“….Shelina istri Abi, kalau Mama ingin melakukan sesuatu dengannya, Mama diskusikan dulu dengan Abizhar!”
Percuma kan kau memarahi ibumu, pikir Shelina duduk di atas kloset kamar mandi. Dia lebih berkuasa darimu. Bahkan, kupikir, dia hanya mengangkat Abizhar agar tidak kena cemoohan orang-orang sebab dia dan suaminya tidak bisa punya anak. Ada kan, beberapa orang yang berpikir, bahwa tidak punya anak adalah aib?
Ibu Abizhar sudah lama menjadi donatur yayasan itu. Namanya harum dengan jiwa dermawannya. Jika mengenal dari jauh, tampaknya ibu Abizhar begitu baik, namun setelah kenal dekat, Shelina memahami seperti apa ibu Abizhar itu. Sama saja seperti Yuni. Wajahnya yang manis tidak menunjukkan keluhurannya!
Dia hanya perlu imej yang baik, pikir Shelina. Sebagai orang yang “menjaga citra”, aku tahu sekali orang seperti apa dia. Memaksaku untuk terlibat dengan yayasan juga pasti ada maksudnya. Untuk menambah pamornya, mungkin? Menunjukkan kedekatannya
semoga kalian suka cerita ini
“Hari ini teman-temanmu datang?” tanya Abizhar selesai mandi. Hari itu dia mau pergi golf di Sentul. “Kalau begitu sampaikan salamku pada mereka. Sekali pun aku tahu mereka tidak suka padaku. Kuharap kau ingat, bagaimana kau hobi sekali menjelekkan namaku di hadapan keluargamu dan kawan-kawanmu.” Shelina memeluk Abizhar dari belakang. “Katanya, mau punya keluarga denganku. Mari kita saling memaafkan dulu. Kalau kau setia aku juga takkan menjatuhkan namamu.” “Jadi kau ingat?” “Ya, tentu, pasti sudah dari dulu aku melakukannya,” jawab Shelina lirih. “Sudah, kau pergi sana. Aku mau mandi.” Pada akhir pekan Shelina mengajak teman-teman sosialitanya untuk makan di rumahnya. Dia menjamu mereka dengan makanan yang dibuat chef terbaik se-Jakarta. Tujuannya bertemu lagi dengan teman-temannya untuk melepas penatnya dari dunia kerja sekaligus mencoba mengais ingatannya yang dulu. Tidak banyak informasi yang dia dapatkan. Teman-temannya ini sesuai dengan
Abizhar menemukan istrinya tengah melamun di halaman belakang. Istrinya duduk di bangku yang berada di tengah taman rumah mereka. Jarang sekali Abizhar melihat Shelina termenung seperti itu. Dari kejauhan, Abizhar memerhatikannya untuk setengah jam lamanya. Dia cantik sekali jika diam, pikirnya malu. Ya, malu, karena dia sulit memuji istrinya terang-terangan. Andai saja sifat Yuni ada dalam dirinya, pasti akan mudah bagiku melupakan Yuni. Ah, Yuni. Kenapa aku selalu memikirkan dirimu? Tanpa disadari Shelina, tahu-tahu suaminya sudah duduk di sampingnya. Dia sontak kaget. Kapan Abizhar pulang? “Aku sudah beritahu Mama untuk stop menghubungimu dan membahas yayasan. Aku tidak mau memaksamu melakukan hal yang tidak kau inginkan,” kata Abizhar parau. “Trims,” sahut Shelina sekenanya. “Ibuku memang berharap kau bisa di sana. Kau tahu, sebelum aku diangkat oleh Mama Lila, Mama sudah sering mengunjungi panti asuhan itu. Pemilik panti asuha
Mata Shelina membesar saat Roland memberitahunya Pak Edward akan datang hari itu. Tidak dijelaskan secara detail jam berapa. Hanya akan datang, tok. Membuat Shelina sedikit panik sebab dia tahu kedatangan ayahnya berkaitan dengan kinerjanya. Ayahnya bukan tipe ayah yang beramah-tamah dengannya. Seharusnya Shelina tak perlu khawatir. Perusahaannya masih baik-baik saja, tapi tetap saja, jika ada kesalahan kecil yang ayahnya ketahui, habislah Shelina nanti dimarahi. Jauh dari dugaannya, Pak Edward datang dengan tiga anak buahnya membawakan banyak bunga ke ruang kerja Shelina. Di sana terdapat ucapan selamat kepada Shelina yang telah sehat dan kembali bekerja. Terlalu lama kan, pikir Shelina pahit. Aku sudah keluar rumah sakit beberapa bulan yang lalu dan Papa baru menyempatkan waktu untuk bertemu sekarang? Bukan main. Semua anak buahnya dan Roland keluar meninggalkan ruang kerja Shelina. Kini hanya ada Shelina dan ayahnya. “Papa bangga sekali padamu, She
“Tanah itu, bahkan selama ibumu hidup, sudah bermasalah. Gara-gara ibu mertuamu itu. Begini saja, Papa akan coba bantu bicara pada investormu. Kalau gagal, ya kau sendiri yang mengusahakan. Bagaimana?” “Fine.” “Ada lagi yang kau inginkan?” Kedua mata Shelina menyipit. “Kenapa Papa baik hati begini?” Ayahnya tersenyum lebar. “Kau sudah bekerja keras untuk meningkatkan profit perusahaan ini. Itu saja,” jawabnya sengaja membuat anaknya semakin marah. “Terkadang aku tidak percaya bahwa Papa adalah papa kandungku. Aku bahkan belum memiliki ingatanku secara penuh. Aku juga harus kehilangan bayiku,” desis Shelina jengkel. “Dan kalau aku tidak melakukan apa-apa yang berkaitan dengan bisnis, Papa tidak akan menemuiku.” Tak lupa Shelina berdecak-decak. “Shelina, kau kan tahu Papa bukan orang yang seperti itu. Papa tidak suka berpura-pura menabahkanmu di saat Papa kecewa padamu. Ya, Shelina. Papa kecewa. Bagaimana bisa kau…” Ayahnya meng
Mobil Shelina berhenti agak jauh dari tempat Roland. Shelina tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Roland masuk ke Panti Asuhan Jalin Kasih. Panti Asuhan Jalin Kasih! Rupanya Leo benar. Roland memang ke sana. Untuk apa? Dahi Shelina mengernyit. Dari mobilnya dia bisa melihat Roland disambut oleh anak-anak panti. Dia tampaknya sudah biasa di lingkungan panti, pikir Shelina bingung. Salah satu pengurus panti yang pernah ditemui Shelina pun ikut menyapa Roland. Apa hubungan Roland dengan panti itu? Shelina ingin turun, mencari tahu apa yang Roland sembunyikan, namun dia menggeleng dan menepiskan ide itu. Aku alergi dengan panti itu. Bukan, bukan aku tidak punya rasa kemanusiaan sehingga aku tidak suka dengan anak yatim-piatu. Aku lebih kesal sebab karena panti asuhan inilah Abizhar jadi membenciku. Abizhar dan keluarganya mendewa-dewakan panti asuhan ini sehingga membuat orang lain yang tidak suka panti asuhan ini seakan orang yang buruk. Akulah oran
“Apa kau tahu sesuatu soal itu?” Mata Shelina membesar. Dia sangat tersinggung dengan kecurigaan itu. “Kau pikir aku mengambil jasadnya, begitu? Buat apa!” bentaknya marah. “Melihat mukanya yang masih hidup saja aku jijik, apalagi sudah jadi mayat! Nggak sudi lah ya aku!” “Ya aku kan hanya bertanya. Kau tidak usah bicara seperti itu tentangnya,” sahut Abizhar mengingatkan. “Aku lagi minta orang untuk mencari tahu soal ini. Aku tidak serta-merta percaya soal ilmu hitam atau hal-hal di luar nalar semacam itu, jadi aku yakin, ada alasan lain mengapa Yuni tidak ada di tempat peristirahatannya.” Shelina memperhatikan Abizhar yang terus-terusan terlihat bingung. Dia tahu Abizhar tidak berpura-pura. “Kau pasti sangat mencintainya sampai mengkhawatirkannya seperti ini,” kata Shelina lirih. Rasa sakit di hatinya tak urung mampir ke sana, menimbulkan perasaan sedih. Bagaimana rasanya dicintai itu, pikir Shelina murung. Aku tidak pernah bertemu orang yang mengak
“Bagaimana bisa kau berakhir seperti ini, Sayang?” Seorang perempuan dibalut selendang yang menutupi wajahnya menangis sesungukan di dekat Yuni. Digenggamnya tangan Yuni yang tak kunjung bergerak. “Bagaimana bisa istri Abizhar sejahat ini padamu? Mama janji, ketika kau sadar, kita akan membalas perbuatan Shelina padamu! Kau dengar Mama, kan? Ya, kita akan buat Shelina menyesal telah membuatmu ca..” Air mata perempuan itu mengalir deras. “Cacat seperti ini, Sayang.” Perempuan itu teringat pada kejadian di masa lalu, di mana dia menaruh Yuni yang masih bayi di teras Panti Asuhan Jalin Kasih. Ditaruhnya secarik kertas berisikan nama dan tempat, tanggal lahir Yuni di sana. Sebelum meninggalkan Yuni yang masih berusia satu minggu, perempuan itu berbisik padanya bahwa arti namanya adalah kebaikan. Perempuan itu berharap, Yuni akan menjalankan hidupnya dengan penuh kebaikan meski ibu yang melahirkannya tidak bisa membesarkannya. Dengan perasaan bersalah, perempuan it
“Kenapa Yuni memangnya? Ada sesuatu yang terjadi hingga kau tidak bisa tidur begini?” Kemarahan Shelina setiap Abizhar mengangkat topik soal Yuni tak bisa lepas dari pikiran Abizhar. Dia mau tak mau merasa menyesal telah membuat istrinya kesal melulu. Keringat tak berhenti membasahi kedua tangan Abizhar. Dia merasa gugup hari itu. Hatinya juga tak tenang. Dia masih memikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada jasad Yuni. Perasaan bersalah terus-terusan menghantuinya. Kecurigaan pada istrinya pun datang. Bukan tidak mungkin Shelina yang begitu membenci Yuni bisa melakukan hal-hal di luar nalar. Tapi untuk apa? Apa tujuan seseorang mengambil mayat? Argh! Dan tampaknya, Shelina juga tidak tahu-menahu soal itu. Ah, apa yang kuketahui soal Shelina, pikir Abizhar. Aku tidak tahu apakah dia berbohong atau tidak. Abizhar kembali berkonsentrasi untuk bekerja. Untung saja hari itu jadwalnya cukup padat sehingga dia tidak terlalu pusing soa
Shelina masuk ke kamarnya, telentang di sebelah Abizhar yang tampak terlelap. Shelina memejamkan kedua matanya bersiap untuk tidur kemudian disadarinya tubuhnya dipeluk dari samping oleh Abizhar.Satu tangan Abizhar meremas dadanya. Shelina mengulum senyum, menikmati sentuhan pria itu, sampai kemudian dia mendengar Abizhar bergumam di sebelahnya, "Aku sangat mencintaimu, Shelina, sampai rasanya tak mungkin lagi kau bisa berdusta padaku. Aku kini mengenalmu dengan jelas."Shelina membuka matanya, menatap Abizhar yang tengah memandangnya. "Maksudmu?""Aku tahu kau pura-pura lupa ingatan. Aku tidak menyalahkanmu, justru aku senang itu artinya aku tak usah berjuang lagi untuk meyakinkanmu, kan?"Sorotan dalam mata Abizhar tidak menunjukkan kesinisan atau cemoohan. Shelina dapat melihat kesenduan di mata suaminya, yang tak urung membuat dada Shelina berdesir hangat.Bukannya gugup karena kebohongannya diketahui suaminya, Shelina malah tersenyum pahit. "Aku melakukannya agar kau tak usah la
Pak Edward merasa berat saat tahu Shelina tidak memiliki memori tentang kejadian setelah pernikahan Shelina dan Abizhar. Dia tentu khawatir dengan kondisi otak Shelina, tapi ada hal lain juga yang merisaukannya. Sebulan terakhir, jabatan Shelina sebagai direktur di perusahaan propertinya dialihkan kepada wakil direktur yang ada. Dengan keadaan Shelina dalam keadaan sakit, dia tidak bisa lagi memaksa anaknya untuk kembali kerja di perusahaan. Diangkatnya wakil direktur itu untuk menggantikan Shelina. Selama itu juga dia memerhatikan Abizhar yang apik mengurus tetek-bengek Shelina yang dirawat di rumah sakit. Abizhar tak pernah meninggalkan Shelina sekali pun. Pak Edward menyadari, pria yang tak ada gunanya macam Abizhar itu telah berubah. Keinginan Pak Edward untuk memisahkan Shelina dari Abizhar semakin pudar. Lima hari setelah sadar, Shelina diperbolehkan untuk pulang dan mengonsumsi obat-obatnya di rumah. Pada waktu tertentu dia harus kontrol ke rumah sakit untuk mengecek keadaan
Abizhar meminta maaf pada Roland karena dia tidak bisa mendatangi proses pemakaman Yuni. Dia harus berada di dekat Shelina selama Shelina di rumah sakit. Roland mengangguk mengerti. Dia juga berkelakar sedikit, "Kali ini, kau bisa yakin Yuni takkan bangkit lagi."Mendengar itu Abizhar tersenyum masam. Mereka berpelukan untuk saling menguatkan. Dua orang yang selalu cekcok itu berada di titik terendah mereka. Sekali lagi Abizhar minta maaf pada Roland dan mengucapkan turut dukanya.Abizhar melirik sekilas pada mobil jenazah. Maafkan aku, Yuni, pikirnya. Entah betapa kali aku harus mengucapkan ini. Aku selalu mendoakanmu agar kau sampai di sisi-Nya.Diperhatikannya sekitar. Tak ada kehadiran Bu Lila di sana. Abizhar pun ragu ibunya itu akan melihat Yuni untuk terakhir kali. Lebih tepatnya, ibunya tidak akan memunculkan dirinya ke publik, sebab Abizhar tahu kali ini Pak Edward tidak akan main-main untuk memberi perhitungan pada Bu Lila.Berbeda dengan Abizhar yang pasrah-pasrah saja di r
Pak Edward yang baru tiba di Jakarta dari urusan pekerjaannya di luar kota, langsung ke rumah sakit ketika dia ditelepon Abizhar. Dari suara Abizhar yang gemetar menjelaskan apa yang terjadi, Pak Edward tahu ada hal yang sangat buruk menimpa anaknya.Selama ini dia tahu Abizhar tidak pernah peduli pada Shelina. Saat dulu Abizhar memberitahunya Shelina mengalami kecelakaan, Abizhar tidak terdengar sekhawatir sekarang. Pak Edward meminta sopirnya mengantarkannya secepat mungkin.Di rumah sakit, Abizhar tidak merasa tenang. Jika sesuatu terjadi pada Shelina, dia akan ikut melukai dirinya sendiri. Bu Lila sama sekali tidak bersalah saat melihat Shelina pingsan. Dia malah tertawa terbahak-bahak seperti orang gila. "Ya katakan saja pada Edward bahwa anaknya yang jahanam ini baru saja celaka karena Mama, Abizhar!"Abizhar tidak menggubris ocehan ibunya. Dia berteriak minta tolong pada petugas medis, sementara Roland membentak Bu Lila dengan nada penuh peringatan. "Anda memang bukan manusia.
Shelina cuti seharian. Dia menelepon Leo untuk membantu wakil direkturnya dan beberapa Kepala Divisi untuk melaksanakan pekerjaan mereka. Untuk dokumen yang hanya bisa Shelina tandatangani, ditaruh saja di meja kerjanya, dan bila hal itu mendesak Leo-lah yang membawa dokumen itu ke rumah.Rumah lama Shelina dan Abizhar.Semalaman Abizhar menata barang-barang Shelina di dalam koper, sementara Shelina tidur di atas tempat tidur. Pada dini hari setelah Abizhar selesai mengemas, dia tak melewati batas dengan tidur satu ranjang dengan Shelina. Saat Shelina bangun pada pagi harinya, dia melihat Abizhar tidur di sofa dekat ranjangnya.Semoga kita selalu damai seperti ini, pinta Shelina dalam hati. Dia dan Abizhar kembali ke hidup mereka semula. Di rumah yang telah menyaksikan berbagai kenangan bagi mereka. Kali ini, Abizhar tidak mau menghancurkan rumah tangganya dengan tidak memperhatikan Shelina. Sama dengan Abizhar, Shelina pun mencoba untuk mendengar Abizhar dan tidak meninggikan suarany
Abizhar tampak tak senang saat dia melihat Shelina berjalan dengan pria yang tidak dikenalnya. Selama ini yang suka membuntuti Shelina adalah Roland, dan kini pria muda dan ganteng dekat-dekat dengan Shelina, membuat Abizhar menahan kekesalannya.Dia sudah lama menunggu di kedai kopi yang ada di lantai dasar gedung kantor Shelina. Dia menunggu sampai Shelina bekerja. Seharian itu, Abizhar tidak ke kantor dan menghabiskan waktunya dengan laptop-nya untuk membuat CV dan mencari pekerjaan di situs pencari kerja."Sayang!" teriak Abizhar mengangkat satu tangannya.Muka Shelina memerah saat Abizhar memanggil-manggilnya. Orang-orang di lobi berhenti untuk memandang Abizhar, kemudian mereka melanjutkan langkah mereka dengan senyum di wajah mereka.Shelina mengingatkan Leo untuk datang lebih pagi besok, karena ada dokumen tender yang perlu disubmit sebelum jam delapan. Seharusnya sih Leo yang mengingat sendiri, tapi karena dia masih baru, Shelina-lah yang ikut melakukannya.Shelina menghampir
"Papa tidak setuju kau harus keluar dari perusahaan." Suara Pak Ariadi terdengar bengis. Dia menatap anaknya disertai sorotan kecewa. "Banyak proyek yang sedang ditangani perusahaan, dan kau ingin lari? Enak saja! Papa tidak membesarkanmu untuk jadi pengecut, Abizhar!"Dari rumah Shelina, Abizhar menyempatkan untuk pulang dan menyampaikan keinginannya untuk resign pada ayahnya. Dikatakannya pula dia mau hidup tanpa bergantung kepada orang lain terutama ayahnya. Sontak Pak Ariadi murka mendengar itu.Dia sudah menjadikan Abizhar sebagai anaknya, sebagai penerus usahanya. Dididiknya anaknya itu sedemikian rupa sampai dia layak menjadi pemimpin. Sekarang, Abizhar ingin pergi? Apa alasannya?"Saya ingin Shelina percaya pada saya bahwa bukan saham dan jabatan yang saya inginkan."Bodoh, maki Pak Ariadi. Bapak tua itu mendengus jengkel. "Kau sekarang menghendaki pernikahan yang telah kau hancurkan itu?" Pak Ariadi mendecak. "Papa sudah tahu semuanya, Abizhar. Meskipun Shelina mengaku dia te
Jika Abizhar terus mengikuti emosinya untuk memarahi Shelina, dia akan tersiksa lagi dengan perasaan rindu yang tak bisa dilampiaskannya. Shelina akan jauh dari jangkauannya, membuat kepala Abizhar sakit setiap memikirkan perempuan itu. Abizhar tidak mau lagi menyakiti Shelina. Bukan untuk perempuan itu.Tapi untuknya.Semakin dia melihat kesenduan di mata Shelina, hatinya ikut terkoyak. Apakah ini cinta yang sesungguhnya, pikir Abizhar masih menatap Shelina. Aku tidak pernah merasakan ini saat aku bersama Yuni. Ya, aku peduli pada Yuni, tapi aku tidak pernah benar-benar tahu apa yang dirasakan Yuni, sementara dengan Shelina..Mengapa aku ikut sakit ketika dia sakit?Abizhar mengganti taktiknya. Dia menarik napas panjang, kemudian mengangguk. Ekspresi wajahnya pun berubah melas. "Tentu aku ingin kau kembali. Aku pun tidak lebih baik darimu, Shelin," katanya, mengulas senyum tipis. "Aku lebih brengsek dari kau. Kau hanya selingkuh dengan satu orang, kan? Ah, aku lebih dari satu, kira-k
Roland tahu seseorang mengintainya di parkiran yang sepi itu. Siapa lagi jika bukan suami Shelina. Abizhar mencegatnya sebelum dia membuka pintu mobilnya. "Apa yang terjadi pada Shelina?""Anda bukan orang yang memperkerjakan saya," kata Roland acuh tak acuh."Kau teman Shelina dan kau tahu aku pria yang dicintai temanmu," sahut Abizhar mengingatkan dengan tajam. "Lebih dari itu. Aku suami Shelina dan aku berhak tahu apa yang terjadi padanya!""Apakah Anda punya kaca? Semua hal buruk tidak akan terjadi jika Anda setia pada Shelina!" jawab Roland membentak. "Anda sama sekali tidak bersalah, hah? Bagaimana bisa manusia seperti Anda hidup seperti ini? Saya rasa, sebenarnya Anda anak kandung Bu Lila. Kalian berdua sama-sama tidak punya rasa bersalah!""Apa maksudmu!" tanggap Abizhar berang. Dia menenangkan dirinya, mencoba bersikap lunak pada Roland karena bagaimana pun dia membutuhkan Roland untuk memberitahunya tentang istrinya. Ditariknya napas panjang-panjang. "Roland, just tell me. D