Setelah seharian berkeliling kota Postdam, aku dan Drey kembali ke Berlin. Aku masih bisa menyempatkan diri untuk food tour, berburu makanan di salah satu pusat kuliner Berlin. Kita mengunjungi ke sebuah tempat yang bernama Market Hall 9 atau Market Hall sembilan.
Tempat ini rame banget, dan di Market Hall 9 ada berbagai makanan dari beberapa negara. Paket komplit, deh. Aku juga sempat mencoba makanan lokal. Ini baru makanan pembukaan karena penutupnya aku mencoba makanan khas Turki yang banyak sekali.
Ya, aku memesan banyak makanan khas Turki. Drey sampai geleng-geleng kepala ketika aku mencoba makanan tersebut, dia sempat melarangku untuk makan lagi karena perutku sudah pasti terisi banyak. Tapi aku ngotot mencoba banyak makanan khas negara lain selain Turki, makan sampai kenyang deh pokoknya!
“Stop! Kamu jangan makan lagi!” perintah Drey melototkan mata ke arahku dan menarik piring.
Aku yang hendak me
Aku dan Drey memutuskan untuk pulang cepat dan hari ini kami benar-benar akan kembali ke Indonesia karena Mama Katerina memintaku agar jangan terlalu lama bulan madu.Suasana Bandara Udara Internasional terletak di Tegel selalu ramai. Ada yang pulang tanpa ditunggu, ada yang keluar dari pintu sudah siap diberi pelukan oleh orang-orang yang disayang. Ada juga yang masuk pintu keberangkatan dengan isak tangis orang-orang yang tidak mau ditinggalkan, begitu juga ada banyak turis kembali ke negaranya setelah liburan di Jerman.Sama sepertiku dengan Drey, kita akan kembali ke Indonesia. Dengan berat hati aku meninggalkan kota Berlin, padahal aku ingin berlama-lama di Berlin—mengunjungi tempat wisata dan masih banyak yang ingin aku datangi.Jujur, sedikit kecewa.Aku akan mengucapkan selamat tinggal untuk kota Berlin, kota yang sudah menjadi saksi bisu bulan madu kita. Pemberitahuan dari pihak Bandar
“Memang sudah seharusnya aku menghadapi rasa takut, Drey. Aku tidak ingin menghindari naik pesawat. Coba kamu bayangkan, kalau kita punya anak dan anak-anak ingin pergi liburan, tapi aku mempunyai phobia pesawat pasti anak-anak kita sedih.”Aku menunduk kepala. Mataku sudah menerawang ke masa depan bersama Drey dan anak-anak, membayangkan jika anak-anakku ingin liburan tapi aku tidak bisa ikut.Aku mengangkat kepalaku, memandang Drey yang sedang tersenyum tidak jelas.“Kenapa kamu malah tersenyum?”Drey Tak menjawab pertanyaanku, dia hanya mengulumkan senyuman gajenya. Aku sadar dengan ucapanku, bibirku menutup sempurna. Apa Drey tidak menanggapi saat aku membahas anak? Apa Drey tidak ingin mempunyai anak dari rahimku?Sudahlah lupakan. Aku berusaha untuk berdiri dan ingin kembali ke kursi pesawat. Drey juga bangun dari jongkoknya, dia membantuku berdiri. Padahal aku bisa berdiri tanpa bantuan
“Drey ....” panggilku dengan bibir bergetar dan tubuhku gemeteran. Aku takut sekali.****Aku dan Drey berlarian di koridor rumah sakit tepat setelah mendarat dari Berlin. Aku berlari sambil menangis seperti orang gila, berlari di koridor rumah sakit. Ketika baru saja keluar dari lift, aku melihat dua seorang wanita yang berdiri di depan sebuah ruangan, sengaja menunggu kita—maksudnya menunggu aku dan Drey.“Ma! Papa gimana?!” tanyaku tidak sabar menunggu jawaban.Aku menubruk tubuh Mamaku. Aku bahkan menarik pakaian Mama dan membuat tubuh Mama Katerina sedikit terguncang kecil.“Tenang, tenang, Auryn. Papa di dalam masuk aja, yuk,” ucap Mama Katerina tertawa kecil melihat kekhawatiranku terhadap Papa.Ya. Tadi saat di Bandara Mama memberitahuku bahwa papa masuk ke rumah sakit. Tentunya aku langsung mendapat serangan panik dan kekhawatiran yang cukup melanda. Mama juga tahu, dari du
“Ya, aku hanya ingin mengetahui.”“Tentu saja aku mencintaimu.”Anna menarik sudut bibir penuh kemenangan. Seharusnya Anna tahu berargumen dengan Drey bukanlah yang tepat karena sesungguhnya lelaki itu menjaga jarak.Sekarang mereka sedang di rumah sakit, tentunya mereka tidak seharusnya membicarakan masalah pribadi di sana. Takut Auryn tiba-tiba keluar dari ruangan mendengar obrolan mereka.Bunyi pintu terbuka membuat Drey dan Anna menghentikan obrolan mereka. Anna memutar kepalanya ketika mamanya baru keluar ruangan dan menghampiri mereka tanpa ada rasa curiga.Drey langsung berdiri di hadapan Mama Katerina. “Keadaan papa gimana, Ma?” tanya Drey mengkhawatirkan papa Auryn. “Apa baik-baik saja?”Katerina mengangguk. “Ya, dia baik-baik saja. Hanya butuh istirahat,” jawabnya. “Kamu mau masuk? Masuk saja temui Papa. Kalian sudah lama tidak bertemu.”Ya. Se
Agak menyesal memang dan kecewa karena hanya beberapa hari saja berkeliling kota Berlin. Tapi ya, semua hal yang dilalui aku bersama Drey menjadi kenangan tersendiri.Andai aku tidak pulang ke Jakarta dengan cepat, pasti banyak tempat wisata yang aku kunjungi.Akhirnya aku kembali menginjakkan kaki di kampus, suasana kampus masih sama seperti terakhir kali aku ingat. Tentu saja, apa yang bisa berubah hanya dalam waktu satu minggu?Baru pertama kali masuk ke kelas, aku disambut dengan ocehan sahabatku yaitu Jessica dan Viola. Astaga! Mereka berdua sudah siap mengadahkan tangannya.Bibir Viola maju beberapa sentimeter dan matanya memincing sebal kepadaku. “Sumpah, Ryn. Lo sebenarnya sahabat gue bukan? Masa nggak beliin gue oleh-oleh dari Berlin.”“Jadi bener dari Berlin? Mana oleh-oleh buat gue,” tadah Jessica kepadaku.“Oleh-oleh?” Viola tertawa hambar. “Gue aja yang ngom
[Author POV]Auryn merasa tidak tenang. Dia sudah berkali-kali menghubungi Drey tapi tidak diangkat, entah sudah keberapa kali Auryn menelfonnya. Masalahnya Drey tidak bisa dihubungi. Bahkan dia mondar-mandir di depan ruang tv lalu ngirim pesan.Bertanya apa yang telah terjadi hingga tidak bisa dihubungi?Awalnya Auryn berpikir positif, lama kelamaan berpikir yang tidak-tidak.Sementara di tempat lain, Drey dengan Anna tengah berciuman mesra di apartemen Anna. Tentu mereka tidak memakai busana. Drey dengan panasnya memainkan lidahnya di mulut Anna tanpa memperdulikan Anna yang sudah kehabisan napasnya.“Drey?” kata Anna lirih ketika melepaskan tautan bibir mereka. “Ponselmu berbunyi,” lanjut Anna, menunjuk ponsel milik Drey yang menyala di atas nakas dan berdering kecil.Ya. Anna sejak tadi merasa terganggu melihat ponsel Drey berkali-kali menyala.
[Auryn POV]Aku tertidur di meja belajar, kedua tanganku digunakan menjadi bantal. Sebelumnya aku menunggu Drey sambil membaca novel, malah ketiduran.Kantukku telah sirna saat aku sadar ada seorang masuk ke dalam kamar. Aku langsung mengucek-ucek mataku, menyipitkan mata melihat jam dinding menunjukkan pukul satu. Aku segara dan berdiri, meraih tas Drey.“Kamu baru pulang?” tanyaku.Ngomong-ngomong mataku terasa sulit untuk melebar, mungkin karena tadi aku menangis.“Hm,” gumam Drey sebagai jawaban.“Sudah makan, Drey?” tanyaku. “Kalau belum makan, aku buatkan Indomie.”Drey mengangguk. “Aku sudah makan. Aku menyuruhmu jangan menungguku kalau kamu mengangguk,” ucap Drey. “Lain kali kalau aku pulang telat, kamu tidak usah menungguku. Kamu harus tidur duluan,” imbuh Drey.Aku menggeleng. “Tidak bisa, Drey. Aku akan tetap menunggumu,” balasku.
Aku langsung beranjak dari duduk, mengambil ponsel di atas meja belajar dan segara dia perlihatkan foto kita kepada Drey, foto saat di Berlin.“Foto ini,” kataku memperlihatkan layar ponsel akun media sosial—instagram. “Kalau bukan kamu yang posting lalu siapa?”Drey merebut ponselku agar terlihat lebih jelas. Drey terperangah. “Aku tidak pernah memposting foto kita lagi.” Ekspresi wajahnya terlihat terkejut dan matanya melotot tidak percaya apa yang baru saja dilihatnya.Aku kecewa. Sangat. Padahal aku sudah berharap Drey yang memposting foto tersebut. Tapi, ternyata bukan dia. Lantas siapa?“Terus siapa, Drey?”Aku menggigit bibir, menahan kekecewaan atas reaksi Drey yang tampak tidak menyukai foto kita di Instagramnya.“Pasti ini kerjaannya si Zany.”Aku tidak bisa berkata-kata lagi ketika aku mendengar nada kekesalan dari Drey.“Waktu tadi
Air mata Drey terus mengalir dan tiada henti. Penyesalan yang ada didalamnya semakin Dreyrasakan. Sejak tadi Drey tidak mampu membaca guratan tinta Auryn, tapi dia membaca hingga selesai. Dengan tangan gemetaran, Dreymemeluk buku diary tersebut dengan isak tangis.Di sini yangtersisa hanyalah barang-barangAuryn, termasuk novel yang seringAurynbaca. Semua masih tertinggal di sini. Sang pemiliklah yang menghilang.Bukan Aurynyang jahat di sini telah meninggalkan Drey, namun Drey yang jahat. Dreymengakui dirinya. Kepergian Aurynbukan membuatnya bahagia, namun hanya menyakitinya. Bukan menenangkannya, namun malah menaruh dirinya dalam jurang kesepian.Dengan mata berair, Dreymeletakkan kembali buku Diary milik Auryn.***[Auryn POV]Di antara keputusan. Inilah keputusan paling terberat yang aku buat. Ini memang keputusan yang paling gila. Bagaimana tidak gila? Ak
Untuk Drey,Drey … maafkan keputusanku yang mengerikan ini. Sepertinya aku membutuhkan waktu. Aku pergi, aku meninggalkanmu. Maaf … ini yang aku inginkan walaupun sangat berat. Maaf juga, waktu itu. Aku melakukan percobaan mengakhiri hidup di bak mandi. Saat itu aku sangat putus asa. Aku benar-benar kecewa. Aku seakan merasa tidak ingin di dunia ini. Keberadaanku yang tak aku inginkan. Aku tidak ingin benar-benar tertekan dengan pernikahan kita.Terima kasih … terima kasih telah menyelamatkanku waktu. Aku pergi, Drey. Aku tidak berpamitan padamu karena saat melihatmu, kekecewaan yang aku rasakan memuncak. Aku ingin pergi tanpa ada rasa bersalah padaku.Perpisahan ini memang harus. Aku harap kamu menjadi lebih baik ketika aku pergi. Biarkan aku pergi, jangan mencariku. Oh, ya. Tentang perceraian. Aku sudah menyiapkan surat cerai kita. Kamu jangan khawatir. Kamu bisa menikah dengan Anna. Kalian bisa hidup bahagia. Kalian bisa bersatu.J
“Sekarang biarkan dia pergi, Nak,“ kata Mama Davina.Wanita itu melepaskan pelukannya dan menepuk pundak Drey berkali-kali.Drey menatap sendu cincin yang berada di tangannya, digenggam erat dengan air mata sudah bercucuran. Cincin itu belum genap satu tahun melingkar di jari Auryn, namun kini cincin itu sudah kembali pada DreyDalam tangisan disertai derasnya air mata.Drey sempat berpikir. Apakah perpisahan ini akan membuat Aurynbahagia? Lalu bagaimana dengan dirinya? Drey bisa mati tanpa Auryn. Dreyberada dipihak tersakitisetelah ditinggalkan oleh Auryn.Mama Davina ikut meneteskan air mata melihat anaknyamenangis—batin seorang Ibu ikut merasa sakit.Dreymenangis dalam penyesalan atas perbuatan bodoh selama ini. Sungguh ini begitu menyakitkan. Penyesalan yang sulit sekali di maafkan. “Pasti Auryn nggak akan maafin aku, Ma. Dia sangat membenciku! Tapi Aku mencintainya,” isak Dre
[Author POV]Jantung Drey berdebar. Dia berteriak frustasi di depan Mama Davina. Dia hancur saat Mamanya memberi tahu bahwa Auryn pergi, Drey marah kepada Mama Davina. Lelaki itu menatap Mama dengan sorot mata redup.“Kenapa Mama membiarkan dia, Ma?!” Drey berteriak kepada Mama, seharusnya Mama Davina tidak membiarkan Auryn pergi, itu yang ada dipikiran Drey. “Kenapa, Ma?” Drey menuntut.Mama Davina hanya bisa menunduk setelah melihat kemarahan dari Drey.“Jawab, Ma!” Getar hati Drey sangat luar biasa. Dia kecewa dan malu pada dirinya sendiri.Kepala Mama Davina mendongak. “Maaf,” kata Mama Davina.Drey mengacak-acak rambut hingga berantakan. SIAL. Kenapa menjadi seperti ini. Auryn benar-benar meninggalkan Drey tanpa berpamitan lebih dahulu. “Aku mencintai dia, Ma. Aku telah menyesali semuanya … tapi aku terlambat menyadari.”“Mencintai Ryn?” Mama tersenyum
[Author POV]Esok harinya aku kembali ke rumah Drey. Mama Davina yang menyuruhku, awalnya aku di rumah Mama Katerina untuk beberapa hari.Sekarang akumenatap kosong ke arah jendela kamaryang menyajikan keindahan halaman rumah Dreyyangdijadikan sebagai tamanbunga. Bunga-bunga yang aku tanam dan dia rawat sudah mekar dan tumbuh cantik.Apa yang telah terjadi beberapa hariterus berputar dalam benakku.Kalimat yangakubenci telah terucap dari bibirku sendiri. Akuingin menceraikanDrey, tapi Dreymenolak dengan tegas. Akusudah pernah memohon agar Dreymenceraikan diriku, Drey menolak dan menahanku.Bukankah aku pernahmeminta satu permintaan?SeharusnyaDreytidak menahan kembali permintaanku, seharusnya dia mengabulkan?Akutau, perceraian adalah perkara hal yang tidak gampang. Kedua pihak harus sama-sama menyetujui. Pilihan yang terbaikkah j
[Author POV]Raut sedih di wajah Dreynampak saatZanymembuka pintu rumahnya. Zanymenggunakan baju rumah, diaterlihatbaru saja mandi karena rambut terlihat basah. Dia terkejut dengan kedatangan Dreysecara tiba-tiba. Mata Dreyterlihat begitu sembab, bibirnya pucat dan sorotan mata ingin menangis. Tergambar jelas kesedihan cukup mendalam dari sorot matanya.“Astaga. Kamu kenapa, Drey. Masuk dulu,” perintah Zanytidak tega melihat Drey datang-datang seperti orang yang baru mengalami kejadian menyedihkandan seperti mayat hidup.Drey berjalan dengan tertatih mendekat Zany yang menatapnya sendu penuh rasa khawatir melihatnya. Keadaan benar-benar menyedihkan, satu kalimat yang Zany sematkan di mulutnya karena melihatnya seperti ini, “Are you ok, Drey?”“Zany ...” panggil Drey lirih. “Ucapkan kalimat untukku,” pinta Drey dengan pasrah.“
Aku melepaskan dengan kasar genggaman dari Drey. Melihat Dreydihadapanku dengan raut berbedamembuat hatikusemakin teriris, sakit tentunya. Dreytelah bermain di belakangkudankenyataan Anna hamil harus aku telan bulat-bulat, dijajal dengan paksa.“Kenapa kamu tidak mengatakan jujur kepadaku?” Aku bertanya dengan menuntut penjelasan Drey, perihal Anna hamil. “Aku dibuat bingung dengan masalah ini.” Aku terkekeh dibuat-buat. “Semua membingungkan. Aku tidak mengerti mengapa. Apa Aku bukan istri yang kamu harapkan?” Pandanganku melihat ke arah Drey dan Mama Katerina.Mama Katerinamembelai pipiku, dia seperti memberikan kekuatan agar aku sabar menghadapi semua ini.“Maafkan, Aku. Aku telah menyakitimu lagi. Ini semua salahku.” KepalaDreymenunduk dalam-dalam di pangkuanku. Air matanya menetes mengenai tangankudan membasahiselimut“Akumohon,
Akuterbangun dari tidur, badanku terasa agak panas. Ah, mungkin aku masuk angin. Tubuhku masih gemetaran. Kepalaku berdengung. Dadaku lebih sesak daripada saat di dalam air tadi. Di saat merasa badan tidak enak, tangan seseorang membelai dahiku dengan sangat lembut. Mama, aku melihat Mama di sampingku. Memperhatikan dengan sorot mata yang redup. Mata Mama terlihat memerah dan sepertinya baru saja menangis.“Mama … kenapa menangis?”Mama mengusap pipi dan di sudut matanya untuk menghapus bekas air mata. Mama menyembunyikan dariku, tapi aku tidak bisa dibohongi. Ya, aku yakin Mama baru saja menangis.Mama tersenyum. “Tidak, sayang. Mama nggak habis nangis kok.”Bohong. Aku tahu mama berbohong. Kuputar kepala untuk melihat jam dinding yang menunjukan pukul 9 pagi dan aku sama sekali melihat keberadaan Drey.Di mana dia?“Drey udah pergi ke kampus, baru aja,” kata Mama seperti membaca pikiranku. &
Aku mati?Apakah ini akan berakhir? Apakah ini terakhirku untuk hidup.Cara ini akan berhasil. Aku menang. Aku akan membawa mati anak Drey. Aku sudah ikhlas dan aku yakin ini yang terbaik untuk semuanya. Mataku sudah tidak bisa melihat apa-apa selain kegelapan.Arrgh, kepalaku terasa sakit sekali hingga ujung kakiku. Dadaku sesak sekali, hidungku sudah teramat perih kemasukan air. Tubuhku membutuhkan udara, tapi aku semakin lemah di dalam bak mandi. Aku tak ingin keluar dari sana. Aku mencoba untuk mengakhiri hidup. Aku tak ingin cara ini sia-sia.Biarkan aku mengakhiri penderitaan.“Maafkan aku. Aku membunuh anak kita, Drey, “ batinku berkata.Rasa sakit sudah tidak bisa aku tahan. Rasa sakit yang membuat aku kehilangan segalanya dan semuanya lenyap.***Sesuatu menabrak keras di kepalaku. Aku merasa ada sesuatu yang menyentuh bibirku. Aku bernapas. Terbatuk-batuk dan memuntahkan apa saja yang mengganjal di tenggor