Seseorang menyerang Elvina secara tiba-tiba. Sesuai dengan pekerjaannya, sudah menjadi kebiasaann baginya untuk pulang subuh dan selalu sendirian. Seperti saat ini.Tatkala ia merasakan sakit di kakinya dan terduduk lemas, kaki itu malah diseret oleh seseorang. Tak peduli seberapa keras wanita itu memberontak dan menangis, tetap saja ia masih diperlakukan sama.Kali ini, ia juga dimasukkan ke dalam mobil kemudian dibekap. Mulutnya ditutupi kain sehingga tidak bersuara. Ia juga dikawal oleh dua orang yang membuatnya semakin takut.'Apa yang akan terjadi padaku? Kenapa rasanya sangat takut?' batin wanita itu mulai berhenti menangi sekarang.Ia juga menatap kedua pria itu dengan sendu sehingga penutup mulutnya dilepaskan. Ia berpikir keras untuk mendapatkan kepercayaan lebih sekarang."Aku haus. Apakah ada air?" tanyanya sambil memperhatikan jalanan yang mereka lalui.Kecil harapannya untuk bisa lepas saat itu juga sebab jalanan masih lengang oleh pengguna. Ia gemetar ketika membayangkan
Masih dengan pelariannya, Elvina terus menyusuri jalan untuk bersembunyi. Ia masuk ke pekarangan area hotel yang terbengkalai. Rasa takut segera ia tepis demi bersembunyi dari preman-preman itu.Sorakan yang masih jauh namun dapat ia dengar segera ia sempatkan untuk mencari bantuan. Rasa takutnya sempat mereda ketika seseorang akan datang untuk menolongnya.Namun, ia terlena sekarang. Ia berhenti terlalu cepat sehingga pengejaran berhenti. Ia telah diketahui berada di rumah yang sama dengan para preman itu.Menirukan suara kucing sempat membuatnya aman hingga akhirnya sebuah petaka menjebaknya di sana. Suara notifikasi pesan di ponselnya membuatnya ketahuan dan tak lagi bisa menghindar.Ia ditarik paksa sekarang. Kedua kakinya ditarik begitu saja sehingga badannya harus merasakan sakit yang teramat sebab bergesekan dengan lantai kotor dan basah itu."Berani ya kamu!" teriak pria itu segera menjamah seluruh badan Elvina dan menemukan ponsel wanita itu."J-jangan!" pintanya namun tidak a
Ai terkesiap ketika ia bangun dan sadar jika kakinya tertimpa sesuatu yang cukup berat. Perasaan curiga itu memaksanya untuk membuka mata dan menyadari jika suaminya telah berani tidur seranjang dengannya.Ingin marah, namun ia tidak ada keberanian. Sampai akhirnya, ketika akan memulai aktivitasnya. Ia merasakan sesuatu yang berbeda. Tubuhnya polos sekarang, kedua matanya menyipit bersamaan dengan ingatan gambaran kejadian tadi malam. Dengan langkah perlahan, ia masuk ke kamar mandi dan berdiam diri cukup lama di sana. Ia juga menyadari sesuatu yang berbeda dengan langkahnya yang terasa sakit. Hal itu semakin jelas ketika ia mengingat bercak darah di atas kasur. Ah, tak dapat dipungkiri lagi rasa kecewanya sekarang. Ia telah melakukan hal yang tak seharusnya dilakukan oleh keduanya. Lalu mengapa harus ia yang menggoda pria itu? Bukankah ia tidak tahu menahu hal semacamnya?Merasa dunianya telah hancur, ia menyalakan shower yang mengeluarkan air dingin, menyiram tubuhnya yang benar-be
"Berhentilah dari pekerjaan gelapmu itu, Elvina." Danny memberikan saran yang sebenarnya sangat ingin dilakukan oleh wanita itu.Namun, ia masih belum bisa melakukannya sebab targetnya belum benar-benar terpenuhi. "Aku mau mengumpulkan uang sebelum membuka usaha nantinya. Semua uangku telah habis untuk membayar hutang temanku."Danny terdiam. Ia tidak begitu tertarik dan penasaran akan masalah yang dihadapi oleh wanita itu."Aku punya sahabat yang sangat aku sayangi. Kami sudah berteman sejak kecil. Dia punya jalan hidup yang lebih sulit daripada aku. Sampai akhirnya, tiga tahun yang lalu, dia didiagnosa mengidap penyakit kanker darah. Dia masih hidup sampai sekarang, sudah sembuh. Tapi, aku harus kabur dan menanggung semuanya. Aku ingin dia hidup bahagia dengan keterbatasan yang dia miliki."Terdiam sesaat sebab tengah merasakan kesedihan yang teramat."Aku tidak apa-apa jika harus menanggung semuanya. Tapi, aku juga sangat ingin dia hidup untuk berpuluh-puluh tahun lagi. Kelak, ketik
Melihat dan merasakan tingkah Ian yang tidak lagi begitu buruk, Ai menjadi sedikit terharu dan ingin membalas perbuatan itu. Pagi itu, ia bangung dan lalu bergegas mencari resep kopi yang disukai oleh Ian.Dalam jangka waktu tiga puluh menit, ia mendapatkannya dan segera kembali ke kamar hotel. Ia juga dengan sengaja masuk ke kamar mandi dan membuat Ian mengambil pesanan yang baru saja diantarkan oleh pelayan."Kenapa lama sekali di kamar mandi? Kamu mau bunuh diri lagi?" tanya Ian yang ternyata memilih untuk tidak melanjutkan tidurnya."Tidak." Ai menggeleng."Terima kasih untuk pesanan kopinya. Pasti sulit ya mendapatkannya?""Tidak terlalu. Aku, em ... taunya dari Papa," balas wanita itu berbohong. Ia tidak pernah menanyakan hal itu pada orang lain dan memang mempelajari sendiri tentang kopi favorit suaminya dari bekas minumannya."Oh, jadi dari Papa," sahut pria itu tampak tersenyum geli.Bagaimana tidak, ia tahu jelas jika istrinya tengah berbohong sekarang."Apa rasanya enak?""H
Ana kembali dibuat kesal ketika Deon masih berani menghampirinya. Ia sudah sangat tidak ingin bertemu pria itu sebab benar-benar menjadi mimpi buruk di siang dan malamnya.Rald yang sejak tadi berada di ruang istirahat tentu saja mendengar percakapan di antara mereka. Ia juga tersentak setelah mengetahui sifat buruk Ana yang ternyata memang benar adanya.Sebuah gelas ditarik kemudian dilemparkan ke arah kepala Deon hingga benda itu pecah. Kepala pria itu tampak terluka dan mengeluarkan darah sebagai pertanda.Tak berhenti sampai di sana. Ana juga berusaha mendorong Deon hingga membuat kaki pria itu menginjak pecahan kaca."Aw," desisnya."Makanya jangan idiot! Aku sudah menyuruhmu pergi dari tadi. Pergilah, sana, sana!""Ana, tapi aku tidak bisa jauh-jauh darimu. Aku sangat merindukanmu setiap saat. Aku tidak tau kenapa ...""Itu urusanmu, Bapak Deon yang tidak terhormat. Aku tuh jijik sama kamu. Sejak awal, harusnya kamu sadar dong, kamu dan aku beda kasta, beda segalanya. Kamu juga m
Berdandan sebisanya, Ai akhirnya menyelesaikan urusannya. Ia menatap wajah dan penampilannya cukup lama di depan kaca. Perasaannya aneh, seperti ada yang berbeda."Kenapa aku terlihat cantik?" gumamnya sedikit centik kemudian menepuk-nepuk wajahnya. Ia kemudian tersenyum, membenarkan anggapannya terhadap diri sendiri dalam hati.Beberapa saat kemudian, Ian juga telah menyelesaikan persiapannya. Ia mendekat ke arah Ai yang tampak malu dan sangat tidak percaya diri.Apalagi setelah wanita itu menatap tampilan suaminya yang terlihat sangat tampan itu. Ia mencengkeram gaunnya, merasa geram sendiri."Kamu sudah siap?" tanya Ian kemudian merapikan rambutnya tanpa memperhatikan penampilan berbeda Ai sekarang."Sudah. Tinggal pakai sepatu, kita bisa berangkat setelahnya."Mendengar hal itu, Ian bergegas menanyakan keberadaan sepatu wanita itu tanpa kata-kata. Ia kemudian meraih benda itu dan terduduk untuk meletakkan benda itu di dekat kaki Ai.Seketika, Ai merasa deg-degan dan sangat tidak ny
Elvina memeriksa seluruh bagian tubuhnya yang terasa tidak begitu sakit lagi. Walau memang di beberapa bagian masih menyisakan lecet. Entah mengapa, perasaannya tidak begitu nyaman jika harus tetap berada di tempat itu.Akhirnya, dengan membawa keterpaksaan, ia pun meninggalkan tempat itu. Di taksi, melewati jalanan yang mulai menyepi, ia mencoba menikmati suasana. Matanya ia pejamkan sambil menghirup udara yang sebenarnya tidak begitu segar.Ia tidak peduli dengan omelan sang sopir. Pada saat ini, ia hanya ingin menemukan ketenangan walau hanya sesaat sampai akhirnya mereka tiba di tujuan. Wanita itu terdiam ketika salah satu dari beberapa orang yang keluar dari daerah tempat tinggalnya tampak masuk ke mobil yang sepertinya sudah menunggu sejak tadi.Wanita itu ke luar setelah limat menit kemudian. Helaan napasnya yang amat panjang menjadi sebuah pertanyaan bagi sopir yang tak dijawab oleh Elvina. Ia segera melakukan kewajibannya untuk membayar jasa sang sopir kemudian beranjak menuju
Ai mendapatkan kebahagiaannya sekarang. “Ada kalanya keluarga menjadi bagian terpenting dalam hidup. Namun, ada kalanya rasa iri menghancurkan segalanya tanpa mementingkan kepentingan kekeluargaan.”Ucapan itu terdengar nyaring membuat Ian mendongak. Ia sadar akan perbuatannya selama ini. Jika saja, ia tak menyakiti Ai dengan sengaja, mungkin hidupnya tak akan berakhir seperti ini.Wanita itu terlihat sangat menawan. Ia seolah jatuh cinta untuk kedua kalinya. Namun, kali ini berbeda. Rasa cinta itu tumbuh karena sikap dan sifat baik wanita itu.Danny juga mendekat sekarang. Walau ada rasa sesak di hati masing-masing. Namun, umur tua menambah tuntutan agar bersikap lebih dewasa dan mulai belajar untuk saling mengikhlaskan.“Kamu lihat, kan? Istriku cantik sekali. Wih, dia benar-benar membuatku jatuh cinta.”“Sudahlah, Dan. Akhiri omong kosongmu. Aku tau, kamu datang ke sini hanya untuk meledekku. Kamu ingin aku merasa sakit hati dengan apa yang kamu punya saat ini. No, hatiku sudah be
Dua tahun kemudian, Danny dan Ai pertama kalinya mengunjungi rumah keluarga Mario yang kini terlihat baik-baik saja. Namun, terasa sangat sepi. Hal itu membuat mereka merasa penasaran."Ian sudah lama tidak tinggal di sini, semenjak istrinya menikah. Dia tinggal di perbatasan kota, di sana kan sepi," terang Rainy yang tengah menjamu tamunya."Dia tidak pernah pulang, Ma?" balas Ai yang tengah membantu mantan mertuanya itu."Ya, tidak pernah memang, Nak. Kami yang sering mengunjungi dia ke sana. Dia benar-benar belum ada niat untuk punya pengganti Ana juga sepertinya. Sampai sekarang belum juga ada kabar tuh tentang wanita yang dia dekati."Arzi yang baru ke luar dari toilet dan mendengar percakapan itu pun segera meluncur untuk bergabung. Berbeda dengan Danny dan Mario yang malah mengajak bermain sang anak."Keeano Halburt, kamu tampan sekali, Nak?" Rainy yang sudah tidak tahan ingin bicara dengan anak kecil itu pun segera berlari heboh kemudian menggendongnya. Semua orang ikut tersen
Tiffany mengintip dari jauh, tentang apa yang sedang dilakukan oleh Rald sekarang. Pria itu terlihat sangat sibuk di dekat mobil keluarganya.Beberapa saat kemudian, ketika sang sopir sudah datang, ia buru-buru menjauh dari sana.Tiffany yang tau kelakuan pria itu pun segera mendekat."Loh, kok bannya bisa bocor begini, ya? Sepertinya ada yang sengaja, nih." Keluhan sang sopir yang tentu saja segera ditepis oleh Rald."Jangan banyak menuduh dan berpikiran buruk, Om. Tidak baik untuk kesehatan dan sekitar.""Tidak, Nak. Ini memang benar, tadi saya tinggal masih baik-baik saja, kok.""Ini minumannya, aku pulang duluan, ya?" ujar Tiffany yang tentu saja membuat Rald kaget.Ia punya firasat buruk tentang kelakuannya yang mungkin sudah disaksikan oleh gadis itu."Om, aku pulang duluan, ya. Om perbaiki mobil saja dulu, nanti jemput di rumah Bang Danny!"Ia juga segera berlari untuk mengejar Tiffany yang sudah pergi jauh meninggalkannya."Tiff, kamu lihat semuanya, ya?""Apanya yang aku liha
Sebulan telah berlalu, naluri seorang ayah terhadap putrinya tidak akan bisa terpatahkan begitu saja. Hal itulah yang sedang dirasakan oleh Ian sekarang. Ia membawa begitu banyak pakaian anak-anak bersama kedatangannya ke sana.Masih dengan jarak yang jauh, namun Ai sudah dapat melihat kedatangan pria itu. Ia yang memang masih merasakan trauma mendalam yang entah kapan sembuhnya pun segera menutup semua akses untuk kedatangan pria itu.Ai yang memang hanya tinggal bersama pembantunya tak dapat berbuat apa-apa selain menghindar. Tampak jika Ian tengah membuat penawaran sekarang. Bagaimana tidak, ia sangat takut jika tidak diberi kesempatan."Sudah, Bi. Suruh saja dia pergi. Aku tidak mau kalau dia datang ke sini, tidak suka." Perintah Ai yang dikirimkan lewat pesan wa itu membuat Ian semakin sedih. Ia segera berlutut sekarang."Ai, tolong beri aku kesempatan untuk melihat wajah putraku. Aku tidak mau dihantui rasa bersalah ini terus-terusan. Hidupku terasa sangat menderita, jadi tolon
Danny buru-buru pindah ke rumah Arzi. Ia memang sengaja mengalah dalam hal itu agar lebih dekat dengan istri dan anaknya. Bagaimana pun, saat ini yang paling ia utamakan adalah kebahagiaan sang istri.Arzi tersenyum lebar ketika melihat kedekatan antara anak dan menantunya itu. Ia juga tidak terlalu mempermasalahkan apapun yang menjadi pilihan pasangan itu."Yah, ini Keeano tidak mau diam dan tenang. Sepertinya harus mandikan bundanya dulu." Pria itu segera memberikan anaknya kepada Arzi. "Aku bantu Ai mandi sebentar ya, Yah.""Iya, tenang saja. Serahkan pada ayah." Arzi segera bergerak ke luar dari ruangan keluarga kemudian mendekati sang istri yang tengah tersenyum menunggunya sekarang. Ia terpaku menatap arah dada istrinya yang cukup besar sebab mengalami pembengkakan."Hei, apa yang kamu lihat? Aku tidak suka pria genit ya, Dan.""No. Bukan itu masalahnya, Ai. Kenapa ukurannya malah semakin membesar? Ada masalah kah, kita periksakan ke dokter, yuk?"Ai menggeleng sambil tersenyum
Sementara Ai, ia mengeluhkan rasa sakit yang teramat. Entah kenapa, pikirannya terus terbayang pada ibunya yang sekarang tak lagi bersama dengannya.Ia kemudian meminta sang ayah untuk menghubungi ibunya sebab bagaimana pun, wanita itu akan tetap menjadi orang yang paling berarti baginya sebab telah melahirkannya ke dunia ini."Ada kami di sini-""Om, please lakukan saja. Kita tidak tau bagaimana wanita menahan rasa sakit yang teramat ketika akan melahirkan. Aku bisa menjamin seratus persen kalau semuanya akan segera baik-baik saja setelah Ai mendengar suara Tante Elvina."Menyerah dan tidak ingin berdebat lebih panjang, Arzi pun melakukan hal itu. Dokter dan perawat yang menanganinya pun ikut bersuara. Mereka berbincang sekarang dan dalam hitungan menit, anak itu lahir ke dunia."Selamat, Bapak dan Ibu, anak kalian laki-laki. Dia sangat tampan," puji sang dokter membuat Ai merasa sangat penasaran."Kenapa jadi mirip sama kamu sih, Dan?" tanyanya sebelum akhirnya tak sadarkan diri.Se
Ai menatap ke arah pintu kamarnya yang tengah terbuka sejak tadi namun tidak ada yang masuk. Pada akhirnya, ia ke luar sekarang. Mencoba menelusuri seluruh sudut rumah dan masih tidak mendapati siapa-siapa di sana.Pada akhirnya, ia turun ke lantai bawah dengan maksud untuk mencari sang ayah. Langkahnya tertatih sebab perutnya yang sudah semakin besar sekarang.Bayi dalam kandungannya pun begitu aktif memberikan tendangan untuknya sehingga ia harus menahan rasa sakit esktra."Sayang, tunggu sebentar, ya. Kita cari papa kamu dulu," gumam wanita itu sambil terus melangkah hingga akhirnya ia tidak sengaja mendengar percakapan antara ayah dan orang-orang yang entah siapa mereka."Jadi, kecelakaan Ai waktu itu adalah rencana Ian?" tanya Arzi dengan nada kencang.Ia masih tak percaya hingga sekarang.Beberapa saat kemudian, Ana datang. Ia membenarkan kabar itu sebab rekaman suara itu didapat dari ponsel milik Ian sendiri. Ia memang telah melewati batas dengan memeriksa ponsel pria itu, namu
"Sekarang juga kamu harus menikah dengan Ana," gertak Mario penuh amarah tatkala putranya siuman dari tidur panjangnya.Pria itu memang sudah tidak sadarkan diri selama dua bulan lamanya. Mungkin karena benturan hebat di otaknya. Semua orang seolah memberi tekanan yang membuatnya merasa tidak dihargai, seolah segala sesuatunya menjadi sulit.Sementara Ai, ia menjadi lebih tenang sekarang sebab kandungannya sebentar lagi akan segera ke luar ke dunia. Ia juga tak lagi bekerja di luar rumah.Traumanya jauh lebih besar dari keinginan untuk bisa bekerja selayaknya harapannya dari jauh-jauh hari."Apa yang dia lakukan tanpaku?" tanyanya pada Ana yang segera memberikan tamparan di wajahnya sekarang."Perutku sudah semakin besar dan kamu masih memikirkan wanita lain? Sialan kamu, Ian. Aku tidak mau tau, kamu harus segera menikahi aku!"Kecaman itu segera membuat Ian sadar jika ia memang telah melakukan hal itu pada Ana. Ia sendiri juga yang telah berjanji jika akan segera menikahi wanita itu,
Ai merasakan sakit yang teramat di perutnya. Ia segera memperhatikan arah kakinya, rasanya cukup lega sebab tidak ada darah yang ke luar.Namun, rasa sakit itu masih tak berhenti. Ia berteriak hingga akhirnya mendengar suaranya sendiri yang bergema. Tau jika dirinya tengah disekap di ruangan itu, ia mulai mencari jalan ke luar untuk segera ke luar dari sana."Ya Tuhan, aku sangat ketakutan," gumamnya.Suara langkah kaki menyadarkan ia jika seseorang telah datang, mungkin untuk memastikan keadaannya. Ia masih berpura-pura tidak sadarkan hingga sebuah tangan menyentuh dagunya."Bangunlah, jangan berpura-pura lagi," ujar Ian yang membuat Ai sungguh tidak menyangka.Rasa takutnya kembali memuncak dan menjadi lebih agresif sekarang. Pria yang hendak menyentuhnya itu segera ia hantam kepalanya. Ia juga mendorong pria itu dan menggigit tangannya sekuat tenaga."Aw," pekik Ian merasa geram menahan sakit. "Kamu jangan bertindak di luar batas, ya. Aku bisa saja membunuhmu sekarang. Aku sudah cu