“Mama ngga ada uang lagi, Us,” penolakan Salma saat anak sulungnya meminta uang untuk pembayaran kelanjutan sewa ruko dimana Circle Cafe berada. “Kamu anggep Mama ini pohon uang apa? Bisa menghasilkan uang kapanpun? Mama ini hidup dari gaji pensiun Baba kamu, gaji pokok aja, Us. Kecil. Beda sama pas almarhum Baba masih hidup.”Satu tahun empat puluh juta biaya sewanya, sementara penghasilan cafe saja jauh dari mampu untuk menutupi uang sewa itu apalagi biaya lainnya. Boro-boro untung, mah, yang ada malah buntung.“Apa kita sudahi aja buka cafe ini, Beib?” tanya Firdaus suatu malam sebelum tidur. Menurutnya, hal ini harus ia diskusikan dengan Bella.Tentu saja Bella menggeleng. “Malu sama temen-temen, Mas. Pasti mereka bilang, ih ngga laku, ya cafenya makanya tutup.”Selain alasan itu, ia ngga mau Nisha berbahagia melihat cafe itu tutup. Karena lokasinya memang sering dilewati Nisha kalau mau ke mall.Firdaus menghela napas. “Jadi, aku harus minjem ke bank ini buat bayar sewanya?”“Ya,
Kehadiran anggota baru ngga lantas membuat Salma berada dalam luapan kebahagiaan. Dia, kan memang kurang dekat sama cucu-cucunya. Apalagi, tinggalnya juga ngga satu rumah, kan. Sudah kebiasaan, sih yang ia lihat selama ini kalau anak perempuan melahirkan pasti setelah itu tinggal sementara di rumah ibunya.Makanya, Salma terheran-heran melihat Bella pulang ke rumah ini setelah bermalam di rumah sakit satu malam dua hari.“Lho, kok pulang ke sini?” tanya Salma bingung setelah Firdaus mengantar Bella dan buah hati mereka ke kamar. Suaranya tertahan, ngga mau menantunya itu mendengar.“Memang mau tinggal di sini, Ma. Ya, itu gunanya kamar didekor ulang kemarin,” jawab Firdaus, kemudian meletakkan pakaian kotor di keranjang. Gayanya dekor ulang, padahal cuma ganti cat aja, lebih ke warna putih.“Kenapa ngga tinggal di rumah Mamanya aja, sih?!” desak Salma lagi mencegat Firdaus, yang hendak masuk ke dalam kamar.“Ih, mana mau aku tinggal di rumahnya, Ma. Ngga ada AC juga,” jawab Firdaus men
“Us, itu istri siri Baba?” tanya Salma seraya menunjuk seorang wanita yang beberapa tahun tampak lebih muda darinya. Kulit wanita itu juga lebih putih darinya.Firdaus terlalu fokus pada Nisha sampai sulit untuk melepaskan pandangannya. Tapi, tarikan di ujung lengannya, membuat Firdaus terpaksa menoleh ke arah Salma lantas ke arah pandangan wanita itu.Firdaus pun bisa melihat sosok Indira tengah asyik berbincang dengan teman-teman Nisha. Ada Yahya juga di sana. Sudah terkenal banget di kampusnya kalau pria itu mengincar Nisha.“Kenapa, sih harus datang bareng dia?!” keluh Salma dongkol. Dia ngga sudi satu ruangan dengan Indira. Ia mengambil tempat jauh ke dari rombongan Indira.Sementara Firdaus masih awas melihat pergerakan Yahya, yang akrab sekali dengan Nisha. Masak iya pria beranak tiga itu berani mendekati Nisha. Nekat sekali.“Ma, mau aku ambilkan kue?” cetus Firdaus.Salma mengangguk. Saat merapikan jilbabnya, mainan jilbabnya mendadak jatuh. Ia pun merunduk hendak mengambil br
Sudahlah dipusingkan akan tingkah laku menantu dan anaknya yang serasa masih gadis dan perjaka, keluyuran saja kemana-mana, ditambah lagi masalah cafe yang didirikan oleh mereka berdua. Ngga ada pengunjungnya lagi!Benar-benar sudah tekor.“Pinjam uang, lah, Ma,” pinta Firdaus di Senin pagi. Nada bicaranya sudah seperti pengemis di lampu merah.“Mana ada uang lagi, Us!” sergah Salma marah. Sedikit-sedikit minta uang sama dia.Giliran pas ada uang Firdaus dan Bella malah senang-senang sendiri. Mana pernah dia diajak makan di luar sama mereka.“Memangnya buat apa?! Cafe ngga ada pemasukan apa?!”Firdaus menggeleng lesu. “Buat bayar pinjaman di bank. Sudah mau jatuh tempo. Kalau sampai telat, malah kena denda. Sayang duitnya.”“Cafe kalian itu kenapa ngga jalan, sih?! Makanannya ngga enak atau gimana?!” tanya Salma bingung.Bella juga heran, sih kenapa cafe ini ngga laku. Dia sudah berpenampilan sexy begini buat manggil pelanggan cowok biar nongkrong di mari, tetap ngga mempan juga.Kalau
“Undangan siapa, Dek?” tanya Nisha selagi Amanda membagikan undangan ke teman-teman seruangannya.Amanda memberikan undangan terakhir pada Nisha. “Undangan Manda, lah, Kak,” jawabnya penuh percaya diri.“Cie, akhirnya nikah juga kamu, Manda,” celetuk Ade seraya melirik Fadhil. Sekedar info, Amanda ini sempat pacaran sama Fadhil, tapi digantungin melulu, ngga kunjung dinikahin.Fadhil berusaha berekspresi sedatar mungkin. Dia ngga tahu saja kalau mukanya itu kaku banget.Amanda tersenyum malu-malu. “Jangan lupa dateng, ya, Mbak dan Kakak sekalian,” ucapnya. “Kamu juga, Dhil,” imbuhnya sambil menepuk pelan bahu Fadhil.“Iya, iya. Insya Allah datang,” jawab Fadhil cepat, agak kaget juga.“Kalau gitu, Manda permisi dulu, ya,” pamit Amanda.“Dadah, Manda.” Mbak Ade melambaikan tangannya pelan ke arah Amanda. Selepas kepergian gadis tinggi berkulit hitam manis itu, ia segera melancarkan serangan. “Kamu kapan nyusul, Nis?”Nisha mengernyitkan keningnya sebelum menoleh ke arah Ade. “Aku, Mbak?
“A ... apa maksudnya, Kak?” tanya Nisha setelah tertegun selama satu detik.“Kamu sengaja mendekatiku supaya bisa menjadi istri kedua suamiku, kan?!” tuduh Amelia. Semua kenangan manisnya bersama Nisha menguap bersama api amarahnya.“Apa?!”“Jangan berpura-pura bodoh! Aku jijik melihatnya!” teriak Amelia murka.Melihat situasi kian mencekam, sebagai orang yang paling dekat, Ade pun menghampiri. Ditahannya lengan Amelia yang berusaha menarik jilbab Nisha. “Sudah, Bu! Lepas! Bicarakan semuanya baik-baik dulu!”“Minggir kamu!” Amelia menginjak ujung sepatu Ade dengan sepatu berhaknya. “Jangan ikut campur!”Ade pun terhuyung-huyung ke belakang sambil menahan sakit. Dalam hati segala sumpah serapah tertuju pada Amelia.Tiba-tiba ada yang menggenggam erat lengan Amelia. Baik Amelia maupun Nisha, sama-sama melihat ke arah si pemilik lengan.“Pa?!” seru Amelia kaget. Matanya bergetar melihat kehadiran suaminya di sana, terlebih lagi bertindak seolah menjadi penyelamat Nisha.Nisha hendak mene
“Hahaha! Hahaha!” Suara gelak tawa terdengar dari dalam kamar.Bu Desi baru saja memencet tombol mesin cuci, langsung menoleh ke arah kirinya.“Bu Salma barusan pergi sama Nak Firdaus. Anaknya ....” Bu Desi melihat ke arah ayunan yang ada di ruang tengah. “Ada di situ.” Telunjuknya beralih ke arah kamar. “Terus, dia ketawa sama siapa?” Bola mata hampir keabuan itu terbelalak. Tubuhnya merinding disko membayangkan yang tidak-tidak. “Ngga tahu, ah. Mending kabur aja.”Bu Desi memilih untuk pergi keluar saja, membersihkan bagian luar rumah. Kebetulan semalam hujan dan lumayan kotor oleh dedaunan.Bu Desi itu ngga salah dengar. Memang benar adanya kalau Bella tertawa terbahak-bahak di dalam kamar. Tertawa sendiri, bukan seperti yang diduga wanita berumur itu. Ngga ada mistis-mistis gitu.Bagaimana Bella ngga tertawa kalau disuguhkan tontonan yang menggelitik perut. Mumpung Si Kecil tertidur pulas, dia memilih rebahan sambil main gawai. Dan, s
“Seriusan ini kamu mau berhenti kerja, Nis?” tanya Mbak Ade dari balik meja. Melihat teman-temannya yang lain mengerubungi meja Nisha, ia pun ikut mendekat.Wanita berhijab biru bercampur hijau tosca itu itu terlihat tengah membereskan barang-barangnya. “Iya, Mbak.”“Sudah nemuin Pak Kasubag tadi?”Nisha mengangguk.“Apa katanya?”“Bapak sebenarnya ngga mau aku berhenti hanya karena video itu. Pak Yahya, kan juga sudah dipanggil dan bilang kalau semua itu ngga benar. Tapi ....” Nisha menggantungkan kalimatnya. Ia terduduk, lantas menunduk. “Aku ngga sanggup kalau terus diterpa berita seperti itu.”Ade segera memeluk Nisha, dan Renata mengelus bahunya.Fadli memalingkan wajah, menahan pilu mendengar sesenggukan tangisan orang yang menurutnya sangat kuat itu.“Sabar, Nis. Yang kuat.”“Lebih baik emang resign, sih. Daripada kerja tapi banyakan mudaratnya,” tutur Renata menambahkan. Maksudnya, sih mau ikut menguatkan. Eh, malah kena pelototan teman-temannya. “Salah lagi, dah gue,” gumamnya
“Gimana kalau kita liburan ke Bali?” cetus Nisha tanpa aba-aba apalagi kalimat pembukaan. Itupun setelah melamun cukup lama.Alhasil, Shareefa dan Diana yang tengah cekikikan menonton drama korea di sisi Nisha langsung menatapnya kaget. Beda dengan Bahri yang masih asyik bermain game seolah tidak peduli. Dia memang belum mengerti, kok.“Bali?!” seru Ana dan Efa berbarengan. Nisha menyender di bangku outdoor Cuko. “He-eh,” jawabnya pasti diiringi anggukan.Memang sudah lama mereka tidak liburan. Sejak Bahri dan Efa masuk ke sekolah baru, ke tingkat yang lebih tinggi, atau sejak Mak pergi lima bulan yang lalu. Nisha juga disibukkan dengan kegiatannya di sini. Terlebih lagi Diana tahun ini melakulan grand opening Cuko.“Mau!” seru Efa senang. Sudah tidak dipedulikannya lagi drama korea yang masih berjalan di smartphone-nya.“Tapi, Efa masih ujian dua hari lagi.” Wajah yang tadi cerah mendadak berubah mendung. Gimana mau ke Bali, kan dia masih ujian.Nisha baru menyadari sesuatu. O, iya.
Nisha menghabiskan hari-harinya dengan menemani Bapak ke makam almarhum sang ibunda. Sebisa mungkin dia selalu sempatkan karena Bapak tidak pernah berhenti merindukan belahan jiwanya itu.Nisha juga rindu, tapi tetap harus melanjutkan hidup. Selain itu dia juga sibuk mengantar anak ke sekolah, menjalankan bisnisnya, atau meet up dengan sahabat-sahabatnya. “Nis,” panggil Elza.Nisha menyeruput es americanonya sebentar, lalu menatap sahabatnya itu. “Hm?”“Cowok yang kemarin ada di rumah duka itu siapa?” tanya Elza hati-hati.“Pak Akbar? Gurunya Efa.”Vika dan Elza saling bertukar pandang, sebelum menatap Nisha kembali.“Bukan yang pakai baju PNS, yang pakai kemeja hitam.” Elza menelan air ludah. Sepertinya Nisha belum juga mengerti apa maksud ucapannya. “Yang itu, loh. Yang rambutnya lebat, matanya agak gede, rahangnya tuh gagah banget gitu.” Vika juga membantu menjelaskan.Nisha pun menepuk tangannya sekali. “Oh, itu. Andreas. Kenapa?”“Kayaknya dia ada rasa, deh sama kamu, Nis.”“Em
Tiba-tiba Nisha berdiri. Sontak, Akbar ikut berdiri. “Aku permisi dulu,” pamit Nisha tiba-tiba.“Tunggu!”Nisha menoleh. Tatapannya seolah berkata tidak ingin mau tahu apa yang terjadi sekarang ini. Dia hanya ingin pergi dan pulang ke rumah. “Ada yang harus aku jelaskan ke kamu,” ucap Akbar dengan wajah serius.Nisha terdiam bagai manekin seraya menunggu Akbar mendekat. Bola matanya sempat bergetar. Degup jantungnya terdengar jelas oleh telapak tangan yang menangkup dada. Dinginnya hembusan angin malam tidak serta merta mampu menghapus piluh mengalir di keningnya.“Sepertinya ada kesalahpahaman di sini,” simpul Akbar.“Kesalahpahamam?”“Iya. Baik itu apa yang Andre atau kamu pikirkan sekarang.” Akbar berhenti karena sudah tepat berada di dalam jarak satu kaki di hadapan Nisha.“Memangnya, apa yang kupikirkan ... menurutmu?” Nada bicara Nisha agak turun di akhir kalimat.“Kamu mengira kalau aku menyukai kamu, Nisha. Oh, lebih tepatnya menaruh perasaan sama kamu.”“Haha.” Tawa Nisha t
“Mama mau ke mana?” tanya Efa curiga karena menjelang malam belum ada tanda-tanda Nisha berniat pulang dari butik. Malah Bunda Ana disuruh mengendarai mobil untuk mengantar Efa dan Bahri pulang. Mencurigakan? Banget.“Mama mau pergi sama Mami Elza,” jawab Ana membantu.Efa menoleh ke arah Ana, lalu kembali pada Nisha. “O, ya?! Pakai dandan segala.” Tidak segampang itu membohongi gen-Z satu ini.“Dandan gimana? Biasa aja,” dalih Nisha lantas masuk ke kantornya. Ditinggalkannya Efa yang masih menatapnya penuh curiga.Setengah jam kemudian, Nisha melambai singkat ke arah mobil merah yang biasa dikendarainya. Namun, kini sosok Ana yang berada di balik kemudi. Sementara itu, Efa terus saja menatap sang mama tanpa mengedipkan mata. Bahkan, terkesan sinis. Ditambah lagi mulutnya yang manyun. “Emangnya Mami Elza bisa keluar malem-malem begini, Bun? Bukannya dia paling malas keluar malam karena anak-anaknya sudah tidur jam segini?” tanya Efa dalam satu tarikan napas.“Mungkin dijagain sama s
Almira, Bianca, dan Shareefa duduk di kantin. Hal biasa yang mereka lakukan kalau sedang istirahat begini. Ini bukan istirahat biasa, mereka baru saja habis mengikuti mapel olahraga.Tatapan mereka tertuju pada sosok Pak Akbar, yang tengah menghukum anak yang ketahuan menuju kantin di jam pelajaran. Terlebih lagi lima anak lelaki yang berdiri di dekat pintu kantin itu tidak ada yang berpenampilan rapi. Penggaris besi terarah ke bagian pinggang Angga —anak kelas satu. “Kenapa kamu berkeliaran tanpa menggunakan ikat pinggang? Mana ikat pinggangmu?!”“Kelupaan pakai, Pak,” jawab Angga tanpa merasa bersalah.“Jongkok!” teriak Pak Akbar bergema di kantin.Decakan kesal Angga terdengar jelas, namun tetap mematuhi apa yang dikatakan Akbar. “Squat jump 25 kali. Habis itu kembali ke kelas.”Dengan helaan napas berat, Angga meletakkan tangannya di bagian belakang leher dan mulai squat jump.“Kamu lagi!”Yudi melirik penggaris yang menyeruak masuk di antara rambut lembatnya. “Jangan dipotong, P
Nisha mendekati dinding pembatas dapur dengan bagian restoran. Meskipun dapur berada di bagian tengah, tapi tidak merusak nuansa mewah restoran itu.Nisha berhenti tepat di sebelah Andreas, yang tengah menyeruput segelas jus buah bercampur soda.Melihat kedatangan Nisha, Daniel pamit secara halus untuk kembali mengawasi para staffnya. Andreas menoleh tepat ketika wanita berhijab itu berada di sisinya. Ia sedikit terkejut namun dengan mudah dikendalikannya emosi itu.Dia tersenyum sumringah pada Efa dan Bahri yang melambaikan tangan ke arahnya seraya menuju lobi. Kemudian tersenyum tipis pada Salma, Sarah, Firdaus, juga Bella yang dibalas dengan perlakuan serupa. Lantas, kembali menatap Nisha seolah bertanya ada apa.Sementara Firdaus melirik dari kasir ketika menemani Sarah membayar biaya makan malam mereka. Lagi-lagi, dia tidak tahu kalau Bella memerhatikan dari lobi.“Saya mau berterima kasih karena kamu sudah menyelamatkan Bahri tadi sampai luka begitu.” Nisha menunjuk samar luka
Tidak seramai dulu. Semenjak Mak berpulang, keadaan rumah sudah tidak seceria dulu. Mahmud jarang tersenyum dan bercanda seperti biasa. Ana dan Nisha merasa tidak enak hati kalau harus terlihat bahagia di depan ayah mereka itu. Karena Mahmud pernah menuding mereka tidak sedih akan kepergian Mariya.Ana dan Nisha tidak mampu berkata-kata. Tentu saja mereka sangat sedih juga kehilangan sosok Mariya. Tapi, tidak mungkin harus bersedih setiap hari.Hampir sebulan setelah kepergian Mariya, Nisha mendapatkan telepon yang tidak disangka-sangka. Salma meminta suatu hal darinya.Dengan wajah serius dan mengintip mood Mahmud, yang belakangan ini sulit ditebak, Nisha pun menyampaikan maksud Salma pada ayahnya itu.Wajah Mahmud mulai mengkerut. Nisha menghela napas panjang, sudah siap dengan resikonya. Namun tidak lama kemudian, Mahmud tampak mengangguk dalam sebelum pergi masuk ke kamar.Nisha tersenyum lega. Duduknya pun tidak setegang tadi. Syukurlah kalau Mahmud tidak emosi. Iya, belakangan
Elza tidak ikut sampai ke pemakaman. Dia menunggu di rumah, menunggu Vika yang datang agak telat karena masih menanti sang suami pulang dari sepedaan dengan bapak Walikota.Bukan hanya Elza yang tinggal, Firdaus juga tidak ikut. Iya, ada Firdaus, lho dari tadi. Duduk di bawah pohon mangga bersama beberapa sepupu Nisha juga beberapa keluarganya yang datang melayat, seperti suaminya Queensha.Sedari dia duduk di sana dan beberapa rombongan anak sekolah itu tiba, ada yang menarik perhatian Firdaus. Siapa lagi kalau bukan sosok Akbar, yang duduk di teras. Tergelitik benaknya untuk datang ke sana, tapi seketika sadar kalau dirinya hanyalah mantan suami Nisha.Entah apa yang membuat Akbar melakukannya, yang pasti dia menoleh. Tatapannya pun bertemu dengan Firdaus.Butuh beberapa detik baginya untuk mencerna siapa pemilik wajah yang cukup familiar itu. Dia tersentak sedikit ketika mengenali Firdaus. Hanya anggukan pelan dan senyuman tipis yang Akbar suguhkan sebelum membuang muka.Andreas me
Lain daripada biasanya, Vespa matic menemani Aksara pergi ke sekolah pagi ini. Warna pink fantanya sungguh kontraksi dengan tato di pergelangan tangan Andreas, yang memboncengi keponakannya itu.“Om, jangan bawa moge,” larang Aksa pagi tadi, pas sekali ketika Andreas baru sehabis memanasi motor dan mengelapnya selembut mungkin. Bagi Andreas, motornya juga harus sempurna karena mau ikut dengannya bertemu Nisha. Lubuk hatinya sangat yakin kalau hari ini mereka berjodoh untuk ketemu.“Lho, kenapa?”“Nanti susah parkirnya, terus, berisik juga,” jawab Aksa. Dan pergi begitu saja menuju kamarnya, tanpa peduli kalau sudah menyisakan tanya di benak Andreas.Namun ketika mendengar penjelasan Aksa selama perjalanan mereka, lenyap sudah rasa kesal Andreas. Yang ada hanyalah keinginan untuk sampai cepat di tujuan.Kertas minyak kuning tiga lapis yang dilekatkan di sebuah kayu yang tampak lembab karena embun pagi, tercagak pasrah di sisi kiri rumah berpagar besi dengan nuansa biru itu.Ada bebera