"Untuk apa kau berpenampilan seperti ini?!" tanya Bastian dengan nada sarkas. Giginya bergemeretak. Ekspresi wajahnya menunjukan ketidaksukaan. Kemudian, ia tersenyum sinis. "Cih ... sungguh tak pantas dirimu mengenakan jas seperti ini!" Mendengar komentar sang Paman, Aditama tidak mempedulikanya. Ia balik menatap Bastian dengan memasang ekspresi wajah datar. "Untuk apa lagi?" Jawab Aditama. Dia kemudian menambahkan. "Ya untuk bekerja lah." Kening Bastian berkerut. "Kau ... sudah bekerja kembali?" Bastian malah balik bertanya. Aditama mengangguk mendengar hal itu. Kemudian, Bastian menatap ke sekitar sambil tersenyum kecut sebelum kemudian kembali menatap Aditama. Dia kemudian berkata. "Tidak akan ada perusahaan mana pun yang mau memperkerjakan seorang mantan kuli bangunan dan berpendidikan rendah sepertimu!" Ia berpikir demikian karena melihat setelan jas yang dikenakan Aditama ... dengan penampilanya seperti itu ... menandakan kalau dia bekerja di suatu perusahaan. Walaupun
Pukul delapan malam, Aditama dan Vania tiba di rumah Kakek Hermanto.Melihat kedatangan keduanya, Hermanto dan Stephanie langsung menyambutnya dengan hangat.Setelah ngobrol basa-basi sebentar, kemudian Aditama dan Vania digiring ke meja makan untuk diajak makan malam bersama.Sembari menyantap makanan masing-masing, pun obrolan santai masih terdengar yang sesekali diselingi canda dan tawa, akhirnya Vania menyinggung maksud sang kakek mengundang dirinya dan sang suami untuk datang ke rumah ini. Selama sesaat, rahang Vania mengeras. Dia kemudian berkata. "Kakek ... memintaku dan Tama ke rumah karena hendak menyuruh kami untuk mencabut laporan Tama terhadap Paman, Bibi dan Mario, bukan?" ujar Vania dengan hati-hati, langsung menebak demikian. Hermanto agak sedikit terkejut mendapatkan pertanyaan itu. Seketika menghentikan kegiatan menyuapkan nasi ke dalam mulut. Begitu pula dengan Stephanie. Keduanya lalu saling pandang satu sama lain, seakan tengah menyamakan frekuensi atas pertanya
"Apa yang sedang Ayah pikirkan?" Suara Stephanie membuat Hermanto yang sedang duduk melamun di kursi depan rumah seketika menoleh ke arah sumber suara. Tampak Stephanie yang tengah berdiri di ambang pintu sebelum kemudian berjalan ke arah kursi satunya dengan membawa secangkir teh hangat untuknya. Diletakan secangkir teh hangat tersebut di atas meja, lalu ia mejatuhkan diri di kursi satunya. Selagi Stephanie menatap lekat sang Ayah—menunggu.Hermanto memalingkan muka ke depan lagi sambil menghela napas berat. Dia kemudian berkata. "Rumah jadi terasa sepi ya, Step karena sudah tidak ada Vania dan ... Aditama lagi," suara Hermanto melemah di ujung kalimat. Mendengar itu, terbit senyum tipis di bibir Stephanie. "Sudah saatnya mereka mencari makna hidup sendiri, Yah. Sudah saatnya mereka berpisah dengan kita karena sebentar lagi mereka akan membentuk sebuah keluarga baru." Hermanto kembali menatap Stephanie dengan memasang wajah murung. "Tapi kalau dipikir-pikir lagi ... ini sal
Bastian, Susan dan Mario benar-benar kecewa berat dengan Kakek Hermanto yang kini telah berubah.Jika dulu, setiap mereka mempunyai masalah dengan Aditama, pasti ia akan selalu berpihak pada mereka, tidak peduli mereka benar atau salah sekali pun. Tapi sekarang ... sudah tidak lagi! Mereka bertiga sengaja tidak memenuhi panggilan dari kepolisian karena Bastian sedang menunggu orang-orang suruhanya yang ia tugaskan untuk mencari bukti-bukti hubungan gelap antara Jauhar dengan Vania. Mereka sepenuhnya sadar dan tahu jika hal itu membuat para polisi nantinya akan mendatangi dan menjemput mereka secara paksa. Jika hal itu terjadi, maka, mereka akan malu. Oleh karena itu, Bastian menginginkan orang-orang suruhanya harus sudah menemukan bukti-bukti sebelum polisi menjemput secara paksa. Pada saat Bastian, Susan dan Mario fokus pada hal tersebut, mereka lupa sesuatu jika mereka telah membawa-bawa nama salah satu orang berpengaruh di kota Ferandia. Siapa lagi kalau bukan Jauhar—w
Sehari sebelumnya ... Aditama melihat dua orang tengah terduduk dengan keadaan tubuh terikat pada kursi selagi ia berjalan mendekat di sebuah gedung tak terpakai. Di kanan kirinya, dua laki-laki terlihat seperti sedang mengintrogasi dua orang itu. Mereka adalah tukang pukul Aditama. Menyadari kedatangan Tuan Mudanya, dua tukang pukul buru-buru menguasai diri untuk menyambutnya. Tiba di hadapan mereka, dua tukang pukul itu langsung menundukan badan masing-masing. Lalu, keduanya menegapkan tubuhnya lagi dan berkata. "Maafkan kami, Tuan. Kami belum berhasil membuat mereka berdua untuk buka mulut." Kata salah satu tukang pukul, menatap Aditama dengan perasaan bersalah bercampur takut seraya menunjuk-nunjuk dua orang yang dimaksud yang dibalas anggukan kepala oleh tukang pukul satunya. Aditama mengangkat tangan sambil mengangguk pelan, menandakan jika ia tidak mempermasalahkan hal itu.Seketika dua tukang pukul itu pun merasa lega. Pandangan Aditama lalu terfokus pada dua orang yang
Hermanto menjadi penasaran setelah melihat Bastian tampak begitu terkejut setelah mengecek sesuatu di tab milik Jauhar.Ia ingin bertanya mengapa putranya bersikap demikian, tapi akhirnya ia mengurungkan niat, memutuskan menunggu saja. Selagi Bastian terdiam shock, Jauhar angkat suara. "Dua orang itu ... adalah suruhan Anda, bukan, Pak Bastian? Yang Anda perintahkan untuk mengikuti saya dan Nona Vania?" Pertanyaan itu membuat Bastian tersadar. Sedangkan Hermanto mengerjap. Di saat ini, pria tua itu langsung teringat dengan perkataan Bastian tadi sewaktu di mobil yang mengatakan jika dia sedang mencari bukti. Kala memikirkan hal itu, Hermanto seketika memasang ekspresi wajah tak berdaya. Tentu saja mudah bagi Jauhar meringkus orang-orang suruhan Bastian tersebut.Di sisi lain, ia geram dengan apa yang dilakukan Bastian terhadap Jauhar dan Vania. Jauhar lanjut berkata. "Apa yang ingin Anda cari, Pak Bastian? Anda ingin mencari bukti-bukti jika saya dan Nona Vania memiliki hubungan
"Ternyata dua orang yang mengikutimu akhir-akhir ini adalah orang suruhanya Paman Bastian, sayang." Jelas Aditama kepada sang istri. Seketika Vania menghadap Aditama.Pasangan suami istri itu kini sedang duduk bersebelahan di sofa ruang bersantai. Aditama baru saja pulang dari kantor. Sedangkan Vania pulang lebih awal. Jadi, ia bisa menyambut kepulangan sang suami. Vania mendecakan lidah seraya menggeleng mendengarnya. Dia kemudian berkata. "Ya ampun ... sebegitu yakinya Paman jika aku dan Pak Jauhar memiliki hubungan?!" Wajah Vania mengernyit. Pun kesal. Ia tidak habis pikir dengan sang Paman, sepertinya rasa iri telah membutakan mata dan pikiranya.Aditama lanjut berkata. "Tapi kamu tak perlu khawatir, sayang ... karena orang-orang suruhan Paman Bastian itu sudah aku bereskan." Kemudian, rahangnya mengeras. "Jadi, mereka tidak akan bisa mengganggumu lagi!" Seketika terbit senyum di bibir Vania. "Terima kasih, Tama," Kemudian, matanya menyipit. "Aku jadi tidak takut lagi kalau p
Tiba di ruang tamu, Bastian, Susan dan Mario kompak terkejut melihat Aditama dan Vania sudah duduk di sana.Mereka pikir keduanya belum sampai, ternyata sudah sampai lebih dulu. Melihat kedatangan mereka bertiga, Aditama, Vania dan Hermanto kompak menoleh menatap mereka bertiga dengan dingin. Menginginkan segera mendapat simpati dari Vania dan Aditama, Susan buru-buru memasang ekspresi wajah sendu."Vania ... Aditama ... " panggil Susan, menatap keduanya bergantian selagi berjalan mendekat dan duduk di sofa dekat mereka. "Sudah lama kalian sampai di sini?" "Belum terlalu lama, Bi." Jawab Vania dingin, balik menatap sang Bibi. Sedangkan Aditama hanya diam saja. "Vania ... Aditama ... " sambung Bastian selagi berjalan mendekat dan duduk di samping istrinya. Diikuti Mario setelahnya yang kemudian duduk di sampingnya. "Paman benar-benar sangat menyesal—" "Santai saja dulu, Paman," sergah Aditama menyela perkataan Bastian yang membuat Bastian gelagapan sebelum akhirnya mengangguk pela
Satu bulan yang lalu, Vania telah melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama Darren Alvaro Gandara. Sebagai bentuk untuk mengungkapkan kebahagiaan yang tengah dirasakan anggota keluarga Gandara, khususnya bagi pasangan Aditama dan Vania, sekaligus untuk menyambut anggota keluarga Gandara yang baru, keluarga Gandara kembali menggelar pesta besar-besar an. Pesta diadakan di ruangan dan halaman rumah. Malam ini, ruangan dan halaman itu disulap menjadi tempat pesta yang megah. Ada ratusan undangan yang datang dalam acara. Kerabat dekat, kolega, rekan bisnis dan kenalan keluarga Gandara. Meja-meja makanan tampak tersusun rapi dengan menu spesial di atasnya. Dekorasi acara terhampar di setiap titik-titik paling pasnya. Juga halaman rumah dihiasi lampu-lampu yang membuat belakang rumah itu terlihat lebih menawan. Di saat ini, Aditama dan Vania—yang sedang menggendong bayinya—tampak berdiri di dalam ruangan menyambut para tamu yang terus berdatangan silih berganti. Tamu-tamu it
Begitu melihat sang suami memasuki rumah, Vania yang sedang duduk di sofa ruang tamu bersama sang ibu—langsung bangkit dari duduknya—segera berhambur setengah berlari ke arah Aditama, lantas langsung memeluknya dengan erat. "Kenapa malam sekali pulangnya, Tam ... aku sungguh mencemaskanmu tadi ... takut terjadi apa-apa denganmu. Juga Papa. Aku tidak bisa tidur, sayang. Entah kenapa, rasanya tidak tenang saja kalau kamu belum pulang." Ucap Vania dalam posisi wajah tenggelam di dada suaminya. Di saat yang sama, Vania merasa sangat lega karena sang suami pulang dengan selamat. Dalam keadaan baik-bajk saja. Begitu pula dengan sang Ayah. Aditama menghela napas. "Maafkan aku, sayang karena baru sampai rumah. Karena urusannya baru selesai. Jadi, aku dan Papa baru bisa pulang." Balas Aditama seiring menghembuskan napas lega, mengusap kepala sang istri dengan lembut, juga terus mengecup keningnya. Aditama lanjut berkata. "Sekarang aku sudah pulang sesuai janji aku tadi, Van ... p
Sementara itu, Aditama dan sang Ayah memutuskan beranjak dari perumahan Paradise hendak pulang. Di dalam mobil, tiba-tiba ponsel Aditama berbunyi menandakan ada panggilan masuk yang membuat perhatian pria tampan itu teralihkan. Seketika ia merogoh saku jas, mengeluarkan ponsel dari dalam sana, nama Heru terpampang jelas di layar ponsel. Melihat hal itu, mata Aditama melebar! Mendadak, ia teringat sesuatu. Apakah Kak Heru hendak memberitahu kabar mengenai Edwin? Juga Robert dan Andika? Pikir Aditama. Melihat sang anak laki-lakinya bersikap demikian, Laksana Gandara mengernyitkan kening. "Telepon dari siapa, Tam?" tanya Laksana Gandara seraya menghadap Aditama.Mendapatkan pertanyaan dari sang Ayah membuat Aditama menoleh. Dia kemudian menjawab. "Kak Heru, Pa,"Laksana Gandara mengerjap mendengarnya. Dia kemudian buru-buru berkata. "Cepat angkat, Tam ... sepertinya dia mau mengabarkan sesuatu tentang Edwin." Laksana Gandara langsung mendesak Aditama yang dijawab angg
Sementara itu, tiba di gedung kasino milik Robert dan Andika, Edwin disambut keributan dan kericuhan oleh orang-orang di sana. Kesibukan pun menyertai. Para petugas pemadam kebakaran tengah berusaha memadamkan api yang melahap gedung kasino tersebut. Beberapa mobil-mobil tampak keluar, sebagian besar adalah para pengunjung kasino yang sedang bergegas pulang, tapi ada pula yang masih berada di sana—menonton. Namun Edwin tidak mempedulikan hal tersebut, ia bergegas mencari dua orang yang sebelumnya ia agung-agungkan, tapi kini ia telah berubah benci pada keduanya.Selang sebentar saja, tiba-tiba Edwin menghentikan langkah saat melihat dua orang yang sedang ia cari—berdiri di dekat salah satu mobil—menyaksikan kesibukan. Melalui ekor matanya, Robert menyadari kedatangan Edwin, ia pun segera menoleh diikuti Andika setelahnya. Kemudian, Robert memicingkan pandangan. Detik berikutnya, dia terhenyak. Begitu pula dengan Andika. Edwin!? Selama sesaat, keduanya kompak tercengang. Seg
Begitu melihat sosok Arumi dan Haikal, Laksana Gandara langsung murka bukan main. Seketika ekspresi wajahnya menjadi masam, seruan marah, sumpah serapah dan makian terlontar keluar dari mulutnya. Mendapati hal tersebut, Arumi dan Haikal hanya bisa pasrah. "Aku pikir kau sudah takut denganku, Arumi ... sudah takut dengan keluarga Gandara ... tidak mau berurusan dengan keluargaku lagi setelah kuusir dirimu," seru Laksana Gandara dengan emosi menggebu seraya menunjuk-nunjuk Arumi. "Tapi apa yang malah akan kau lakukan kepada anggota keluargaku, wanita iblis!? Kau bahkan berencana mau membunuh anggota keluarga tercintaku!?" Lanjut Laksana Gandara. Mendengar itu, Arumi refleks mengangkat wajah menatap Laksana Gandara. Kemudian, ia langsung menggeleng cepat. "Tidak, tuan. Bukan seperti itu. Itu bukan ide saya. Saya tidak ada niatan sedikit pun mau menghabisi anggota keluarga anda. Itu sepenuhnya adalah ide tuan Robert, tuan Andika, juga Edwin." Jawab Arumi yang langsung dibenarkan
Aditama menatap Arumi dan Haikal dengan saksama. Juga dengan dingin. Ekspresi wajahnya datar. Kemudian, ia pindah menatap Arumi untuk beberapa saat. "Akhirnya kita bertemu lagi, Nona Arumi ... setelah sekian lama," ucap Aditama. Dia kemudian menambahkan. "Aku tidak menyangka kalau anda benar-benar licik. Tak selemah yang dibayangkan. Aku pikir, anda sudah kapok, tak akan mau berurusan dengan keluarga kami lagi, tapi nyatanya aku salah." "Anda memang tidak bisa kami anggap remeh. Dan hal yang membuat aku cukup terkejut adalah ... Anda bekerja sama dengan Robert, Andika dan Edwin untuk membalas keluarga Gandara. Sungguh menakjubkan. Tapi terlepas dari itu, anda tidak bisa berbuat apa-apa." Aditama terdiam sebentar. "Seorang wanita seperti anda ... bisa meyakinkan Papa? Hal itu juga sungguh tak bisa dipercaya. Dan anda yang memfitnahku dan mama dulu ... benar-benar tidak akan pernah kulupakan, Nona Arumi." Kata Aditama lagi. Mendengar itu, Arumi mengangkat wajah menatap Aditama.
Aditama dan Edwin membahas soal pembunuh keluarganya Edwin yang sebenarnya yang tak lain tak bukan adalah Robert, juga Andika, pun termasuk kejahatan dan kebusukan yang telah mereka berdua lakukan. Kala membicarakan hal itu, mendadak, dendam kesumat pada diri Edwin seketika membara, juga tekad ingin membunuh mereka berdua langsung mencuat deras. Akhirnya, setelah terdiam beberapa saat, Edwin mengangkat wajah menatap Aditama. "Silahkan jika tuan muda ingin menghukum saya, ingin membunuh saya sekali pun. Saya rela tuan muda! Saya menerimanya karena saya memang jahat kepada keluarga Gandara! Telah berkhianat!!!" seru Edwin tegas penuh penekanan pada kalimatnya. Tidak ada sedikit pun keraguan dalam setiap kata yang diucapkannya. Semua orang kaget mendengar hal itu. Edwin menyerahkan diri untuk dihabisi? Untuk dibunuh? Dia mengakui kesalahannya? Namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena semua keputusan ada di tangan Aditama. Sementara Aditama menatap Edwin dengan lekat. Te
Sesampainya di depan rumah yang ditinggali Arumi perumahan Paradise, Aditama, Letnan dan para tukang pukul bergegas turun dari mobil. Akan tetapi, mendadak Aditama menghentikan langkah ketika hendak berjalan menuju rumah itu kala mendengar bunyi tanda ada panggilan masuk dari ponselnya. Aditama pun mengurungkan niatnya. Begitu pula dengan anak buahnya. Menunggu sang tuan muda. Aditama kembali mengecek ponselnya dan nama sang Ayah terpampang jelas di layar. Seketika ia mengerjap, baru ingat jika ia belum mengabari sang Ayah. Kemudian, ia segera mengusap layar ponsel dan menempelkannya di telinga. "Bagaimana, Tam? Apakah rencanamu berhasil? Kamu tidak kenapa-kenapa, 'kan, Nak?" tanya Laksana Gandara dengan nada cemas sekaligus penasaran begitu panggilan terhubung. Mendengar itu, Aditama pun langsung menceritakan apa yang terjadi di gedung kasino tadi. Setelah Aditama selesai bercerita, terdengar helaan napas lega di sebrang sana. Detik berikutnya, sang Ayah terkekeh puas
Selagi Aditama menyilangkan tangan di depan dada—duduk di jok mobil belakang masih dalam perjalanan menuju perumahan Paradise—memikirkan semua musuhnya yang sebentar lagi akan berhasil ia bereskan, sebuah dering berbunyi berasal dari ponsel miliknya menandakan ada panggilan masuk membuat lamunan pria tampan itu terbuyar. Ia pun kembali mengecek ponselnya dan nama sang istri terpampang jelas di layar ponsel. Melihat hal itu, demi apa pun, Aditama langsung merasa senang bukan main. Namun di sisi lain, ia tidak mau sang istri mengetahui apa yang sebenarnya sedang ia lakukan, mengetahui apa yang terjadi dengan keluarga Gandara! Demikian, ia tidak mau membuat Vania cemas berlebihan—apalagi jika sampai tahu ia, sang ibu dan bayi yang ada di dalam kandungnya itu menjadi target pembunuhan. Akan tetapi, hal itu tidak akan pernah terjadi mengingat rencananya yang sebentar lagi akan selesai. Akhirnya, setelah terdiam sejenak, Aditama mengusap layar ponsel dan segera menempelkannya di