“Clarissa adalah double agent, antara aku dan tuan Henry,” jelas Nicholas dengan suara dingin. "Apa benar tujuanmu ke sini karena ingin melihatku? Kudengar kau datang ke sini dengan beberapa pertanyaan, seharusnya kau menghubungiku jika ingin bertemu denganku," imbuhnya mencemooh. "Apa Katrina sering main ke kantormu?" tanya Ariana mengalihkan topik pembicaraan. Dia harus fokus dengan misinya. Nicholas menyandarkan punggungnya di sandaran sofa, dan dengan santai bertanya, Nicholas menatap lurus Ariana. "Apakah fantasimu bermain di dalam ruangan kantor?" senyum penuh arti terukir di wajahnya. Ariana berdeham sebelum melanjutkan introgasinya. Dia masih memiliki stok kesabaran untuk berbicara dengan Nicholas. "Lalu, di mana kalian sering bertemu?" tanya Ariana, bak seorang petugas intrograsi kepolisian. "Menurutmu, di mana?" Nicholas balik bertanya sembari tersenyum miring. "Entahlah, mungkin di apartemennya, atau di apatemenmu yang aku tidak tahu," balas Ariana acuh tak acu
Nicholas membawa Ariana ke salah satu restoran yang tak jauh dari gedung kantornya. Saat mereka mendekati meja yang telah dipesan, Ariana terkejut melihat Katrina sudah duduk di sana, begitu juga dengan Katrina yang sama-sama terkejut melihat Ariana. Jika bukan hal yang sangat penting, agak sulit bagi Katrina untuk menyesuaikan jadwal Nicholas agar bisa makan siang bersama dengannya. Tapi kesempatan yang sulit itu, malah ada Ariana di antara mereka. Nicholas, sebaliknya, tetap tenang dan menuntun Ariana dengan lembut untuk duduk. Katrina menyambut Ariana dengan senyuman yang tampak tulus tetapi penuh dengan maksud tersembunyi. "Ariana, senang sekali bisa bertemu denganmu di sini," katanya dengan nada lembut. Ariana berusaha menunjukkan sikap tenang meredam emosinya. Dia mengangguk dan tersenyum tipis. "Senang bertemu denganmu juga, Katrina," jawabnya sambil duduk di kursi yang ditarik Nicholas untuknya. Katrina kemudian menoleh ke Nicholas. "Aku tidak menyangka kau datang be
Nicholas menatapnya dengan mantap. "Benar," katanya tanpa ragu. Jawaban Nicholas membuat Ariana tertegun. Dia merasa bingung, berpikir bahwa Nicholas sengaja mengatakan itu untuk membuat Katrina cemburu. Mungkin Nicholas dan Katrina sedang ada masalah dalam hubungan mereka. Sementara itu, Katrina semakin kesal, namun dia menutupinya dengan senyuman tulus ke arah Ariana. "Ariana, kau beruntung memiliki suami yang begitu perhatian," katanya dengan nada yang terdengar tulus namun penuh maksud tersembunyi. Ariana hanya bisa tersenyum tipis, berusaha kembali membual jika Nicholas tidak bisa hidup tanpanya. Sementara Nicholas, tanpa sadar, menunjukkan sikap protektifnya dengan cara yang terlalu mencolok. Nicholas tetap menjaga kontak mata dengan Ariana. "Aku akan memberikan bantuan kecil kepada keluargamu, jika kau berjanji untuk tidak lanjut berbicara dengan rekan priamu itu. Bagaimana?” Tatapan Nicholas dingin, dan penuh intimidasi. Ariana melirik ke arah Katrina yang tidak bisa
Mata Ariana yang tetap duduk di dalam mobil, terus mengikuti Nicholas yang menggendong Katrina masuk ke dalam rumah Katrina. “Apa setelah ini, tuan Nicholas akan membeli perusahaan kursi roda?” tanya Ariana kepada Pak Jhon yang duduk di sebelahnya. Ariana menoleh ke arah Pak Jhon yang tetap diam mendengar gurauannya. “Ternyata Pak Jhon masih tidak dapat diajak bicara,” gumamnya. Dia jadi teringat dengan Bibi Helen yang baru berbicara dengannya, setelah sebulan dia masuk ke rumah Nicholas. “Mengapa dia begitu lama?” Ariana kembali melihat ke arah pintu rumah Katrina, menunggu Nicholas keluar dari pintu itu. Sesaat kemudian, Nicholas muncul dari pintu itu. Dia melangkah dengan tenang menuju ke mobil. Semakin mendekat, Ariana semakin takut. Nicholas mungkin saja akan memarahinya. “Pindah ke belakang!” titah Nicholas kepada Ariana, setelah dia duduk di kursi penumpang belakang, dan menutup pintunya. “Tidak, aku di sini saja,” balas Ariana. “Jalan Pak Jhon.” “Mobilnya tidak
Sejak pulang dari rumah sakit dan mengantar Katrina dengan aman, Ariana mengurung diri di kamarnya. Dia tidak ingin bertemu dengan Nicholas, suaminya yang mengajaknya untuk ikut bergabung dalam kencannya bersama Katrina. Perasaan bersalah dan terluka bercampur aduk di hatinya. Saat kecelakaan menimpa Katrina, Ariana merasa menjadi terdakwa utama di mata Nicholas. Hampir tengah malamnya, rasa lapar akhirnya memaksa Ariana keluar dari kamarnya. Dengan hati-hati, dia membuka pintu dan mengendap-endap keluar, berharap tidak berpapasan dengan Nicholas. Namun, begitu menuruni tangga, aroma gosong yang menyengat dari arah dapur membuatnya terhenti. "Bibi Helen? Apa yang dilakukan Bibi Helen di dapur?" gumamnya dengan heran. Dengan perasaan cemas, dia bergegas ke dapur. Di sana, bukannya menemukan Bibi Helen, dia malah melihat Nicholas dengan ekspresi frustrasi di wajahnya, berdiri di depan kompor dengan panci gosong di tangan. Ariana menghampiri Nicholas dan bertanya, "Aku tahu kau bi
Ariana menepuk-nepuk pipinya yang memanas mengingat apa yang dilakukannya dengan Nicholas tadi malam di atas meja dapur. Dia harus kembali fokus memasak sarapan pagi. Tangannya sibuk dengan adonan pancake sementara pikirannya berusaha keras untuk tidak memikirkan adegan berapi-api yang dilakukannya dengan Nicholas tadi malam. Sementara di belakangnya, Nicholas melangkah ke dapur dengan tenang dan santai. "Bibi Helen masih di kampung sibuk mengurus bayi-bayi kucingnya. Aku bisa saja membuat sarapanku sendiri, tapi mungkin—,” "Kau bisa meminta sekretarismu memesankan sarapan untukmu seperti biasanya," potong Ariana, suaranya sedikit tajam. Nicholas melirik jam tangannya, "Saat ini di Madagaskar pukul setengah tiga pagi, apa aku terlihat seperti bos yang tidak memperdulikan jam tidur pegawainya?" Ariana menghela napas panjang. "Aku akan membuatkan sarapan untukmu. Apa yang ingin kau makan pagi ini?" "Terserah saja," jawab Nicholas dengan senyum menghiasi wajahnya. Ariana men
Ariana menyelesaikan makannya dengan cepat, tidak ingin terlalu lama menghabiskan waktu berduan dengan Andrian, mengingat larangan Nicholas. Keputusannya untuk mempertimbangkan kembali rencana perceraiannya berarti dia harus mematuhi keinginan suaminya. 'Harusnya kemarin aku tidak menggunakan nama Andrian saat memanas-manasi Nicholas, mungkin Jono saja,' keluhnya dalam hati. Andrian, yang duduk di depannya, tampak tidak terlalu memperhatikan Ariana yang semakin gelisah. Namun, dia tetap berusaha menjaga percakapan tetap ringan. "Bagaimana kesibukan Bu Ariana di kampus?" tanyanya dengan senyum hangat. Ariana meneguk air putihnya sebelum menjawab, "Baik, cukup sibuk akhir-akhir ini. Banyak proyek dan borang akreditasi yang harus diselesaikan." Andrian mengangguk sambil memperhatikan wajah Ariana yang tampak cemas. "Saya yakin Bu Ariana bisa mengatasinya. Bu Ariana selalu terlihat sangat berdedikasi." Ariana hanya tersenyum tipis, kemudian memandang ke luar jendela cafe, mencob
Keesokan paginya, Ariana bangun kesiangan efek tenaganya yang terkuras habis karena Nicholas. Dia menggeliat pelan, matanya mengerjap beberapa kali, mencoba mengusir kantuk yang masih tersisa. Dengan gerakan lambat, tangannya menyapu tempat tidur. Napas panjang terlepas saat dia menyadari suaminya mungkin sudah berangkat kerja. Matanya melihat kamar yang berantakan, selimut kusut dan bantal berserakan. Sebuah senyum muncul di bibirnya, mengingat bagaimana Nicholas memperlakukannya tadi malam dengan penuh cinta dan hasrat. Sentuhan lembutnya, bisikan hangat. Rasanya ingin merasakan lebih lama jejak suaminya di kasur yang super nyaman itu. Namun, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Bibi Helen datang membawakan sarapan hangat untuk Ariana. "Bibi sudah kembali dari kampung halaman?" sapa Ariana sambil duduk di ranjang. "Sudah, Nyonya. Tuan Nicholas meminta saya untuk datang membuatkan sarapan Nyonya," jawab Bibi Helen dengan senyum ramah. "Oh, memangnya kampung halaman Bibi
“Tidak,” jawab Ariana mantap, memotong keheningan. Nicholas menghela napas panjang. "Aku memang berengsek, kan? Setelah apa yang keluargaku lakukan pada ayahmu... aku masih tetap ingin kau bersamaku. Aku tahu itu egois," katanya sembari mengulurkan tangannya, jari-jarinya mengusap lembut rambut Ariana seperti untuk terakhir kalinya. “Aku bahkan terus mencari cara bagaimana memaksamu kembali padaku,” bisiknya, matanya kelam penuh penyesalan. Ariana merasakan kesedihan yang mendalam di balik kata-kata itu. Matanya mulai berkaca-kaca. “Nick…,” dia berusaha menahan dirinya. Seberapa pun dia mencintai pria itu, tetapi rasa sakit dari kebohongan Nicholas masih terlalu sulit untuk diabaikan. Kebohongan yang menghapus semua kebaikan pria itu, setiap momen kehangatan meraka saat bersama terasa seperti kepalsuan. “Maaf,” ucap Nicholas, penuh dengan penyesalan. "Aku minta maaf, dan juga maaf mewakili kakekku. Aku tidak pernah bisa membayangkan rasa sakit yang kau alami,” lanjutnya. Arian
Ariana duduk di kursi goyang dekat jendela kamar bayi dengan tenang menyusui Boo dan Bee di lengannya, dengan mata kecil mereka yang terpejam. Namun, di balik tatapan lembutnya, pikiran Ariana dipenuhi kekhawatiran. Di satu sisi, dia merasa lega bahwa kebenaran tentang keluarganya akhirnya terungkap. Di sisi lain, dia sadar, tak peduli seberapa besar kesalahan kakek Henry di masa lalu, pria tua itu tetaplah kakek Nicholas, sosok yang dulu begitu baik dan hangat pada mereka berdua. Ketika dia sedang tenggelam dalam lamunan, pintu kamar perlahan terbuka. Bibi Helen masuk dengan wajah cemas, seolah ingin menyampaikan sesuatu yang berat. Ariana mengangkat kepalanya, tatapannya berubah dari kehangatan seorang ibu menjadi kewaspadaan seorang wanita yang sudah bersiap menghadapi hal-hal buruk. “Ada apa, Bibi?” tanyanya dengan suara pelan, khawatir akan mengganggu bayi-bayinya yang baru saja mulai terlelap. Bibi Helen terdiam sejenak, berusaha mencari kata-kata yang tepat. Matanya menyi
Ruangan sidang berubah senyap setelah hakim mengetukkan palu sebagai tanda penutupan sidang. Richard berdiri dengan raut wajah yang berubah-ubah, antara marah, kecewa, dan ketidakpercayaan.Kakek Henry duduk di kursi terdakwa, tidak lagi memancarkan aura kekuasaan yang dulu begitu dikenal. Bahunya merosot, wajahnya pucat seperti kapur, dan matanya menatap kosong ke satu titik di lantai. Dua petugas pengadilan melangkah mendekat dengan langkah tegas dan hormat. Ketika tangan mereka siap menyentuh lengan kakek Henry, pria tua itu merintih pelan. Tiba-tiba, dia mencengkeram dadanya, raut wajahnya berubah penuh kepanikan, napasnya tersengal-sengal seperti seorang pelari maraton yang kehabisan tenaga. Dalam sekejap, tubuhnya yang renta ambruk ke lantai dengan bunyi gedebuk.“Papi!” seru Richard. Dia berlari mendekat. Ruangan yang semula hening berubah gaduh. Para penjaga dan pengacara membelah diri memberi jalan, sementara dua petugas medis yang bersiaga di luar bergegas masuk. Mereka me
Di kantornya, Richard mendalami berkas-berkas banding yang telah diajukan oleh tim hukumnya. Dia baru saja kembali dari pertemuannya dengan kakek Henry di pusat penahanan, dengan secercah harapan bahwa ayahnya akan diizinkan menunggu di rumah hingga sidang resmi digelar beberapa minggu mendatang. Begitu ponselnya berdering, Richard meraih ponselnya, mengenali nada panik di ujung seberang. “Tuan Richard, persidangan tuan Henry dijadwalkan besok pagi,” suara pengacaranya terdengar tegang, kata-katanya terpotong oleh desakan napas. Richard menggenggam ponselnya lebih erat. “Besok pagi? Itu konyol,” geramnya, mencoba menahan ketidakpercayaannya. “Pengadilan mempercepat jadwal sidang. Ini kasus pidana berat. Hakim memutuskan untuk tidak ada penundaan. Tidak ada peluang untuk banding.” Sekali lagi, Richard menghela napas panjang. Di hadapannya, pengaruhnya yang biasanya melampaui jalur hukum, kini terasa kecil dan sia-sia. Hukum berjalan di luar kendalinya. Keesokan harinya… R
Setelah penangkapan kakek Henry Nathan, nenek Eleanor langsung menghubungi Nicholas. Saat Nicholas akhirnya menjawab telepon, suaranya terdengar tenang, namun Eleanor bisa merasakan jarak yang begitu nyata di antara mereka.“Nicholas… kau tahu kakekmu sudah tua. Dia tidak bisa menghabiskan sisa hidupnya di penjara,” suara Eleanor bergetar. “Apa kau benar-benar akan membiarkan ini terjadi? Kau tahu betapa kami selalu mencintaimu.”Nicholas menutup matanya, menggenggam ponselnya erat. Suara neneknya mengingatkannya pada masa kecilnya, saat kedekatan mereka begitu hangat meskipun kakek Henry memperlakukannya dengan keras. Namun, begitu banyak hal kotor dan kejahatan yang disembunyikan selama bertahun-tahun, telah merusak gambaran keluarganya.“Nenek, tapi kali ini, apa yang kakek lakukan adalah pembunuhan berencana. Hukum tidak akan membiarkannya begitu saja,” kata Nicholas.Eleanor mendesah. “Kakekmu tidak mungkin melakukan semua itu… pasti ada kesalahpahaman! Kakekmu bukanlah pembunuh.
Beberapa hari kemudian, Ariana mengemudikan mobilnya dengan semangat menggiring dua mobil polisi masuk ke dalam pekarangan kediaman kakek Henry. Pak sam seperti biasa membukakan pintu untuk Ariana, wajahnya seketika berubah bingung saat melihat rombongan berseragam. Tak menunggu jawaban, seorang petugas maju, memperlihatkan surat perintah dengan sikap formal. “Kami di sini untuk menahan Tuan Henry Nathan atas tuduhan pembunuhan berencana,” ucap petugas itu, suaranya tegas. Di ruang tengah rumah, kakek Henry dan nenek Eleanor, yang mendengar keributan, segera keluar. Ekspresi mereka menegang melihat petugas yang memenuhi ruang tamu. Henry tampak terkejut, sementara Eleanor berdiri kaku di sampingnya, matanya tak bisa lepas dari sosok Ariana yang berdiri di belakang para petugas dengan pandangan tenang namun dingin. “Apa ini?” tanya Henry dengan nada marah yang berusaha ditahan. Petugas itu melangkah lebih dekat ke Henry, memperlihatkan surat penahanan. "Anda ditahan atas dugaan pem
Ariana melangkah keluar dari mobilnya dengan anggun, pandangannya menyapu bangunan megah di hadapannya—rumah Kakek Henry. Meski dia datang sendiri, dia sudah mempersiapkan segalanya. Dia tidak akan gentar.Pak Sam segera menghampiri dan membuka pintu untuknya. Tanpa berkata-kata, dia mengantar Ariana ke ruangan pribadi Kakek Henry. Di balik meja kayu besar, duduklah Kakek Henry, wajahnya tanpa ekspresi, namun sorot matanya dingin.“Kudengar kalian sudah memiliki dua anak,” kata kakek Henry memulai percakapan dengan nada yang tak ramah.Ariana tetap tenang, “Benar, Kakek. Mungkin suatu hari nanti, Kakek ingin bertemu dengan mereka?” tawarnya dengan senyum tipis. “Mereka akan senang bertemu kakek buyutnya.”Henry mengangkat alisnya, dan mendengus pelan. “Apakah Nicholas tahu kedatanganmu ke sini?”"Tidak," jawab Ariana, "tapi dia mungkin akan segera tahu."Henry menyipitkan matanya, lalu dengan tajam bertanya, "apakah kau datang untuk membujukku berbaikan dengan berandalan itu?"Ariana
Keesokan paginya Ariana melangkah keluar dari lobi hotel dengan langkah cepat, Boo dan Bee tertidur lelap di stroller. Setelah malam yang panjang di hotel, pikirannya sudah mulai tenang. Pagi ini, dia baru saja menghubungi agen properti untuk melihat sebuah apartemen yang terletak di pinggiran kota, tempat yang menurutnya akan cocok untuk mereka bertiga. Dia berjalan menuju parkiran basement dengan rencana yang jelas di benaknya, tetapi ketika memasuki area parkir yang sepi, Ariana terhenti. Di sana, berdiri Nicholas. Sosoknya tampak tegap, mengenakan kemeja gelap yang semakin menunjukkan keseriusan situasinya. Dia berdiri di depan mobilnya, seolah telah menunggu cukup lama. Ariana merasakan jantungnya berdebar kencang. Tangannya erat menggenggam dorongan stroller. Dia tidak mengira Nicholas akan menemukannya secepat ini. Tatapan mereka bertemu, dan ada campuran kekhawatiran serta ketegasan di mata Nicholas yang membuat hatinya semakin kacau."Aku tahu, kau marah dan mungkin sangat
“Aku tidak akan menyangkalnya, apa yang kau pikirkan benar,” ucap Nicholas dengan tenang setelah menghela napas. Matanya menatap lurus ke arah Ariana yang berdiri di depannya, terpaku. Ariana membeku sesaat, kedua matanya mengerjap seakan mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. “Apa?” desisnya, suaranya nyaris tak terdengar, penuh emosi. “Maaf, aku sudah menyimpannya darimu,” lanjut Nicholas, nadanya tetap tenang namun dengan penyesalan di ujung kalimatnya. Ariana menelan ludah, matanya berkilat dengan kemarahan. “Apakah pria bernama Dell Amin itu… ayahku?” tanyanya, meskipun di dalam hati, dia sudah tahu jawabannya. “Ya, dia ayahmu,” jawab Nicholas, suaranya tetap rendah, sebuah pengakuan yang sudah lama dia simpan. Ariana menarik napas dalam-dalam, tangannya gemetar saat mendengar konfirmasi dari Nicholas. “Dan kakekmu yang membuatku kehilangan keluargaku,” lanjutnya, suaranya pecah oleh kemarahan yang tertahan. “Kau menyembunyikan ini demi keluargamu?” Nicholas mena