“Cieee ..., mobil baru.” Sudah terbayang di otak Nisha gimana hebohnya ledekan dari beberapa orang yang dikenalnya kalau tiba di kampus nanti. Sampai bergidik ini badan. Duh, Nisha benci banget kalau diledek begitu. Childish? Yes!
Mariya dan Makhmud menjual mobil kijang lamanya lantas diganti mobil kelas MPV alias mobil sejuta umat.Bukan karena mau pamer, ya tapi lebih disebabkan kasihan melihat cucu-cucunya yang biasa naik mobil nyaman milik Firdaus. Bukan, sih, tepatnya mobil yang dibelikan almarhum Bakhtiar untuk digunakan cucu-cucunya melalui Firdaus. Di lain hal supaya Nisha juga bisa beraktivitas dengan lancar, apalagi mobil ini lumayan irit bensin.Plat putih dengan nomor merah masih terpampang di depan dan belakang mobil. Nisha agak risih. Takut dibilang pamer. Padahal, dia ngga ada niat mau membanggakan hal tersebut.Jadilah pagi itu ia keliling fakultas Adab —tempatnya bekerja. Parkiran di sana penuh dan ramai sekali. Banyak wajah yang diken“Happy anniversary, Mas,” ucap Bella dengan senyum terkembang hingga pipi tembemnya kian tampak.Tahu kalau ngga akan mendapatkan surprised apapun dari kekasihnya, dia berinisiatif membuat sendiri.Malam ini, tepat satu tahun mereka memadu kasih. Bella mengajak Firdaus makan malam di restoran sebuah hotel bintang empat. Sudah disiapkannya satu meja didekor warna pink berpadu putih, lengkap dengan balon berisi helium warna senada.Firdaus tersenyum tipis. Datar saja. Yah, hampir ngga terlihat ekspresi apapun, karena memang ngga terlalu suka dengan kejutan seperti ini.“Kalau memang Kakak ngga suka kejutan, bukan berarti orang lain ngga suka diberi kejutan.” Terngiang suara tegas yang tengah protes milik Nisha saat istri, ops, mantan istrinya itu berulang tahun di awal pernikahan mereka. Seharian Nisha menunggu diberi kejutan, tapi tidak juga kunjung datang. Akhirnya, dia jujur secara lugas mengatakan ketidaksukaannya akan sikap cuek Firdaus itu.
“Ma, aku mau menikah,” pinta Firdaus seperti geledek di siang bolong. Ngga ada tanda-tanda, tiba-tiba nongol aja. Bikin kaget lagi.Salma mengerjap memandangi anak lelaki bungsu juga satu-satunya dalam keluarganya itu. Sejak suaminya meninggal, jabatan kepala keluarga seharusnya diemban oleh Firdaus. Tapi, yang ada anaknya itu selalu keluyuran ngga menentu, entah ke mana. Sama sekali ngga membantunya. Dan, sekarang dia mau menikah?! “Nikah?” tanya Salma agak kurang yakin. Entah kesambet jin apa sampai-sampai anak lelakinya meminta hal itu.“Iya. Sama Bella,” jawab Firdaus lebih detail. Seolah mamanya butuh penjelasan itu.Wanita paruh baya itu menghela napas. “Daus, mau kamu menikah sama siapa itu terserah. Tapi, kamu aja belum genap setahun cerai, yakin mau membina rumah tangga lagi?” tanya Salma bersabar. Dia juga sempat mengucap istighfar di dalam hati.Saat senja menjelang, Firdaus melihat kesempatan untuk membicarakan tentang permin
Setrikaan terlihat letih digosok ke sana dan kemari. Tapi, ngga dengan tukang setrikanya. Dia konstan merapikan pakaian lembar demi lembar, terlebih lagi saat menyetrika seragam coklat milik pak suami.“Pulang jam berapa nanti, Ma?” tanya lelaki yang keluar dari kamar. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, badannya kurus kering. Biasanya lelaki yang mengenakan seragam coklat ini tubuhnya tinggi dan berbadan besar, mayoritas berperut buncit. Namun, dia ngga begitu.“Malam mungkin, Pah,” jawab sang wanita yang juga bertubuh kurus. Rambutnya dicepol asal-asalan. Sisa kecantikan tersembunyi di balik gurat capainya.“Ma, aku pergi dulu, ya,” pamit Dendi seraya mengecup kening istrinya yang cukup berkeringat. Tapi, ia tetap cinta.“Komandan!” teriak dua anak laki-laki. Mereka berdiri di pinggir pintu sambil memberikan hormat kepada ayah mereka yang hendak bertugas.Dendi bersikap tegap, melakukan hormat balik, kemudian berjongkok. “Kalian jadi anak baik nanti di rumah Nenek, ya. Turuti semua kata
“Nis, Kak Firdaus mau nikah sama Bella. Hari ini! Maharnya ... 200 juta!”Nisha menghela napas panjang setelah membaca pesan singkat dari Elza itu. Tahu aja, sih sahabatnya itu gosip termuktahir, padahal dia sudah sengaja ngga menceritakannya.Nisha lebih dahulu tahu tentang kabar itu dari Mama. Saban hari mantan mertua dan masih berstatus sebagai nenek dari kedua anaknya itu menelepon.“Assalamu'alaikum, Nis,” salam Salma begitu lembut juga sopan. Nisha sampai terbingung-bingung dibuatnya. Ngga biasanya terlalu ramah begini. Pasti ada sesuatu, deh. “Wa'alaikumsalam, Ma,” sapanya membalas.“Nis, Mama cuma mau ngasih tahu kalau seminggu habis lebaran haji nanti Daus mau menikah,” beritahu Salma tanpa ada kata pembukaan.Nisha ngga kaget lagi dengan kabar itu. Tapi, ada apa gerangan Salma memberitahunya selugas ini? Mau mengundangnya? Ngga salah, tuh? Apa Salma mau terjadi peperangan di acara itu?“Oh, selamat,” respon Ni
“Dasar jelema gelo!” umpat A' Engkus murka. Tubuh tingginya terlalu kentara ketika mondar-mandir di ruang tengah seukuran tiga kali enam itu.“Udah, duduk, A',” pinta sang istri yang mulai risih akan tingkah sang suami.Engkus terbukti adalah suami penurut. Noh, langsung duduk dia di antara Puput dan Nisha.“Nis, dia itu berani begitu karena tahu kalau Mamang sama Bibi, tuh lagi naik haji. Kalau ngga mana berani dia datang ke sini apalagi pakai merebut motor segala,” terka Engkus.Nisha mengangguk-angguk. “Iya juga, sih, A'.”“Tapi, caranya itu, lho. Amit-amit, dah. Ngga gentleman banget,” imbuh Puput seraya bergidik. Dia sulit banget membayangkan seperti apa kejadian sebenarnya sampai Nisha naik pitam begitu. Firdaus yang selama ini mereka kenal asyik orangnya, kok bisa berbuat serendah itu.“Tadi siang, tuh Aa' ada niat mau ke sini. Seandainya jadi ke sini, ketemu Firdaus, sudah Aa' hajar habis-habisan,” dendam Engkus membara.
“Kalian tinggal di sini?!” tanya Salma dengan nada tinggi, terjadi begitu saja. Dia kaget setengah mati begitu Firdaus menelepon, memberitahunya kalau akan pindah ke rumah ini bersama Bella.Bukan kenapa-kenapa, Salma merasa risih saja serumah —hampir dua puluh empat jam— dengan menantunya. Pasti bakalan canggung, deh.Firdaus juga, mau-maunya disuruh Bella, sih.“Ya, mau bagaimana lagi? Belum punya rumah sendiri, Ma,” timpal Firdaus. Sebelas tahun membina mahligai rumah tangga bersama Nisha, memang ngga ada rumah yang terbeli. Sebelas tahun, dan Firdaus, tuh punya pekerjaan yang sekali dapat insentif sampe puluhan juta, tapi ngga bisa membelikan istrinya rumah. Entah kemana uang itu raibnya.“Kapan kalian mau pindah ke sini?” tanya Salma mencoba berdamai dengan hatinya sendiri.“Besok, Ma.”“Ya, sudah. Pakai kamarmu aja, ya. Tapi, bersih-bersih sendiri. Mama capek,” kata Salma kemudian, pasrah. Tapi, tetap dong tidak mau turun tangan kalau soal bersih-bersih.Firdaus memang ragu menye
Memang aneh Bella ini di mata Salma. Dimana-mana itu menantu kalau tinggal di rumah mertua, pasti bangunnya pagi. Cuci piring, menyapu, beres-beres, atau apalah yang bisa dikerjain. Nah, menantunya ini malah bangun siang. Sudah bangun pun yang ada masak mie, cuma buat dirinya seorang. Terus, sisa memasak bahkan piring kotor dibiarkan begitu saja.Tak habis pikir Salma. Untungnya dia masih sanggup membayar Bu Desi bertugas sebagai tukang cuci piring, bersih-bersih, dan cuci baju di rumah ini. Gajinya tujuh ratus ribu satu bulan. Itu juga karena hanya dua kali sehari ke rumah.Bu Desi usianya ngga lebih tua dari Salma, namun raut wajah ditambah keriput membuatnya tampak lebih tua.Hari ini dia datang jam delapan pagi. Rumah masih hening, sama saja seperti kemarin-kemarin tiap kali datang. Namun yang berbeda cuma tumpukan piring kotor di cucian piring. Banyak banget.“Haduh!” keluh Bu Desi seraya menutup hidung dengan tangannya. “Ya Allah, bau banget. Sudah berapa jam ngga dicuci ini?”Bu
Dada Salma naik turun. Mulutnya terkatup rapat, namun menggeram, sesekali helaan napas berat juga keluar dari sana. Apa yang baru saja disampaikan oleh anak sulungnya itu begitu mudahnya memancing emosinya naik sampai ke ubun-ubun.“Mobil itu baru lunas, Us,” lirih Salma masih terpukul akan permintaan anak bungsunya. Mobil hitam tipe MPV itu dibeli oleh Bakhtiar demi Firdaus agar mencapai target saat menjadi sales mobil. Baru juga lunas kreditannya dua bulan yang lalu. “Coba kamu pikirkan lagi baik-baik,” mohonnya lagi.“Makanya, Ma. Lebih enak kalau dijual. Bisa langsung terima duit cash.” “Terus, Mama?” Salma menepuk dada dengan telapak kanannya. Firdus mengernyit. “Maksud Mama?”“Gimana dengan Mama? Kamu ngga mikirin Mama naik apa kalau mau kemana-mana?” Air mata yang menumpuk malah membuat matanya tampak berkaca-kaca.“Yaelah, Daus kira apa. Bisa aku anterin, Ma,” janji Firdaus dibayangi senyuman, ah, cengiran.Namun, Salma tahu kalau itu hanyalah janji sebatas di mulut saja. Dia
“Gimana kalau kita liburan ke Bali?” cetus Nisha tanpa aba-aba apalagi kalimat pembukaan. Itupun setelah melamun cukup lama.Alhasil, Shareefa dan Diana yang tengah cekikikan menonton drama korea di sisi Nisha langsung menatapnya kaget. Beda dengan Bahri yang masih asyik bermain game seolah tidak peduli. Dia memang belum mengerti, kok.“Bali?!” seru Ana dan Efa berbarengan. Nisha menyender di bangku outdoor Cuko. “He-eh,” jawabnya pasti diiringi anggukan.Memang sudah lama mereka tidak liburan. Sejak Bahri dan Efa masuk ke sekolah baru, ke tingkat yang lebih tinggi, atau sejak Mak pergi lima bulan yang lalu. Nisha juga disibukkan dengan kegiatannya di sini. Terlebih lagi Diana tahun ini melakulan grand opening Cuko.“Mau!” seru Efa senang. Sudah tidak dipedulikannya lagi drama korea yang masih berjalan di smartphone-nya.“Tapi, Efa masih ujian dua hari lagi.” Wajah yang tadi cerah mendadak berubah mendung. Gimana mau ke Bali, kan dia masih ujian.Nisha baru menyadari sesuatu. O, iya.
Nisha menghabiskan hari-harinya dengan menemani Bapak ke makam almarhum sang ibunda. Sebisa mungkin dia selalu sempatkan karena Bapak tidak pernah berhenti merindukan belahan jiwanya itu.Nisha juga rindu, tapi tetap harus melanjutkan hidup. Selain itu dia juga sibuk mengantar anak ke sekolah, menjalankan bisnisnya, atau meet up dengan sahabat-sahabatnya. “Nis,” panggil Elza.Nisha menyeruput es americanonya sebentar, lalu menatap sahabatnya itu. “Hm?”“Cowok yang kemarin ada di rumah duka itu siapa?” tanya Elza hati-hati.“Pak Akbar? Gurunya Efa.”Vika dan Elza saling bertukar pandang, sebelum menatap Nisha kembali.“Bukan yang pakai baju PNS, yang pakai kemeja hitam.” Elza menelan air ludah. Sepertinya Nisha belum juga mengerti apa maksud ucapannya. “Yang itu, loh. Yang rambutnya lebat, matanya agak gede, rahangnya tuh gagah banget gitu.” Vika juga membantu menjelaskan.Nisha pun menepuk tangannya sekali. “Oh, itu. Andreas. Kenapa?”“Kayaknya dia ada rasa, deh sama kamu, Nis.”“Em
Tiba-tiba Nisha berdiri. Sontak, Akbar ikut berdiri. “Aku permisi dulu,” pamit Nisha tiba-tiba.“Tunggu!”Nisha menoleh. Tatapannya seolah berkata tidak ingin mau tahu apa yang terjadi sekarang ini. Dia hanya ingin pergi dan pulang ke rumah. “Ada yang harus aku jelaskan ke kamu,” ucap Akbar dengan wajah serius.Nisha terdiam bagai manekin seraya menunggu Akbar mendekat. Bola matanya sempat bergetar. Degup jantungnya terdengar jelas oleh telapak tangan yang menangkup dada. Dinginnya hembusan angin malam tidak serta merta mampu menghapus piluh mengalir di keningnya.“Sepertinya ada kesalahpahaman di sini,” simpul Akbar.“Kesalahpahamam?”“Iya. Baik itu apa yang Andre atau kamu pikirkan sekarang.” Akbar berhenti karena sudah tepat berada di dalam jarak satu kaki di hadapan Nisha.“Memangnya, apa yang kupikirkan ... menurutmu?” Nada bicara Nisha agak turun di akhir kalimat.“Kamu mengira kalau aku menyukai kamu, Nisha. Oh, lebih tepatnya menaruh perasaan sama kamu.”“Haha.” Tawa Nisha t
“Mama mau ke mana?” tanya Efa curiga karena menjelang malam belum ada tanda-tanda Nisha berniat pulang dari butik. Malah Bunda Ana disuruh mengendarai mobil untuk mengantar Efa dan Bahri pulang. Mencurigakan? Banget.“Mama mau pergi sama Mami Elza,” jawab Ana membantu.Efa menoleh ke arah Ana, lalu kembali pada Nisha. “O, ya?! Pakai dandan segala.” Tidak segampang itu membohongi gen-Z satu ini.“Dandan gimana? Biasa aja,” dalih Nisha lantas masuk ke kantornya. Ditinggalkannya Efa yang masih menatapnya penuh curiga.Setengah jam kemudian, Nisha melambai singkat ke arah mobil merah yang biasa dikendarainya. Namun, kini sosok Ana yang berada di balik kemudi. Sementara itu, Efa terus saja menatap sang mama tanpa mengedipkan mata. Bahkan, terkesan sinis. Ditambah lagi mulutnya yang manyun. “Emangnya Mami Elza bisa keluar malem-malem begini, Bun? Bukannya dia paling malas keluar malam karena anak-anaknya sudah tidur jam segini?” tanya Efa dalam satu tarikan napas.“Mungkin dijagain sama s
Almira, Bianca, dan Shareefa duduk di kantin. Hal biasa yang mereka lakukan kalau sedang istirahat begini. Ini bukan istirahat biasa, mereka baru saja habis mengikuti mapel olahraga.Tatapan mereka tertuju pada sosok Pak Akbar, yang tengah menghukum anak yang ketahuan menuju kantin di jam pelajaran. Terlebih lagi lima anak lelaki yang berdiri di dekat pintu kantin itu tidak ada yang berpenampilan rapi. Penggaris besi terarah ke bagian pinggang Angga —anak kelas satu. “Kenapa kamu berkeliaran tanpa menggunakan ikat pinggang? Mana ikat pinggangmu?!”“Kelupaan pakai, Pak,” jawab Angga tanpa merasa bersalah.“Jongkok!” teriak Pak Akbar bergema di kantin.Decakan kesal Angga terdengar jelas, namun tetap mematuhi apa yang dikatakan Akbar. “Squat jump 25 kali. Habis itu kembali ke kelas.”Dengan helaan napas berat, Angga meletakkan tangannya di bagian belakang leher dan mulai squat jump.“Kamu lagi!”Yudi melirik penggaris yang menyeruak masuk di antara rambut lembatnya. “Jangan dipotong, P
Nisha mendekati dinding pembatas dapur dengan bagian restoran. Meskipun dapur berada di bagian tengah, tapi tidak merusak nuansa mewah restoran itu.Nisha berhenti tepat di sebelah Andreas, yang tengah menyeruput segelas jus buah bercampur soda.Melihat kedatangan Nisha, Daniel pamit secara halus untuk kembali mengawasi para staffnya. Andreas menoleh tepat ketika wanita berhijab itu berada di sisinya. Ia sedikit terkejut namun dengan mudah dikendalikannya emosi itu.Dia tersenyum sumringah pada Efa dan Bahri yang melambaikan tangan ke arahnya seraya menuju lobi. Kemudian tersenyum tipis pada Salma, Sarah, Firdaus, juga Bella yang dibalas dengan perlakuan serupa. Lantas, kembali menatap Nisha seolah bertanya ada apa.Sementara Firdaus melirik dari kasir ketika menemani Sarah membayar biaya makan malam mereka. Lagi-lagi, dia tidak tahu kalau Bella memerhatikan dari lobi.“Saya mau berterima kasih karena kamu sudah menyelamatkan Bahri tadi sampai luka begitu.” Nisha menunjuk samar luka
Tidak seramai dulu. Semenjak Mak berpulang, keadaan rumah sudah tidak seceria dulu. Mahmud jarang tersenyum dan bercanda seperti biasa. Ana dan Nisha merasa tidak enak hati kalau harus terlihat bahagia di depan ayah mereka itu. Karena Mahmud pernah menuding mereka tidak sedih akan kepergian Mariya.Ana dan Nisha tidak mampu berkata-kata. Tentu saja mereka sangat sedih juga kehilangan sosok Mariya. Tapi, tidak mungkin harus bersedih setiap hari.Hampir sebulan setelah kepergian Mariya, Nisha mendapatkan telepon yang tidak disangka-sangka. Salma meminta suatu hal darinya.Dengan wajah serius dan mengintip mood Mahmud, yang belakangan ini sulit ditebak, Nisha pun menyampaikan maksud Salma pada ayahnya itu.Wajah Mahmud mulai mengkerut. Nisha menghela napas panjang, sudah siap dengan resikonya. Namun tidak lama kemudian, Mahmud tampak mengangguk dalam sebelum pergi masuk ke kamar.Nisha tersenyum lega. Duduknya pun tidak setegang tadi. Syukurlah kalau Mahmud tidak emosi. Iya, belakangan
Elza tidak ikut sampai ke pemakaman. Dia menunggu di rumah, menunggu Vika yang datang agak telat karena masih menanti sang suami pulang dari sepedaan dengan bapak Walikota.Bukan hanya Elza yang tinggal, Firdaus juga tidak ikut. Iya, ada Firdaus, lho dari tadi. Duduk di bawah pohon mangga bersama beberapa sepupu Nisha juga beberapa keluarganya yang datang melayat, seperti suaminya Queensha.Sedari dia duduk di sana dan beberapa rombongan anak sekolah itu tiba, ada yang menarik perhatian Firdaus. Siapa lagi kalau bukan sosok Akbar, yang duduk di teras. Tergelitik benaknya untuk datang ke sana, tapi seketika sadar kalau dirinya hanyalah mantan suami Nisha.Entah apa yang membuat Akbar melakukannya, yang pasti dia menoleh. Tatapannya pun bertemu dengan Firdaus.Butuh beberapa detik baginya untuk mencerna siapa pemilik wajah yang cukup familiar itu. Dia tersentak sedikit ketika mengenali Firdaus. Hanya anggukan pelan dan senyuman tipis yang Akbar suguhkan sebelum membuang muka.Andreas me
Lain daripada biasanya, Vespa matic menemani Aksara pergi ke sekolah pagi ini. Warna pink fantanya sungguh kontraksi dengan tato di pergelangan tangan Andreas, yang memboncengi keponakannya itu.“Om, jangan bawa moge,” larang Aksa pagi tadi, pas sekali ketika Andreas baru sehabis memanasi motor dan mengelapnya selembut mungkin. Bagi Andreas, motornya juga harus sempurna karena mau ikut dengannya bertemu Nisha. Lubuk hatinya sangat yakin kalau hari ini mereka berjodoh untuk ketemu.“Lho, kenapa?”“Nanti susah parkirnya, terus, berisik juga,” jawab Aksa. Dan pergi begitu saja menuju kamarnya, tanpa peduli kalau sudah menyisakan tanya di benak Andreas.Namun ketika mendengar penjelasan Aksa selama perjalanan mereka, lenyap sudah rasa kesal Andreas. Yang ada hanyalah keinginan untuk sampai cepat di tujuan.Kertas minyak kuning tiga lapis yang dilekatkan di sebuah kayu yang tampak lembab karena embun pagi, tercagak pasrah di sisi kiri rumah berpagar besi dengan nuansa biru itu.Ada bebera