“Jangan tinggalkan aku, Nick …”
Jantung Ariana Claire berdegup kencang, rasa sakit menyergap dadanya melihat sumber suara yang terdengar manis manja itu. Di depan matanya, seorang wanita cantik yang tengah duduk di kursi roda memeluk erat suaminya, Nicholas Nathan. Dunia Ariana seakan berhenti. “Aku tidak akan kemana-mana,” sahut pria yang mengenakan kemeja hitam dengan lengan digulung itu. Tangannya dengan telaten mengusap puncak kepala sang wanita. Wanita itu adalah Katrina. Ariana mengenalnya sebagai mantan kekasih Nicholas. Pagi ini, Ariana tengah memeriksakan kondisinya ke dokter, karena sakit maagnya kambuh sudah seminggu. Ketika Ariana berjalan menuju ruang tunggu pengambilan obat, mata Ariana tertuju pada sebuah pemandangan yang menghentikan langkahnya. Di depan salah satu ruang poli rumah sakit, ia melihat Nicholas bersama seorang wanita. Suaminya itu tampak tersenyum bahagia. Senyum yang tak pernah diberikan kepada Ariana sepanjang dua tahun pernikahan mereka. ‘A-apa yang mereka lakukan—’ Ariana mencoba mengendalikan emosinya, tetapi air mata mulai jatuh. Tanpa jadi menunggu obatnya, ia memutuskan untuk meninggalkan rumah sakit karena tidak kuat berlama-lama menghirup udara yang sama dengan pasangan itu. Lelaki yang seharusnya menjadi tumpuan dan pelindungnya, justru menjaga wanita lain. Ariana merasakan seolah-olah dinding rumah sakit itu runtuh menimpanya. Dia memberhentikan taksi yang berada di depan rumah sakit, dan sepanjang perjalanan pulang, pikiran Ariana terus berputar. ‘Mengapa Nicholas dan katrina bisa bersama? Mengapa Nicholas selembut itu kepadanya, tetapi tidak kepadaku?’ Suara-suara di kepalanya terus menghantui. Sesampainya di rumah, Ariana mencoba menenangkan dirinya, dia melihat potret dirinya dan Nicholas yang terpampang di dinding ruang tamu, ketika ia dan Nicholas menikah dua tahun yang lalu, wajah Ariana begitu bersinar, berbeda dengan wajah Nicholas yang sangat datar. Sejak awal pria itu memang tidak pernah bahagia menikah dengannya. Dia sudah melakukan segalanya untuk membuat suaminya itu menyukainya. Menyiapkan semua kebutuhan Nicholas. Tapi suaminya itu seakan membangun tembok marmer yang tinggih dan kokoh. Malam harinya, Ariana berusaha tetap seperti biasa menunggu Nicholas di ruang makan seakan dia tidak mengetahui penghianatan suaminya itu. Pukul 9 malam, Nicholas baru pulang. Anehnya, meskipun dirinya tidak pernah menyentuh apapun yang disediakan Ariana untuknya, pria itu tetap melakukan rutinitas melewati ruang makan sepulang kerja. Seperti ingin memastikan kekonsistenan Ariana dalam melakukan pekerjaan istri. Dia melihat Ariana dan makanan yang sudah dingin itu tersaji di meja makan, akan tetapi dia hanya melewatinya dan berjalan menaiki tangga menuju kamarnya. Ariana yang melihatnya, lekas mengejar suami dinginnya. “Kau pasti lelah, aku akan menyiapkan air hangat untukmu,” Ariana berusaha mengimbangi langkah Nicholas. “Sudah kukatakan untuk tidak menunggu dan menggangguku.” Nicholas menarik lengan Ariana yang berusaha untuk masuk ke kamar pribadinya Nicholas. “Tidak apa, aku memang ingin menunggu—” ucapan Ariana terpotong, melihat sang suami yang telah masuk ke kamar, langsung menutup pintu kamarnya, meninggalkan Ariana di luar. Setelah Nicholas masuk, Ariana hanya menatap pasrah pintu kamar itu. Meskipun pasangan suami istri, mereka tidur di kamar yang terpisah. ‘Apa yang harus kulakukan?’ pikirnya. Hatinya seperti dicabik-cabik, tidak ada kenangan indah sejak dia menikah dengan Nicholas. Beberapa saat kemudian, Nicholas keluar dari kamarnya, dia melewati Ariana yang duduk di sofa santai di depan kamarnya. Melihat itu, akhirnya membuat kesabaran Ariana habis untuk tetap diam seakan tidak tahu penghianat suaminya. "Tadi pagi aku melihatmu bersama Katrina," kata Ariana dengan suara gemetar. Ucapan Ariana menghentikan langkah Nicholas sebentar. "Oh," responnya singkat dan datar. Dia pun kembali melanjutkan perjalanannya ke ruang kerja pribadinya. Lagi- lagi, Ariana menelan pil pahit, sepahit empedu. Pria dingin yang melebihi kutub selatan bagi Ariana, tetap saja tak acuh kepadanya. Dia telah bersabar dan bertahan dengan sikap Nicholas yang tidak pernah sedikitpun menaruh perhatian kepadanya selama dua tahun pernikahan mereka, karena dia mencintai pria itu dalam diam sejak dulu. Tapi, sekarang Nicholas mengkhianatinya. Perhatian yang seharusnya untuknya, malah diberikan kepada wanita lain? Apakah cinta seharusnya begitu menyakitkan? Tidak, Ariana akhirnya memutuskan untuk membuang perasaannya yang telah lama terpendam itu ke tong sampah. Dengan langkah tegas dan berani, Ariana pergi menyusul Nicholas ke ruang kerja pribadi suaminya itu. Bertahan dengan suami yang mencintai wanita lain, hanya akan membuatnya sengsara. Ratapan istri tiri, yang mungkin bisa dijadikan judul film. "Aku ingin bercerai," katanya begitu masuk ke ruangan kerja Nicholas. Ariana menatap Nicholas dengan sorot mata yang memancarkan kekecewaan mendalam. Sementara Nicholas hampir tidak bereaksi. Pria itu tetap fokus pada layar laptop di hadapannya, seolah pernyataan Ariana hanya masalah sepele. "Nick, kau mendengarku tidak? Aku bilang, aku ingin bercerai darimu!" ulang Ariana dengan nada meninggi karena merasa diabaikan. Terdengar helaan napas kesal dari Nicholas, pria itu lalu mengambil ponselnya dan mengetikkan sesuatu di sana. "Lakukan sesukamu dengan uang itu. Jangan berulah." Hanya itu tanggapan singkat Nicholas sebelum dia kembali ke layar laptopnya. Ariana menatap nanar layar ponselnya, 500 juta telah masuk ke rekening banknya. Respon Nicholas yang hanya mentransfer uang tanpa komentar apapun, membuat Ariana bertanya-tanya. Apakah Nicholas juga ingin cepat-cepat bercerai dengannya agar bisa bersama Katrina? "Baik, aku akan mengurus perceraian kita tanpa keributan,” desis Ariana yang mengira Nicholas memberinya uang untuk mengurus perceraian mereka. Dia pun berbalik pergi meninggalkan Nicholas yang masih terfokus pada dunianya sendiri dengan sikap tak acuhnya. Langkah kaki Ariana terhenti saat dirinya berada di ambang pintu ruang kerja pribadi Nicholas. "Ibu memintaku untuk menemuinya besok siang. Aku akan memberitahu ibu tentang rencana perceraian kita," tegas Ariana penuh percaya diri. "Terserah kau saja," balas Nicholas singkat. Matanya terlihat fokus menatap layar laptopnya. Pria itu tampak tidak terganggu sedikitpun dengan Ariana yang tiba-tiba ingin bercerai. Padahal selama ini, wanita itu seperti tidak bisa hidup tanpa dirinya. Entah karena pekerjaanya jauh lebih penting dari pada kehidupan rumah tangganya, atau karena dia yakin Ariana hanya menggertaknya untuk meminta sejumlah uang. Mendengar respon Nicholas yang masih saja datar, Ariana memutar balik kepalanya untuk melihat Nicholas yang tengah serius dengan pekerjaannya. Bulir air mata mulai menyembul keluar dari sudut matanya. Tidak bisakah pria itu bertanya mengapa istrinya ingin bercerai? Ariana mengingat kembali kejadian dua tahun silam. Saat itu, Ariana terpaksa menyetujui kontrak dengan Rachel, ibu Nicholas, untuk menjadi istri Nicholas. Karena Nicholas tidak menolak pernikahan mereka, Ariana berpikir dirinya memiliki secercah harapan bahwa lambat laun Nicholas akan membuka hatinya dan mencintainya seperti dia mencintai Nicholas. Nyatanya sekarang, pria itu tidak pernah sedikitpun menganggapnya istri. Dia seperti makhluk tak kasat mata yang hidup menjadi parasit di rumah Nicholas. “Segera tutup pintunya, jika urusanmu menemuiku sudah selesai.” Suara Nicholas tiba-tiba mengagetkan Ariana yang tengah melamun. Dengan kesal dia menghentakkan kakinya sebelum berjalan keluar, dan menutup pintu ruangan pribadi Nicholas dengan kasar. ** Keesokan siangnya, Ariana melajukan mobilnya menuju ke kediaman mewah ibu mertuanya di kawasan elite kota. Begitu dia memasuki pintu utama, Rachel langsung menyambut kedatangannya. "Ariana, anak manis! Ayo masuk, aku sudah menyiapkan teh dan kue-kue kesukaanmu," sambut Rachel ramah sembari merangkul Ariana. Menantunya yang selalu patuh kepadanya. Keduanya lalu duduk di sofa empuk ruang tamu yang mewah itu. Seorang pelayan dengan telaten menyiapkan teh dan menghidangkan kue-kue lezat di hadapan Ariana. "Kau tampak pucat sekali hari ini," ujar Rachel dengan nada khawatir yang terdengar tulus. Ariana menarik napas panjang sebelum berkata, "I-ibu... maaf, pernikahan kami tidak bisa lagi dilanjutkan..." Raut wajah ramah Rachel seketika langsung berubah mengeras begitu mendengar pernyataan Ariana. PLAKK!!! Sebuah tamparan keras mendarat di wajah Ariana yang kemudian memerah perih di ujung bibirnya. Wanita malang itu sampai terhuyung dari sofa hingga terjatuh ke lantai. "Jadi ini rencanamu? Beraninya kau melanggar kontrak yang sudah kau setujui, Ariana!" bentak Rachel dengan suara menggelegar. Ariana tergugu, tak mampu berkata apa-apa menghadapi amukan ibu mertuanya yang tiba-tiba. Dia langsung berlutut dan memohon, "Ibu, Nicholas tidak pernah bahagia bersamaku." "Omong kosong! Kau belum menjalankan tugasmu dengan baik sesuai kontrak! Dasar perempuan tidak tahu diuntung!" sembur Rachel penuh amarah sambil menatap Ariana yang berlutut di hadapannya. Wanita yang dipilihnya untuk menjadi menantunya itu sangat sehat dan subur. Rachel tidak akan membiarkan wanita itu meninggalkan kewajibannya untuk melahirkan cucunya begitu saja. "Ibu...kumohon...aku tidak bisa melanjutkannya lagi, aku sudah melakukan semuanya, Nicholas tidak pernah sedikitpun mencintaiku.." rintih Ariana di sela isak tangisnya. Rachel mendecih meremehkan. "Jangan bodoh! Kau pikir aku peduli pada kebahagiaanmu? Yang kuinginkan hanyalah masa depan putraku," Dengan langkah menghentak, wanita paruh baya itu menghampiri Ariana. "Dengar baik-baik, Ariana! Kau tidak bisa begitu saja lari dari kontrak yang telah kau setujui." "Ti...dak, Bu," Ariana kembali tergugu. Dua tahun lalu, saat keluarganya terlilit utang karena paman Ariana yang menggunakan nama ayahnya untuk pinjaman online akibat judi online, Rachel, pemilik perusahaan tekstil dan garmen tempat ayah Ariana bekerja, menawarkan bantuan. Namun, ada syarat yang harus dipenuhi: Ariana harus menikah dan memiliki anak dengan Nicholas untuk menjauhkan Nicholas dari kekasihnya, Katrina, yang lumpuh akibat kecelakaan. Rachel tidak bisa menerima menantu yang lumpuh. Meski begitu, Rachel juga tidak menyukai Ariana yang berasal dari keluarga melarat. Namun, saat mendengar ayah Ariana meminta izin untuk menghadiri wisuda putrinya, Ariana yang ternyata lulusan magister terbaik jalur beasiswa, Rachel berubah pikiran mengenai syarat dan ketentuan menjadi menantunya. “Ambil ini, dan pastikan Nicholas meminumnya.” Rachel memberikan sebuah bungkusan kepada Ariana. “Apa ini, Bu?” Ariana menerima bungkusan itu dengan bimbang.“Aku ingin kalian segera memiliki anak,” ujar Rachel dengan senyum penuh arti. Dia tahu, cicit akan meyakinkan mertuanya untuk menyerahkan perusahaan kepada Nicholas secepat mungkin. Mendengar jawaban Rachel, Ariana menelan ludah. Nicholas tidak menginginkan anak darinya. Bagaimana membuat Nicholas meminum teh herbal pemberian ibu mertua? “Lebih baik kau kembali, dan jangan pernah berpikir untuk menggugat cerai putraku," tegas Rachel membuyarkan lamunan Ariana. Ariana mengangguk pelan sembari menyalami tangan Rachel. “Baik Bu,” ucapnya. Setelah mendapat tamparan dan ancaman dari ibu mertuanya, Ariana merasa hancur dan tak berdaya. Suaminya tidak pernah mencintainya; sampai dunia berakhir, dia tahu tidak akan pernah bisa melahirkan anak yang tidak diinginkan oleh Nicholas. ** Malam itu, di tengah kegelapan, Ariana duduk termenung di kursi meja makan sambil mengamati teh herbal yang diberikan oleh Rachel. Sejak dia melihat suaminya tertawa bahagia bersama Katrina di rumah sakit, Ar
Sejak malam Nicholas melakukan kekarasan kepadanya, Ariana memutuskan untuk pergi pagi-pagi buta agar tidak bertemu dengan suaminya itu. Dia bangun lebih awal dan sudah mengurung diri di kamar sebelum Nicholas pulang, berharap bisa menghindari berpapasan dengan suaminya. Sudah tiga hari Ariana tidak bertemu dengan Nicholas. Namun, bayangan kejadian malam itu terus menghantuinya hingga membuat penyakit asam lambungnya kambuh. Ariana memutuskan untuk pergi menemui dokter di rumah sakit. Setelah menemui dokternya, Ariana berjalan menuju loket farmasi untuk mengambil obatnya di lantai satu. Rasa cemas yang semakin membebani pikirannya, membuatnya penasaran apakah Nicholas sudah mengajukan gugatan cerai atau belum. Di tengah perjalanan, dia menghubungi Agus, pengacara Nicholas untuk menemukan jawabanya. "Pak Agus, ini Ariana. Apakah Nicholas sudah mengajukan gugatan cerai?" tanya Ariana dengan hati-hati setelah Agus menjawab panggilan teleponnya Di ujung saluran telepon, Agus menjawab d
Ariana terbaring di sebuah kamar rawat rumah sakit. Tadinya dia hanya mengeluhkan asam lambungnya. Tidak menyangka dirinya justru berakhir menjadi pasien rawat inap di rumah sakit tersebut. Sebenarnya dia bisa langsung pulang setelah mendapat perawatan dokter, tetapi dengan keadaannya yang sulit berjalan, Ariana tidak ingin pulang. Dia meminta untuk dirawat di rumah sakit. Meskipun mengalami luka ringan, kakinya terkilir cukup parah akibat insiden tabrakan itu. Seeorang perawat yang membawa Ariana dari ruang IGD memastikan pergelangan kaki Ariana yang terbalut perban baik-baik saja, sebelum dia pergi. Ariana merasakan rasa nyeri di kakinya yang membengkak, tetapi lebih dari itu, dia merasa syok dengan kejadian yang baru saja dialaminya. Pikirannya melayang ke insiden itu, bagaimana mobil itu tiba-tiba menyerangnya. Sambil mencoba menenangkan diri, Ariana melihat keluar jendela rumah sakit yang menghadap ke sebuah gedung tinggi. Dia melihat pantulan awan yang bergerak perlahan-lahan
Ariana duduk di sebuah kafe yang cozy, di tengah-tengah perbincangan serius dengan dua temannya sesama dosen. Tanpa sepengetahuan Nicholas, Ariana sudah hampir dua tahun bekerja sebagai dosen di salah satu universitas swasta. Di depan mereka, masing-masing membuka laptop yang menampilkan dokumen proposal pengabdian yang sedang mereka rencanakan. Namun, pikiran Ariana melayang jauh dari topik yang sedang dibahas. Sudah sebulan sejak kecelakaan itu, kakinya telah sembuh, tetapi sakit hatinya karena perselingkuhan suaminya belum juga pulih. "Aku pikir kita bisa memfokuskan pengabdian ini pada pemberdayaan ekonomi perempuan di desa terpencil," kata Diana, salah seorang teman Ariana yang merupakan dosen di program studi ekonomi. Ariana hanya mengangguk setuju, padahal pikirannya melayang. Perasaan kecewa dan pengkhianatan yang mendalam masih menyelimuti hatinya. Dia mencoba untuk mengikuti diskusi, tetapi suara Diana terdengar jauh dan teredam. Tiba-tiba, Sarah, seorang dosen hukum di u
Dengan napas yang berat, Nicholas mencoba menenangkan diri. Dia berdiri dan membuka jendela ruang kerjanya lebar-lebar. Angin malam sejuk yang masuk, mengurangi rasa panas yang membara dalam tubuhnya. Setelah beberapa menit menikmati angin malam, Nicholas ke minibar ruang kerjanya. Dia mengambil botol air dan meminumnya dengan tegukan besar, berharap cairan dingin bisa menenangkan gejolak dalam dirinya. Karena rasa resah belum juga hilang sepenuhnya, Nicholas menjatuhkan diri ke lantai dan mulai melakukan push-up. Satu, dua, tiga... hingga dua puluh kali, dia terus mendorong tubuhnya. Setelah selesai, dia berguling ke samping dan melakukan sit-up, merasakan otot perutnya tegang. Aktivitas yang menguras energi itu sedikit membantu menenangkan tubuhnya. Merasa lelah berolah raga, Nicholas berusaha untuk menyanyikan lagu kebangsaan untuk mengalihkan pikiran kotornya. Setelah beberapa waktu, efek obat mulai mereda. Nicholas merasa lebih tenang dan bisa mengendalikan dirinya. Dia tersen
Dulu, Ariana begitu merindukan sentuhan Nicholas dengan penuh keinginan. Namun, setelah apa yang baru saja dia alami, perasaan itu berubah menjadi kebencian yang mendalam. Seakan-akan cinta yang dulu memenuhi hatinya telah berganti dengan amarah dan kekecewaan.Ariana, yang sebelumnya tidak pernah melakukan hubungan intim, tidak yakin apakah rasa sakit yang dirasakannya adalah normal dalam hubungan suami istri atau karena Nicholas yang telah terlalu kasar. Dia menangis dalam kebingungan, bertanya-tanya apakah ini yang seharusnya dia rasakan.Dia meringkuk di tempat tidur Nicholas, tubuhnya gemetar. Air mata mengalir tanpa suara di pipinya. Setiap tarikan napasnya terasa menyakitkan, seolah oksigen yang dihirupnya menusuk dadanya. Rasa nyeri yang tak terlukiskan menjalar dari seluruh tubuhnya, membuatnya merasa rapuh seperti kaca yang retak.Air matanya yang mengalir tanpa henti sudah membasahi bantal yang dia peluk erat. Pikirannya berkabut, bercampur antara ketidakpercayaan dan keng
Sembari menunggu bibi Helen menyiapkan sarapan, Ariana yang masih berselonjor di tempat tidur meraih laptopnya dari meja kecil di samping tempat tidur. Jari-jarinya yang ramping dengan cekatan mengetik kata kunci 'firma hukum perceraian' di mesin pencari. Dia harus segera mengakhiri pernikahannya dengan Nicholas. Setelah ketahuan selingkuh, suami dinginnya itu sekarang sering melakukan kekerasan kepadanya. Ariana tidak bisa lagi mentolerir kekerasan yang dialaminya. Layar laptop menampilkan berbagai pilihan firma hukum. Dia mengklik satu per satu, membaca ulasan, dan melihat profil pengacara. Ariana tidak bisa menggugat cerai dan meninggalkan rumah Nicholas tanpa mempertimbangkan konsekuensinya. Dia tidak ingin ada pertikaian dengan Ibu mertua yang tetap mempertahankannya sebagai menantu sesuai dengan perjanjian mereka. Sebuah firma hukum dengan ulasan positif menarik perhatiannya. Dia mengklik laman kontak dan mulai mengetik pesan singkat untuk meminta konsultasi. Saat dia akan men
Jauh dari keramaian, Ariana duduk di salah satu bangku taman kampus yang teduh, setelah selesai memberi kuliah. Suara riuh mahasiswa yang bercengkrama dan berjalan tergesa-gesa menuju kelas terdengar samar di kejauhan. Bangunan-bangunan bergaya arsitektur modern berdiri kokoh di sekeliling Ariana. Ariana serius menatap layar ponselnya, mata cokelatnya yang tajam fokus pada angka di laman MBanking-nya. Nominal saldo yang tertera masih utuh, sama seperti sebelumnya. Keningnya berkerut, bibirnya terkatup rapat. Dia menimbang-nimbang untuk memindahkan uang pemberian Nicholas selama pernikahan mereka ke rekening pribadinya atau membiarkannya tetap di sana.Jika dia memindahkan uang itu, Nicholas mungkin akan semakin mencemoohnya. Tapi, apa dia benar-benar akan pergi begitu saja dengan tangan kosong? Setelah dua tahun menikah? Hati Ariana berdesir, mengenang masa-masa pahit yang telah ia lalui. Setiap cemoohan, setiap kata kasar yang terlontar dari mulut Nicholas terbayang kembali. Perasaa