Aditama menghadap Panji, lalu menganggukan kepala, sebagai pertanda untuk Panji menuruti permintaan keduanya. "Tidak kah Anda melihat ada yang mencurigakan di sini?" tiba-tiba Robert berujar dengan memasang ekspresi wajah datar serta merentangkan kedua tanganya lebar-lebar, seakan tengah memperlihatkan kepada Panji bahwa keadaan di ruangan itu aman-aman saja. Tidak ada tanda-tanda bahaya. "Hanya ada saya dan Andika di sini. Kami juga tidak membawa senjata," Kata Robert lagi seraya menyingkap jas yang dikenakanya, berusaha meyakinkan orang kepercayaan Laksana Gandara tersebut diikuti oleh Andika. Panji terdiam. Seketika memperhatikan secara saksama dengan apa yang tengah keduanya lakukan. Melihat Panji bersikap demikian, Andika berujar lagi, "Apakah selama ini ... kami mencari gara-gara dengan Tuan Laksana?" Andika berkacak pinggang dengan sebelah alis terangkat.Tanpa menjawab, mata awas Panji terus mengedar ke sekitar, seperti sedang memastikan sesuatu, tapi ia tidak kunjung m
Lagi-lagi, keduanya memandang remeh pertanyaan yang diajukan Aditama.Robert lalu melambaikan tangan dan berujar, "Hei ... santai saja, Tama. Jangan terburu-buru.""Seperti diawal kami katakan, jika Om dan Om Andika itu ... hanya ingin mengetahui kabarmu saja yang sudah lima tahun menghilang." Kata Robert lagi yang dibenarkan oleh Andika. Mendengar hal tersebut, Aditama menautkan kedua alisnya selagi masih menatap Robert dengan lekat. Robert lalu menepuk-nepuk pundak Aditama lagi dan melanjutkan kalimatnya. "Om sangat mengerti apa yang kau rasakan, Tama setelah Papamu mengusirmu dan ibumu dari rumah!" Robert menghentikan kalimatnya sejenak."Papamu memang jahat, Tam ... sungguh keterlaluan, tidak memikirkan perasaanmu dan mamamu sama sekali!" Suara Robert berubah meninggi dan wajahnya juga mengeras. Aditama mengerjap, mencerna dalam sepersekian detik perkataan Robert. Dalam hati ia membenarkan apa kata Robert tentang Ayahnya yang jahat, sudah sangat keterlaluan! Namun harus ka
Melihat kemunculan Aditama, Panji refleks bangkit dari duduknya. Seketika ia mengamati tuan mudanya dari atas sampai bawah, merasa Aditama dalam keadaan baik-baik saja, ia pun langsung menghela napas lega. Sejak tadi, ia begitu cemas, tak tenang, pikiranya ke mana-mana. Melihat Panji bersikap demikian, Aditama tersenyum. "Saya baik-baik saja, Pak Panji." Panji tampak mengatur napas. "Saya sungguh khawatir sekali dengan tuan muda tadi ... tapi syukur lah jika tuan muda tidak diapa-apakan oleh mereka."Aditama menatap Panji untuk beberapa saat. "Terima kasih karena sudah mengkhawatirkanku."Mendengar itu, Panji mengangguk. Panji lalu menghela napas. "Bagaimana mungkin saya tidak khawatir saat tuan muda bersama mereka berdua tadi?" Balas Panji. Kemudian, ia menggeleng dengan pandangan memicing. "Tuan Robert dan Andika itu ... termasuk orang yang berbahaya, tuan muda." Mendengar hal itu, Aditama mengangguk. "Saya tahu hal itu." Kemudian, ia mengedikan bahunya. "Tapi yang pe
Setelah selesai mengobrol di ruang tamu, Laksana Gandara mengajak Aditama bicara empat mata di ruangan kerjanya. Kini sang kepala keluarga Gandara tengah menatap putranya dengan lekat dan mulai berujar, "Kau tau, Aditama? Mengapa ... Om Robert dan Om Andika melakukan hal itu padamu?" Aditama menggeleng pelan sebagai jawaban. Dari sorot matanya memancarkan rasa keingintahuan. Laksana lanjut berkata. "Tebakan Papa adalah ... selain mereka ingin mempengaruhimu supaya kau semakin membenci Papa ... mereka akan menggunakanmu untuk mendapatkan sesuatu yang Papa miliki karena sesuatu yang Papa miliki itu bisa menghancurkan mereka." Mendengar hal tersebut, Aditama mengernyitkan kening. "Sesuatu itu bisa menghancurkan mereka? Papa ... memiliki sesuatu yang bisa menghancurkan mereka?" Ulang Aditama, hendak memastikan ia tidak salah dengar. Belum sempat Laksana menimpali, Aditama sudah bicara lagi. "Sesuatu seperti apa yang Papa maksud itu? Kenapa pula bisa menghancurkan Om Robert dan
Sebelum Aditama melangkah keluar dari ruangan tersebut, Laksana meminta untuk dipanggilkan Panji supaya ke ruanganya kepada sang anak. Hal tersebut langsung diiyakan oleh Aditama. Sehabis dari ruangan kerja sang Ayah, Aditama langsung berjalan menuju ke arah ruang tamu untuk menemui Panji. Tiba di sana, ia segera menyampaikan pesan dari sang Ayah kepada orang kepercayaan keluarganya tersebut. Panji langsung mengangguk seraya bangkit dari tempat duduknya dan bergegas menuju ke ruangan tuan besarnya. Tiba di dalam, Panji menghampiri sang tuan besarnya dengan langkah pelan. "Tuan Besar ... memanggil saya?" tanya Panji dengan sopan setelah membungkukan badan di hadapan Laksana lebih dulu, hendak memastikan.Pandangan Laksana yang sedang tertuju pada layar ponsel, seketika mendongak ke arah sumber suara. Lantas, ia mengangguk. "Duduk, Panji." Titah Laksana sembari menunjuk kursi di sampingnya.Panji mengangguk, kemudian berjalan ke arah kursi di samping Laksana dan menjatuh
"Sepertinya kita akan pindah tinggal di rumah ini bersama Papa dan Mama, sayang," ujar Aditama dengan pandangan menerawang sembari mengusap lembut puncak kepala sang istri. Mendengar itu, Vania yang sedang merebahkan kepala di dada bidang Aditama, langsung menarik kepalanya, kemudian buru-buru menghadap sang suami. Detik berikutnya, ia mengernyitkan dahi, menatap Aditama untuk beberapa saat. "Kenapa ... mendadak sekali, Tam?"Aditama balik menatap Vania. Tapi tidak langsung menjawab. Mendadak, ia berpikir. Hingga akhirnya Aditama memutuskan tidak akan menceritakan masalah yang sedang keluarganya hadapi itu kepada sang istri. Ia takut hal tersebut akan membuat Vania menjadi banyak pikiran, setres, panik dan tidak nyaman—yang mana bisa berpengaruh pada kandungnya. Ia sungguh dilema, di satu sisi, ia ingin menjauhkan sang istri dari segala urusan keluarganya yang sudah tentu berbahaya dengan tetap tinggal di apartemen. Di sisi lain, kedua orang tuanya membutuhkan dirinya di rumah
Aditama lalu disibukan mengobrol dengan pada tukang pukul penting sembari menyantap sarapan. Dua puluh menit, semua orang telah menghabiskan sarapan masing-masing. Beberapa tukang pukul penting berpamitan kepada Aditama, beranjak dari ruangan itu lebih dulu, menyisakan Aditama dan dua kepala tukang pukul yang sangat dekat denganya di ruangan tersebut. Dua kepala tukang pukul itu adalah Heru dan Edwin.Usai Heru lebih tua daripada Edwin. Sedangkan usia Edwin selisih dua tahun lebih tua dengan Aditama. Heru direkrut sang Ayah lebih dulu daripada Edwin sejak memulai bisnis. Keduanya sama-sana tinggal di situ karena mereka telah menjadi yatim piatu, kedua orang tuanya telah meninggal, juga tidak mempunyai tempat tinggal. Dulu, Aditama tidak hanya menghabiskan waktu bersama mereka, ia juga kerap kali dilatih berkelahi oleh keduanya. Hal tersebut yang membuat keduanya lebih dekat dengan sang tuan muda keluarga Gandara. "Akhirnya Tuan Muda kembali juga setelah lima tahun pergi dar
Pukul tujuh malam. Mobil yang ditumpangi Aditama dan Panji berhenti di sebuah pelabuhan diikuti dua mobil tukang pukul di belakangnya. Mereka memarkirkan mobil di depan tumpukan kontainer. Aditama dan Panji lalu turun dari mobil, Panji langsung disibukan dengan mengeluarkan sebuah kotak kardus berisi berkas-berkas dan tas dari dalam mobil, sedangkan Aditama seketika mengedarkan pandangan ke sekeliling, ia baru pertama kali mengunjungi tempat ini. Sementara itu, enam tukang pukul yang dilengkapi dengan senjata masing-masing langsung berpencar, matanya menatap awas ke sekitar, memastikan dalam keadaan aman. Selagi Aditama fokus mengamati sekitar, Panji angkat suara. "Tempat rahasia Papa Anda, Tuan." Mendengar hal itu, Aditama menoleh ke arah sumber suara. Kini Panji sudah berdiri di sampingnya, dilengkapi dengan kardus di tangan kiri, sedangkan tangan kananya menenteng tas. Aditama mencerna dalam sepersekian detik perkataan Panji, lalu manggut-manggut. Jadi, tempat ini ad
Satu bulan yang lalu, Vania telah melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama Darren Alvaro Gandara. Sebagai bentuk untuk mengungkapkan kebahagiaan yang tengah dirasakan anggota keluarga Gandara, khususnya bagi pasangan Aditama dan Vania, sekaligus untuk menyambut anggota keluarga Gandara yang baru, keluarga Gandara kembali menggelar pesta besar-besar an. Pesta diadakan di ruangan dan halaman rumah. Malam ini, ruangan dan halaman itu disulap menjadi tempat pesta yang megah. Ada ratusan undangan yang datang dalam acara. Kerabat dekat, kolega, rekan bisnis dan kenalan keluarga Gandara. Meja-meja makanan tampak tersusun rapi dengan menu spesial di atasnya. Dekorasi acara terhampar di setiap titik-titik paling pasnya. Juga halaman rumah dihiasi lampu-lampu yang membuat belakang rumah itu terlihat lebih menawan. Di saat ini, Aditama dan Vania—yang sedang menggendong bayinya—tampak berdiri di dalam ruangan menyambut para tamu yang terus berdatangan silih berganti. Tamu-tamu it
Begitu melihat sang suami memasuki rumah, Vania yang sedang duduk di sofa ruang tamu bersama sang ibu—langsung bangkit dari duduknya—segera berhambur setengah berlari ke arah Aditama, lantas langsung memeluknya dengan erat. "Kenapa malam sekali pulangnya, Tam ... aku sungguh mencemaskanmu tadi ... takut terjadi apa-apa denganmu. Juga Papa. Aku tidak bisa tidur, sayang. Entah kenapa, rasanya tidak tenang saja kalau kamu belum pulang." Ucap Vania dalam posisi wajah tenggelam di dada suaminya. Di saat yang sama, Vania merasa sangat lega karena sang suami pulang dengan selamat. Dalam keadaan baik-bajk saja. Begitu pula dengan sang Ayah. Aditama menghela napas. "Maafkan aku, sayang karena baru sampai rumah. Karena urusannya baru selesai. Jadi, aku dan Papa baru bisa pulang." Balas Aditama seiring menghembuskan napas lega, mengusap kepala sang istri dengan lembut, juga terus mengecup keningnya. Aditama lanjut berkata. "Sekarang aku sudah pulang sesuai janji aku tadi, Van ... p
Sementara itu, Aditama dan sang Ayah memutuskan beranjak dari perumahan Paradise hendak pulang. Di dalam mobil, tiba-tiba ponsel Aditama berbunyi menandakan ada panggilan masuk yang membuat perhatian pria tampan itu teralihkan. Seketika ia merogoh saku jas, mengeluarkan ponsel dari dalam sana, nama Heru terpampang jelas di layar ponsel. Melihat hal itu, mata Aditama melebar! Mendadak, ia teringat sesuatu. Apakah Kak Heru hendak memberitahu kabar mengenai Edwin? Juga Robert dan Andika? Pikir Aditama. Melihat sang anak laki-lakinya bersikap demikian, Laksana Gandara mengernyitkan kening. "Telepon dari siapa, Tam?" tanya Laksana Gandara seraya menghadap Aditama.Mendapatkan pertanyaan dari sang Ayah membuat Aditama menoleh. Dia kemudian menjawab. "Kak Heru, Pa,"Laksana Gandara mengerjap mendengarnya. Dia kemudian buru-buru berkata. "Cepat angkat, Tam ... sepertinya dia mau mengabarkan sesuatu tentang Edwin." Laksana Gandara langsung mendesak Aditama yang dijawab angg
Sementara itu, tiba di gedung kasino milik Robert dan Andika, Edwin disambut keributan dan kericuhan oleh orang-orang di sana. Kesibukan pun menyertai. Para petugas pemadam kebakaran tengah berusaha memadamkan api yang melahap gedung kasino tersebut. Beberapa mobil-mobil tampak keluar, sebagian besar adalah para pengunjung kasino yang sedang bergegas pulang, tapi ada pula yang masih berada di sana—menonton. Namun Edwin tidak mempedulikan hal tersebut, ia bergegas mencari dua orang yang sebelumnya ia agung-agungkan, tapi kini ia telah berubah benci pada keduanya.Selang sebentar saja, tiba-tiba Edwin menghentikan langkah saat melihat dua orang yang sedang ia cari—berdiri di dekat salah satu mobil—menyaksikan kesibukan. Melalui ekor matanya, Robert menyadari kedatangan Edwin, ia pun segera menoleh diikuti Andika setelahnya. Kemudian, Robert memicingkan pandangan. Detik berikutnya, dia terhenyak. Begitu pula dengan Andika. Edwin!? Selama sesaat, keduanya kompak tercengang. Seg
Begitu melihat sosok Arumi dan Haikal, Laksana Gandara langsung murka bukan main. Seketika ekspresi wajahnya menjadi masam, seruan marah, sumpah serapah dan makian terlontar keluar dari mulutnya. Mendapati hal tersebut, Arumi dan Haikal hanya bisa pasrah. "Aku pikir kau sudah takut denganku, Arumi ... sudah takut dengan keluarga Gandara ... tidak mau berurusan dengan keluargaku lagi setelah kuusir dirimu," seru Laksana Gandara dengan emosi menggebu seraya menunjuk-nunjuk Arumi. "Tapi apa yang malah akan kau lakukan kepada anggota keluargaku, wanita iblis!? Kau bahkan berencana mau membunuh anggota keluarga tercintaku!?" Lanjut Laksana Gandara. Mendengar itu, Arumi refleks mengangkat wajah menatap Laksana Gandara. Kemudian, ia langsung menggeleng cepat. "Tidak, tuan. Bukan seperti itu. Itu bukan ide saya. Saya tidak ada niatan sedikit pun mau menghabisi anggota keluarga anda. Itu sepenuhnya adalah ide tuan Robert, tuan Andika, juga Edwin." Jawab Arumi yang langsung dibenarkan
Aditama menatap Arumi dan Haikal dengan saksama. Juga dengan dingin. Ekspresi wajahnya datar. Kemudian, ia pindah menatap Arumi untuk beberapa saat. "Akhirnya kita bertemu lagi, Nona Arumi ... setelah sekian lama," ucap Aditama. Dia kemudian menambahkan. "Aku tidak menyangka kalau anda benar-benar licik. Tak selemah yang dibayangkan. Aku pikir, anda sudah kapok, tak akan mau berurusan dengan keluarga kami lagi, tapi nyatanya aku salah." "Anda memang tidak bisa kami anggap remeh. Dan hal yang membuat aku cukup terkejut adalah ... Anda bekerja sama dengan Robert, Andika dan Edwin untuk membalas keluarga Gandara. Sungguh menakjubkan. Tapi terlepas dari itu, anda tidak bisa berbuat apa-apa." Aditama terdiam sebentar. "Seorang wanita seperti anda ... bisa meyakinkan Papa? Hal itu juga sungguh tak bisa dipercaya. Dan anda yang memfitnahku dan mama dulu ... benar-benar tidak akan pernah kulupakan, Nona Arumi." Kata Aditama lagi. Mendengar itu, Arumi mengangkat wajah menatap Aditama.
Aditama dan Edwin membahas soal pembunuh keluarganya Edwin yang sebenarnya yang tak lain tak bukan adalah Robert, juga Andika, pun termasuk kejahatan dan kebusukan yang telah mereka berdua lakukan. Kala membicarakan hal itu, mendadak, dendam kesumat pada diri Edwin seketika membara, juga tekad ingin membunuh mereka berdua langsung mencuat deras. Akhirnya, setelah terdiam beberapa saat, Edwin mengangkat wajah menatap Aditama. "Silahkan jika tuan muda ingin menghukum saya, ingin membunuh saya sekali pun. Saya rela tuan muda! Saya menerimanya karena saya memang jahat kepada keluarga Gandara! Telah berkhianat!!!" seru Edwin tegas penuh penekanan pada kalimatnya. Tidak ada sedikit pun keraguan dalam setiap kata yang diucapkannya. Semua orang kaget mendengar hal itu. Edwin menyerahkan diri untuk dihabisi? Untuk dibunuh? Dia mengakui kesalahannya? Namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena semua keputusan ada di tangan Aditama. Sementara Aditama menatap Edwin dengan lekat. Te
Sesampainya di depan rumah yang ditinggali Arumi perumahan Paradise, Aditama, Letnan dan para tukang pukul bergegas turun dari mobil. Akan tetapi, mendadak Aditama menghentikan langkah ketika hendak berjalan menuju rumah itu kala mendengar bunyi tanda ada panggilan masuk dari ponselnya. Aditama pun mengurungkan niatnya. Begitu pula dengan anak buahnya. Menunggu sang tuan muda. Aditama kembali mengecek ponselnya dan nama sang Ayah terpampang jelas di layar. Seketika ia mengerjap, baru ingat jika ia belum mengabari sang Ayah. Kemudian, ia segera mengusap layar ponsel dan menempelkannya di telinga. "Bagaimana, Tam? Apakah rencanamu berhasil? Kamu tidak kenapa-kenapa, 'kan, Nak?" tanya Laksana Gandara dengan nada cemas sekaligus penasaran begitu panggilan terhubung. Mendengar itu, Aditama pun langsung menceritakan apa yang terjadi di gedung kasino tadi. Setelah Aditama selesai bercerita, terdengar helaan napas lega di sebrang sana. Detik berikutnya, sang Ayah terkekeh puas
Selagi Aditama menyilangkan tangan di depan dada—duduk di jok mobil belakang masih dalam perjalanan menuju perumahan Paradise—memikirkan semua musuhnya yang sebentar lagi akan berhasil ia bereskan, sebuah dering berbunyi berasal dari ponsel miliknya menandakan ada panggilan masuk membuat lamunan pria tampan itu terbuyar. Ia pun kembali mengecek ponselnya dan nama sang istri terpampang jelas di layar ponsel. Melihat hal itu, demi apa pun, Aditama langsung merasa senang bukan main. Namun di sisi lain, ia tidak mau sang istri mengetahui apa yang sebenarnya sedang ia lakukan, mengetahui apa yang terjadi dengan keluarga Gandara! Demikian, ia tidak mau membuat Vania cemas berlebihan—apalagi jika sampai tahu ia, sang ibu dan bayi yang ada di dalam kandungnya itu menjadi target pembunuhan. Akan tetapi, hal itu tidak akan pernah terjadi mengingat rencananya yang sebentar lagi akan selesai. Akhirnya, setelah terdiam sejenak, Aditama mengusap layar ponsel dan segera menempelkannya di