Di depan suaminya dia berkilah dia punya rapat penting dengan investor, namun sebenarnya dia ditelepon Leo. Pemuda itu sebenarnya tidak enak mengajak Shelina sesuai dengan jadwalnya, namun Leo menjelaskan bahwa dia akan ikut ujian masuk uni, yang ditanggapi senang oleh Shelina karena anak itu punya keinginan untuk belajar.
Leo kemudian memberitahu Shelina terkait Roland yang senang mampir ke Panti Asuhan itu. “Saya meretas ponselnya semalam, dan punya akses untuk menyadap saluran ponselnya. Ada perbincangannya dengan Rafi pria yang waktu itu foto sama Anda..” Leo mengangkat bahu.
“Kau punya rekamannya?”
“Ini.” Leo menyodorkan flash disk pada Shelina. “Anda juga bisa melakukannya. Nanti akan saya berikan salinan link agar Anda bisa mendengarnya langsung. Saya tidak bisa ke sini terus, karena saya harap saya diterima di uni yang saya apply dan saya ingin fokus.”
“Benarkah?” tanya Shelina ragu.
“Tentu tidak, dengan uang
semoga kalian suka cerita ini~
“Apakah kau sudah sehat, Shelina?” tanya Abizhar suatu malam. Dipandanginya Shelina yang masih sibuk dengan ponselnya, mengecek pekerjaan bawahannya. “Kalau sudah, bagaimana jika kita punya anak lagi?” Deg. Shelina merasa jantungnya berdebar lebih kencang. Dimatikannya ponselnya. Dia menoleh pada Abizhar yang telentang di sebelahnya. “Anak?” ulang Shelina seakan dia tidak mendengar apa yang dikatakan suaminya barusan. “Ya, anak,” jawab Abizhar memberi kepastian. “Kali ini aku tidak meminta anak laki-laki darimu. Perempuan juga tak apa.” “Kenapa tiba-tiba kau ingin anak?” “Kenapa tidak?” Abizhar balik bertanya. Dia memandang heran istrinya. “Kau tidak punya anak dariku?” Shelina diam saja. “Aku tidak akan memaksa jika kau belum siap.” Bukan Shelina tidak siap. Dia ingin sekali punya anak, mengurus bayi mereka dan membesarkannya, namun bagaimana dengan Abizhar? Jika ada anak, dan anak itu bukan laki-laki, bukankah Abizhar akan tetap bers
Ibu Lila memang kurang ajar, pikir Shelina jengkel. Kini kuingat apa yang terjadi sebelum kecelakaan itu. Saat itu sebenarnya aku sudah tahu rahasia Yuni bahwa dia anak haram Bu Lila dengan.. siapa? Jika anak itu anak suami Bu Lila yang tak lain ayah angkat Abizhar, tidak mungkin Yuni dibuangnya ke Panti. Ya, dibuang, kan? Ketika seorang ibu menaruh bayinya di tempat yang bukan di sisinya, itu sama saja membuang anak, kan? Selama ini Shelina berpikir dia lebih licik daripada ibu mertuanya, namun jika betul Bu Lila yang membuatnya celaka, itu artinya Bu Lila punya hati iblis dan orang seperti itu bisa menghalalkan segala cara untuk menyingkirkan Shelina. Tidak, Shelina tidak mau kalah dari perempuan tua itu. Shelina harus lebih pintar. “Kau tak usah takut padaku, Roland,” kata Shelina meyakinkan temannya. “Berarti kau tahu kan, aku tidak bermaksud menyakiti Yuni. Semua itu ulah ibu mertuaku. Katakan padaku di mana Yuni sekarang, barangkali aku bisa membantunya.”
Jantung Bu Lila berdegup kencang saat dia melihat Shelina duduk di ruang tamu rumahnya. Shelina dengan santai menurunkan majalahnya, dan tersenyum. “Hai, Ibu Mertua,” sapanya dengan senyuman menyebalkan.“Shelina! Mana sopan santunmu pada ibu mertuamu?!” tegur Bu Lila marah. Tentu dia kaget melihat menantunya ada di rumahnya. Seingatnya, tidak pernah Shelina mampir ke rumahnya jika tidak diundang. Menantunya yang sombong itu tidak pernah mengakrabkan dirinya dengan Bu Lila, sehingga kehadirannya di rumah Bu Lila membuatnya kaget sekaligus heran. “Dengan siapa kau kemari? Abizhar?”“Tidak, dia masih di kantor,” jawab Shelina, berdiri dan mendekati Bu Lila. Dihadapinya ibu mertuanya dengan tatapan tajam. “Saya ke sini untuk membangun hubungan baik dengan ibu suami saya. Boleh, kan?”“Kau bukan manusia yang beramah-tamah seperti itu. Kau sama dengan ibumu, yang angkuh dan sok berkelas,” kata Bu
“Nyawanya berada di antara hidup dan mati, Shelina. Tolong maafkan dia. Aku merasa, dia tidak bisa kembali normal seperti dulu, sebab dia belum memperoleh maaf dari kau.” “Aku tidak percaya hal semacam itu, Roland. Dia bisa sembuh jika kita memberikan fasilitas yang lebih baik, bukan karena aku memaafkannya,” jawab Shelina dingin. “Kapan kau berencana untuk memindahkannya? Dia tidak bisa berada di sini terus. Dan jika ketahuan, kau bisa dilaporkan Abizhar atas tuduhan pencurian jenazah, atau lebih tepatnya penculikan.” “Aku tidak melakukan tindak pidana apapun, Shelina. Aku menolong Yuni agar dia bisa selamat.” “Roland, kita sudah lama bersama, aku tidak sebodoh itu. Aku yakin kaulah yang berencana menipu Abizhar untuk membuat Yuni seolah-olah mati.” “Itu benar.” “Kita bisa memikirkan hal itu nanti, tapi sekarang kita harus bawa dia ke tempat yang lebih aman.” “Di mana itu, Shelina?” Dihelanya napas panjang. Tidak pernah kusang
Shelina tidak mau menjelaskan apapun selain memberitahu perihal perselingkuhan Abizhar dengan Yuni. Di ruang pemeriksaan dia mengangkat dagunya tinggi-tinggi, yakin pada dirinya yang tidak salah. “Kalau saya niat mengambil nyawanya, ngapain saya juga yang celaka? Anda bisa tanyakan pada pihak rumah sakit seberapa fatal kecelakaan itu merusak otak saya sampai saya lupa ingatan!” kata Shelina keras. “Anda bilang Anda lupa, bagaimana bisa Anda ingat apakah Anda melakukannya atau tidak?” Polisi balik bertanya. “Ya harusnya dia yang menyingkirkan saya. Yang namanya perebut suami, pasti inginnya istri sahnya yang enyah, kan?” jawab Shelina pantang mengalah. Tiga jam lamanya Shelina ditanya ini-itu di kantor polisi, tanpa pendamping. Abizhar yang diharapkannya menunggunya di sana, boro-boro datang. Shelina dapat membayangkan Abizhar yang dihibur dalam rangkulan ibunya. Menjijikkan! Roland-lah yang datang. Dia memberi pernyataan bahwa dia orang yang cuk
Shelina tidak mengindahkan pertengkaran ayahnya dengan ibu Abizhar. Dia berjalan ke kamarnya, diikuti Abizhar yang membuntutinya. Abizhar memohon-mohon padanya untuk mengubah pikirannya. Pria itu bahkan mengingatkan Shelina bagaimana dia ingin rumah tangga yang normal dengan Shelina. Raut wajah Shelina menunjukkan kekesalannya. Dia tidak senang dengan Abizhar yang mengemis seperti itu. Shelina merasa perutnya melilit dan dia ingin muntah melihat sikap Abizhar yang lemah. Untuk mengalihkan perhatiannya dari Abizhar yang memohon seperti orang kesakitan, Shelina mengawasi Bibi yang mengeluarkan pakaian Abizhar satu per satu dari lemari. Dada Shelina masih terasa sesak, dipenuhi rasa sedih dan amarah. Ya, dia sedih, mengapa nasibnya begitu merana mencintai pria yang tidak ada harganya macam Abizhar. Abizhar tidak berguna dan tidak bisa diharapkan! Bisa-bisanya dia memilih ibu angkatnya daripada istri yang mendampinginya selama ini! Brengsek kau, Abizhar, maki Shelina set
“Jangan telepon aku lagi!” Terdengar suara bentakan Shelina di ponselnya. “Aku dan kau sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi selain rekan kerja. Itu pun juga takkan lama lagi, sebab aku tidak sudi menjadikan kau sebagai kontraktorku lagi! Kau ngerti? Enyahlah dari hidupku, Abizhar!” “Kau masih jadi istriku, Shelina!” jawab Abizhar sama kerasnya. “Aku tidak peduli kau benci aku atau tidak, kau tetap istriku, dan aku wajib untuk memperbaiki rumah tangga kita!” “Istri? Rumah tangga? Cih! Aku tak mau lagi jadi apapun dari hidupmu! Hubungan ktia berakhir! Adios! Bye!” Mengubah Shelina menjadi sosok Shelina yang dulu, yang mencintainya dan siap memberikan apapun untuknya tidaklah hal yang mudah lagi bagi Abizhar, terlebih setelah dia menunjukkan sisi munafiknya sebagai suami. Ya, munafik. Mulutnya bilang ingin punya rumah tangga dengan Shelina, namun kenyataannya dia membiarkan istrinya dijemput polisi walaupun bukti yang dimiliki ibu Abizhar tidak kuat.
“Berhentilah meneleponku lagi, Abizhar!” Didengarnya Shelina membentaknya di speaker ponselnya. “Atau aku betul-betul akan membuat kau menyesal!” Saban hari kerinduan Abizhar semakin besar terhadap Shelina. Dia yang mabuk tidak bisa menahan diri untuk menelepon Shelina, yang dia tahu pasti membuat Shelina marah, tapi tak apa. Abizhar dari dulu egois, selalu memikirkan dirinya sendiri. Mau Shelina marah, dia tidak peduli, asalkan dia bisa mendengar suara wanita itu. Setelah sambungan ditutup, ponsel Abizhar berdering. “Jasad Yuni belum ditemukan juga?” Abizhar menggeram kesal. Dia mendapat kabar dari detektif yang disewanya bahwa belum ada kemajuan dalam proses pencarian jasad Yuni. Orang-orang sekitar makam memercayai bahwa seseorang mencuri tubuh Yuni untuk alasan spiritual. Abizhar tidak percaya dengan hal-hal semacam itu. Entah siapa yang merencanakan hal ini. Dengan dia tidak serumah lagi dengan Shelina, dia tidak bisa memantau aktivitas istrinya
Shelina masuk ke kamarnya, telentang di sebelah Abizhar yang tampak terlelap. Shelina memejamkan kedua matanya bersiap untuk tidur kemudian disadarinya tubuhnya dipeluk dari samping oleh Abizhar.Satu tangan Abizhar meremas dadanya. Shelina mengulum senyum, menikmati sentuhan pria itu, sampai kemudian dia mendengar Abizhar bergumam di sebelahnya, "Aku sangat mencintaimu, Shelina, sampai rasanya tak mungkin lagi kau bisa berdusta padaku. Aku kini mengenalmu dengan jelas."Shelina membuka matanya, menatap Abizhar yang tengah memandangnya. "Maksudmu?""Aku tahu kau pura-pura lupa ingatan. Aku tidak menyalahkanmu, justru aku senang itu artinya aku tak usah berjuang lagi untuk meyakinkanmu, kan?"Sorotan dalam mata Abizhar tidak menunjukkan kesinisan atau cemoohan. Shelina dapat melihat kesenduan di mata suaminya, yang tak urung membuat dada Shelina berdesir hangat.Bukannya gugup karena kebohongannya diketahui suaminya, Shelina malah tersenyum pahit. "Aku melakukannya agar kau tak usah la
Pak Edward merasa berat saat tahu Shelina tidak memiliki memori tentang kejadian setelah pernikahan Shelina dan Abizhar. Dia tentu khawatir dengan kondisi otak Shelina, tapi ada hal lain juga yang merisaukannya. Sebulan terakhir, jabatan Shelina sebagai direktur di perusahaan propertinya dialihkan kepada wakil direktur yang ada. Dengan keadaan Shelina dalam keadaan sakit, dia tidak bisa lagi memaksa anaknya untuk kembali kerja di perusahaan. Diangkatnya wakil direktur itu untuk menggantikan Shelina. Selama itu juga dia memerhatikan Abizhar yang apik mengurus tetek-bengek Shelina yang dirawat di rumah sakit. Abizhar tak pernah meninggalkan Shelina sekali pun. Pak Edward menyadari, pria yang tak ada gunanya macam Abizhar itu telah berubah. Keinginan Pak Edward untuk memisahkan Shelina dari Abizhar semakin pudar. Lima hari setelah sadar, Shelina diperbolehkan untuk pulang dan mengonsumsi obat-obatnya di rumah. Pada waktu tertentu dia harus kontrol ke rumah sakit untuk mengecek keadaan
Abizhar meminta maaf pada Roland karena dia tidak bisa mendatangi proses pemakaman Yuni. Dia harus berada di dekat Shelina selama Shelina di rumah sakit. Roland mengangguk mengerti. Dia juga berkelakar sedikit, "Kali ini, kau bisa yakin Yuni takkan bangkit lagi."Mendengar itu Abizhar tersenyum masam. Mereka berpelukan untuk saling menguatkan. Dua orang yang selalu cekcok itu berada di titik terendah mereka. Sekali lagi Abizhar minta maaf pada Roland dan mengucapkan turut dukanya.Abizhar melirik sekilas pada mobil jenazah. Maafkan aku, Yuni, pikirnya. Entah betapa kali aku harus mengucapkan ini. Aku selalu mendoakanmu agar kau sampai di sisi-Nya.Diperhatikannya sekitar. Tak ada kehadiran Bu Lila di sana. Abizhar pun ragu ibunya itu akan melihat Yuni untuk terakhir kali. Lebih tepatnya, ibunya tidak akan memunculkan dirinya ke publik, sebab Abizhar tahu kali ini Pak Edward tidak akan main-main untuk memberi perhitungan pada Bu Lila.Berbeda dengan Abizhar yang pasrah-pasrah saja di r
Pak Edward yang baru tiba di Jakarta dari urusan pekerjaannya di luar kota, langsung ke rumah sakit ketika dia ditelepon Abizhar. Dari suara Abizhar yang gemetar menjelaskan apa yang terjadi, Pak Edward tahu ada hal yang sangat buruk menimpa anaknya.Selama ini dia tahu Abizhar tidak pernah peduli pada Shelina. Saat dulu Abizhar memberitahunya Shelina mengalami kecelakaan, Abizhar tidak terdengar sekhawatir sekarang. Pak Edward meminta sopirnya mengantarkannya secepat mungkin.Di rumah sakit, Abizhar tidak merasa tenang. Jika sesuatu terjadi pada Shelina, dia akan ikut melukai dirinya sendiri. Bu Lila sama sekali tidak bersalah saat melihat Shelina pingsan. Dia malah tertawa terbahak-bahak seperti orang gila. "Ya katakan saja pada Edward bahwa anaknya yang jahanam ini baru saja celaka karena Mama, Abizhar!"Abizhar tidak menggubris ocehan ibunya. Dia berteriak minta tolong pada petugas medis, sementara Roland membentak Bu Lila dengan nada penuh peringatan. "Anda memang bukan manusia.
Shelina cuti seharian. Dia menelepon Leo untuk membantu wakil direkturnya dan beberapa Kepala Divisi untuk melaksanakan pekerjaan mereka. Untuk dokumen yang hanya bisa Shelina tandatangani, ditaruh saja di meja kerjanya, dan bila hal itu mendesak Leo-lah yang membawa dokumen itu ke rumah.Rumah lama Shelina dan Abizhar.Semalaman Abizhar menata barang-barang Shelina di dalam koper, sementara Shelina tidur di atas tempat tidur. Pada dini hari setelah Abizhar selesai mengemas, dia tak melewati batas dengan tidur satu ranjang dengan Shelina. Saat Shelina bangun pada pagi harinya, dia melihat Abizhar tidur di sofa dekat ranjangnya.Semoga kita selalu damai seperti ini, pinta Shelina dalam hati. Dia dan Abizhar kembali ke hidup mereka semula. Di rumah yang telah menyaksikan berbagai kenangan bagi mereka. Kali ini, Abizhar tidak mau menghancurkan rumah tangganya dengan tidak memperhatikan Shelina. Sama dengan Abizhar, Shelina pun mencoba untuk mendengar Abizhar dan tidak meninggikan suarany
Abizhar tampak tak senang saat dia melihat Shelina berjalan dengan pria yang tidak dikenalnya. Selama ini yang suka membuntuti Shelina adalah Roland, dan kini pria muda dan ganteng dekat-dekat dengan Shelina, membuat Abizhar menahan kekesalannya.Dia sudah lama menunggu di kedai kopi yang ada di lantai dasar gedung kantor Shelina. Dia menunggu sampai Shelina bekerja. Seharian itu, Abizhar tidak ke kantor dan menghabiskan waktunya dengan laptop-nya untuk membuat CV dan mencari pekerjaan di situs pencari kerja."Sayang!" teriak Abizhar mengangkat satu tangannya.Muka Shelina memerah saat Abizhar memanggil-manggilnya. Orang-orang di lobi berhenti untuk memandang Abizhar, kemudian mereka melanjutkan langkah mereka dengan senyum di wajah mereka.Shelina mengingatkan Leo untuk datang lebih pagi besok, karena ada dokumen tender yang perlu disubmit sebelum jam delapan. Seharusnya sih Leo yang mengingat sendiri, tapi karena dia masih baru, Shelina-lah yang ikut melakukannya.Shelina menghampir
"Papa tidak setuju kau harus keluar dari perusahaan." Suara Pak Ariadi terdengar bengis. Dia menatap anaknya disertai sorotan kecewa. "Banyak proyek yang sedang ditangani perusahaan, dan kau ingin lari? Enak saja! Papa tidak membesarkanmu untuk jadi pengecut, Abizhar!"Dari rumah Shelina, Abizhar menyempatkan untuk pulang dan menyampaikan keinginannya untuk resign pada ayahnya. Dikatakannya pula dia mau hidup tanpa bergantung kepada orang lain terutama ayahnya. Sontak Pak Ariadi murka mendengar itu.Dia sudah menjadikan Abizhar sebagai anaknya, sebagai penerus usahanya. Dididiknya anaknya itu sedemikian rupa sampai dia layak menjadi pemimpin. Sekarang, Abizhar ingin pergi? Apa alasannya?"Saya ingin Shelina percaya pada saya bahwa bukan saham dan jabatan yang saya inginkan."Bodoh, maki Pak Ariadi. Bapak tua itu mendengus jengkel. "Kau sekarang menghendaki pernikahan yang telah kau hancurkan itu?" Pak Ariadi mendecak. "Papa sudah tahu semuanya, Abizhar. Meskipun Shelina mengaku dia te
Jika Abizhar terus mengikuti emosinya untuk memarahi Shelina, dia akan tersiksa lagi dengan perasaan rindu yang tak bisa dilampiaskannya. Shelina akan jauh dari jangkauannya, membuat kepala Abizhar sakit setiap memikirkan perempuan itu. Abizhar tidak mau lagi menyakiti Shelina. Bukan untuk perempuan itu.Tapi untuknya.Semakin dia melihat kesenduan di mata Shelina, hatinya ikut terkoyak. Apakah ini cinta yang sesungguhnya, pikir Abizhar masih menatap Shelina. Aku tidak pernah merasakan ini saat aku bersama Yuni. Ya, aku peduli pada Yuni, tapi aku tidak pernah benar-benar tahu apa yang dirasakan Yuni, sementara dengan Shelina..Mengapa aku ikut sakit ketika dia sakit?Abizhar mengganti taktiknya. Dia menarik napas panjang, kemudian mengangguk. Ekspresi wajahnya pun berubah melas. "Tentu aku ingin kau kembali. Aku pun tidak lebih baik darimu, Shelin," katanya, mengulas senyum tipis. "Aku lebih brengsek dari kau. Kau hanya selingkuh dengan satu orang, kan? Ah, aku lebih dari satu, kira-k
Roland tahu seseorang mengintainya di parkiran yang sepi itu. Siapa lagi jika bukan suami Shelina. Abizhar mencegatnya sebelum dia membuka pintu mobilnya. "Apa yang terjadi pada Shelina?""Anda bukan orang yang memperkerjakan saya," kata Roland acuh tak acuh."Kau teman Shelina dan kau tahu aku pria yang dicintai temanmu," sahut Abizhar mengingatkan dengan tajam. "Lebih dari itu. Aku suami Shelina dan aku berhak tahu apa yang terjadi padanya!""Apakah Anda punya kaca? Semua hal buruk tidak akan terjadi jika Anda setia pada Shelina!" jawab Roland membentak. "Anda sama sekali tidak bersalah, hah? Bagaimana bisa manusia seperti Anda hidup seperti ini? Saya rasa, sebenarnya Anda anak kandung Bu Lila. Kalian berdua sama-sama tidak punya rasa bersalah!""Apa maksudmu!" tanggap Abizhar berang. Dia menenangkan dirinya, mencoba bersikap lunak pada Roland karena bagaimana pun dia membutuhkan Roland untuk memberitahunya tentang istrinya. Ditariknya napas panjang-panjang. "Roland, just tell me. D