Ai tampak sangat terkejut, ketika Ian datang ke kantornya kemudian memberikan buket bunga dengang kotak hadiah ulang tahun di tangannya. Wanita itu tentu saja kaget. Ia tidak sedang berulangtahun sekarang."Untuk Tante Ica," terang pria itu membuat Ai tidak jadi mengidap penyakit jantung."Oh! Astaga! Aku baru ingat ternyata Tante Ica ulang tahun hari ini," balas Ai yang tertawa canggung kemudian menerima hadiah itu dengan senang hati. "Kenapa kamu tidak ikut saja?""Aku sedang ada pekerjaan yang harus segera diselesaikan malam ini. Aku nitip, ya? Acaranya jam enam nanti. Kalau aku ikut, tidak akan ada waktu sepertinya.""Jam enam? Kenapa aku tidak tau? Bagaimana ini ... ck! Aku bahkan belum sempat mencarikan hadiah untuk kado," cemas wanita itu sekarang."Makanya jangan terlalu kaku. Sesekali baca pesan di grup, jadi kamu juga tau apa yang sebenarnya tengah terjadi. Otak kamu juga terupdate akan berita saat ini."Wanita itu mengangguk setuju sekarang. Entah mengapa, perasaannya sangat
"Mas?" panggil Rainy dengan nada sendu sebab suaminya melintas begitu saja ketika ia masih membereskan semua sampah di rumah itu."Mas Mario?" panggilnya lagi. Kali ini, wanita itu segera terisak dan terduduk jongkok dengan keadaan lemas.Mario yang mendengar namanya dipanggil pun segera menoleh dan berhenti sesaat."Ada apa memanggilku?""Apa Mas masih sangat marah padaku? Aku sudah minta maaf atas perbuatan salahku itu. Aku tau, aku salah dan terlalu jahat pada Ai. Tapi itu semua hanya niat untuk pendekatan, Mas. Dibalik itu semua, suatu hari nanti, aku akan dekat dengannya dan tau apa yang dia butuhkan sebenarnya."Penjelasan panjang lebar itu sejenak membuat Mario merasa iba."Dari semua yang telah terjadi, apa yang sangat kamu sesali? Hukuman karena menyamakanmu dengan pembantu?""Tidak, Mas. Aku hanya tidak suka ketika dianggap tidak dianggap ada. Padahal kan, sudah jelas, jika aku adalah istrimu." Rainy semakin terisak sekarang.Mario kemudian mengajaknya untuk bangkit. Ia membe
"Papa ... kalian ngapain ke sini?" Pertanyaan yang sebenarnya lebih tepat ditujukan untuk dirinya sendiri.Ai hanya diam. Ia menatap Mario, menyerahkan situasi saat itu apda sang ayah mertua."Kenapa nih, kamu yang ngapain di sini? Ada kerjaan apa lagi di sini sih, Ian. Papa tuh sudah capek ya ngomongin sama kamu. Jaga nama baik keluarga kita. Kalau perbuatan baik kamu tidak ingin diekspos, setidaknya perbuatan jahatmu juga!"Pria itu tampak sangat kecewa."Papa, dengarkan aku dulu," pinta Ian sekarang."Tidak menerima alasan. Sekarang juga kamu ikut pulang. Segera!" perintah Mario tegas kemudian masuk ke dalam mobil. Ia mengemudi.Sementara Ai, ia masih memeriksa ke arah sekitar. Ia sungguh ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri akan keberadaan Ana di sana. Namun, sejak tadi ia mencari masih tetap tidak ada hasil."Ai, kenapa bisa datang ke sini?" tanya Ian berbisik.Pria itu menarik istrinya menjauh sambil memberi ancaman dengan mencengkeram lengannya. Tentu saja, ia ingin menda
"Iya, aku sudah tau semuanya. Kalian ingin liburan, kan? Pergilah," ujar Ana.Belum sempat Ai mengucapkan sepatah kata untuk memberikan penjelasan, gadis itu malah sudah menyiapkan jawabannya."Kita makan bersama sekarang!" titah gadis itu kemudian memperhatikan Danny yang tengah bekerja. "Yuk, kita makan di luar. Bawa bosmu," perintahnya."Siap, Bu," jawab Danny yang merasa sangat curiga sekarang.Selama dalam perjalanan, kedua orang itu benar-benar diam dalam sepi. Tidak ada percakapan di antara mereka.Di sebuah kafe, tampak jika Ian sudah lebih dulu tiba di sana. Ia bahkan sudah membuat pesanan yang sama untuk semua orang dan hanya Ai yang sangat tidak menyukainya."Aku tidak ingin makan makanan berminyak seperti ini di pagi hari, aku pesan yang lain, ya?" tawarnya."Hallah, manja sekali. Memangnya kamu siapa sampai berniat buang-buang makanan seperti ini? Kamu lupa kamu siapa? Pekerjaan kamu juga ada karena ayahku, jadi tidak usah berlebihan!" seru Ana yang segera memberi perintah
Ana merasakan pegal di kakinya sebab seharian melakukan pekerjaan sendirian. Ia juga harus mondar mandir ke ruangan Ai dan ruangannya untuk melakukan banyak hal.Tatkala jam kerjanya telah usai, ia terdiam sekarang. Merenungi nasib. Ponselnya juga tidak mendapatkan notif dari orang yang paling dia harapkan.Foto mesranya bersama Ian yang dipajang di meja kerjanya, ia ambil kemudian elus. Ia baru menyadari jika mencintai suami orang adalah sebuah pilihan yang salah. Namun, ia telah terjebak dan memang tidak ada niat untuk ke luar dari sana.'Jaga hati, tubuh, dan pikiranmu hanya untukku, Sayang.' Sebuah pesan yang ia kirimkan sebelum akhirnya pulang ke rumah.Kali ini, ia mengemudi dengan cukup cepat sebab memang tujuannya sekarang hanyalah rumah dan ingin segera tidur. Namun, pergerakannya harus segera dihentikan ketika Elvina muncul mendadak di persimpangan.Ia menginjak rem dengan sangat tiba-tiba hingga hampir menimbulkan sesuatu yang sangat tidak diharapkan oleh semua orang.Wanita
"Aneh sekali! Dari tadi tidur mulu. Di pesawat, di mobil, turunkan itu kopermu!" omel Ian yang hanya mengeluarkan koper miliknya sendiri dari bagasi."Uwah!" Mengencangkan seluruh bagian tubuhnya. Ia merasa geregetan karena akhirnya tiba di tujuan. "Yeey, akhirnya sampai juga. Bisa lanjut tidur dengan tenang, nih."Wanita itu ke luar dari mobil tanpa mempedulikan keberadaan Ian. Ia tidak lupa meminta tolong pada soir untuk mengeluarkan barang-barangnya."Kenapa harus menyusahkan orang lain kalau masih punya tangan sendiri?" protes Ian lagi."Aneh, deh. Bapak sopirnya saja tidak repot, kenapa malah kamu yang berisik? Suaramu itu loh, seperti kicauan burung, ribut sekali!"Ai berjalan dengan santai menuju hotel tempat mereka menginap. Ia bahkan tidak peduli dengan panggilan Ian dan hanya menunggu sampai pria itu mengurus segalanya."Ayah mertua, Tante Rainy, Ayahku yang tampan, kami baru saja tiba, nih!" serunya melapor lewat panggilan video."Di mana dia?" tanya Mario.Ai segera mengara
Ana memerintah pria bayarannya untuk datang sekarang. Ia benar-benar membutuhkan bantuan ketika anak-anak itu memaksa masuk dan menghakiminya.Ana memberikan segala sesuatu yang dia punya agar anak-anak itu melepaskannya, namun tetap saja tidak. Mereka hanya ingin Ana melepaskan Ian dan memilih mereka sebagai pasangannya."Kami janji akan memberikan apapun yang kamu mau, segalanya," ujar salah satu dari mereka."Orang tua kami kan kaya. Tidak akan membuatmu sengsara. Setialah pada kami, sampai kapan pun, kamu akan tetap ada di hati kami," lanjut salah seorang dari mereka juga.Ana tak lagi dapat menahan emosi dan amarahnya. Namun, ia juga harus bisa bersikap sebaik mungkin agar tidak mencurigakan. Kali ini, ia meminta izin untuk masuk ke toilet dan memastikan jika pria bayarannya telah benar-benar datang.Suara bel di depan pintu rumahnya berbunyi membuat anak-anak itu merasa penasaran dan segera mengintip."Seorang pria, apa dia suruhanmu?" tanya seseorang pada Ana yang masih mengurun
Noah sangat kaget mendapati keadaan putrinya yang mendapat begitu banyak luka. Gadis itu tampak terbaring lemah sekarang.Arzi tampaknya menyadari sesuatu. Ia dengan sigap memberi perintah agar ruangan Deon diberikan jarak yang cukup dengan Ana. Hal itu tentu saja menarik atensi semua orang. Walau begitu, tanpa bertanya secara langsung, tampaknya mereka telah tau apa yang sebenarnya tengah terjadi.Tanpa basa-basi, Diko segera memerintahkan staff rumah sakit untuk memindahkan ruangan Deon."Bagaimana bisa ini semua terjadi?" tanya Ica yang tampan penasaran. Ia merasa kasihan dengan keponakannya itu."Ini terjadi di apartemennya, tadi ...."Dokter yang menangani kasus itu segera menjelaskan apa yang ia tangkap dan ketahui. Kening semua orang tampak mengerut."Bang, bukannya apartemen itu sudah tidak dihuni sama Ana, ya? Bukannya sudah mau dijual?" tanya Ica sangat penasaran."Kasusnya berhubungan lagi dengan teman-temanku. Sepertinya alamat itu yang diketahui sama mereka, jadi ya merek
Ai mendapatkan kebahagiaannya sekarang. “Ada kalanya keluarga menjadi bagian terpenting dalam hidup. Namun, ada kalanya rasa iri menghancurkan segalanya tanpa mementingkan kepentingan kekeluargaan.”Ucapan itu terdengar nyaring membuat Ian mendongak. Ia sadar akan perbuatannya selama ini. Jika saja, ia tak menyakiti Ai dengan sengaja, mungkin hidupnya tak akan berakhir seperti ini.Wanita itu terlihat sangat menawan. Ia seolah jatuh cinta untuk kedua kalinya. Namun, kali ini berbeda. Rasa cinta itu tumbuh karena sikap dan sifat baik wanita itu.Danny juga mendekat sekarang. Walau ada rasa sesak di hati masing-masing. Namun, umur tua menambah tuntutan agar bersikap lebih dewasa dan mulai belajar untuk saling mengikhlaskan.“Kamu lihat, kan? Istriku cantik sekali. Wih, dia benar-benar membuatku jatuh cinta.”“Sudahlah, Dan. Akhiri omong kosongmu. Aku tau, kamu datang ke sini hanya untuk meledekku. Kamu ingin aku merasa sakit hati dengan apa yang kamu punya saat ini. No, hatiku sudah be
Dua tahun kemudian, Danny dan Ai pertama kalinya mengunjungi rumah keluarga Mario yang kini terlihat baik-baik saja. Namun, terasa sangat sepi. Hal itu membuat mereka merasa penasaran."Ian sudah lama tidak tinggal di sini, semenjak istrinya menikah. Dia tinggal di perbatasan kota, di sana kan sepi," terang Rainy yang tengah menjamu tamunya."Dia tidak pernah pulang, Ma?" balas Ai yang tengah membantu mantan mertuanya itu."Ya, tidak pernah memang, Nak. Kami yang sering mengunjungi dia ke sana. Dia benar-benar belum ada niat untuk punya pengganti Ana juga sepertinya. Sampai sekarang belum juga ada kabar tuh tentang wanita yang dia dekati."Arzi yang baru ke luar dari toilet dan mendengar percakapan itu pun segera meluncur untuk bergabung. Berbeda dengan Danny dan Mario yang malah mengajak bermain sang anak."Keeano Halburt, kamu tampan sekali, Nak?" Rainy yang sudah tidak tahan ingin bicara dengan anak kecil itu pun segera berlari heboh kemudian menggendongnya. Semua orang ikut tersen
Tiffany mengintip dari jauh, tentang apa yang sedang dilakukan oleh Rald sekarang. Pria itu terlihat sangat sibuk di dekat mobil keluarganya.Beberapa saat kemudian, ketika sang sopir sudah datang, ia buru-buru menjauh dari sana.Tiffany yang tau kelakuan pria itu pun segera mendekat."Loh, kok bannya bisa bocor begini, ya? Sepertinya ada yang sengaja, nih." Keluhan sang sopir yang tentu saja segera ditepis oleh Rald."Jangan banyak menuduh dan berpikiran buruk, Om. Tidak baik untuk kesehatan dan sekitar.""Tidak, Nak. Ini memang benar, tadi saya tinggal masih baik-baik saja, kok.""Ini minumannya, aku pulang duluan, ya?" ujar Tiffany yang tentu saja membuat Rald kaget.Ia punya firasat buruk tentang kelakuannya yang mungkin sudah disaksikan oleh gadis itu."Om, aku pulang duluan, ya. Om perbaiki mobil saja dulu, nanti jemput di rumah Bang Danny!"Ia juga segera berlari untuk mengejar Tiffany yang sudah pergi jauh meninggalkannya."Tiff, kamu lihat semuanya, ya?""Apanya yang aku liha
Sebulan telah berlalu, naluri seorang ayah terhadap putrinya tidak akan bisa terpatahkan begitu saja. Hal itulah yang sedang dirasakan oleh Ian sekarang. Ia membawa begitu banyak pakaian anak-anak bersama kedatangannya ke sana.Masih dengan jarak yang jauh, namun Ai sudah dapat melihat kedatangan pria itu. Ia yang memang masih merasakan trauma mendalam yang entah kapan sembuhnya pun segera menutup semua akses untuk kedatangan pria itu.Ai yang memang hanya tinggal bersama pembantunya tak dapat berbuat apa-apa selain menghindar. Tampak jika Ian tengah membuat penawaran sekarang. Bagaimana tidak, ia sangat takut jika tidak diberi kesempatan."Sudah, Bi. Suruh saja dia pergi. Aku tidak mau kalau dia datang ke sini, tidak suka." Perintah Ai yang dikirimkan lewat pesan wa itu membuat Ian semakin sedih. Ia segera berlutut sekarang."Ai, tolong beri aku kesempatan untuk melihat wajah putraku. Aku tidak mau dihantui rasa bersalah ini terus-terusan. Hidupku terasa sangat menderita, jadi tolon
Danny buru-buru pindah ke rumah Arzi. Ia memang sengaja mengalah dalam hal itu agar lebih dekat dengan istri dan anaknya. Bagaimana pun, saat ini yang paling ia utamakan adalah kebahagiaan sang istri.Arzi tersenyum lebar ketika melihat kedekatan antara anak dan menantunya itu. Ia juga tidak terlalu mempermasalahkan apapun yang menjadi pilihan pasangan itu."Yah, ini Keeano tidak mau diam dan tenang. Sepertinya harus mandikan bundanya dulu." Pria itu segera memberikan anaknya kepada Arzi. "Aku bantu Ai mandi sebentar ya, Yah.""Iya, tenang saja. Serahkan pada ayah." Arzi segera bergerak ke luar dari ruangan keluarga kemudian mendekati sang istri yang tengah tersenyum menunggunya sekarang. Ia terpaku menatap arah dada istrinya yang cukup besar sebab mengalami pembengkakan."Hei, apa yang kamu lihat? Aku tidak suka pria genit ya, Dan.""No. Bukan itu masalahnya, Ai. Kenapa ukurannya malah semakin membesar? Ada masalah kah, kita periksakan ke dokter, yuk?"Ai menggeleng sambil tersenyum
Sementara Ai, ia mengeluhkan rasa sakit yang teramat. Entah kenapa, pikirannya terus terbayang pada ibunya yang sekarang tak lagi bersama dengannya.Ia kemudian meminta sang ayah untuk menghubungi ibunya sebab bagaimana pun, wanita itu akan tetap menjadi orang yang paling berarti baginya sebab telah melahirkannya ke dunia ini."Ada kami di sini-""Om, please lakukan saja. Kita tidak tau bagaimana wanita menahan rasa sakit yang teramat ketika akan melahirkan. Aku bisa menjamin seratus persen kalau semuanya akan segera baik-baik saja setelah Ai mendengar suara Tante Elvina."Menyerah dan tidak ingin berdebat lebih panjang, Arzi pun melakukan hal itu. Dokter dan perawat yang menanganinya pun ikut bersuara. Mereka berbincang sekarang dan dalam hitungan menit, anak itu lahir ke dunia."Selamat, Bapak dan Ibu, anak kalian laki-laki. Dia sangat tampan," puji sang dokter membuat Ai merasa sangat penasaran."Kenapa jadi mirip sama kamu sih, Dan?" tanyanya sebelum akhirnya tak sadarkan diri.Se
Ai menatap ke arah pintu kamarnya yang tengah terbuka sejak tadi namun tidak ada yang masuk. Pada akhirnya, ia ke luar sekarang. Mencoba menelusuri seluruh sudut rumah dan masih tidak mendapati siapa-siapa di sana.Pada akhirnya, ia turun ke lantai bawah dengan maksud untuk mencari sang ayah. Langkahnya tertatih sebab perutnya yang sudah semakin besar sekarang.Bayi dalam kandungannya pun begitu aktif memberikan tendangan untuknya sehingga ia harus menahan rasa sakit esktra."Sayang, tunggu sebentar, ya. Kita cari papa kamu dulu," gumam wanita itu sambil terus melangkah hingga akhirnya ia tidak sengaja mendengar percakapan antara ayah dan orang-orang yang entah siapa mereka."Jadi, kecelakaan Ai waktu itu adalah rencana Ian?" tanya Arzi dengan nada kencang.Ia masih tak percaya hingga sekarang.Beberapa saat kemudian, Ana datang. Ia membenarkan kabar itu sebab rekaman suara itu didapat dari ponsel milik Ian sendiri. Ia memang telah melewati batas dengan memeriksa ponsel pria itu, namu
"Sekarang juga kamu harus menikah dengan Ana," gertak Mario penuh amarah tatkala putranya siuman dari tidur panjangnya.Pria itu memang sudah tidak sadarkan diri selama dua bulan lamanya. Mungkin karena benturan hebat di otaknya. Semua orang seolah memberi tekanan yang membuatnya merasa tidak dihargai, seolah segala sesuatunya menjadi sulit.Sementara Ai, ia menjadi lebih tenang sekarang sebab kandungannya sebentar lagi akan segera ke luar ke dunia. Ia juga tak lagi bekerja di luar rumah.Traumanya jauh lebih besar dari keinginan untuk bisa bekerja selayaknya harapannya dari jauh-jauh hari."Apa yang dia lakukan tanpaku?" tanyanya pada Ana yang segera memberikan tamparan di wajahnya sekarang."Perutku sudah semakin besar dan kamu masih memikirkan wanita lain? Sialan kamu, Ian. Aku tidak mau tau, kamu harus segera menikahi aku!"Kecaman itu segera membuat Ian sadar jika ia memang telah melakukan hal itu pada Ana. Ia sendiri juga yang telah berjanji jika akan segera menikahi wanita itu,
Ai merasakan sakit yang teramat di perutnya. Ia segera memperhatikan arah kakinya, rasanya cukup lega sebab tidak ada darah yang ke luar.Namun, rasa sakit itu masih tak berhenti. Ia berteriak hingga akhirnya mendengar suaranya sendiri yang bergema. Tau jika dirinya tengah disekap di ruangan itu, ia mulai mencari jalan ke luar untuk segera ke luar dari sana."Ya Tuhan, aku sangat ketakutan," gumamnya.Suara langkah kaki menyadarkan ia jika seseorang telah datang, mungkin untuk memastikan keadaannya. Ia masih berpura-pura tidak sadarkan hingga sebuah tangan menyentuh dagunya."Bangunlah, jangan berpura-pura lagi," ujar Ian yang membuat Ai sungguh tidak menyangka.Rasa takutnya kembali memuncak dan menjadi lebih agresif sekarang. Pria yang hendak menyentuhnya itu segera ia hantam kepalanya. Ia juga mendorong pria itu dan menggigit tangannya sekuat tenaga."Aw," pekik Ian merasa geram menahan sakit. "Kamu jangan bertindak di luar batas, ya. Aku bisa saja membunuhmu sekarang. Aku sudah cu