"Seseorang yang kau kenal? Siapa, Patricia?" Suara sahutan itu terdengar dari Elizabeth yang kini masih memperhatikan Patricia bersama dengan Tania. Nampak Patricia berpikir-pikir dan wanita itu menggelengkan kepalanya. "Emmm, ada. Tapi, jelas-jelas wajahnya berbeda," jawab Patricia masih terkekeh, sebelum dia menatap Tania lagi. "Maaf ya, Tania. Kau mirip dengan mantan temanku. Tapi tidak terlalu mirip karena kau itu orang yang baik dan pemalu, sedangkan mantan temanku itu wanita sialan! Dia bernama Clarisa." Tania tidak menjawab apapun, selain hanya diam meremas nampan yang ia bawa dan semakin menundukkan kepalanya.Di sana, Elizabeth memperhatikan wajah Tania yang terlihat pucat. "Sudahlah, kembalikan ke belakang, Tan. Siapkan dan ambilkan cemilan di atas meja belakang ya. Setelah itu bantu Bibi Lidia menyiapkan makan malam," ujar Elizabeth menatap Tania. "Baik Nyonya," jawab Tania mengangguk. Wanita itu pun berjalan ke belakang, dan Patricia kembali duduk bersama Elizabeth
Keesokan harinya, seperti yang sudah dibicarakan semalam. Patricia dan Catrine datang ke kediaman Evan setelah mereka menyelesaikan meeting di kantor.Elizabeth menyambut kedatangan mereka dengan sangat senang. Ketiga wanita itu duduk di teras samping rumah, dan membicarakan banyak hal yang menyenangkan. "Apa suamiku masih ada di kantor?" tanya Elizabeth menatap Patricia. "Masih Nyonya. Tadi, Tuan Evan sedang ada tamu penting," jawab Patricia sembari meletakkan tas kerjanya. "Oh baiklah." Elizabeth mengangguk, wanita itu berdiri dari duduknya dan ia melambaikan tangan saat melihat Tania. Pembantu muda itu melangkah mendekati Elizabeth dan ketiga tamu wanita di sana. Tania menundukkan kepalanya dan ia sama sekali tidak berani menatap Catrine maupun Patricia. "Ada apa, Nyonya?" tanya Tania."Tan, tolong buatkan teh chamomile dan ambilkan biskuit di dalam lemari kayu di samping lemari es, bawa semua biskuitnya ke sini," ujar Elizabeth. "Baik, Nyonya." "Oh, tunggu!" Suara Patricia
Tania mengatupkan bibirnya rapat, wanita itu meremas ujung lengan jaket hitam yang ia pakai saat Jericho menatapnya penuh intimidasi. Jericho tersenyum miring dengan tatapan tak lepas dari Tania. "Kenapa kau hanya diam? Apa mulutmu tidak bisa berkata-kata lagi?" Jericho meremehkannya. Mendengar apa yang Jericho ucapkan, Tania lantas menipiskan bibirnya dan wanita itu tersenyum tipis. "Mau ke manapun aku pergi, itu bukan urusanmu!" seru Tania. Ekspresinya berubah, tak ada lagi gentar di raut wajahnya.Wanita itu hendak melenggang pergi, namun Jericho menghadangnya dan sengaja membuat Tania tak bisa melewatinya. "Tidak semudah itu, Tania. Kau bekerja di sini bersama Tuan Evan dan Nyonya Elizabeth, bila terjadi sesuatu denganmu di luaran sana, maka Tuan dan Nyonya yang akan repot. Apa kau tidak menggunakan akal sehatmu untuk berpikir, heh?!" Jericho menatapnya dengan jarak yang sangat dekat. "Tindakanmu yang sering keluar malam sembunyi-sembunyi seperti seekor ular, kau pikir tidak
Beberapa hari kemudian, waktu yang ditunggu oleh Pauline dan Exel telah datang, yaitu hari libur. Di mana Mama dan Papanya akan mengajak dua anak itu pergi jalan-jalan ke sebuah game zone setelah mereka pergi ke sebuah restoran untuk makan siang. "Kalian main di sini saja, Paman James akan menjaga kalian. Mama dan Papa mau berbelanja dulu ya, Sayang..." Elizabeth menatap dua buah hatinya yang kini terlihat tak sabaran ingin segera bermain. "Iya Mama." Pauline mengacungkan jempolnya. "Jaga adik baik-baik, Sayang," ucap Evan sembari mengusap pucuk kepala Exel. "Iya Pa, tidak usah dinasehati juga Exel tahu. Kan Exel, Kakak yang sudah dewasa," jawab anak itu dengan sangat percaya diri. Elizabeth tersenyum mendengar jawaban putranya. Berbeda dengan Evan yang tertawa pelan dan tambah mengusap gemas pucuk kepala Exel. "Ya sudah, sana main," ujar Evan pada dua anaknya tersebut. Dengan ekspresi wajah yang ceria dan senang, Pauline pun langsung menarik lengan sang Kakak dan mengajaknya
Usai mengikuti Tania sejak siang hingga sore, Elizabeth dan Evan pun kini memutuskan untuk pulang ke rumah. Elizabeth berjalan masuk ke dalam kamar, wanita itu meletakkan tas miliknya dan melirik sebuah kalender di atas meja. 'Besok masih tanggal merah, dan aku mengizinkan Tania untuk libur dua hari ... kenapa hari terasa semakin lama saat aku mulai penasaran dengan sesuatu,' batin Elizabeth kacau. Pintu kamar pun kembali terbuka, muncul Evan yang berjalan masuk ke dalam kamar tersebut. Laki-laki itu memperhatikan Elizabeth yang terlihat sedikit murung. Evan tidak menyukai Elizabeth yang memasang wajah sedih seperti ini. "Sayang, kau tidak papa?" tanya Evan sembari melepaskan mantel hangatnya. Istri cantiknya itu hanya melirik sebentar sebelum kembali menatap ke arah luar. "Evan, aku ... aku sekarang merasa sangat menyesal," ujar Elizabeth tertunduk dan meremas jemari kedua tangannya. Kedua alis tebal laki-laki itu mengerut. Evan menarik kursi di depan meja rias dan meletakkan
Elizabeth dan Evan mengajak dua anak mereka untuk datang ke sebuah restoran berbintang milik keluarga Winston.Mereka berdua sudah melihat ada Daniel di dalam sana yang sepertinya baru saja datang. Dan Pauline, anak itu terlihat kaget melihat ada Daniel di sana. Dia menatap Daniel dengan kedua pupil matanya yang lebar. "Om Baik-ku!" teriak Pauline keras-keras. Mendengar suara keras dan mungil milik Pauline, sontak, pemilik nama itu langsung menoleh dengan cepat. Dapat terlihat perubahan ekspresi Daniel begitu cepat saat Pauline berlari ke arahnya. Daniel pun langsung menangkap dan menggendong Pauline, memeluknya dengan sangat erat. "Ya ampun, Nak ... Papa rindu padamu," ujar Daniel mengecupi pucuk kepala Pauline. Evan dan Elizabeth pun ikut tersenyum melihat kedekatan mereka. "Dia terus mencarimu," ujar Evan terkekeh sembari menjabat tangan Daniel. "Hehh, kalian saja yang tidak mau menghubungiku! Aku kan juga kangen dengan Princess Kecilku ini," ujar Daniel menatap wajah Pauli
Daniel bersungguh-sungguh menghubungi Gladys untuk datang malam itu juga di restoran tempat ia berada bersama Evan dan Elizabeth. Wanita cantik berambut lurus sepunggung itu, terlihat kaget, dengan ekspresi bertanya-tanya untuk apa dia diundang datang ke sana. "Oh, rupanya ada Elize juga di sini," sapa Gladys saat dia baru saja tiba. Elizabeth tersenyum. "Iya Glad, lama tidak bertemu..." "Heem. Sangat lama sekali, Elize ... jadi rindu suasana kita ngobrol bersama, ya," jawab wanita itu sembari duduk di samping Daniel. Mereka pun menunggu Gladys melepaskan mantelnya terlebih dahulu. Sebelum akhirnya kini Daniel menatap sepupunya tersebut, yang nampak kebingungan dengan undangan kedatangannya di tempat itu. "Glad, ada sesuatu yang ingin kami tanyakan padamu," ujar Daniel pada sepupunya tersebut. "Ada apa, Niel? Se-sesuatu apa?" tanya Gladys nampak sangat bingung. Elizabeth mengembuskan napasnya pelan saat Gladys menoleh padanya. "Siang tadi kami tidak sengaja melihatmu bertemu
Benar apa yang Evan katakan, Tania tidak kembali hingga dua hari ini. Bahkan nomor teleponnya pun juga tidak bisa lagi dihubungi. Entah pergi ke mana wanita itu!Di kediaman Evan, siang ini sedang ada beberapa orang yang sengaja dia datangkan secara khusus. Laki-laki itu juga meminta beberapa orangnya dari Prancis untuk datang. Evan tidak ingin, ada hal menyakitkan yang tiba-tiba terjadi, ia harus berjaga-jaga dan melindungi keluarganya. Sedangkan Elizabeth, wanita itu kini bersama dua anaknya dan ditemani oleh James di teras belakang, karena Pauline rewel saat di rumahnya ada banyak orang. "Dia bahkan tidak membawa pakaian dan barang-barangnya, Nyonya. Semuanya masih ada dan tertinggal di paviliun," ujar James pada Elizabeth yang kini menggendong Pauline. "Apa saja barang-barang yang ada di sana, James?" tanya Elizabeth. "Selain pakaiannya?" "Entahlah Nyonya, mungkin kemarin dia sudah membawa beberapa pakaiannya," ujar James. Elizabeth mendengus pelan. "Wanita itu ... Clarisa,"