Nicholas dan Ariana membeku, saling memandang dengan mata membelalak. Kakek Nicholas, Tuan Henry Nathan, telah berdiri di ambang pintu ruang makan dengan tatapan tak kalah kaget dengan mereka. Di sebelahnya berdiri Nenek Nicholas, Nyonya Eleanor Nathan, dengan ekspresi kaget yang hampir membuatnya pingsan. Satpam penjaga rumah, yang biasanya sangat ketat, telah membiarkan Tuan Henry dan Nyonya Eleanor langsung masuk karena mengenal keduanya."Kakek, Nenek!" seru Nicholas, berusaha terdengar normal meskipun dirinya sedang kaget.Sementara Ariana merasakan darahnya berhenti mengalir. Dia tidak pernah menyangka bahwa Kakek dan Nenek Nicholas yang tidak pernah berkunjung malah datang secara tiba-tiba tanpa pemberitahuan. Apa yang akan terjadi padanya? Dia kepergok telah menodai keturunan Nathan."Apa yang terjadi dengan wajahmu, Nicholas?" tanya Nenek Eleanor dengan nada penuh kekhawatiran. Matanya meneliti wajah Nicholas yang penuh coretan dengan seksama.Ariana yang ketakutan, merap
Wajah Nicholas dan Ariana hampir tidak memiliki jarak. Keduanya terkejut dan ingin segera menjauhkan diri. Tetapi untungnya respon keduanya agak lambat pagi itu, jadilah mereka sadar dengan keberadaan Kakek dan Nenek di sana.Nicholas mengambil inisiatif mencium bibir Ariana. Meski sedikit terkejut, Ariana membalas ciuman Nicholas. ‘Mereka harus berakting secara totalitas’—pikirnya.“Ehem!” deheman Kakek melepaskan ciuman keduanya. “Jadi ini sebabnya kami tidak seharusnya datang di pagi hari,” tawa Kakek Henry.Nicholas dan Ariana saling bertukar pandang dengan sedikit canggung. Nicholas kemudian mengalihkan perhatiannya ke Kakek dan Neneknya. “Benar,” katanya singkat tanpa ekspresi.Kakek Henry segera mengakhiri sarapannya, dan beranjak berdiri. “Ayo Ele, sepertinya kita mengganggu kemesraan cucu kita.”“Baiklah, ayo kita pulang.”Melihat Kakek dan Nenek Nicholas berdiri, Ariana ikut berdiri. “Kakek, Nenek. Nicholas bercanda. Tinggal lah lebih lama,” pinta Ariana.Nenek Eleanor terse
Nicholas yang masih dengan pikiran kacaunya berjalan tergesa-gesa masuk ke ruangannya. Berharap pekerjaan bisa menetralisir kekacauan pikirannya. Sekretarisnya, Clarissa, langsung mengikuti Nicholas sambil membawa beberapa dokumen dan iPad di tangan."Selamat pagi, Pak Nicholas," sapa Clarissa dengan senyum profesional. "Ini jadwal Anda untuk minggu depan." Dia menyerahkan iPad-nya kepada Nicholas.Nicholas mengangguk, mengambil iPad tersebut dan mulai membacanya. "Apakah ada hal penting yang perlu kuketahui?" tanyanya sambil tetap fokus pada layar iPad.Clarissa mengangguk. "Ya, Pak," jawabnya yakin sebelum lanjut menjelaskan, "Hari terapi nona Katrina minggu depan bertepatan dengan hari ulang tahun Nyonya. Apakah Bapak ingin mengosongkan jadwal di hari itu seperti tahun sebelumnya? Atau menambahkan jadwal di pagi harinya untuk menemani Nona Katrina?"Nicholas berhenti sejenak, lalu mengangkat pandangannya. "Jadwalkan aku ke rs pagi hari, setelahnya atur jadwal seperti biasa," kata
Ariana terpaksa memblokir nomor Nicholas untuk sementara, agar suaminya itu tidak kembali menghubunginya dan melakukan perdebatan tidak penting. Ada apa dengan Nicholas? Dia bukan orang yang memiliki banyak waktu untuk berdebat dengannya. Apalagi sedang berada di kantor.Setelah memastikan bahwa nomor Nicholas telah diblokir, Ariana menghela napas panjang dan melangkah keluar dari rumah. Dia pergi ke kampus dengan ojek online.Sesampainya di kampus. Teman-temannya telah menunggunya di sana, mereka akan ke kantor kepala desa untuk membicarakan rencana kegiatan pengabdian. Mereka pergi dengan menggunakan mobil Sarah, dosen hukum. Dalam perjalanan menuju kantor kepala desa, Diana membuka obrolan tentang kehadiran dosen baru di fakultasnya "Eh, kalian tahu nggak, ada dosen muda baru di fakultasku," katanya dengan nada penuh semangat."Ada gosip terbaru?" tanya Diana, dosen ekonomi."Ya, dia masih single lho. Katanya dia lulusan luar negeri," jawab Sarah sambil mengedipkan mata ke arah
"Hallo, Ariana," sapa Katrina dengan senyum manisnya, duduk di atas kursi rodanya. Di sebelahnya ada bibi Helen yang berdiri dengan nampan berisi semangkuk sup panas di tangannya.Ariana mengerutkan kening dan berjalan mendekati Katrina. Meskipun dia yakin telah move on, melihat orang ketiga di dalam pernikahannya ada di dalam rumah itu tetap membuat darahnya mendidih. Sorot matanya tajam ketika dia bertanya, "Apa yang kau lakukan di sini?"Katrina melirik bibi Helen yang hanya diam mematung, lalu kembali menatap Ariana dengan wajah yang tampak tak berdosa. "Sedang membuatkan sup untuk Nico. Katanya dia kurang enak badan, dan merindukan sup buatanku. Untungnya ada bibi Helen yang membantu"Bibi Helen? Pengkhianat bangsa?Ariana memasang senyum yang dipaksakan di wajahnya. “Oh, jadi kau sudah tidak tahan lagi untuk menjadi istrinya Nicholas, rupanya.”Katrina tampak terkejut dan bingung. "Ariana, apa yang kau bicarakan? Aku tidak bermaksud seperti itu. Jangan salah paham," jawabnya,
Tangan kanan Ariana semakin erat menggenggam ponselnya yang menampilkan layar sedang memanggil Kakek Henry. Dengan napas yang berat, Ariana menekan tombol untuk membatalkan panggilan. Tadinya dia berpikir ingin menemui mereka dengan dukungan Kakeknya Nicholas, tetapi kini semuanya tampak berbeda.Di balik pintu yang sedikit terbuka, Ariana merasakan gelombang emosi yang menghempas dirinya. Deklarasi Nicholas barusan menyadarkannya sekali lagi bahwa dia adalah orang ketiga dalam hubungan Nicholas dan Katrina. Dia tahu itu, tapi tetap saja hatinya merasa sakit. Sesuatu yang tidak bisa dia kendalikan.Ariana berjalan pelan menuju kamarnya. Dia berjalan menuju tempat tidurnya, membiarkan tangannya yang gemetar menyentuh permukaan seprai. Setiap detak jantungnya mengirimkan sinyal nyeri yang menyebar ke seluruh tubuhnya.Saat mendengar cerita Katrina dia tidak sesakit saat ini, karena masih ada celah keraguan dan harapan Nicholas tidak seperti itu. Tapi kenyataannya itu semua bukan bual
“Jangan tinggalkan aku, Nick …” Jantung Ariana Claire berdegup kencang, rasa sakit menyergap dadanya melihat sumber suara yang terdengar manis manja itu. Di depan matanya, seorang wanita cantik yang tengah duduk di kursi roda memeluk erat suaminya, Nicholas Nathan. Dunia Ariana seakan berhenti. “Aku tidak akan kemana-mana,” sahut pria yang mengenakan kemeja hitam dengan lengan digulung itu. Tangannya dengan telaten mengusap puncak kepala sang wanita. Wanita itu adalah Katrina. Ariana mengenalnya sebagai mantan kekasih Nicholas. Pagi ini, Ariana tengah memeriksakan kondisinya ke dokter, karena sakit maagnya kambuh sudah seminggu. Ketika Ariana berjalan menuju ruang tunggu pengambilan obat, mata Ariana tertuju pada sebuah pemandangan yang menghentikan langkahnya. Di depan salah satu ruang poli rumah sakit, ia melihat Nicholas bersama seorang wanita. Suaminya itu tampak tersenyum bahagia. Senyum yang tak pernah diberikan kepada Ariana sepanjang dua tahun pernikahan mereka. ‘A-a
“Aku ingin kalian segera memiliki anak,” ujar Rachel dengan senyum penuh arti. Dia tahu, cicit akan meyakinkan mertuanya untuk menyerahkan perusahaan kepada Nicholas secepat mungkin. Mendengar jawaban Rachel, Ariana menelan ludah. Nicholas tidak menginginkan anak darinya. Bagaimana membuat Nicholas meminum teh herbal pemberian ibu mertua? “Lebih baik kau kembali, dan jangan pernah berpikir untuk menggugat cerai putraku," tegas Rachel membuyarkan lamunan Ariana. Ariana mengangguk pelan sembari menyalami tangan Rachel. “Baik Bu,” ucapnya. Setelah mendapat tamparan dan ancaman dari ibu mertuanya, Ariana merasa hancur dan tak berdaya. Suaminya tidak pernah mencintainya; sampai dunia berakhir, dia tahu tidak akan pernah bisa melahirkan anak yang tidak diinginkan oleh Nicholas. ** Malam itu, di tengah kegelapan, Ariana duduk termenung di kursi meja makan sambil mengamati teh herbal yang diberikan oleh Rachel. Sejak dia melihat suaminya tertawa bahagia bersama Katrina di rumah sakit, Ar