Tuan Mirja terkekeh. Ahsin hanya bisa geleng kepala. Ia beralih pada Tuan Mirja “Lalu Paman ke sini ada keperluan apa?” “Ahsin, kau seperti tidak senang Paman ke sini,” tuding Tuan Mirja.“Kenapa Paman berpikiran begitu?” Ahsin menekan tombol sehingga roda bergerak mendekati pamannya. “Sebagai tuan rumah, tentu saja aku harus menanyakan maksud kedatangan Paman. Andai Paman memberitahu lebih dulu, aku bisa menyambut Paman dengan lebih baik.”Tuan Mirja tergelak. “Kau memang seperti ayahmu. Aku ke sini cuma mau jalan-jalan.”“Dengan Noura?”Tuan Mirja terkesiap. “Tidak. Tadi ketemu Noura ketika sudah di muka perusahaan,” sahut Tuan Mirja. “Begitu.”Tok tok. “Sebentar lagi rapat.” Ferry muncul dari balik pintu. “Maaf, aku harus meninggalkan Paman. Jika ada keperluan di sini, nanti aku minta sekretaris melayani Paman.” Tuan Mirja berdiri. “Tidak. Aku cuma ingin berkeliling. Sudah lama tidak ke sini. Cukup sendiri saja.”Noura sudah di samping Ahsin. “Rapat? Aku sudah bekerja di sin
“Noura benar, kenapa Gea boleh masuk ke ruang rapat More?”“Dia ….” Ahsin menutup mulutnya. Ia menatap Gea yang juga menatapnya. Gea melangkah maju dan tepat berdiri di depan Noura. Ia mengulurkan tangan. “Perkenalkan, saya pemilik nama Habbagea. Saya salah satu pendiri More, dan kepala departemen .…” “GEA!” teriak Ahsin dan Charles.Sontak semua orang di ruangan itu terkejut.Seluruh karyawan satu sama lain hanya bisa saling tatap. Beberapa orang merapatkan mulutnya supaya tidak mengeluarkan suara, tetapi akhirnya terdengar kalimat.“Dia gadis bertopeng itu?”Charles menggamit Gea. “Ada apa denganmu? Kenapa tiba-tiba begini?” bisik Charles. “Aku cuma tak suka dikatakan sistem More lemah?!” sahut Gea cepat. Charles termundur. Gea memangkas jarak dengan Noura. “Nona Noura, memang banyak orang tidak seberuntung kamu yang terlahir sebagai sendok emas. Tapi bukan berarti dapat kau remehkan. Apa kau tidak tahu sekarang More termasuk dalam daftar 10 perusahaan teknologi se-Asia? Perlu k
Ahsin menghela napasnya. “Gea, kau tidak menyayangi More?”“Sayang. Tapi, bagaimana pun aku sudah digaji. Kurasa itu sudah lebih dari cukup.”Ahsin menatap Gea dalam diam yang tak menatapnya. Mendadak ia merasa semakin jauh dengan Gea. Ia teringat tatapan dingin Gea barusan.“Gea, kau sangat berarti bagi More. Tanpamu akan ada kekosongan,” bujuk Ahsin. “More memiliki banyak orang berkualitas, terutama di pilar. Sudah saatnya Bos memberikan kesempatan pada mereka,” sahut Gea.Ahsin bungkam.“Gea, bagaimana kalau aku yang menangani Zurra? Kau tetap di sini,” usul Ferry, melupakan status Gea sebagai istri majikannya. “Tidak. Zurra didirikan oleh ibuku, sudah saatnya aku melanjutkan estafet ibu.” Gea berdiri dan membungkukkan sedikit badannya. “Saya mohon pengertiannya.”“Jika itu maumu, aku tidak bisa memaksa. Aku berharap suatu saat kau mau kembali, bagaimana pun kau seperti ibu bagi More.”“Terima kasih, Bos. Semoga More semakin maju.” Gea kembali duduk dan memainkan keyboard. Hanya
Di sinilah Gea akhirnya. Berdiri di depan kantor KUA, karena telah menikahi seorang pria yang baru saja ditemuinya beberapa menit lalu. Seorang pria yang masih mengenakan pakaian kuli bangunan. Ia mencermati nama pria itu di buku nikah. Keningnya mengerut karena nama itu terasa familiar, tapi di mana? Kembali ia mengeja nama pria. Seketika ia ingat sebuah nama yang sangat terkenal di kota itu. Namun, ia segera menggeleng karena itu tidak mungkin. Ya, setidaknya laki-laki itu beruntung memiliki nama yang sama. ***Malam tadi Gea tengah melangsungkan pesta pertunangan mewah di sebuah hotel elit. Senyum bahagia tak kunjung berhenti di bibir Gea dalam menyambut tamu satu persatu. "Aku mau menyapa teman-temanku. Tak apa kutinggal sendirian?" tanya Bei Prayoga, tunangannya yang memiliki darah Tiongkok. Gea menggeleng. "Tak apa. Tinggalkanlah." Sedikit pun Gea tidak memiliki firasat buruk pada pria tampan yang telah menemaninya beberapa tahun.Bei menjauh. Gea mengambil segelas minuman b
"Bersyukur?" "Iya, karena kamu tahu sifatnya lebih awal? Coba bayangkan, bagaimana kalau kalian terlanjur menikah dan baru tahu sekarang sifat aslinya? Tentu akan lebih sakit dan lebih sulit lagi melepaskan diri." Gea menghela napasnya. "Kakek benar. Seharusnya aku bersyukur telah putus dari laki-laki seperti dia."***Di rumah sakit yang sama dua orang laki-laki berjalan cepat. Seorang mengenakan setelan jas dan satunya berseragam kuli berwarna biru dengan helm di tangan."Tuan Muda, tidakkah ganti pakaian dulu sebelum menemui Tuan Besar?""Tidak perlu. Akan lebih praktis setelah sini kita langsung meluncur ke lokasi konstruksi.""Baik, Tuan Muda.""Kamu pergilah. Biasanya kakek cerewet dan akan memakan waktu.""Baik, Tuan Muda."****Gea mengantar kakek ke ruang rawat inap dengan menggandeng lengan."Kakek sudah tua. Jagalah kesehatan, jangan berkeliaran sendirian," pesan Gea sambil membuka pintu dan membimbing kakek sampai ke ranjang. Kakek mendesah. "Heh, Kakek tua ini menghabi
"Aku sibuk sekali. Bagaimana kalau sekarang?""Sekarang?" pekik Gea. ***Gea membuka buku nikahnya setengah tidak percaya. Tiba-tiba saja ia telah menikah dengan laki-laki yang baru dikenal. Ia menatap fotonya bersanding dengan seorang laki-laki tanpa berkedip. Di belakangnya Ahsin setengah berlari membawa payung dan memberi naungan padanya. Spontan wajahnya tengadah.Syok kembali menyelimutinya. Ia baru menyadari pria yang sekarang jadi suaminya ternyata sangat tampan. "Mulai gerimis."Gea mengerjap. Seakan rohnya baru kembali. "Mmm … Aku mau kerja dulu. Masukkan nomor telponmu," ucapnya sambil menyerahkan ponsel. Ahsin menyambutnya, kemudian memasukkan nomor telponnya tanpa menyimpan nama. "Namamu?" tanya Gea. Ahsin mengerutkan kening. "Oh maaf. Aku sedikit linglung hari ini," ucapnya sambil menutupi rasa malu dengan mengetikkan beberapa huruf. Nyatanya ia memang tidak bisa mengingat nama laki-laki yang telah menjadi suaminya. Ia berinisiatif memberi nama suamiku. Setidaknya
"Sudahlah. Sesuai wasiat ibumu. Kau bisa mengambil perusahaan Zurra jika sudah menikah. Jadi jangan putus dari Bei jika ingin mengambil alih perusahaan."Gea membuka tasnya dan memperlihatkan buku nikah. "Aku sudah menikah."Sontak Sinta berdiri dan merampas buku nikah itu. Ia membuka buku itu dan sesaat terkejut ketika melihat nama suami kakaknya. Beberapa detik kemudian ia tersenyum kemenangan. "Kakak tak perlu membuat buku nikah palsu hanya karena ingin putus dengan Kak Bei."Gea merangsek maju dan mengambil buku nikahnya. "Kamu lupa aku putus dengan Bei karena trik norakmu.""Mengapa kau selalu mengintimidasi adikmu?" sela Malika sambil mengelus dada Lyman."Menginditimasi? Heh.""Pa, lihat putrimu! Dia semakin melonjak," adu Malika. "Gea, apa kau tidak malu. Baru putus dengan Bei, langsung menikah dengan pria entah berantah.""Malu? Hah? Bagaimana dengan Sinta yang sangat lengket dengan calon tunangan kakaknya. Oh aku lupa, dia memang genetik darimu. Belum genap ibuku meninggal,
Sinta semakin bersemangat. "Baik, Pa, Ma. Sinta pasti akan mendapatkan putra Buana."*** Di luar Ahsin kembali membuka payungnya dan sebelahnya tangannya memegang pundak Gea. "Hari ini cuaca tidak baik. Aku akan mengantarmu pulang. Kau istirahatlah," bujuk Ahsin begitu melihat mendung menyelimuti wajah Gea. "Ahsin, maaf atas perlakuan keluargaku padamu tadi.""Abaikan mereka. Aku tidak menghormati orang yang menganiaya kamu, meski mereka orang tuamu." Ahsin menyentuh pipinya. "Abaikan sikap mereka, ya. Sekarang kau punya aku." Gea menatap Ahsin. Bagaimana ia bisa mengandalkan pria asing yang baru menikahinya?"Hidungmu berdarah," pekik Ahsin. Gea menengadahkan wajahnya. Ahsin mengeluarkan sapu tangan di sakunya. Gea menolak. Ia mengambil selembar tisu di tasnya. Ahsin langsung mengambil tisu itu dan menyapu ke hidung Gea. "Kita ke rumah sakit, ya.""Tidak perlu. Ini sudah biasa.""Sudah biasa?" Ahsin semakin khawatir."Hidungku akan berdarah jika Papa menamparku. Lama kelamaan a