"Iya, siapa lagi yang berhak mendapatkannya selain kamu."Setelah berkata demikian, Rajendra pun berbalik meninggalkan Catleya. Pria itu menerima telepon dari Pak Harun, yang mengabarkan bahwa ia sudah siap untuk mengantar sang bos ke kantor. Catleya pun mengantar Rajendra hingga ke pintu sebelum menutupnya kembali.Selepas Rajendra pergi, Catleya tidak dapat menahan diri untuk mengagumi kartu hitam di tangannya. Black card pertama setelah tiga puluh tahun hidup di dunia. Rasanya ia masih tak percaya bisa memegang benda eksklusif ini!Membayangkan saja tidak pernah, bila suaminya yang seorang peternak ayam di desa bisa berubah menjadi sultan dalam sehari. Bahkan dulu Rajendra sempat menjadi bahan tertawaan oleh Meliana. Namun, lihat sekarang. Setelah Rajendra muncul secara mengejutkan sebagai CEO, memintanya tinggal di apartemen mewah, kini pria itu memberinya nafkah berupa black card. Mungkin Meliana akan kejang-kejang bila melihat semua keberuntungannya ini. Drrt!Getaran ponsel di
"Waduh, Bu, kalau untuk urusan itu bukan kewenangan saya. Biasanya yang mengurus Pak Burhan, tetapi orangnya sedang cuti. Kalau Pak Burhan mengizinkan, saya akan memberikan rekamannya kepada Bu Leya,” jawab Pak Agus. Pak Burhan yang dimaksud merupakan kepala maintenance building. Orangnya sedikit narsis dan haus pujian. Seharusnya tidak akan sulit meminta sesuatu padanya. “Baik, Pak, bisa minta nomer ponsel Pak Burhan? Saya mau meneleponnya,” pinta Catleya. “Bisa, Bu, sebentar saya catatkan.” Catleya memutuskan untuk langsung menelepon Pak Burhan. Sebentar lagi jam masuk dan Catleya takut dicurigai jika berada di pos sekuriti terlalu lama. Untungnya sambungan telepon Pak Burhan diterima tanpa butuh waktu lama. "Selamat siang, Pak Burhan. Saya Leya, mantan akuntan yang sekarang jadi sekretaris CEO. Pak Burhan apa kabar?" sapa Catleya memperkenalkan diri. “Oh, Mbak Leya, kabar saya baik. Kebetulan saya sedang mancing ikan ini, mumpung sedang cuti.” “Pantas, Pak Burhan sekarang
Sementara itu, sepasang suami istri yang baru saja menjalani biduk pernikahan datang ke kediaman Nyonya Nandini. Rencananya, mereka akan membeli rumah yang sejatinya adalah warisan dari ayah Catleya. Nyonya Nandini optimis bila pasutri itu akan tertarik untuk membeli rumah ini. Perempuan paruh baya itu menyambut kedua tamunya dengan hangat. Calon pembeli tentu harus diperlakukan layaknya raja agar kesepakatan mereka bisa berjalan lancar. Rumah warisan dari ayah Catleya cukup besar. Tentu tidak dijual dengan murah. Beruntung kedua suami istri itu terlampau kaya hingga tidak mempermasalahkan harga. Nyonya Nandini mengajak kedua tamunya untuk menyusuri rumah. Menunjukkan seluruh bagian yang sengaja baru dibersihkan oleh Bi Ijah. Meliana juga ada di sana, wanita itu begitu semangat membantu menjabarkan setiap sudut rumah. Tentu dengan sedikit daya tarik yang membuat calon pembeli semakin yakin. Puas berkeliling, keempatnya kini duduk di sofa. Pasutri tersebut langsung setuju untuk memb
Catleya pun terkejut saat mengenali pria tersebut. "Apa ada yang tertinggal, Tuan Bintang?" tanya Catleya berbasa-basi. "Kenapa kamu masih di sini? Jam pulang kantor sudah lewat dan sebentar lagi malam," tanya Bintang. Menyimpan payungnya di samping tubuh."Ini saya mau pulang, tapi taksi online yang saya pesan menolak semua."Bintang mengangguk paham. "Kalau begitu kamu pulang bersama saya!" ajaknya sembari menunjuk mobilnya."Tidak perlu, Tuan Bintang. Nanti merepotkan," tolak Catleya sungkan. Rajendra juga pasti tidak akan senang jika sampai tahu ia diantar oleh Bintang. "Sama sekali tidak merepotkan, Leya. Saya yakin kamu akan sulit mendapatkan taksi saat cuaca buruk begini." Bintang menggerakkan telunjuknya ke arah pintu mobil. "Cepat masuk, jangan sampai kamu sakit dan tidak masuk kerja. Tanggung jawabmu sebagai sekretaris CEO masih banyak." Bintang tidak berniat menyindir kepindahan Catleya yang mendadak. Dia murni ingin mengantar wanita itu pulang. Namun, Catleya jadi
"Apa Pak Rajendra sakit?" tanya Catleya penuh kekhawatiran. Dia pun menyuruh Rama untuk membaringkan sang suami di sofa sementara waktu."Tidak, saya hanya minum sedikit saat menemani Mr. Zhang,” jawab Rajendra seraya memejamkan mata.Catleya mengangguk paham.Ia dapat mencium sedikit aroma alkohol dari tubuh sang suami."Pak Rajendra tidak terbiasa minum. Jadi kemasukan alkohol yang kadarnya rendah saja langsung mabuk." Rama berbicara tanpa terkesan mengejek. Murni memberitahu Catleya karena wanita itu terlihat cemas."Terima kasih sudah membawa Pak Rajendra pulang,” tutur Catleya kepada Rama. Catleya melepas sepatu beserta kaos kaki yang dipakai Rajendra. Membetulkan posisi bantal agar lebih nyaman. Dia merasa khawatir melihat sang suami dalam kondisi lemah. Semua itu tidak luput dari perhatian Rama, tetapi lelaki berkacamata itu tidak berani banyak bertanya. Urusannya dengan Rajendra hanya sebatas pekerjaan, bukan untuk mencampuri ranah pribadi. Terserah jika CEO ada main denga
Tahu sang suami dalam kondisi mabuk, Catleya pun berusaha melepaskan diri. Namun, tenaganya jelas tidak sebanding. Justru pinggulnya ditahan oleh Rajendra agar tidak banyak bergerak. Lama kelamaan perlawanannya kian melemah, seiring kecupan Rajendra yang berubah lembut. Tidak lagi kasar dan menuntut seperti saat mengawali. Bahkan, Catleya merasa dirinya begitu disayang oleh sang suami. Tanpa sadar, Catleya mulai membalas ciuman Rajendra sembari mencengkeram pinggiran kemeja lelaki itu. Keduanya bagaikan pasangan pengantin yang tengah dimabuk asmara. Sayangnya, ketika semua terasa begitu indah, Rajendra mendadak diam saja dan tidak bergerak. Catleya pun dibuat bingung. 'Apa yang salah?' batinnya.Dengkuran halus menyapa gendang telinga Catleya ,bersamaan dengan tubuh yang terasa kian berat. Setelah berciuman panas, lalu ditinggal tidur begitu saja. Catleya tidak mampu menahan senyuman geli melihat tingkah sang suami. Catleya pun mendorong tubuh Rajendra hingga lelaki itu bergulin
"Baiklah kalau menurut Bapak seperti itu." Catleya tidak memiliki kuasa untuk menolak, terutama bila Rajendra sudah memakai kekuasaannya sebagai CEO. Berdebat pun percuma karena ujung-ujungnya ia harus mengalah. Apalagi ia sudah terikat oleh berbagai pasal yang mewajibkannya tunduk kepada Rajendra. Sungguh, nasibnya hampir sama dengan seekor burung kecil yang terkurung di dalam sangkar emas. "Nanti pulang kantor naik taksi saja. Jangan mau diantar pulang siapa-siapa.""Baik, Pak. Ada lagi?" Catleya memiringkan kepala sedikit. Menunggu barangkali ada lagi perintah atau larangan yang diberikan sang suami. "Tidak ada, kamu boleh berangkat sekarang."Catleya mengangguk kemudian membuka pintu. "Saya permisi, Pak," ucapnya sebelum keluar.Sepeninggal Catleya, Rajendra masuk ke ruang kerja dan menemukan bukti rekaman tergeletak di atas meja. Lelaki itu duduk dan menyalakan laptop. Tidak sabar mengetahui isi yang ada di dalam.Awalnya, tidak ada yang aneh dari rekaman tersebut. Hilir mudi
Rajendra tiba di kantor sekitar pukul sepuluh. Lelaki itu buru-buru masuk ke ruangannya di lantai sembilan. Seperti biasa, Rama selalu mengiringi langkah Rajendra seperti seorang bodyguard yang mengawal sang tuan muda. Mengetahui Rajendra sudah datang, hal pertama yang Catleya lakukan adalah menyeduh teh. Kemudian, ia mengambil laporan yang sudah dibuatnya untuk diserahkan kepada sang atasan. Sementara itu, Rama terlihat sibuk mencari referensi video iklan. "Selamat pagi, Pak. Ini perbandingan laporan keuangan yang Bapak minta kemarin." Catleya meletakkan cangkir teh dan laporan ke atas meja Rajendra.Rajendra membuka laporan tersebut. Membaca dengan cermat dan teliti hasil pekerjaan sang sekretaris. Senyum puas tersungging di bibirnya begitu selesai."Bagus," puji Rajendra.Usai melapor, Catleya membuka buku agenda yang dibawanya. Membacakan revisi jadwal sang CEO berdasarkan pesan dari Pak Haikal. Sebelum menyebut rencana pertemuan dengan Maharani, Catleya memandang Rajendra denga
Esok harinya Rajendra dan Catleya berangkat ke desa Purwabinangun untuk berbulan madu. Begitu mereka tiba, kepala desa dan seluruh warga menyambut Rajendra dengan hangat. Mereka merasa gembira lantaran sang juragan peternakan ayam akhirnya kembali, pasca meninggalkan desa cukup lama.Setelah beramah tamah sebentar dengan warga, Rajendra mohon diri untuk membawa Catleya beristirahat di rumah. Semula Catleya mengira bahwa rumah itu akan terlihat kotor dan berbau apek karena sudah lama tidak dihuni. Namun dugaannya ternyata keliru. Begitu pintu terbuka, Catleya terkejut melihat rumah bercat hijau itu terlihat rapi dan bersih. Ia juga disambut oleh Isti dan Irma, gadis kembar yang dulu menjadi perias pengantinnya. Nampaknya, Rajendra menugaskan kedua gadis itu untuk merawat dan menjaga rumahnya selama mereka tidak ada. “Mbak Leya sedang hamil. Sudah berapa bulan, Mbak?” Isti memandang perut Catleya yang membuncit dengan mata berbinar.“Lima bulan, Isti,” kata Catleya.“Mbak Leya dan Pak
Catleya sudah bersIap-siap pergi ke butik untuk melakukan fitting baju. Hari ini, Catleya pergi dengan ditemani oleh Ineke, karena sahabatnya itu sedang cuti. Setibanya di tempat tujuan, Ineke langsung bergerak aktif bersama para pegawai butik untuk memilihkan gaun bagi Catleya. Sementara itu, sang ibu hamil hanya berdiri sambil melihat kesibukan mereka. Dalam hal ini, Catleya berperan sebagai manekin yang bertugas mencoba gaun. Rasanya bagaikan mimpi ketika Catleya memandang dirinya di depan cermin. Sebuah gaun putih berenda mawar, dengan ekor panjang yang menjuntai membalut tubuhnya. Persis seperti imajinasinya semasa kecil, bahwa ia akan berpakaian seperti putri raja dan menikah dengan seorang pangeran. Dan pangeran tersebut tak lain adalah Rajendra Aryaguna, lelaki yang mendadak hadir dalam hidupnya tanpa disangka-disangka. “Setelah ini, kita akan ke mana? Belanja ke mall, perawatan ke salon, makan di kafe, atau nonton film?” tanya Ineke pasca urusan di butik sudah selesai. “Ki
Bibir Catleya berubah sepucat kertas takala mendengar kabar duka itu. Cairan bening berdesakan di kedua sudut matanya. Pasalnya, sejahat apa pun perilaku Nyonya Nandini dan Meliana, tetap saja mereka pernah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Bahkan, selama ini ia telah menganggap Nyonya Nandini sebagai ibu kandung sendiri.“Halo, Non. Apa Non Leya masih mendengar suara saya?” tanya Bi Ijah dari seberang telepon.“I-iya, Bi. Tolong tanyakan, di rumah sakit mana Mama Nandini dirawat,” kata Catleya dengan suara parau.“Sebentar, Non.”Terdengar suara langkah kaki Bi Ijah yang menjauh, disertai sayup-sayup percakapannya dengan petugas kepolisian. Tak berselang lama, Bi Ijah kembali untuk memberitahukan informasi yang berhasil dia dapatkan. “Kata Pak Polisi, Nyonya Nandini ada di IGD rumah sakit Premier, Non.”“Baik, Bi, terima kasih. Aku dan Jendra akan ke sana sekarang,” ucap Catleya sebelum memutus sambungan telepon. Bersamaan dengan itu, Rajendra datang dengan membawa namp
“Mama!”Catleya berteriak di dalam tidur karena memimpikan ibu kandungnya berjalan pergi bersama Nyonya Nandini. Merasa sedih sekaligus takut, perempuan itu meraih guling yang ada di sampingnya dan memeluknya dengan erat. Anehnya, guling tersebut terasa lebih besar dan hangat seakan memiliki nyawa.“Eummm, jangan tinggalkan aku,” racau Catleya. “Aku tidak akan meninggalkan kamu, Sayang.”Mendengar suara bariton yang menjawabnya, Catleya serasa terlempar kembali ke dunia nyata. Kelopak matanya mengerjap sebelum akhirnya terbuka perlahan. Seolah tak percaya, Catleya mengusap mata beberapa kali. Berusaha menajamkan penglihatan, supaya tidak salah mengenali benda. Siapa tahu mimpi buruk tadi telah membuat dirinya mengalami halusinasi berlebihan. “Kenapa guling bisa berubah menjadi Jendra?” tanya Catleya bingung. Dalam sepersekian detik, Catleya bersitatap dengan netra hitam milik sang suami. Entah mengapa perwujudan dari imajinasinya saat ini benar-benar nyata.Catleya pun mengulurkan t
“Biarkan Mama ikut denganmu, Mel. Mama akan selalu menemani kamu, ke mana pun kamu pergi,” kata Nyonya Nandini berusaha meluluhkan hati Meliana. Bagaimanapun, dia tidak akan membiarkan putrinya pergi seorang diri. Apalagi, Meliana saat ini sedang dirundung keputusasaan yang mendalam. Melihat ibunya terus memohon, Meliana akhirnya membuka pintu mobil. Setelah Nyonya Nandini masuk, perempuan itu langsung menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Yang diinginkan Meliana hanyalah melampiaskan amarah yang sedang membakar dirinya, dengan cara mengemudi secara ugal-ugalan. Catleya hanya bisa memandang kepergian ibu dan adik tirinya dengan tatapan nanar. Ia bingung harus berbuat apa saat ini. Di satu sisi, ia mencemaskan kondisi Meliana dan Nyonya Nandini, tetapi di sisi lain hatinya masih terlalu pedih untuk bertatap muka lagi dengan mereka. Terlebih, bayi dalam rahimnya hampir saja celaka gara-gara ulah sang adik tiri. “Ayo, masuk, Non. Sebaiknya Non Leya istira
Meski harus melanggar pesan dari Rajendra, Catleya bertekad untuk mendatangi Nyonya Nandini. Hanya saja, dirinya saat ini sedang dijaga ketat oleh para pelayan. Jika ia nekat keluar dari apartemen, mereka pasti akan mengadu pada Rajendra. Oleh karena itu, ia harus mencari cara supaya diizinkan pergi seorang diri. Setelah berganti pakaian dan mengambil tas, Catleya pun berjalan mengendap-endap dari kamarnya. Namun, salah satu pelayan yang sedang membersihkan ruang tamu mengetahui pergerakannya. “Nyonya, mau ke mana? Tuan Muda berpesan agar Nyonya istirahat di kamar,” tegur pelayan itu. Pelayan yang satu lagi juga menghentikan pekerjaannya di dapur dan menghampiri Catleya.“Saya sedang merindukan mama saya, Mbak. Saya akan berkunjung ke rumahnya sebentar,” bohong Catleya. “Kalau begitu kami akan menelepon Tuan Muda dulu untuk meminta izin,” kata salah satu pelayan.“Jangan, Mbak, suami saya sedang ada urusan penting, tidak bisa diganggu. Lebih baik Mbak berdua tetap di apartemen untu
Pagi hari, Catleya langsung merengek kepada Rajendra agar mengurus kepulangannya. Tentu saja, Rajendra menuruti keinginan sang istri meski dia tidak melakukan sendiri. Ada Rama yang siap sedia menangani urusan administrasi rumah sakit, sedangkan Rajendra lebih memilih berduaan dengan Catleya.Setibanya di apartemen, dua orang pelayan yang diutus Nyonya Tiara sudah menantikan kedatangan Catleya. Mereka yang akan ditugaskan melayani Catleya, selama Rajendra berada di kantor. Sebelum berangkat, Rajendra pun mewanti-wanti para pelayan itu agar tidak lalai dalam menyiapkan segala keperluan Catleya.Sementara Catleya hanya memperhatikan dari sofa sambil geleng-geleng kepala. Dia merasa heran melihat perubahan drastis pada diri sang suami. Siapa sangka Rajendra yang dulu irit bicara, sekarang bisa mengucapkan kalimat panjang tanpa jeda, mirip seorang ibu mertua yang sedang mengomeli menantunya.“Jangan lupa siapkan vitamin dari dokter setelah Catleya makan siang,” pesan Rajendra.“Baik, Tuan
Rajendra yang sedang menemani Catleya di rumah sakit, mendapat telepon dari Tuan Rinto. Pengacara sekaligus sahabat mendiang ayahnya itu memberikan kabar bahwa pihak yang berwajib sudah mendatangi rumah Ibrahim. Hampir saja pria paruh baya tersebut melarikan diri ke Amerika, tetapi kepergiannya berhasil dicegah.“Apa sekarang Om Ibrahim sudah diamankan?” tanya Rajendra memastikan.“Iya, Jendra. Ibrahim sudah ada di kantor polisi untuk menjalani pemeriksaan. Om akan terus mengikuti perkembangan penyelidikan kasus ini,” kata Tuan Rinto.“Terima kasih, Om. Kalau memang aku perlu datang ke sana, tolong kabari aku secepatnya.”“Baik, Jendra.”Setelah percakapan itu berakhir, Rajendra meletakkan ponselnya di atas nakas. Ia bermaksud hendak menemani Catleya yang sedang tertidur. Namun tidak sampai lima menit, ponselnya bergetar-getar. Melihat nama Bintang di layar, Rajendra segera menekan tombol hijau. Ia sama sekali tidak terkejut bila kakak sepupunya itu menelepon, karena ia sudah menebak
Kedua perempuan beda usia itu berpelukan dalam haru. Pipi Catleya ikut basah oleh air mata, tak mengira bila ia akan bertemu lagi dengan pembantu sekaligus pengasuhnya semasa kecil.Setelah melepas rindu satu sama lain, mereka pun duduk di kursi dengan posisi saling berhadapan. Mbok Tami berusaha menghentikan tangisnya, sebab dia sudah mengetahui tujuan Catlleya mengunjunginya kali ini.“Non, Mbok Tami benar-benar minta maaf atas kesalahan Mbok selama ini. Mbok tidak bermaksud untuk mendukung perbuatan buruk Nyonya Nandini,” kata Mbok Tami dengan suara parau.“Perbutan buruk apa, Mbok?” tanya Catleya dengan mata terbeliak.“Nyonya Nandini yang sudah menyebabkan Nyonya Sofia mengalami serangan jantung, Non,” Ucapan Mbok Tami terputus lantaran sesak yang menghimpit rongga dadanya. “Saya sudah berusaha mencegah Nyonya Sofia, tapi akhirnya dia melihat Nyonya Nandini dan Tuan Wirya di kamar. Mereka bertiga bertengkar hebat. Nyonya Nandini justru menghina Nyonya Sofia. Dia bilang Tuan Wiry