“Shareefa! Nanti dijemput sama Mama, ya,” teriak Anna dari atas motor. Usaha pempeknya dengan brand Cuko memang sedang maju-majunya. Namun, gadis berusia dua puluh empat tahun itu lebih memilih membeli rumah daripada mobil. Dia juga merasa lebih nyaman menggunakan motor. Lebih cepat sampai ke tujuan.Shareefa yang biasa dipanggil dengan Efa, sudah bergabung dengan teman-temannya. Namun, disempatkannya menoleh. “Iya, Bun!” Daripada kena omel, kan ya.Setelah disahut keponakannya itu, barulah Anna berlalu.“Fa, elo udah ngerjain tugas belom?” tanya Bianca. Sejak berpas-pasan dengan Efa di jalan tadi, ia sudah menunggu kedatangan sahabatnya itu.Efa mendelikkan bahunya.“Lho, kok nggak tahu?!” tanya Almira. Gadis berambut panjang di sisi kiri Efa itu mengernyitkan keningnya.“Gue nyuruh Aksa ngerjain tugasnya kemarin. Ngga tahu, deh dikerjain sama dia atau ngga. Awas aja kalau ngga," jawab Efa enteng, tapi diakhiri dengan kepalan tangan kiri memukul telapak kanannya.Aksa itu ketua kelas
‘Siapa kira-kira orang itu, ya? Punya hubungan apa dia sama Aksa? Bokapnya? Kayaknya terlalu muda, deh. Seingat gue, bokap Aksa ngga punya motor gede gitu.’Efa berbalik ke kiri, menambah kisut seprainya. Sudah pukul sembilan malam, namun matanya sulit menutup. Sosok lelaki yang menjemput Aksa siang tadi mengganggu tidur malamnya kali ini. Tubuh atletis pria itu ditambah lagi style berpakaiannya yang anak muda banget tapi tetap memberi kesan wibawa.‘Gue tanya ke Aksa aja apa, ya?’Efa baru saja hendak membuka ponselnya, tiba-tiba sosok sang mama muncul di pintu. Layar ponsel yang menyala di gelapnya kamar ini membuat Nisha dengan mudahnya menemukan sosok anak sulungnya itu.“Efa belum tidur?”Efa mau ngga mau harus jujur. Ngga ada tempat untuk menghindar. “Bentar lagi, Ma.”“Lho, kok masih main hape?”“Ini mau matiin, kok, Ma.”“Sini Mama taruh di meja.”Efa menatap nanar ponselnya yang kian menjauh. Sepertinya dia memang harus segera tidur. Ya, tentang siapa sosok lelaki itu, biar b
Raden Aksara mengerjapkan matanya perlahan. Masih sulit baginya menerima apa yang barusan saja terjadi. Sikap kasar yang ngga pernah keluar dari dalam dirinya.Hempasan kata demi kata menyakiti benak Shareefa, pikirnya. Cewek yang ia kagumi sejak lama.Lihat saja Efa mendadak kaku, bola matanya membulat sempurna. Gadis berbulu mata lentik itu pasti juga ngga menduga kalau Aksa akan bersikap seperti ini.“Elo kenapa, sih, Sa marah-marah?!” tanya Efa bingung sekaligus ngga terima. Memang apa kesalahannya sampai harus menerima sikap seperti itu. “Salah gue apa, sih sama elo?!”Aksa mengusap wajahnya kasar sebelum kembali duduk. “Sorry, Fa. Aku agak terganggu karena sikap kamu barusan.”Efa mengernyitkan kening seraya melipat kedua tangan di dada. “Sikap Efa yang mana?” serobot Almira yang duduk di samping Aksa.Efa menelan air ludah. Baru saja dia hendak mengatakan itu, tapi sudah keduluan sama Almira. Dia pun duduk kembali, di hadapan Aksa, karena tempatnya sudah diserobot Almira.“Elo
Raden Aksara adalah anak paling bontot dari empat saudara. Ia memiliki kakak perempuan yang tertua dan dua saudara laki-laki di atasnya.Kedua orang tuanya cukup berada. Rumahnya saja terletak di sebuah perumahan elite, tepatnya Jalan Merak. Rumah peninggalan orang tua dari ibu Aksa ini sudah di renovasi sehingga terlihat lebih minimalis namun terkesan mewah.“Wih, gede juga rumah elo, Sa,” puji Bianca melihat rumah berlantai dua bertema mininalis itu.“Masih gedean rumah kamu, lah,” ucap Aksa malas. Entah apa maksud Bianca memuji rumahnya, padahal cewek itu sendiri tinggal di perumahan yang lebih mewah juga lebih elite dari komplek ini.Bianca pun nyengir menatap kepergian Aksa. Padahal, niatnya menghibur cowok itu supaya mukanya ngga manyun lagi. Tapi, malah nambah maju itu bibir.Aksa berjalan duluan menuju rumah. Mereka baru saja turun dari taksi. Mereka? Iya. Dia, Efa, dan kedua temannya yang ngintilin melulu itu.Padahal, kalau hanya Efa saja yang ikut, dia sudah lumayan terhibur
Efa berjalan keluar rumah Aksa. Bahunya tampak menunduk, lesu, dan gontai. Padahal, dia masih mau menunggu Andreas sedikit lama. Tapi, sang mama memintanya cepat pulang.“Ngapain kamu di rumah cowok lewat waktu Azhar begini?!” omel Nisha di depan Mariya. Kalau dia ngga memarahi anak sulungnya itu, yang ada dia yang dimarahi balik sama Mariya nantinya.“Bentar lagi, ya, Ma,” pinta Efa. Ngga pernah dia memohon seperti ini. “Efa juga perginya sama Bianca dan Almira, kok.” Beruntung kedua sahabatnya itu memang ikut, jadi Efa ngga perlu berbohong dengan Nisha.“Mama bilang pulang artinya pulang, Shareefa Al-Attar!” Ternyata Nisha juga bisa sangar, lho kalau marah.Seraya berdecak pelan, Efa menuruti kemauan ibunya itu. “Ya, deh, Ma. Efa pulang.”“Sekarang!”“Iya, Ma,” sahut Efa pelan nan lesu. Sampai berada di depan pintu rumah Aksa, ia masih menundukkan kepala.“Lesu amat!” Suara laki-laki berseru seolah menuduh namun dalam nada ceria.Sontak Efa menegakkan kepala. Tapi yang ia lihat, laki
Ujung alis Nisha saling terpaut. ‘Pernah bertemu? Kapan? Di mana?’ Dipasatinya wajah lelaki di hadapannya ini. Wajah tampan berahang tegas, dibumbui senyuman renyah ini. Betulkah dirinya pernah bertemu lelaki ini? Wajah yang asing buatnya itu? ‘Ngaku-ngaku aja mungkin, ya?’“Hm, entahlah,” jawab Nisha sambil lalu. Dia berusaha menarik tangannya.Seketika ia terkejut begitu menyadari bahwa jemarinya masih berada dalam genggaman jemari lelaki itu. Buru-buru ditarik tangannya itu dalam hentakan yang lebih kuat.Andreas melepaskan genggaman itu, meskipun enggan. “Tapi, Saya yakin sekali kalau kita pernah bertemu,” gumam Andreas ngga terlalu pelan sebab Nisha bisa mendengarnya cukup jelas, begitu juga Efa dan Aksa.Senyum Efa pun mengerucut. Ah, akan indah sekali cerita ini seandainya kedua orang dewasa itu memang pernah bertemu. Pikirannya saja yang terlalu tinggi. Dibentaknya kakinya pelan.Suara bel terdengar.“Sebaiknya kalian masuk. Nanti terlambat memulai pelajaran,” suruh Nisha. Dike
“Jangan sampai ada yang keselip ya, A’,” pesan Nisha pada kurir langganannya.Setiap hari pesanan untuk dikirimkan selalu ada saja. Terlebih lagi kalau habis open order seperti kemarin, pasti berlimpah paket yang mau dikirimkan kayak hari ini. Kiri kanan tas kurir penuh dengan paket baju dari butiknya.“Tenang aja, Bu Nisha. Insya Allah semuanya sampai ke rumah customernya,” jawab sang kurir tersenyum dari balik kumis tipisnya.Nisha mengangguk pelan. Dia menghela napas seiring motor sang kurir yang menjauh. Namun, tatapannya cemas takut ada paket yang agak lama sampai ke customer. Mending kalau customer-nya pengertian, lah kalau cerewet gimana. Biasanya ada aja kasus yang begitu. Bersamaan dengan toko baju milik Mariya yang mulai laris manis, Nisha beralih menyewa ruko paling depan. Dua pintu sekaligus. Diubahnya dekor lebih elegan, list gypsum, standing mirror dengan led di bagian belakangnya, pokoknya desainnya lebih kekinian dan rapi. Satu yang juga Nisha ubah, yaitu nama toko yan
“Elo suka sama perempuan tadi?” tanya Rahman tanpa kalimat pembuka. Tiba-tiba saja bahkan ketika mereka baru menginjakkan kaki di rumah.Andreas melirik keponakan dan kakak iparnya yang sudah masuk duluan ke rumah. Lantas, merapat ke arah Rahman. “Kenapa dibahas?”“Ya, haruslah. Dia bakal jadi calon keluarga kita.” Entah kenapa Rahman sudah yakin akan niat Andreas kali ini. Sudah lama adik bungsunya betah menyandang status jomlo. Sudah lama dia ngga melihat kedua mata coklat berbinar dan hidungnya kembang-kempis seperti tadi.“Gimana? Cantik, kan?” tanya Andreas seraya menunjukkan deretan giginya.“Dia sudah punya anak. Yakin ngga apa-apa?” tanya Rahman mulai sangsi. Melihat senyuman jahil yang menyebalkan itu lagi, dia teringat masa lalu Andreas.“Yakinlah. Anaknya juga seru begitu.” Andreas tampak bersemangat.“Hati-hati, Ndre. Bisa-bisa kalau kamu menyakiti mama-nya, anaknya juga bisa ikut terluka,” ucap Rahman memperingatkan. Dia hapal betul tingkah adik bungsunya yang ngga pernah
“Gimana kalau kita liburan ke Bali?” cetus Nisha tanpa aba-aba apalagi kalimat pembukaan. Itupun setelah melamun cukup lama.Alhasil, Shareefa dan Diana yang tengah cekikikan menonton drama korea di sisi Nisha langsung menatapnya kaget. Beda dengan Bahri yang masih asyik bermain game seolah tidak peduli. Dia memang belum mengerti, kok.“Bali?!” seru Ana dan Efa berbarengan. Nisha menyender di bangku outdoor Cuko. “He-eh,” jawabnya pasti diiringi anggukan.Memang sudah lama mereka tidak liburan. Sejak Bahri dan Efa masuk ke sekolah baru, ke tingkat yang lebih tinggi, atau sejak Mak pergi lima bulan yang lalu. Nisha juga disibukkan dengan kegiatannya di sini. Terlebih lagi Diana tahun ini melakulan grand opening Cuko.“Mau!” seru Efa senang. Sudah tidak dipedulikannya lagi drama korea yang masih berjalan di smartphone-nya.“Tapi, Efa masih ujian dua hari lagi.” Wajah yang tadi cerah mendadak berubah mendung. Gimana mau ke Bali, kan dia masih ujian.Nisha baru menyadari sesuatu. O, iya.
Nisha menghabiskan hari-harinya dengan menemani Bapak ke makam almarhum sang ibunda. Sebisa mungkin dia selalu sempatkan karena Bapak tidak pernah berhenti merindukan belahan jiwanya itu.Nisha juga rindu, tapi tetap harus melanjutkan hidup. Selain itu dia juga sibuk mengantar anak ke sekolah, menjalankan bisnisnya, atau meet up dengan sahabat-sahabatnya. “Nis,” panggil Elza.Nisha menyeruput es americanonya sebentar, lalu menatap sahabatnya itu. “Hm?”“Cowok yang kemarin ada di rumah duka itu siapa?” tanya Elza hati-hati.“Pak Akbar? Gurunya Efa.”Vika dan Elza saling bertukar pandang, sebelum menatap Nisha kembali.“Bukan yang pakai baju PNS, yang pakai kemeja hitam.” Elza menelan air ludah. Sepertinya Nisha belum juga mengerti apa maksud ucapannya. “Yang itu, loh. Yang rambutnya lebat, matanya agak gede, rahangnya tuh gagah banget gitu.” Vika juga membantu menjelaskan.Nisha pun menepuk tangannya sekali. “Oh, itu. Andreas. Kenapa?”“Kayaknya dia ada rasa, deh sama kamu, Nis.”“Em
Tiba-tiba Nisha berdiri. Sontak, Akbar ikut berdiri. “Aku permisi dulu,” pamit Nisha tiba-tiba.“Tunggu!”Nisha menoleh. Tatapannya seolah berkata tidak ingin mau tahu apa yang terjadi sekarang ini. Dia hanya ingin pergi dan pulang ke rumah. “Ada yang harus aku jelaskan ke kamu,” ucap Akbar dengan wajah serius.Nisha terdiam bagai manekin seraya menunggu Akbar mendekat. Bola matanya sempat bergetar. Degup jantungnya terdengar jelas oleh telapak tangan yang menangkup dada. Dinginnya hembusan angin malam tidak serta merta mampu menghapus piluh mengalir di keningnya.“Sepertinya ada kesalahpahaman di sini,” simpul Akbar.“Kesalahpahamam?”“Iya. Baik itu apa yang Andre atau kamu pikirkan sekarang.” Akbar berhenti karena sudah tepat berada di dalam jarak satu kaki di hadapan Nisha.“Memangnya, apa yang kupikirkan ... menurutmu?” Nada bicara Nisha agak turun di akhir kalimat.“Kamu mengira kalau aku menyukai kamu, Nisha. Oh, lebih tepatnya menaruh perasaan sama kamu.”“Haha.” Tawa Nisha t
“Mama mau ke mana?” tanya Efa curiga karena menjelang malam belum ada tanda-tanda Nisha berniat pulang dari butik. Malah Bunda Ana disuruh mengendarai mobil untuk mengantar Efa dan Bahri pulang. Mencurigakan? Banget.“Mama mau pergi sama Mami Elza,” jawab Ana membantu.Efa menoleh ke arah Ana, lalu kembali pada Nisha. “O, ya?! Pakai dandan segala.” Tidak segampang itu membohongi gen-Z satu ini.“Dandan gimana? Biasa aja,” dalih Nisha lantas masuk ke kantornya. Ditinggalkannya Efa yang masih menatapnya penuh curiga.Setengah jam kemudian, Nisha melambai singkat ke arah mobil merah yang biasa dikendarainya. Namun, kini sosok Ana yang berada di balik kemudi. Sementara itu, Efa terus saja menatap sang mama tanpa mengedipkan mata. Bahkan, terkesan sinis. Ditambah lagi mulutnya yang manyun. “Emangnya Mami Elza bisa keluar malem-malem begini, Bun? Bukannya dia paling malas keluar malam karena anak-anaknya sudah tidur jam segini?” tanya Efa dalam satu tarikan napas.“Mungkin dijagain sama s
Almira, Bianca, dan Shareefa duduk di kantin. Hal biasa yang mereka lakukan kalau sedang istirahat begini. Ini bukan istirahat biasa, mereka baru saja habis mengikuti mapel olahraga.Tatapan mereka tertuju pada sosok Pak Akbar, yang tengah menghukum anak yang ketahuan menuju kantin di jam pelajaran. Terlebih lagi lima anak lelaki yang berdiri di dekat pintu kantin itu tidak ada yang berpenampilan rapi. Penggaris besi terarah ke bagian pinggang Angga —anak kelas satu. “Kenapa kamu berkeliaran tanpa menggunakan ikat pinggang? Mana ikat pinggangmu?!”“Kelupaan pakai, Pak,” jawab Angga tanpa merasa bersalah.“Jongkok!” teriak Pak Akbar bergema di kantin.Decakan kesal Angga terdengar jelas, namun tetap mematuhi apa yang dikatakan Akbar. “Squat jump 25 kali. Habis itu kembali ke kelas.”Dengan helaan napas berat, Angga meletakkan tangannya di bagian belakang leher dan mulai squat jump.“Kamu lagi!”Yudi melirik penggaris yang menyeruak masuk di antara rambut lembatnya. “Jangan dipotong, P
Nisha mendekati dinding pembatas dapur dengan bagian restoran. Meskipun dapur berada di bagian tengah, tapi tidak merusak nuansa mewah restoran itu.Nisha berhenti tepat di sebelah Andreas, yang tengah menyeruput segelas jus buah bercampur soda.Melihat kedatangan Nisha, Daniel pamit secara halus untuk kembali mengawasi para staffnya. Andreas menoleh tepat ketika wanita berhijab itu berada di sisinya. Ia sedikit terkejut namun dengan mudah dikendalikannya emosi itu.Dia tersenyum sumringah pada Efa dan Bahri yang melambaikan tangan ke arahnya seraya menuju lobi. Kemudian tersenyum tipis pada Salma, Sarah, Firdaus, juga Bella yang dibalas dengan perlakuan serupa. Lantas, kembali menatap Nisha seolah bertanya ada apa.Sementara Firdaus melirik dari kasir ketika menemani Sarah membayar biaya makan malam mereka. Lagi-lagi, dia tidak tahu kalau Bella memerhatikan dari lobi.“Saya mau berterima kasih karena kamu sudah menyelamatkan Bahri tadi sampai luka begitu.” Nisha menunjuk samar luka
Tidak seramai dulu. Semenjak Mak berpulang, keadaan rumah sudah tidak seceria dulu. Mahmud jarang tersenyum dan bercanda seperti biasa. Ana dan Nisha merasa tidak enak hati kalau harus terlihat bahagia di depan ayah mereka itu. Karena Mahmud pernah menuding mereka tidak sedih akan kepergian Mariya.Ana dan Nisha tidak mampu berkata-kata. Tentu saja mereka sangat sedih juga kehilangan sosok Mariya. Tapi, tidak mungkin harus bersedih setiap hari.Hampir sebulan setelah kepergian Mariya, Nisha mendapatkan telepon yang tidak disangka-sangka. Salma meminta suatu hal darinya.Dengan wajah serius dan mengintip mood Mahmud, yang belakangan ini sulit ditebak, Nisha pun menyampaikan maksud Salma pada ayahnya itu.Wajah Mahmud mulai mengkerut. Nisha menghela napas panjang, sudah siap dengan resikonya. Namun tidak lama kemudian, Mahmud tampak mengangguk dalam sebelum pergi masuk ke kamar.Nisha tersenyum lega. Duduknya pun tidak setegang tadi. Syukurlah kalau Mahmud tidak emosi. Iya, belakangan
Elza tidak ikut sampai ke pemakaman. Dia menunggu di rumah, menunggu Vika yang datang agak telat karena masih menanti sang suami pulang dari sepedaan dengan bapak Walikota.Bukan hanya Elza yang tinggal, Firdaus juga tidak ikut. Iya, ada Firdaus, lho dari tadi. Duduk di bawah pohon mangga bersama beberapa sepupu Nisha juga beberapa keluarganya yang datang melayat, seperti suaminya Queensha.Sedari dia duduk di sana dan beberapa rombongan anak sekolah itu tiba, ada yang menarik perhatian Firdaus. Siapa lagi kalau bukan sosok Akbar, yang duduk di teras. Tergelitik benaknya untuk datang ke sana, tapi seketika sadar kalau dirinya hanyalah mantan suami Nisha.Entah apa yang membuat Akbar melakukannya, yang pasti dia menoleh. Tatapannya pun bertemu dengan Firdaus.Butuh beberapa detik baginya untuk mencerna siapa pemilik wajah yang cukup familiar itu. Dia tersentak sedikit ketika mengenali Firdaus. Hanya anggukan pelan dan senyuman tipis yang Akbar suguhkan sebelum membuang muka.Andreas me
Lain daripada biasanya, Vespa matic menemani Aksara pergi ke sekolah pagi ini. Warna pink fantanya sungguh kontraksi dengan tato di pergelangan tangan Andreas, yang memboncengi keponakannya itu.“Om, jangan bawa moge,” larang Aksa pagi tadi, pas sekali ketika Andreas baru sehabis memanasi motor dan mengelapnya selembut mungkin. Bagi Andreas, motornya juga harus sempurna karena mau ikut dengannya bertemu Nisha. Lubuk hatinya sangat yakin kalau hari ini mereka berjodoh untuk ketemu.“Lho, kenapa?”“Nanti susah parkirnya, terus, berisik juga,” jawab Aksa. Dan pergi begitu saja menuju kamarnya, tanpa peduli kalau sudah menyisakan tanya di benak Andreas.Namun ketika mendengar penjelasan Aksa selama perjalanan mereka, lenyap sudah rasa kesal Andreas. Yang ada hanyalah keinginan untuk sampai cepat di tujuan.Kertas minyak kuning tiga lapis yang dilekatkan di sebuah kayu yang tampak lembab karena embun pagi, tercagak pasrah di sisi kiri rumah berpagar besi dengan nuansa biru itu.Ada bebera