Esok paginya, Vania tampak gelisah, mondar-mandir di dalam kamar sehabis mandi. Bagimana tidak gelisah?Ia harus segera pergi ke kantor, tapi masalahnya ia tidak punya baju sama sekali. Vania merutuki dirinya karena kemarin tidak ada pikiran untuk mengambil baju terlebih dahulu di rumah Kakeknya.Akan tetapi, setelah dipikir-pikir lagi ... mana mungkin sempat?Kemarin, perasannya tengah kacau balau, campur aduk karena rumah tangganya nyaris saja diambang perceraian dan ia juga diusir oleh Kakeknya. Disaat itu, Aditama muncul --masuk ke dalam kamar. Melihat istrinya yang hanya mengenakan handuk ditubuhnya, dililitkan sebatas dada, membuatnya membeku. Tiba-tiba terbit senyum tipis di bibir Aditama. Aditama menatap Vania untuk beberapa saat tanpa berkedip, tak mau melewatkan tubuh indah istrinya yang tengah terpapang jelas di depan matanya. Kapan lagi ia bisa memandangnya? Kalau bukan sekarang? Namun tiba-tiba Aditama teringat sesuatu. Kenapa barusan Vania mondar mandir? Terlih
Vania masih tampak kebingungan sekaligus penasaran, belum puas mendengar penjelasan Aditama. Kepalanya masih terasa berat, ia hendak bertanya, mengintrogasi sang suami lebih lanjut. Akan tetapi, ketika ia menyadari jika ia harus segera berangkat ke kantor, ia pun mengurungkan niatnya. Lagi pula, ia sudah tidak bingung lagi soal pakaian, kini sudah ada banyak pakaian didepan mata dan itu memang diperuntukan untuknya. Akhirnya, tanpa mempedulikan apa pun lagi, Vania bangkit dari kasur, berjalan menuju ke arah lemari dan menarik salah satu pakaian dari dalam sana untuk ia kenakan. **Setelah selesai berganti baju dan sarapan, Vania dan Aditama pun bersiap hendak berangkat. "Yuk kita berangkat sekarang, Tam ... aku sudah agak telat nih." Ucap Vania seraya melangkahkan kakinya, mendahului Aditama. "Vania ..." Aditama berseru, menahan Vania. Mendengar seruan Aditama, membuat Vania menghentikan langkah. Lalu, ia berbalik dan menatap Aditama kembali. "Ada apa, Tam?" Tanya Vania den
Evan menatap Aditama dengan tangan terlipat di depan dada. "Bagimana, Aditama?" Tanyanya dengan senyum licik menghiasi bibirnya.Dia kemudian menambahkan. "Itu konsekuensi yang harus kau terima jika kau tetap ingin mengundurkan diri." Aditama terdiam di tempatnya. Ia tak ingin keputusannya itu akan berdampak buruk kepada teman-teman kulinya. Akan tetapi, di sisi lain, ia tak mau terus-terus san ditindas oleh orang-orang yang memiliki uang dan kekuasaan seperti Evan dan Chris. Seketika Aditama berpikir dengan keras.Tiba-tiba matanya melebar tatkala teringat Panji.Ah! Mudah saja bukan? ia bisa meminta bantuan Panji untuk mengurus hal ini! Selagi Aditama terdiam di tempat, semua orang kompak menatap Aditama, menunggu keputusan pria itu.Sementara Evan dan Chris juga menatap Aditama dengan senyum penuh kemenangan. Mereka telah menduga jika Aditama pasti akan mengurungkan niatnya.Aditama menghela napas pelan. Akhirnya, setelah terdiam sesaat, ia pun berkata. "Baik. Aku setuju." Ujar
"Kami tak percaya padamu, Tam ... kau itu kuli sama seperti kami! Punya kuasa apa sampai kau bisa membuat mandor Evan dan Pak Chris dipecat?" Seru salah satu kuli yang langsung dibenarkan oleh yang lain. Melihat Aditama dipojokan, Evan angkat bicara. "Benar apa yang dikatakan oleh mereka ... kau itu tak bisa berbuat apa-apa, Tam."Sindirnya sinis. "Makanya, jangan mencoba cari masalah denganku. Sekarang ... terima akibatnya!" Evan dan Chris lalu saling pandang, tersenyum penuh kemenangan. Aditama tak menghiraukan Evan dan Chris. Dia kemudian kembali menatap para kuli bangunan satu persatu. "Tunggu ...jika setelah ini tidak ada kabar pemecatan dari mereka berdua ... maka ... aku tidak jadi mengundurkan diri dan tetap bekerja di sini!" Ujar Aditama, mencoba meyakinkan para kuli. Mendengar hal itu, membuat semua orang terdiam, saling pandang, memikirkan omongan Aditama yang sepertinya bisa dipegang.Melihat para kuli bangunan yang mulai terpengaruh dengan ucapan Aditama, Evan pun
Dalam langkahnya menuju ruangan kerjanya, Vania merasa diperhatikan oleh para karyawan kantor sambil terlihat kasak-kusuk. Ia merasa tengah dibicarakan oleh mereka. Akan tetapi, Vania menggeleng cepat, menghalau prasangkanya. Mungkin hanya perasaanya saja. Semua akan tetap berjalan normal seperti biasa walau ia telah diusir dan dikucilkan dari keluarga Hermanto. Semua akan baik-baik saja. Namun ketika Vania tiba di ruangan kerjanya, ia dibuat heran tatkala mendapati ruangan kerjanya sedang dibersihkan oleh cleaning service. Meja kerjanya juga tampak bersih. Papan namanya sudah tidak ada di atas sana, juga berkas-berkas dan barang-barang miliknya.Vania mengedar pandangan ke sekeliling, mengamati ruangan kerjanya sesaat. Menyadari kedatangan Vania, cleaning service terkejut, seketika menghentikan kegiatannya. Bertanya-tanya, Vania pun berjalan mendekat dan berkata. "Kenapa meja saya jadi bersih begini? Ke mana berkas-berkas dan barang-barang saya di atas meja?!" Tanya Vania dengan
Bastian berdiri di hadapan Vania dengan senyum meremehkan sambil memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Sudah jelas, bukan?" ucapnya. Dia kemudian menambahkan. "Kamu dan Aditama itu sudah diusir dari keluarga Hermanto!" Vania memasang wajah buruk begitu mendengar perkataan Bastian. "Aku benar-benar kecewa kepada kalian semua! Kalian semua begitu tega kepadaku!" Vania berseru tertahan dengan tangan terkepal. Namun Bastian tampak tidak peduli dengan kekecewaan Vania. "Heh, Vania ... kamu tau?" ucapnya dengan alis bertaut. Wajahnya lalu mengeras. "Gara-gara kamu dan Aditama ... penyakit jantung Kakek jadi kambuh dan sekarang ... Kakek harus dirawat dirumah sakit!"Sontak, Vania terbelalak. Apa!? Jantung Kakeknya kambuh? Dan sekarang sang Kakek dirawat di rumah sakit?Vania tidak menyangka jika kejadian di hotel itu menyebabkan penyakit jantung Kakeknya kambuh. Mendadak, Vania merasa cemas.Walau pun ia masih kecewa berat, marah dan juga benci kepada Kakeknya itu, nam
Detik berikutnya, Bastian pun tertawa. "Eh ... dengan apa kalian akan membayarnya, hah?!" ucapnya dengan senyum mengejek. "Gaji Aditama itu sangat lah kecil ... hanya cukup untuk makan kalian sehari-hari dan sekarang kamu sudah dipecat, Van. Kamu sudah tidak ada pemasukan setiap bulannya." Bastian menganggap Vania sedang membual. Sebenarnya, alasan pemecatan Vania bukan semata-mata karena Vania membangkang dan tingkah Aditama yang mengacau rencana keluarga Hermanto.Namun, itu cara keluarga Hermanto supaya membuat Vania sengsara, tidak betah hidup terluka-lunta di jalanan bersama Aditama.Jika Vania tidak tahan, maka, pasti akhirnya ia akan memilih menuruti perintah keluarganya, bukan?Awalnya, Bastian sedikit khawatir ketika mendengar jika Aditama sudah mendapatkan uang 2 miliar untuk biaya operasi Ibunya dan hal itu, memang membuat Vania terbebas dari perjodohannya dengan Edward. Akan tetapi, Bastian buru-buru menghalau kekhawatirannya. Ia tetap merasa yakin jika Vania akan kemb
"Tidak, Paman." ucapnya tegas seraya menggelengkan kepala. "Aku tidak mau melakukan hal itu!" Mendengar jawaban Vania, Bastian terbelalak, mencerna dalam sepersekian detik. Selagi Bastian tertegun seraya menatap Vania dengan muka yang tiba-tiba berubah merah karena marah, Vania balik badan dan pergi dari ruangan tersebut! Kepergian Vania tentu saja diringi teriakan dan cemoohan menyakitkan yang keluar dari mulut sang Paman. ** Di kedai kopi, selagi Aditama tengah menyesap minuman kopinya, tiba-tiba ponselnya bergetar. Dia segera mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana dan melihat nama sang istri terpampang jelas di layar. "Vania?" Aditama bertanya-tanya dengan alis tertaut. Tumben sekali Vania menghubungi dirinya dijam-jam kerja? Ada apa? Mendadak, Aditama melebarkan matanya tatkala teringat sesuatu. Apa terjadi sesuatu dengan istrinya? Tanpa berlama-lama, Aditama langsung menerima panggilan masuk dari sang istri dan menempelkan ponsel di telinga. "Hallo, Van. Ada apa
Satu bulan yang lalu, Vania telah melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama Darren Alvaro Gandara. Sebagai bentuk untuk mengungkapkan kebahagiaan yang tengah dirasakan anggota keluarga Gandara, khususnya bagi pasangan Aditama dan Vania, sekaligus untuk menyambut anggota keluarga Gandara yang baru, keluarga Gandara kembali menggelar pesta besar-besar an. Pesta diadakan di ruangan dan halaman rumah. Malam ini, ruangan dan halaman itu disulap menjadi tempat pesta yang megah. Ada ratusan undangan yang datang dalam acara. Kerabat dekat, kolega, rekan bisnis dan kenalan keluarga Gandara. Meja-meja makanan tampak tersusun rapi dengan menu spesial di atasnya. Dekorasi acara terhampar di setiap titik-titik paling pasnya. Juga halaman rumah dihiasi lampu-lampu yang membuat belakang rumah itu terlihat lebih menawan. Di saat ini, Aditama dan Vania—yang sedang menggendong bayinya—tampak berdiri di dalam ruangan menyambut para tamu yang terus berdatangan silih berganti. Tamu-tamu it
Begitu melihat sang suami memasuki rumah, Vania yang sedang duduk di sofa ruang tamu bersama sang ibu—langsung bangkit dari duduknya—segera berhambur setengah berlari ke arah Aditama, lantas langsung memeluknya dengan erat. "Kenapa malam sekali pulangnya, Tam ... aku sungguh mencemaskanmu tadi ... takut terjadi apa-apa denganmu. Juga Papa. Aku tidak bisa tidur, sayang. Entah kenapa, rasanya tidak tenang saja kalau kamu belum pulang." Ucap Vania dalam posisi wajah tenggelam di dada suaminya. Di saat yang sama, Vania merasa sangat lega karena sang suami pulang dengan selamat. Dalam keadaan baik-bajk saja. Begitu pula dengan sang Ayah. Aditama menghela napas. "Maafkan aku, sayang karena baru sampai rumah. Karena urusannya baru selesai. Jadi, aku dan Papa baru bisa pulang." Balas Aditama seiring menghembuskan napas lega, mengusap kepala sang istri dengan lembut, juga terus mengecup keningnya. Aditama lanjut berkata. "Sekarang aku sudah pulang sesuai janji aku tadi, Van ... p
Sementara itu, Aditama dan sang Ayah memutuskan beranjak dari perumahan Paradise hendak pulang. Di dalam mobil, tiba-tiba ponsel Aditama berbunyi menandakan ada panggilan masuk yang membuat perhatian pria tampan itu teralihkan. Seketika ia merogoh saku jas, mengeluarkan ponsel dari dalam sana, nama Heru terpampang jelas di layar ponsel. Melihat hal itu, mata Aditama melebar! Mendadak, ia teringat sesuatu. Apakah Kak Heru hendak memberitahu kabar mengenai Edwin? Juga Robert dan Andika? Pikir Aditama. Melihat sang anak laki-lakinya bersikap demikian, Laksana Gandara mengernyitkan kening. "Telepon dari siapa, Tam?" tanya Laksana Gandara seraya menghadap Aditama.Mendapatkan pertanyaan dari sang Ayah membuat Aditama menoleh. Dia kemudian menjawab. "Kak Heru, Pa,"Laksana Gandara mengerjap mendengarnya. Dia kemudian buru-buru berkata. "Cepat angkat, Tam ... sepertinya dia mau mengabarkan sesuatu tentang Edwin." Laksana Gandara langsung mendesak Aditama yang dijawab angg
Sementara itu, tiba di gedung kasino milik Robert dan Andika, Edwin disambut keributan dan kericuhan oleh orang-orang di sana. Kesibukan pun menyertai. Para petugas pemadam kebakaran tengah berusaha memadamkan api yang melahap gedung kasino tersebut. Beberapa mobil-mobil tampak keluar, sebagian besar adalah para pengunjung kasino yang sedang bergegas pulang, tapi ada pula yang masih berada di sana—menonton. Namun Edwin tidak mempedulikan hal tersebut, ia bergegas mencari dua orang yang sebelumnya ia agung-agungkan, tapi kini ia telah berubah benci pada keduanya.Selang sebentar saja, tiba-tiba Edwin menghentikan langkah saat melihat dua orang yang sedang ia cari—berdiri di dekat salah satu mobil—menyaksikan kesibukan. Melalui ekor matanya, Robert menyadari kedatangan Edwin, ia pun segera menoleh diikuti Andika setelahnya. Kemudian, Robert memicingkan pandangan. Detik berikutnya, dia terhenyak. Begitu pula dengan Andika. Edwin!? Selama sesaat, keduanya kompak tercengang. Seg
Begitu melihat sosok Arumi dan Haikal, Laksana Gandara langsung murka bukan main. Seketika ekspresi wajahnya menjadi masam, seruan marah, sumpah serapah dan makian terlontar keluar dari mulutnya. Mendapati hal tersebut, Arumi dan Haikal hanya bisa pasrah. "Aku pikir kau sudah takut denganku, Arumi ... sudah takut dengan keluarga Gandara ... tidak mau berurusan dengan keluargaku lagi setelah kuusir dirimu," seru Laksana Gandara dengan emosi menggebu seraya menunjuk-nunjuk Arumi. "Tapi apa yang malah akan kau lakukan kepada anggota keluargaku, wanita iblis!? Kau bahkan berencana mau membunuh anggota keluarga tercintaku!?" Lanjut Laksana Gandara. Mendengar itu, Arumi refleks mengangkat wajah menatap Laksana Gandara. Kemudian, ia langsung menggeleng cepat. "Tidak, tuan. Bukan seperti itu. Itu bukan ide saya. Saya tidak ada niatan sedikit pun mau menghabisi anggota keluarga anda. Itu sepenuhnya adalah ide tuan Robert, tuan Andika, juga Edwin." Jawab Arumi yang langsung dibenarkan
Aditama menatap Arumi dan Haikal dengan saksama. Juga dengan dingin. Ekspresi wajahnya datar. Kemudian, ia pindah menatap Arumi untuk beberapa saat. "Akhirnya kita bertemu lagi, Nona Arumi ... setelah sekian lama," ucap Aditama. Dia kemudian menambahkan. "Aku tidak menyangka kalau anda benar-benar licik. Tak selemah yang dibayangkan. Aku pikir, anda sudah kapok, tak akan mau berurusan dengan keluarga kami lagi, tapi nyatanya aku salah." "Anda memang tidak bisa kami anggap remeh. Dan hal yang membuat aku cukup terkejut adalah ... Anda bekerja sama dengan Robert, Andika dan Edwin untuk membalas keluarga Gandara. Sungguh menakjubkan. Tapi terlepas dari itu, anda tidak bisa berbuat apa-apa." Aditama terdiam sebentar. "Seorang wanita seperti anda ... bisa meyakinkan Papa? Hal itu juga sungguh tak bisa dipercaya. Dan anda yang memfitnahku dan mama dulu ... benar-benar tidak akan pernah kulupakan, Nona Arumi." Kata Aditama lagi. Mendengar itu, Arumi mengangkat wajah menatap Aditama.
Aditama dan Edwin membahas soal pembunuh keluarganya Edwin yang sebenarnya yang tak lain tak bukan adalah Robert, juga Andika, pun termasuk kejahatan dan kebusukan yang telah mereka berdua lakukan. Kala membicarakan hal itu, mendadak, dendam kesumat pada diri Edwin seketika membara, juga tekad ingin membunuh mereka berdua langsung mencuat deras. Akhirnya, setelah terdiam beberapa saat, Edwin mengangkat wajah menatap Aditama. "Silahkan jika tuan muda ingin menghukum saya, ingin membunuh saya sekali pun. Saya rela tuan muda! Saya menerimanya karena saya memang jahat kepada keluarga Gandara! Telah berkhianat!!!" seru Edwin tegas penuh penekanan pada kalimatnya. Tidak ada sedikit pun keraguan dalam setiap kata yang diucapkannya. Semua orang kaget mendengar hal itu. Edwin menyerahkan diri untuk dihabisi? Untuk dibunuh? Dia mengakui kesalahannya? Namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena semua keputusan ada di tangan Aditama. Sementara Aditama menatap Edwin dengan lekat. Te
Sesampainya di depan rumah yang ditinggali Arumi perumahan Paradise, Aditama, Letnan dan para tukang pukul bergegas turun dari mobil. Akan tetapi, mendadak Aditama menghentikan langkah ketika hendak berjalan menuju rumah itu kala mendengar bunyi tanda ada panggilan masuk dari ponselnya. Aditama pun mengurungkan niatnya. Begitu pula dengan anak buahnya. Menunggu sang tuan muda. Aditama kembali mengecek ponselnya dan nama sang Ayah terpampang jelas di layar. Seketika ia mengerjap, baru ingat jika ia belum mengabari sang Ayah. Kemudian, ia segera mengusap layar ponsel dan menempelkannya di telinga. "Bagaimana, Tam? Apakah rencanamu berhasil? Kamu tidak kenapa-kenapa, 'kan, Nak?" tanya Laksana Gandara dengan nada cemas sekaligus penasaran begitu panggilan terhubung. Mendengar itu, Aditama pun langsung menceritakan apa yang terjadi di gedung kasino tadi. Setelah Aditama selesai bercerita, terdengar helaan napas lega di sebrang sana. Detik berikutnya, sang Ayah terkekeh puas
Selagi Aditama menyilangkan tangan di depan dada—duduk di jok mobil belakang masih dalam perjalanan menuju perumahan Paradise—memikirkan semua musuhnya yang sebentar lagi akan berhasil ia bereskan, sebuah dering berbunyi berasal dari ponsel miliknya menandakan ada panggilan masuk membuat lamunan pria tampan itu terbuyar. Ia pun kembali mengecek ponselnya dan nama sang istri terpampang jelas di layar ponsel. Melihat hal itu, demi apa pun, Aditama langsung merasa senang bukan main. Namun di sisi lain, ia tidak mau sang istri mengetahui apa yang sebenarnya sedang ia lakukan, mengetahui apa yang terjadi dengan keluarga Gandara! Demikian, ia tidak mau membuat Vania cemas berlebihan—apalagi jika sampai tahu ia, sang ibu dan bayi yang ada di dalam kandungnya itu menjadi target pembunuhan. Akan tetapi, hal itu tidak akan pernah terjadi mengingat rencananya yang sebentar lagi akan selesai. Akhirnya, setelah terdiam sejenak, Aditama mengusap layar ponsel dan segera menempelkannya di