“Undangan siapa, Dek?” tanya Nisha selagi Amanda membagikan undangan ke teman-teman seruangannya.Amanda memberikan undangan terakhir pada Nisha. “Undangan Manda, lah, Kak,” jawabnya penuh percaya diri.“Cie, akhirnya nikah juga kamu, Manda,” celetuk Ade seraya melirik Fadhil. Sekedar info, Amanda ini sempat pacaran sama Fadhil, tapi digantungin melulu, ngga kunjung dinikahin.Fadhil berusaha berekspresi sedatar mungkin. Dia ngga tahu saja kalau mukanya itu kaku banget.Amanda tersenyum malu-malu. “Jangan lupa dateng, ya, Mbak dan Kakak sekalian,” ucapnya. “Kamu juga, Dhil,” imbuhnya sambil menepuk pelan bahu Fadhil.“Iya, iya. Insya Allah datang,” jawab Fadhil cepat, agak kaget juga.“Kalau gitu, Manda permisi dulu, ya,” pamit Amanda.“Dadah, Manda.” Mbak Ade melambaikan tangannya pelan ke arah Amanda. Selepas kepergian gadis tinggi berkulit hitam manis itu, ia segera melancarkan serangan. “Kamu kapan nyusul, Nis?”Nisha mengernyitkan keningnya sebelum menoleh ke arah Ade. “Aku, Mbak?
“A ... apa maksudnya, Kak?” tanya Nisha setelah tertegun selama satu detik.“Kamu sengaja mendekatiku supaya bisa menjadi istri kedua suamiku, kan?!” tuduh Amelia. Semua kenangan manisnya bersama Nisha menguap bersama api amarahnya.“Apa?!”“Jangan berpura-pura bodoh! Aku jijik melihatnya!” teriak Amelia murka.Melihat situasi kian mencekam, sebagai orang yang paling dekat, Ade pun menghampiri. Ditahannya lengan Amelia yang berusaha menarik jilbab Nisha. “Sudah, Bu! Lepas! Bicarakan semuanya baik-baik dulu!”“Minggir kamu!” Amelia menginjak ujung sepatu Ade dengan sepatu berhaknya. “Jangan ikut campur!”Ade pun terhuyung-huyung ke belakang sambil menahan sakit. Dalam hati segala sumpah serapah tertuju pada Amelia.Tiba-tiba ada yang menggenggam erat lengan Amelia. Baik Amelia maupun Nisha, sama-sama melihat ke arah si pemilik lengan.“Pa?!” seru Amelia kaget. Matanya bergetar melihat kehadiran suaminya di sana, terlebih lagi bertindak seolah menjadi penyelamat Nisha.Nisha hendak mene
“Hahaha! Hahaha!” Suara gelak tawa terdengar dari dalam kamar.Bu Desi baru saja memencet tombol mesin cuci, langsung menoleh ke arah kirinya.“Bu Salma barusan pergi sama Nak Firdaus. Anaknya ....” Bu Desi melihat ke arah ayunan yang ada di ruang tengah. “Ada di situ.” Telunjuknya beralih ke arah kamar. “Terus, dia ketawa sama siapa?” Bola mata hampir keabuan itu terbelalak. Tubuhnya merinding disko membayangkan yang tidak-tidak. “Ngga tahu, ah. Mending kabur aja.”Bu Desi memilih untuk pergi keluar saja, membersihkan bagian luar rumah. Kebetulan semalam hujan dan lumayan kotor oleh dedaunan.Bu Desi itu ngga salah dengar. Memang benar adanya kalau Bella tertawa terbahak-bahak di dalam kamar. Tertawa sendiri, bukan seperti yang diduga wanita berumur itu. Ngga ada mistis-mistis gitu.Bagaimana Bella ngga tertawa kalau disuguhkan tontonan yang menggelitik perut. Mumpung Si Kecil tertidur pulas, dia memilih rebahan sambil main gawai. Dan, s
“Seriusan ini kamu mau berhenti kerja, Nis?” tanya Mbak Ade dari balik meja. Melihat teman-temannya yang lain mengerubungi meja Nisha, ia pun ikut mendekat.Wanita berhijab biru bercampur hijau tosca itu itu terlihat tengah membereskan barang-barangnya. “Iya, Mbak.”“Sudah nemuin Pak Kasubag tadi?”Nisha mengangguk.“Apa katanya?”“Bapak sebenarnya ngga mau aku berhenti hanya karena video itu. Pak Yahya, kan juga sudah dipanggil dan bilang kalau semua itu ngga benar. Tapi ....” Nisha menggantungkan kalimatnya. Ia terduduk, lantas menunduk. “Aku ngga sanggup kalau terus diterpa berita seperti itu.”Ade segera memeluk Nisha, dan Renata mengelus bahunya.Fadli memalingkan wajah, menahan pilu mendengar sesenggukan tangisan orang yang menurutnya sangat kuat itu.“Sabar, Nis. Yang kuat.”“Lebih baik emang resign, sih. Daripada kerja tapi banyakan mudaratnya,” tutur Renata menambahkan. Maksudnya, sih mau ikut menguatkan. Eh, malah kena pelototan teman-temannya. “Salah lagi, dah gue,” gumamnya
Perkenalkan nama gue itu Shareefa Al-Attar —anaknya Mama Jenisha dan Baba Firdaus. Mama campuran Sunda-Palembang, sementara Baba campuran Arab-Jawa. Jelas aja DNA Arab lebih banyak mengalir di tubuh gue karena kata orang-orang, gue itu sangat mirip dengan Baba. Bukan hanya hidung bangir ini saja tapi juga cara bersikap.Walaupun gue enggan mengakui semua itu, yah, namanya juga gue anak Baba. Masak malah mirip Ko Asiong tetangga sebelah, kan aneh kalau gitu.Umur gue?Masih empat belas tahun. Baru juga naik kelas dua Sekolah Menengah Pertama. Sekolah gue itu deket banget sama rumahnya Mak sama Bapak, tempat tinggal gue dari orok, kalau kata Mama mah.Mak di sini bukan Mama Jenisha atau Bapak bukan Baba, ya. Tapi, Nenek gue alias nyokapnya Mama. Sudah terbiasa memanggilnya Mak, seperti Mama menyapa beliau.Waktu yang gue habiskan lebih banyak dengan Mak. Seringkali ikut beliau berjualan pakaian di pasar. Jangan berprasangka buruk dulu. Itu karena Mama dan Baba sibuk bekerja. Gue sangat
“Shareefa...,” lirih Nisha.Bulir air matanya menetes begitu saja seusai membaca kalimat terakhir buku diary anak sulungnya itu. Dia sangat tahu kalau Shareefa itu dari gayanya bersikap saja sudah dewasa, sok cuek. Namun, ngga tahu jika pemikirannya juga sedewasa ini.“Ma!” Suara nge-bass Bahri terdengar.Nisha bergegas menghapus air matanya. Jangan sampai ada sisa hingga Bahri memergoki tangis itu.Bahri sudah cukup besar untuk mengetahui emosi yang dirasakan oleh orang di sekitarnya. Nanti dia malah banyak tanya karena rasa ingin tahunya itu.“Mama di kamar Kakak, Bahri!”Sejurus kemudian, sosok Bahri muncul di kamar itu. Kemiripannya dengan almarhum Bakhtiar —sang datuk— kian kentara. Pipi chubby dan sorot mata berwibawa itu.“Wah, Bahri sudah siap?” Nisha cukup terpesona menyaksikan anak bungsunya sudah tampil rapi dengan kemeja dan celana panjang, dilengkapi sepatu keds putih. Mereka memang mau ke acara pernikahan salah satu sepupu jauh. “Sudah. Bunda Anna yang tadi pakaikan baj
“Shareefa! Nanti dijemput sama Mama, ya,” teriak Anna dari atas motor. Usaha pempeknya dengan brand Cuko memang sedang maju-majunya. Namun, gadis berusia dua puluh empat tahun itu lebih memilih membeli rumah daripada mobil. Dia juga merasa lebih nyaman menggunakan motor. Lebih cepat sampai ke tujuan.Shareefa yang biasa dipanggil dengan Efa, sudah bergabung dengan teman-temannya. Namun, disempatkannya menoleh. “Iya, Bun!” Daripada kena omel, kan ya.Setelah disahut keponakannya itu, barulah Anna berlalu.“Fa, elo udah ngerjain tugas belom?” tanya Bianca. Sejak berpas-pasan dengan Efa di jalan tadi, ia sudah menunggu kedatangan sahabatnya itu.Efa mendelikkan bahunya.“Lho, kok nggak tahu?!” tanya Almira. Gadis berambut panjang di sisi kiri Efa itu mengernyitkan keningnya.“Gue nyuruh Aksa ngerjain tugasnya kemarin. Ngga tahu, deh dikerjain sama dia atau ngga. Awas aja kalau ngga," jawab Efa enteng, tapi diakhiri dengan kepalan tangan kiri memukul telapak kanannya.Aksa itu ketua kelas
‘Siapa kira-kira orang itu, ya? Punya hubungan apa dia sama Aksa? Bokapnya? Kayaknya terlalu muda, deh. Seingat gue, bokap Aksa ngga punya motor gede gitu.’Efa berbalik ke kiri, menambah kisut seprainya. Sudah pukul sembilan malam, namun matanya sulit menutup. Sosok lelaki yang menjemput Aksa siang tadi mengganggu tidur malamnya kali ini. Tubuh atletis pria itu ditambah lagi style berpakaiannya yang anak muda banget tapi tetap memberi kesan wibawa.‘Gue tanya ke Aksa aja apa, ya?’Efa baru saja hendak membuka ponselnya, tiba-tiba sosok sang mama muncul di pintu. Layar ponsel yang menyala di gelapnya kamar ini membuat Nisha dengan mudahnya menemukan sosok anak sulungnya itu.“Efa belum tidur?”Efa mau ngga mau harus jujur. Ngga ada tempat untuk menghindar. “Bentar lagi, Ma.”“Lho, kok masih main hape?”“Ini mau matiin, kok, Ma.”“Sini Mama taruh di meja.”Efa menatap nanar ponselnya yang kian menjauh. Sepertinya dia memang harus segera tidur. Ya, tentang siapa sosok lelaki itu, biar b
“Gimana kalau kita liburan ke Bali?” cetus Nisha tanpa aba-aba apalagi kalimat pembukaan. Itupun setelah melamun cukup lama.Alhasil, Shareefa dan Diana yang tengah cekikikan menonton drama korea di sisi Nisha langsung menatapnya kaget. Beda dengan Bahri yang masih asyik bermain game seolah tidak peduli. Dia memang belum mengerti, kok.“Bali?!” seru Ana dan Efa berbarengan. Nisha menyender di bangku outdoor Cuko. “He-eh,” jawabnya pasti diiringi anggukan.Memang sudah lama mereka tidak liburan. Sejak Bahri dan Efa masuk ke sekolah baru, ke tingkat yang lebih tinggi, atau sejak Mak pergi lima bulan yang lalu. Nisha juga disibukkan dengan kegiatannya di sini. Terlebih lagi Diana tahun ini melakulan grand opening Cuko.“Mau!” seru Efa senang. Sudah tidak dipedulikannya lagi drama korea yang masih berjalan di smartphone-nya.“Tapi, Efa masih ujian dua hari lagi.” Wajah yang tadi cerah mendadak berubah mendung. Gimana mau ke Bali, kan dia masih ujian.Nisha baru menyadari sesuatu. O, iya.
Nisha menghabiskan hari-harinya dengan menemani Bapak ke makam almarhum sang ibunda. Sebisa mungkin dia selalu sempatkan karena Bapak tidak pernah berhenti merindukan belahan jiwanya itu.Nisha juga rindu, tapi tetap harus melanjutkan hidup. Selain itu dia juga sibuk mengantar anak ke sekolah, menjalankan bisnisnya, atau meet up dengan sahabat-sahabatnya. “Nis,” panggil Elza.Nisha menyeruput es americanonya sebentar, lalu menatap sahabatnya itu. “Hm?”“Cowok yang kemarin ada di rumah duka itu siapa?” tanya Elza hati-hati.“Pak Akbar? Gurunya Efa.”Vika dan Elza saling bertukar pandang, sebelum menatap Nisha kembali.“Bukan yang pakai baju PNS, yang pakai kemeja hitam.” Elza menelan air ludah. Sepertinya Nisha belum juga mengerti apa maksud ucapannya. “Yang itu, loh. Yang rambutnya lebat, matanya agak gede, rahangnya tuh gagah banget gitu.” Vika juga membantu menjelaskan.Nisha pun menepuk tangannya sekali. “Oh, itu. Andreas. Kenapa?”“Kayaknya dia ada rasa, deh sama kamu, Nis.”“Em
Tiba-tiba Nisha berdiri. Sontak, Akbar ikut berdiri. “Aku permisi dulu,” pamit Nisha tiba-tiba.“Tunggu!”Nisha menoleh. Tatapannya seolah berkata tidak ingin mau tahu apa yang terjadi sekarang ini. Dia hanya ingin pergi dan pulang ke rumah. “Ada yang harus aku jelaskan ke kamu,” ucap Akbar dengan wajah serius.Nisha terdiam bagai manekin seraya menunggu Akbar mendekat. Bola matanya sempat bergetar. Degup jantungnya terdengar jelas oleh telapak tangan yang menangkup dada. Dinginnya hembusan angin malam tidak serta merta mampu menghapus piluh mengalir di keningnya.“Sepertinya ada kesalahpahaman di sini,” simpul Akbar.“Kesalahpahamam?”“Iya. Baik itu apa yang Andre atau kamu pikirkan sekarang.” Akbar berhenti karena sudah tepat berada di dalam jarak satu kaki di hadapan Nisha.“Memangnya, apa yang kupikirkan ... menurutmu?” Nada bicara Nisha agak turun di akhir kalimat.“Kamu mengira kalau aku menyukai kamu, Nisha. Oh, lebih tepatnya menaruh perasaan sama kamu.”“Haha.” Tawa Nisha t
“Mama mau ke mana?” tanya Efa curiga karena menjelang malam belum ada tanda-tanda Nisha berniat pulang dari butik. Malah Bunda Ana disuruh mengendarai mobil untuk mengantar Efa dan Bahri pulang. Mencurigakan? Banget.“Mama mau pergi sama Mami Elza,” jawab Ana membantu.Efa menoleh ke arah Ana, lalu kembali pada Nisha. “O, ya?! Pakai dandan segala.” Tidak segampang itu membohongi gen-Z satu ini.“Dandan gimana? Biasa aja,” dalih Nisha lantas masuk ke kantornya. Ditinggalkannya Efa yang masih menatapnya penuh curiga.Setengah jam kemudian, Nisha melambai singkat ke arah mobil merah yang biasa dikendarainya. Namun, kini sosok Ana yang berada di balik kemudi. Sementara itu, Efa terus saja menatap sang mama tanpa mengedipkan mata. Bahkan, terkesan sinis. Ditambah lagi mulutnya yang manyun. “Emangnya Mami Elza bisa keluar malem-malem begini, Bun? Bukannya dia paling malas keluar malam karena anak-anaknya sudah tidur jam segini?” tanya Efa dalam satu tarikan napas.“Mungkin dijagain sama s
Almira, Bianca, dan Shareefa duduk di kantin. Hal biasa yang mereka lakukan kalau sedang istirahat begini. Ini bukan istirahat biasa, mereka baru saja habis mengikuti mapel olahraga.Tatapan mereka tertuju pada sosok Pak Akbar, yang tengah menghukum anak yang ketahuan menuju kantin di jam pelajaran. Terlebih lagi lima anak lelaki yang berdiri di dekat pintu kantin itu tidak ada yang berpenampilan rapi. Penggaris besi terarah ke bagian pinggang Angga —anak kelas satu. “Kenapa kamu berkeliaran tanpa menggunakan ikat pinggang? Mana ikat pinggangmu?!”“Kelupaan pakai, Pak,” jawab Angga tanpa merasa bersalah.“Jongkok!” teriak Pak Akbar bergema di kantin.Decakan kesal Angga terdengar jelas, namun tetap mematuhi apa yang dikatakan Akbar. “Squat jump 25 kali. Habis itu kembali ke kelas.”Dengan helaan napas berat, Angga meletakkan tangannya di bagian belakang leher dan mulai squat jump.“Kamu lagi!”Yudi melirik penggaris yang menyeruak masuk di antara rambut lembatnya. “Jangan dipotong, P
Nisha mendekati dinding pembatas dapur dengan bagian restoran. Meskipun dapur berada di bagian tengah, tapi tidak merusak nuansa mewah restoran itu.Nisha berhenti tepat di sebelah Andreas, yang tengah menyeruput segelas jus buah bercampur soda.Melihat kedatangan Nisha, Daniel pamit secara halus untuk kembali mengawasi para staffnya. Andreas menoleh tepat ketika wanita berhijab itu berada di sisinya. Ia sedikit terkejut namun dengan mudah dikendalikannya emosi itu.Dia tersenyum sumringah pada Efa dan Bahri yang melambaikan tangan ke arahnya seraya menuju lobi. Kemudian tersenyum tipis pada Salma, Sarah, Firdaus, juga Bella yang dibalas dengan perlakuan serupa. Lantas, kembali menatap Nisha seolah bertanya ada apa.Sementara Firdaus melirik dari kasir ketika menemani Sarah membayar biaya makan malam mereka. Lagi-lagi, dia tidak tahu kalau Bella memerhatikan dari lobi.“Saya mau berterima kasih karena kamu sudah menyelamatkan Bahri tadi sampai luka begitu.” Nisha menunjuk samar luka
Tidak seramai dulu. Semenjak Mak berpulang, keadaan rumah sudah tidak seceria dulu. Mahmud jarang tersenyum dan bercanda seperti biasa. Ana dan Nisha merasa tidak enak hati kalau harus terlihat bahagia di depan ayah mereka itu. Karena Mahmud pernah menuding mereka tidak sedih akan kepergian Mariya.Ana dan Nisha tidak mampu berkata-kata. Tentu saja mereka sangat sedih juga kehilangan sosok Mariya. Tapi, tidak mungkin harus bersedih setiap hari.Hampir sebulan setelah kepergian Mariya, Nisha mendapatkan telepon yang tidak disangka-sangka. Salma meminta suatu hal darinya.Dengan wajah serius dan mengintip mood Mahmud, yang belakangan ini sulit ditebak, Nisha pun menyampaikan maksud Salma pada ayahnya itu.Wajah Mahmud mulai mengkerut. Nisha menghela napas panjang, sudah siap dengan resikonya. Namun tidak lama kemudian, Mahmud tampak mengangguk dalam sebelum pergi masuk ke kamar.Nisha tersenyum lega. Duduknya pun tidak setegang tadi. Syukurlah kalau Mahmud tidak emosi. Iya, belakangan
Elza tidak ikut sampai ke pemakaman. Dia menunggu di rumah, menunggu Vika yang datang agak telat karena masih menanti sang suami pulang dari sepedaan dengan bapak Walikota.Bukan hanya Elza yang tinggal, Firdaus juga tidak ikut. Iya, ada Firdaus, lho dari tadi. Duduk di bawah pohon mangga bersama beberapa sepupu Nisha juga beberapa keluarganya yang datang melayat, seperti suaminya Queensha.Sedari dia duduk di sana dan beberapa rombongan anak sekolah itu tiba, ada yang menarik perhatian Firdaus. Siapa lagi kalau bukan sosok Akbar, yang duduk di teras. Tergelitik benaknya untuk datang ke sana, tapi seketika sadar kalau dirinya hanyalah mantan suami Nisha.Entah apa yang membuat Akbar melakukannya, yang pasti dia menoleh. Tatapannya pun bertemu dengan Firdaus.Butuh beberapa detik baginya untuk mencerna siapa pemilik wajah yang cukup familiar itu. Dia tersentak sedikit ketika mengenali Firdaus. Hanya anggukan pelan dan senyuman tipis yang Akbar suguhkan sebelum membuang muka.Andreas me
Lain daripada biasanya, Vespa matic menemani Aksara pergi ke sekolah pagi ini. Warna pink fantanya sungguh kontraksi dengan tato di pergelangan tangan Andreas, yang memboncengi keponakannya itu.“Om, jangan bawa moge,” larang Aksa pagi tadi, pas sekali ketika Andreas baru sehabis memanasi motor dan mengelapnya selembut mungkin. Bagi Andreas, motornya juga harus sempurna karena mau ikut dengannya bertemu Nisha. Lubuk hatinya sangat yakin kalau hari ini mereka berjodoh untuk ketemu.“Lho, kenapa?”“Nanti susah parkirnya, terus, berisik juga,” jawab Aksa. Dan pergi begitu saja menuju kamarnya, tanpa peduli kalau sudah menyisakan tanya di benak Andreas.Namun ketika mendengar penjelasan Aksa selama perjalanan mereka, lenyap sudah rasa kesal Andreas. Yang ada hanyalah keinginan untuk sampai cepat di tujuan.Kertas minyak kuning tiga lapis yang dilekatkan di sebuah kayu yang tampak lembab karena embun pagi, tercagak pasrah di sisi kiri rumah berpagar besi dengan nuansa biru itu.Ada bebera