam sejenak, Aditama mengusap layar ponsel dan segera menempelkannya di