Masih menanti sang CEO dengan harap-harap cemas, Catleya berdiri mematung di depan pintu. Ternyata orang yang pertama kali muncul adalah Bintang Aryaguna. Lelaki tampan itu sedikit terkejut melihat penampilan Catleya, tetapi itu tidak bertahan lama. Bintang cukup pandai menguasai diri. Lengkungan tipis terbentuk di bibir Catleya sebagai bentuk sapaan kepada Bintang. Namun, senyuman itu luntur secepat kedipan mata Bintang yang balik menatapnya datar. Catleya menghela napas pelan, bingung dengan reaksi sang direktur keuangan yang sinis kepadanya. Agaknya lelaki itu merasa tersinggung lantaran ia berpindah posisi sebagai sekretaris. Padahal itu semua adalah keputusan mutlak CEO, bukan kemauannya sendiri. Entahlah, yang jelas Catleya tidak mengerti dengan sifat aneh kaum lelaki di sekitarnya. Biarkan saja mereka marah sepuas hati, toh tidak ada yang bisa ia perbuat.Tak berselang lama, langkah kaki lain tertangkap oleh indera pendengaran Catleya. Posisi kepalanya yang semula menunduk la
Begitu tugas di ruang meeting selesai, Catelya segera naik ke lantai sembilan. Dia tidak ingin membuang waktu dengan mendengarkan obrolan tak penting dari para wanita genit. Lagi pula rasa penasarannya terhadap Rajendra tidak dapat dibendung lagi. Bagaimanapun juga ia akan meminta penjelasan dari Rajendra atas kebohongannya selama ini. Keluar dari lift, Catleya berjalan mengendap menuju ruang CEO. Matanya awas menelisik sekitar, memastikan tidak ada orang lain yang akan mempertanyakan apa yang dilakukannya sekarang. Koridor sepi. Pintu masing-masing ruangan tertutup rapat. Inilah momen yang paling tepat baginya untuk menyelinap ke ruang CEO tanpa dilihat oleh karyawan lain. Catleya menegakkan tubuh, melangkah lebih mantap ke arah pintu berpelitur cokelat. Di kepalanya tersusun beberapa pertanyaan yang nanti akan diajukan untuk Rajendra, termasuk apa tujuan pemuda itu menikahinya dengan melakukan penyamaran? Kenapa Rajendra tiba-tiba membuat ia merasa asing dan ..., bodoh?Gerak kaki
"Kenapa terburu-buru sekali? Kita baru bertemu setelah tiga hari berpisah,” tanya Rajendra sembari menatap lekat mata Catleya.Catleya menggigit bibir ketika dirasakannya tangan Rajendra semakin mempererat rengkuhannya. Dalam sekali hentakan, ia pun menubruk dada bidang sang suami. Tak ayal, jantung Catleya berdebar sangat cepat. Meski ini bukan pertama kalinya mereka begitu dekat, tetapi dia tetap merasa gugup. Bahkan lebih parah daripada saat mereka tinggal di desa. "Kamu sudah melanggar dua pasal dalam perjanjian kita, Leya," bisik Rajendra."Pasal yang mana, Pak?" tanya Catleya bingung. Perasaan dia tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan peraturan dalam surat perjanjian mereka. Tanpa aba-aba, Rajendra menarik ujung rok Catleya ke bawah membuat si empunya sedikit tersentak. Refleks, Catleya berusaha mendorong tubuh Rajendra agar menjauh. Dia merasa terkejut sekaligus malu lantaran sang suami menyentuh kulitnya yang sensitif. "Jangan pegang-pegang. Nanti saya akan menga
"Kamu bisa menyuapi saya sambil makan. Jam istirahat terbatas, jadi jangan membuang waktu,” ucap Rajendra sambil melirik ke jam dinding. Seolah menyiratkan kepada Catleya bahwa ia tidak mau menunggu lagi. Catleya hanya bisa menarik napas sembari menggeser kedua piring ke hadapannya. Andai saja ia tidak membutuhkan pekerjaan, sudah pasti dia akan membuat surat pengunduran diri. Kini, ia yakin bahwa salah satu tujuan Rajendra merekrutnya adalah untuk membalas dendam. Jika dulu ia sering merepotkan pemuda itu saat masih di desa, sekarang ia yang akan direpotkan. Dengan begitu mereka berdua impas. Dengan wajah tertekan, Catleya menyendok nasi beserta lauk yang cukup banyak. Kemudian, ia mencodongkan tubuh ke depan dan menyodorkannya ke mulut Rajendra. Tanpa protes sedikit pun, Rajendra menerima suapan tersebut, bahkan ia tidak terlihat kesulitan mengunyah. Sungguh, ia bagaikan bayi laki-laki besar yang sedang disuapi oleh ibunya. Setelah dua sendok menyuapi Rajendra, Catleya berpinda
Membaca pesan dari Rajendra, jemari Catleya dengan lihai langsung mengetik balasan. [Saya tidak bisa pindah mendadak. Ada banyak hal yang perlu diurus.] [Ingat, kita harus tinggal bersama setelah saya sampai di Jakarta. Saya tidak menerima alasan apa pun.] Catleya pun menempelkan dahinya dengan pasrah ke atas meja. Terpaksa ia mengajak Ineke pulang ke kos tanpa menghabiskan makanan yang masih tersisa. Begitu tiba di kos, terlihat mobil berwarna hitam terparkir di depan gerbang. Seorang lelaki paruh baya keluar dari sana dan segera menghampiri Catleya. "Selamat malam, Bu Leya. Saya, Harun, yang ditugaskan Bapak untuk menjemput Ibu. Mari ikut saya," ujar si sopir. "Ikut? Ikut ke mana?" tanya Ineke bingung. "Dia bukan orang jahat kan, Leya?" Ineke mengangkat tasnya sebatas bahu. Bersiap memukul jika sopir Rajendra melakukan sesuatu yang jahat. "Bukan. Saudaraku memintaku untuk tinggal di rumahnya. Maafkan aku, Ke, aku harus pindah malam ini juga," ucap Catleya. Kemudian, ia berpali
Sementara itu, di tempat berbeda, Nyonya Nandini baru saja selesai mengurus kepulangan Meliana yang baru saja keguguran dari rumah sakit."Sudah selesai semua, Ma? " tanya Meliana. Berusaha turun dari brankar tanpa bantuan siapa-siapa."Iya, Mama juga sudah meminta tolong perawat untuk memesankan taksi. Ayo, kita pulang.” Setelah memastikan barang bawaan tidak ada yang tertinggal, Nyonya Nandini dan Meliana bergegas keluar dari rumah sakit. Keheningan mengisi selama di perjalanan. Sesekali, Nyonya Nandini menengok ke arah Meliana yang hanya memandang kosong keluar jendela. Perihal kelainan rahim yang diderita sang putri, Nyonya Nandini sungguh tidak tahu bagaimana cara menyampaikannya. Apa sebaiknya Meliana tidak perlu tahu? Dengan gugurnya si jabang bayi saja sudah cukup memberikan pukulan telak bagi mereka. Helaan napas Meliana terdengar berat. Nyonya Nandini meraih tangan Meliana dan mengusapnya pelan. "Apa yang harus kukatakan jika bertemu Adrian, Ma?" tanya Meliana lirih. "B
"Iya, siapa lagi yang berhak mendapatkannya selain kamu."Setelah berkata demikian, Rajendra pun berbalik meninggalkan Catleya. Pria itu menerima telepon dari Pak Harun, yang mengabarkan bahwa ia sudah siap untuk mengantar sang bos ke kantor. Catleya pun mengantar Rajendra hingga ke pintu sebelum menutupnya kembali.Selepas Rajendra pergi, Catleya tidak dapat menahan diri untuk mengagumi kartu hitam di tangannya. Black card pertama setelah tiga puluh tahun hidup di dunia. Rasanya ia masih tak percaya bisa memegang benda eksklusif ini!Membayangkan saja tidak pernah, bila suaminya yang seorang peternak ayam di desa bisa berubah menjadi sultan dalam sehari. Bahkan dulu Rajendra sempat menjadi bahan tertawaan oleh Meliana. Namun, lihat sekarang. Setelah Rajendra muncul secara mengejutkan sebagai CEO, memintanya tinggal di apartemen mewah, kini pria itu memberinya nafkah berupa black card. Mungkin Meliana akan kejang-kejang bila melihat semua keberuntungannya ini. Drrt!Getaran ponsel di
"Waduh, Bu, kalau untuk urusan itu bukan kewenangan saya. Biasanya yang mengurus Pak Burhan, tetapi orangnya sedang cuti. Kalau Pak Burhan mengizinkan, saya akan memberikan rekamannya kepada Bu Leya,” jawab Pak Agus. Pak Burhan yang dimaksud merupakan kepala maintenance building. Orangnya sedikit narsis dan haus pujian. Seharusnya tidak akan sulit meminta sesuatu padanya. “Baik, Pak, bisa minta nomer ponsel Pak Burhan? Saya mau meneleponnya,” pinta Catleya. “Bisa, Bu, sebentar saya catatkan.” Catleya memutuskan untuk langsung menelepon Pak Burhan. Sebentar lagi jam masuk dan Catleya takut dicurigai jika berada di pos sekuriti terlalu lama. Untungnya sambungan telepon Pak Burhan diterima tanpa butuh waktu lama. "Selamat siang, Pak Burhan. Saya Leya, mantan akuntan yang sekarang jadi sekretaris CEO. Pak Burhan apa kabar?" sapa Catleya memperkenalkan diri. “Oh, Mbak Leya, kabar saya baik. Kebetulan saya sedang mancing ikan ini, mumpung sedang cuti.” “Pantas, Pak Burhan sekarang
Esok harinya Rajendra dan Catleya berangkat ke desa Purwabinangun untuk berbulan madu. Begitu mereka tiba, kepala desa dan seluruh warga menyambut Rajendra dengan hangat. Mereka merasa gembira lantaran sang juragan peternakan ayam akhirnya kembali, pasca meninggalkan desa cukup lama.Setelah beramah tamah sebentar dengan warga, Rajendra mohon diri untuk membawa Catleya beristirahat di rumah. Semula Catleya mengira bahwa rumah itu akan terlihat kotor dan berbau apek karena sudah lama tidak dihuni. Namun dugaannya ternyata keliru. Begitu pintu terbuka, Catleya terkejut melihat rumah bercat hijau itu terlihat rapi dan bersih. Ia juga disambut oleh Isti dan Irma, gadis kembar yang dulu menjadi perias pengantinnya. Nampaknya, Rajendra menugaskan kedua gadis itu untuk merawat dan menjaga rumahnya selama mereka tidak ada. “Mbak Leya sedang hamil. Sudah berapa bulan, Mbak?” Isti memandang perut Catleya yang membuncit dengan mata berbinar.“Lima bulan, Isti,” kata Catleya.“Mbak Leya dan Pak
Catleya sudah bersIap-siap pergi ke butik untuk melakukan fitting baju. Hari ini, Catleya pergi dengan ditemani oleh Ineke, karena sahabatnya itu sedang cuti. Setibanya di tempat tujuan, Ineke langsung bergerak aktif bersama para pegawai butik untuk memilihkan gaun bagi Catleya. Sementara itu, sang ibu hamil hanya berdiri sambil melihat kesibukan mereka. Dalam hal ini, Catleya berperan sebagai manekin yang bertugas mencoba gaun. Rasanya bagaikan mimpi ketika Catleya memandang dirinya di depan cermin. Sebuah gaun putih berenda mawar, dengan ekor panjang yang menjuntai membalut tubuhnya. Persis seperti imajinasinya semasa kecil, bahwa ia akan berpakaian seperti putri raja dan menikah dengan seorang pangeran. Dan pangeran tersebut tak lain adalah Rajendra Aryaguna, lelaki yang mendadak hadir dalam hidupnya tanpa disangka-disangka. “Setelah ini, kita akan ke mana? Belanja ke mall, perawatan ke salon, makan di kafe, atau nonton film?” tanya Ineke pasca urusan di butik sudah selesai. “Ki
Bibir Catleya berubah sepucat kertas takala mendengar kabar duka itu. Cairan bening berdesakan di kedua sudut matanya. Pasalnya, sejahat apa pun perilaku Nyonya Nandini dan Meliana, tetap saja mereka pernah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Bahkan, selama ini ia telah menganggap Nyonya Nandini sebagai ibu kandung sendiri.“Halo, Non. Apa Non Leya masih mendengar suara saya?” tanya Bi Ijah dari seberang telepon.“I-iya, Bi. Tolong tanyakan, di rumah sakit mana Mama Nandini dirawat,” kata Catleya dengan suara parau.“Sebentar, Non.”Terdengar suara langkah kaki Bi Ijah yang menjauh, disertai sayup-sayup percakapannya dengan petugas kepolisian. Tak berselang lama, Bi Ijah kembali untuk memberitahukan informasi yang berhasil dia dapatkan. “Kata Pak Polisi, Nyonya Nandini ada di IGD rumah sakit Premier, Non.”“Baik, Bi, terima kasih. Aku dan Jendra akan ke sana sekarang,” ucap Catleya sebelum memutus sambungan telepon. Bersamaan dengan itu, Rajendra datang dengan membawa namp
“Mama!”Catleya berteriak di dalam tidur karena memimpikan ibu kandungnya berjalan pergi bersama Nyonya Nandini. Merasa sedih sekaligus takut, perempuan itu meraih guling yang ada di sampingnya dan memeluknya dengan erat. Anehnya, guling tersebut terasa lebih besar dan hangat seakan memiliki nyawa.“Eummm, jangan tinggalkan aku,” racau Catleya. “Aku tidak akan meninggalkan kamu, Sayang.”Mendengar suara bariton yang menjawabnya, Catleya serasa terlempar kembali ke dunia nyata. Kelopak matanya mengerjap sebelum akhirnya terbuka perlahan. Seolah tak percaya, Catleya mengusap mata beberapa kali. Berusaha menajamkan penglihatan, supaya tidak salah mengenali benda. Siapa tahu mimpi buruk tadi telah membuat dirinya mengalami halusinasi berlebihan. “Kenapa guling bisa berubah menjadi Jendra?” tanya Catleya bingung. Dalam sepersekian detik, Catleya bersitatap dengan netra hitam milik sang suami. Entah mengapa perwujudan dari imajinasinya saat ini benar-benar nyata.Catleya pun mengulurkan t
“Biarkan Mama ikut denganmu, Mel. Mama akan selalu menemani kamu, ke mana pun kamu pergi,” kata Nyonya Nandini berusaha meluluhkan hati Meliana. Bagaimanapun, dia tidak akan membiarkan putrinya pergi seorang diri. Apalagi, Meliana saat ini sedang dirundung keputusasaan yang mendalam. Melihat ibunya terus memohon, Meliana akhirnya membuka pintu mobil. Setelah Nyonya Nandini masuk, perempuan itu langsung menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Yang diinginkan Meliana hanyalah melampiaskan amarah yang sedang membakar dirinya, dengan cara mengemudi secara ugal-ugalan. Catleya hanya bisa memandang kepergian ibu dan adik tirinya dengan tatapan nanar. Ia bingung harus berbuat apa saat ini. Di satu sisi, ia mencemaskan kondisi Meliana dan Nyonya Nandini, tetapi di sisi lain hatinya masih terlalu pedih untuk bertatap muka lagi dengan mereka. Terlebih, bayi dalam rahimnya hampir saja celaka gara-gara ulah sang adik tiri. “Ayo, masuk, Non. Sebaiknya Non Leya istira
Meski harus melanggar pesan dari Rajendra, Catleya bertekad untuk mendatangi Nyonya Nandini. Hanya saja, dirinya saat ini sedang dijaga ketat oleh para pelayan. Jika ia nekat keluar dari apartemen, mereka pasti akan mengadu pada Rajendra. Oleh karena itu, ia harus mencari cara supaya diizinkan pergi seorang diri. Setelah berganti pakaian dan mengambil tas, Catleya pun berjalan mengendap-endap dari kamarnya. Namun, salah satu pelayan yang sedang membersihkan ruang tamu mengetahui pergerakannya. “Nyonya, mau ke mana? Tuan Muda berpesan agar Nyonya istirahat di kamar,” tegur pelayan itu. Pelayan yang satu lagi juga menghentikan pekerjaannya di dapur dan menghampiri Catleya.“Saya sedang merindukan mama saya, Mbak. Saya akan berkunjung ke rumahnya sebentar,” bohong Catleya. “Kalau begitu kami akan menelepon Tuan Muda dulu untuk meminta izin,” kata salah satu pelayan.“Jangan, Mbak, suami saya sedang ada urusan penting, tidak bisa diganggu. Lebih baik Mbak berdua tetap di apartemen untu
Pagi hari, Catleya langsung merengek kepada Rajendra agar mengurus kepulangannya. Tentu saja, Rajendra menuruti keinginan sang istri meski dia tidak melakukan sendiri. Ada Rama yang siap sedia menangani urusan administrasi rumah sakit, sedangkan Rajendra lebih memilih berduaan dengan Catleya.Setibanya di apartemen, dua orang pelayan yang diutus Nyonya Tiara sudah menantikan kedatangan Catleya. Mereka yang akan ditugaskan melayani Catleya, selama Rajendra berada di kantor. Sebelum berangkat, Rajendra pun mewanti-wanti para pelayan itu agar tidak lalai dalam menyiapkan segala keperluan Catleya.Sementara Catleya hanya memperhatikan dari sofa sambil geleng-geleng kepala. Dia merasa heran melihat perubahan drastis pada diri sang suami. Siapa sangka Rajendra yang dulu irit bicara, sekarang bisa mengucapkan kalimat panjang tanpa jeda, mirip seorang ibu mertua yang sedang mengomeli menantunya.“Jangan lupa siapkan vitamin dari dokter setelah Catleya makan siang,” pesan Rajendra.“Baik, Tuan
Rajendra yang sedang menemani Catleya di rumah sakit, mendapat telepon dari Tuan Rinto. Pengacara sekaligus sahabat mendiang ayahnya itu memberikan kabar bahwa pihak yang berwajib sudah mendatangi rumah Ibrahim. Hampir saja pria paruh baya tersebut melarikan diri ke Amerika, tetapi kepergiannya berhasil dicegah.“Apa sekarang Om Ibrahim sudah diamankan?” tanya Rajendra memastikan.“Iya, Jendra. Ibrahim sudah ada di kantor polisi untuk menjalani pemeriksaan. Om akan terus mengikuti perkembangan penyelidikan kasus ini,” kata Tuan Rinto.“Terima kasih, Om. Kalau memang aku perlu datang ke sana, tolong kabari aku secepatnya.”“Baik, Jendra.”Setelah percakapan itu berakhir, Rajendra meletakkan ponselnya di atas nakas. Ia bermaksud hendak menemani Catleya yang sedang tertidur. Namun tidak sampai lima menit, ponselnya bergetar-getar. Melihat nama Bintang di layar, Rajendra segera menekan tombol hijau. Ia sama sekali tidak terkejut bila kakak sepupunya itu menelepon, karena ia sudah menebak
Kedua perempuan beda usia itu berpelukan dalam haru. Pipi Catleya ikut basah oleh air mata, tak mengira bila ia akan bertemu lagi dengan pembantu sekaligus pengasuhnya semasa kecil.Setelah melepas rindu satu sama lain, mereka pun duduk di kursi dengan posisi saling berhadapan. Mbok Tami berusaha menghentikan tangisnya, sebab dia sudah mengetahui tujuan Catlleya mengunjunginya kali ini.“Non, Mbok Tami benar-benar minta maaf atas kesalahan Mbok selama ini. Mbok tidak bermaksud untuk mendukung perbuatan buruk Nyonya Nandini,” kata Mbok Tami dengan suara parau.“Perbutan buruk apa, Mbok?” tanya Catleya dengan mata terbeliak.“Nyonya Nandini yang sudah menyebabkan Nyonya Sofia mengalami serangan jantung, Non,” Ucapan Mbok Tami terputus lantaran sesak yang menghimpit rongga dadanya. “Saya sudah berusaha mencegah Nyonya Sofia, tapi akhirnya dia melihat Nyonya Nandini dan Tuan Wirya di kamar. Mereka bertiga bertengkar hebat. Nyonya Nandini justru menghina Nyonya Sofia. Dia bilang Tuan Wiry