Setelah Mama dan Papa mertuanya pulang siang tadi, Elizabeth pun mengajak Pauline dan Exel untuk mengunjungi Nenek dan Bibinya di rumahnya. Elizabeth membawakan banyak roti, kue, dan juga makanan yang lainnya. Kedatangannya disambut dengan penuh kehangatan oleh Bibi Meria dan Nenek Berta. "Akhirnya, kalian ke sini juga ... Ya ampun Nak, Exel!" Bibi Meria memeluk Exel saat tahu anak laki-laki itu ikut. "Syukurlah kalau Exel baik-baik saja," ujar Berta mengusap kepala anak laki-laki bersama Elizabeth tersebut. Setelah mendengar kabar Exel diculik, mereka pun juga ikut kebingungan. Hingga kini dua wanita tua itu begitu bahagia melihat Exel baik-baik saja. "Exel tidak papa, Nek. Lihat ... Exel baik-baik saja, kan?!" seru anak itu. "Syukurlah, Sayang," ucap Bibi Meria. "Nenek kok tidak menyapa Pauline? Sudah tidak sayang lagi, ya?" seru Pauline tiba-tiba. Anak perempuan kecil dengan balutan jaket tebal bulu-bulu berwarna biru muda itu duduk di atas meja kayu memeluk boneka beruang
Setelah menunggu dengan rasa tak sabar untuk liburan kembali ke Prancis, akhirnya hari yang dinanti-nantikan pun datang. Untuk pertama kalinya setelah sekian tahun, Elizabeth kembali memijak tanah negara yang dulu sempat ia sumpahi tidak akan kembali ke sini lagi. Tapi sekarang, keadaan telah berubah..."Akhirnya, kita sampai ... Heum, kangen sekali!" seru Exel heboh. "Hemmm, sampai di mana? Capek sekali, ingin tidur lagi," gumam Pauline dalam gendongan Evan. Evan pun tersenyum mengusap pucuk kepala Pauline. Ia mengecup pipi gemas putri kecilnya. "Sabar ya, Sayang, sebentar lagi kita akan sampai di rumah," ujar Evan. "Iya Papa." Pauline pun kembali menyandarkan kepala di pundak Evan, anak itu kembali memejamkan kedua matanya. Sementara Exel bersama Jericho dan James berjalan lebih dulu keluar dari area bandara. Musim dingin di Paris yang tak kalah indah dari di Berlin. Elizabeth berjalan sedikit di belakang Evan, wanita itu meremas kuat syal abu-abu yang ia pakai saat sudah sa
Tempat yang Exel berikan sebagai tanda hadiah atas kembalinya ia ke sini. Tempat itu adalah tempat yang sangat Elizabeth impi-impikan sejak dulu, bagaimana bisa tempat itu dibangun di pekarangan belakang dengan megahnya?!Exel mendongak menatap sang Mama yang melihat ke arah sebuah rumah kaca besar di depan sana. "Bagaimana, Ma? Mama suka?" tanya anak itu. Elizabeth menutup mulutnya. "Exel ... Exel tahu darimana dulu Mama sangat menginginkan rumah kaca?" tanya Elizabeth pada putranya. "Emm ... entahlah, tapi Papa yang tiba-tiba membangunnya. Papa bilang, Papa ingin membuat rumah kaca untuk Mama," jawab Exel menarik lengan Elizabeth dan mengajaknya ke tempat itu. Pintu rumah kaca dibuka oleh Exel, mereka masuk ke dalam sana. Beberapa bunga masih segar, beberapa juga nampak gugur daunnya, mungkin karena bunga itu tidak tahan cuaca dingin. "Indahnya," ucap Elizabeth lirih."Mama tunggu di sini sebentar ya, Exel mau panggil Paman James dulu! Ada ulat di sana, Exel geli...!" seru ana
Suara detikan jarum jam berdetak pelan dan teratur. Elizabeth menutup pintu kamarnya dan wanita itu menatap seisi kamarnya yang begitu hangat. Elizabeth mengusap bantal dan ia duduk di atas ranjang, sebelum Elizabeth menatap ruang kosong di sampingnya. "Dia pasti tidur sendirian saat aku tidak ada di sampingnya dulu ... aku hampir tak percaya dia begitu setia padaku yang berbohong telah meninggal dunia," ucap Elizabeth lirih. Sampai akhirnya pintu kamar terbuka, Evan muncul dan ia berjalan masuk ke dalam kamar itu. "Aku pikir kau sudah tidur, Sayang..." "Belum. Aku belum mengantuk. Emm ... rasanya senang sekali kembali ke rumah ini," jawab Elizabeth tersenyum manis. "Aku pun merasakan hal yang sama, Sayang," jawab Evan, laki-laki yang berbaring di atas ranjang dan menjadikan pangkuan Elizabeth sebagai bantalnya. Elizabeth menyunggar rambut hitam Evan, sementara itu tidak ada percakapan di antara mereka. Raut wajah Evan tiba-tiba berubah menjadi sedikit cemas. Ekspresi itu lan
"Selamat pagi, Tuan, Nyonya ... maaf kalau saya mengganggu. Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan." Kepala pelayan itu berdiri di ambang pintu ruangan kerja Evan dengan wajah yang gugup. Elizabeth mengangguk dan ia langsung berdiri dari duduknya saat itu juga. "Ada apa, Bi?" tanya wanita itu. "Itu Nyonya ... sejak dua hari sebelum Nyonya dan Tuan datang ke sini, ada seorang wanita yang mondar-mandir di gerbang depan. Tadi waktu saya kembali dari supermarket, wanita itu juga bertanya pada saya, apakah Tuan sudah pulang? Dan saya jawab, sudah … tapi saya tidak tahu siapa wanita itu.” Penjelasan kepala pelayan itu membuat Elizabeth langsung memasang wajah curiga. Elizabeth menoleh pada Evan dengan tatapan yang tidak-tidak sebelum Evan menggelengkan kepalanya. "Aku tidak punya simpanan, okay?" ujarnya, seolah bisa membaca pikiran istrinya. "Lalu, siapa wanita itu?" tanya Elizabeth. "Ayolah Sayang, aku juga tidak tahu," jawab Evan. Saat itu juga Elizabeth melangkah mendekati suam
"Sayang, jangan bermain di luar ya ... kalian di rumah saja, karena Paman James sedang pergi dengan Papa, kalian mengerti?" Elizabeth menatap dua buah hatinya yang kini tengah berada di ruang tamu. "Iya Mama, kita mengerti. Tapi nanti kalau Papa pulang, langsung main ke rumah Oma dan Opa ya, Ma," pinta Exel menatap sang Mama. "Tentu saja. Mama sekarang mau ke belakang dulu," ujar Elizabeth pada mereka berdua. Elizabeth berjalan ke belakang, meninggalkan dua anaknya di ruang tamu. Sementara Exel, anak laki-laki itu berdiri di dekat jendela kaca rumahnya dan menatap ke arah luar. "Kakak pasti ingin main ke luar, ya?" tanya Pauline mendekati sang Kakak. "Bukan begitu, Pauline...." "Terus?" Pauline mengerjapkan kedua matanya dan berdiri memegangi bagian belakang sweater yang Exel pakai.Exel masih diam menatap ke arah luar, di mana hujan salju masih turun di sana. Pauline bingung apa yang ditatap oleh Kakaknya, bahkan sejak kemarin Exel selalu menatap ke arah luar dengan pandanga
"Papa, ayo antarkan Exel membeli sesuatu untuk Hauri! Exel mau memberikan dia hadiah yang paling indah!" Suara Exel membujuk rayu Papanya terdengar hingga di ruang makan belakang. Elizabeth yang mendengarnya pun tersenyum, ternyata benar apa yang Evan katakan kalau setelah bertemu Hauri, pasti ada saja yang Exel minta. "Papa, dengar tidak Exel minta apa? Boleh tidak? Kalau tidak boleh Exel bisa nekat tahu!" seru anak itu berdiri dengan raut wajah sedih. "Nekat bagaimana, Tuan Kecil?" tanya Jericho menggodanya. "Jangan bilang mau kabur?" "Exel kan sudah tahu jalan-jalan di Paris. Biar saja, kalau tidak boleh Exel mau pergi sendiri!" protes anak laki-laki itu. "Mau pergi ke mana memangnya, Sayang?" Suara Elizabeth membuat anak itu menoleh dan Exel langsung berbinar-binar saat Mamanya muncul. Exel membawa sebuah kotak kecil pemberian Hauri dan menunjukkan pada Mamanya. "Mama lihat ini, Hauri memberikan hadiah buat Exel. Lihat ini, Ma ... gelang jam berwarna biru tua, bagus sekal
Seorang wanita dengan balutan pakaian hangat, mantel berwarna merah marun kini baru saja keluar dari dalam sebuah toko boneka. Clarisa memeluk sebuah boneka koala berukuran besar. Dia tersenyum-senyum sendiri menatap boneka itu. "Apa dia pikir hanya Elizabeth yang bisa membelikan Exel boneka seperti ini? Aku juga bisa!" seru wanita itu tertawa senang, meskipun kedua matanya sembab setelah dia menangis dan mengamuk karena merindukan Exel. Clarisa berjalan kaki menuju ke rumah Evan. Dari pusat kota, hanya beberapa menit saja dia bisa sampai ke rumah Evan yang memang berada di perumahan kawasan Elit. Sepanjang perjalanan, Clarisa terus menerus tertawa dan berbicara sendiri. "Exel nanti akan datang memelukku dan berterima kasih padaku karena aku telah memberiku boneka ini padanya. Lalu ... Lalu dia akan berteriak untuk ikut denganku!" serunya sebelum wanita itu tertawa puas. Clarisa merapatkan mantelnya dan ia tertunduk, dari ia yang tertawa tiba-tiba berubah menjadi sedih. "Exel-k
Exel menatap lekat pada Arthur yang masih berada di sana menjemput Pauline.Tapi seperti biasa, adik kesayangan Exel itu selalu saja ada-ada saja tingkahnya. Usia hampir dua puluh tahun, tapi dia masih seperti anak kecil yang labil. "Kau pulang saja sendiri, aku masih mau di sini! Untuk apa kau menjemputku kalau kau akan pergi lagi?!" sinis Pauline menatap Arthur. Exel terdiam melirik adiknya yang duduk bersama istrinya. "Lalu maumu bagaimana, Pauline?" "Dia tidak boleh pergi." Pauline menjawab dengan mudahnya. "Arthur harus tetap menjadi pengawalku." Arthur memasang wajah datarnya menatap Pauline. "Saya akan memulai bisnis keluarga saya di luar kota, Nona." "Padahal kau dulu janji tidak akan meninggalkan aku, bahkan kau akan menjadi satu-satunya temanku. Tapi ... ternyata ucapanmu itu hanya omong kosong." Exel dan Hauri saling tatap dengan ekspresi bingung. Mereka tidak mengerti jalan pikir Pauline seperti apa. "Lebih baik sekarang kau pulang, minta pada Papa untuk mempekerj
Sampai malam tiba, Pauline tetap berada di kediaman Exel. Gadis cantik itu tampak bersama Hauri di kamar lantai dua. Mereka asik menonton drama romantis kesukaan mereka, dan Exel yang paling senang jahil, tiba-tiba masuk ke dalam kamar dan duduk di atas ranjang di samping Hauri. "Sayang, kau sudah makan?" tanya Exel berbisik sembari mengecup pipi Hauri dengan gemas. "Sudah," jawab gadis cantik itu. "Kau sendiri, sudah makan malam?" "Hm," gumaman menjadi jawaban dari Exel. Dari arah samping Hauri, tiba-tiba Pauline menengok Kakak dan Kakak iparnya tersenyum. "Kakak, tadi Papa tidak bilang ingin menjemputku, kan?" tanya Pauline dengan kedua mata indahnya yang mengerjap. "Tidak, Pauline. Tapi jangan lama-lama di sini," ujar Exel menyindir sang adik, hal ini membuatnya terkekeh. Pauline lantas terdiam. Ia menoleh pada sang Kakak kembali dengan tatapan sedih. "Aku harus pulang sekarang, ya, Kak?" cicitnya. "Tidak, Pauline..." Saat itu juga Hauri langsung merangkul Pauline. Gadis
Exel mendatangi kediaman kedua orang tuanya. Setelah sang adik datang sambil menangis, membuat Exel tidak tega. Kedatangannya disambut seperti biasa oleh Mama dan Papanya, mungkin mereka tahu kalau Exel datang akan memprotes mereka."Adikmu di sana?" tanya Evan saat Exel baru saja duduk. Exel menatap Papanya dan berdecak pelan. "Papa apa-apaan, menjodohkan Pauline dengan seenaknya seperti ini? Pauline masih kuliah, Pa." "Exel—""Pa, Ma, Pauline itu masih seperti anak kecil. Papa tahu sendiri kan, segala sesuatunya selalu membutuhkan orang lain! Dan satu-satunya orang yang sabar dan selalu membantunya adalah Arthur!" tegas Exel pada sang Papa. "Papamu memang tidak pernah bisa mengerti anak-anaknya," sahut Elizabeth dengan wajah kesal pada sang suami. Mendengar hal itu, Evan langsung menoleh menatap sang istri. Laki-laki itu menutup laptop yang ia pangku dan mengembuskan napasnya panjang menatap Elizabeth dan Exel bergantian. "Dengarkan aku, Sayang ... dengarkan Papa, Exel ... Pap
"Enghh ...."Suara lenguhan pelan itu terdengar dari bibir Hauri. Gadis itu membuka kedua matanya perlahan-lahan. Hauri mengembuskan napasnya panjang saat merasakan sekujur tubuhnya terasa lelah dan remuk. Bahkan untuk bergerak sesenti pun, Hauri merasa nyeri pada inti tubuhnya. Hauri menatap ruang samping ranjangnya yang kosong, sepertinya Exel sudah bangun. "Jam berapa ini?" gumamnya lirih. Perlahan Hauri membalikkan badannya dan menatap ke arah dinding, jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, namun ia sangat malas untuk beranjak. Hauri bahkan tidak ingat, kapan ia memakai dirinya memakai piyamanya lagi. Gadis cantik itu pun masih terdiam menatap langit-langit kamarnya. Kedua pipi Hauri merona tiba-tiba saat ia mengingat kejadian semalam. Hauri menyerahkan apa yang telah ia jaga kehormatan yang selama ini ia jaga pada laki-laki yang sangat ia cintai. Dan ia mengingat jelas bagaimana semalam mereka melakukannya dengan sangat bergairah dan...."Ya ampun, apa yang aku pikirkan!"
Cuaca sangat dingin malam ini, Hauri tampak sibuk merangkai kalung mutiara miliknya yang putus sore tadi. Kini, gadis itu tampak sangat fokus merangkainya satu persatu. Hingga Exel yang baru saja masuk ke dalam kamar, tampak memperhatikannya dengan kedua mata mengerjap. "Sayang, kau sedang apa? Ini sudah jam sebelas, Hau," tanya Exel, ia berjalan ke arah ranjang dan mendekati istrinya. Hauri menunjukkan beberapa butir mutiara yang ia simpan di dalam sebuah mangkuk kecil. "Kalungnya tadi putus karena bajuku, lalu semua mutiaranya berceceran di lantai, tapi aku sudah memungut semuanya. Semoga tidak ada yang tertinggal atau jatuh di bawah ranjang," ujarnya dengan wajah sedih. "Sayang ... sudah, sudah, taruh saja. Besok aku belikan lagi," ujar Exel mengambil mangkuk mutiara di hadapan Hauri. Namun, gadis itu menatapnya dengan tatapan lekat. "Jangan Sayang, aku belum selesai. Tidak papa, aku akan menyelesaikannya. Sayang kalau tidak dirangkai lagi," seru gadis itu. Exel mengalah. L
Keesokan harinya, Exel menemani Hauri untuk kembali berobat. Bahkan setelah kemarin Hauri merasa lemas dan kelelahan hingga membuat Exel merasa sangat cemas. Sudah lima jam lamanya Hauri menjalani pengobatan dan Exel menunggu dengan sabar, ia juga terus menerus tanpa henti berdoa yang terbaik untuk istrinya. Hingga tiba-tiba sebuah pintu kaca terbuka di depan sana, Dokter William menatapnya sambil tersenyum, seolah ada sesuatu yang melegakan akan dia sampaikan. "Tuan Exel, mari," ajaknya tiba-tibaExel segera ikut bersama dengan Dokter William masuk ke dalam sebuah ruangan. Laki-laki berjubah putih itu segera duduk di hadapan Exel dengan wajah lega. "Dokter, bagaimana perkembangan kondisi istri saya?" tanya Exel. Dokter William tersenyum. "Kondisi Hauri jauh sangat-sangat membalik, meningkatkan beberapa persen lebih baik. Saya juga tidak terbayangkan, bisa secepat ini. Mungkin karena Hauri rajin mengonsumsi obat dan mengatur pola pikirnya. Tetapi ... saya merasa sangat-sangat ba
Diberi libur satu minggu, Exel ingin hari-hari itu diisi oleh menyenangkan hati Hauri. Mulai dari mengajaknya makan bersama, hingga pergi ke jalan-jalan. Seperti saat ini, Exel mengajak Hauri pergi ke sebuah rumah makan Jepang yang mewah yang ada di tengah kota. Hauri tampak sangat antusias begitu Exel mengajaknya memilih tempat duduk yang pas. "Aku baru tahu di sini ada restoran Jepang," ujar gadis itu tersenyum manis. "Hmm ... kau mau memesan makanan apa, Sayang?" tanya Exel menoleh dan menatapnya. "Apa saja, semua makanan Jepang aku suka," jawab gadis itu. "Tapi kalau ada, aku mau ramen. Emmm kuenya—""Dango!" jawab mereka bersamaan. Saat itu juga Exel terkekeh, laki-laki itu langsung mengusap pucuk kepala Hauri dengan gemasnya. Kedua pipi Hauri langsung bersemu. Gadis itu menepuk-nepuk lembut kedua telapak tangannya sambil tak sabaran menunggu pesanan makanannya datang. Hingga tak lama kemudian, makanan yang Hauri tunggu-tunggu pun telah tiba. Semangkuk ramen dan juga kue
Karena pembantu belum datang ke kediaman baru Exel, tampak laki-laki sibuk di dapur sejak tadi. Bahkan Exel juga tidak membangunkan istrinya yang tidur sejak siang, karena Exel tahu kalau istrinya pasti sangat kelelahan. Aroma masakan yang sedikit gosong, dan suara kekacauan di dapur pun membuat Hauri terbangun. Gadis itu segera keluar dari dalam kamar. "Ya ampun, aroma apa ini? Kenapa gosong begini?" gumamnya lirih. Perlahan Hauri menuruni anak tangga, ia menengok dari selasar lantai dua ke bawah sana. Hauri melihat Exel yang berada di dapur sendirian dengan semua barang-barang yang terlihat sangat berantakan. "Ya ampun, Exel..." Hauri menutup mulutnya kaget. Buru-buru gadis itu berjalan turun ke lantai satu dan melangkahkan kakinya mendekati Exel. Dari piring, mangkuk, hingga wadah lainnya menumpuk di dapur. Bahkan ada beberapa makanan yang tampak dibuang karena gosong dan tidak layak makan. "Y-ya ampun, Sayang..." Hauri menutup mulutnya menyaksikan kekacauan ini. Tetapi, g
Setelah menikah, Exel sudah jauh-jauh hari menyiapkan rumah untuknya dan juga Hauri. Rumah yang akan mereka tempati berdua, atau mungkin bersama anaknya suatu saat nanti. Rumah mewah berlantai dua, bernuansa putih bersih. Serta taman tang yang sangat indah, juga luas. Hauri tak berhenti terkagum-kagum menatap bangunan megah di hadapannya saat ini. "Wahh ... Sayang, kau membuat rumah kaca?" tanya Hauri menunjuk ke arah sebuah rumah kaca yang berada di tengah taman. "Heem, bagaimana? Apa kau suka?" tanya laki-laki itu. "Iya. Ayo kita ke sana," ajaknya dengan penuh semangat. Hauri menarik lengan Exel, tapi laki-laki itu tidak bergerak sedikitpun. Justru Hauri yang langsung menoleh ke belakang menatapnya. Sorot mata Exel tampak sayu. Ia malah menarik balik lengan Hauri hingga gadis itu mendekatinya. "Istirahat dulu, Sayang. Jangan sampai kau kelelahan setelah acara kemarin," ujar Exel mengusap punggung tangan Hauri. Gadis itu terdiam sesaat, Hauri menatap lagi pada rumah kaca yan