Namun, Agatha tidak bisa berbuat apapun lagi. Dia tahu bila dia hanya bisa menunggu datangnya hari esok dalam diam.Sementara itu, Kirana dan Rayan masih berada di dalam perjalanan menuju ke rumah mereka. Jika sebelumnya mereka berjalan kaki menuju ke restoran Perancis itu, kini mereka kembali menggunakan sebuah mobil yang Kirana sudah hafal sopirnya.Kirana mengamati suaminya yang baru saja mematikan ponsel dan tak ragu untuk bertanya, “Kenapa, Mas? Kok mukanya serius banget sih.”Rayan mengedipkan mata dan refleks menyentuh wajahnya sendiri, “Iya kah?”“Iya. Dari sejak kita keluar dari restoran tuh Mas diam aja, terus kelihatan serius banget tuh sambil megang ponsel,” jelas Kirana.Rayan sontak mengubah ekspresi wajahnya dan tersenyum pada istrinya, “Oh, tadi Mas masih agak kesal. Terus ini serius pas lagi hubungin orang buat kerjaan.”“Oh, gitu,” balas Kirana sembari manggut-manggut, tidak curiga sama sekali.Rayan lalu berujar, “Kirana, soal uang untuk bapak, kita kasih besok aja
“Ya Allah, Bu. Mereka kan sering ke sini, kaya apa aja pakai disambut segala,” kata Kirana yang memang agak malas.Dia tidak benci pada mereka. Hanya saja, dia tahu setiap kali dia bertemu dengan mereka, selalu saja akan ada pertengkaran kecil yang mewarnai. Maka, menurut dirinya, akan jauh lebih baik bila dia dan mereka jarang berinteraksi. Selain hal itu akan meredakan tensi, dia pun berpikir bila itu justru bisa membuat hubungan persaudaraan mereka menjadi lebih aman.Namun, sepertinya pemikirannya itu tidak disetujui oleh kedua orang tuanya. Parlan malah berkata, “Sering gimana? Orang nggak tiap hari mereka ke sini.”“Iya tapi tetap saja ini tuh mereka bukan yang beberapa bulan ke sini, lagian rumah mereka juga nggak terlalu jauh dari sini, Pak.” Kirana masih enggan ikut menyapa saat itu.Herni menggertakkan gigi, tapi Kirana menambahkan lagi, “Ini juga udah jam 7 lebih, Bu. Kirana harus siap-siap berangkat kerja, Bu.”Usai mengatakan hal itu, Kirana bergegas masuk ke dalam kamar
Kirana tentu saja kesal, tetapi dia tahu bila apapun yang dia katakan saat ini tidak akan merubah apapun sehingga dia hanya berkata, “Kirana pamit berangkat kerja dulu, Pak, Bu. Dan … selamat ya, Gas buat kenaikan posisinya. Sis, Mbak kerja dulu. Ini udah mepet waktunya.”Siska mengangguk dengan senyum senang, seolah berhasil maju satu langkah di depan dari sang kakak. sementara Herni dan Parlan tidak menanggapi perkataan putri mereka, mengabaikan ucapan putri mereka seakan dia tidak ada di sana.Bagas berkata, “Nanti kalau udah resmi, aku akan undang Mbak sama Mas Rayan kok buat acara syukurannya.”Kirana menanggapi dengan sebuah anggukan kecil dan segera pergi dari rumah itu setelah mengucapkan salam.Dia tidak iri. Sama sekali tidak. Dia hanya tidak ingin mendengar lebih banyak lagi hinaan atau pun cemoohan dari keluarganya sendiri mengenai dirinya ataupun suaminya.Sebab, jika dia mendengar lagi,
Miko hanya bisa mengangkat bahu, “Saya tidak bisa pastikan begitu juga, Pak.”Dia bukannya tidak mau mengatakan hal itu, tapi dia sendiri merasa tidak terlalu banyak.“Lha gimana? Pak Miko kan yang paling sering ketemu sama Pak Rayan. Masa nggak tahu, Pak?” Danang bertanya lagi.Miko menggelengkan kepala. Dia pun melihat sekeliling kantor di lantai itu, seolah memastikan bila tidak akan ada yang mendengarkan perkataannya.Akan sangat berbahaya jika ada orang yang mendengarkan pembicaraan mereka. Terlebih lagi hal itu adalah masalah pribadi sang pimpinan yang tentunya sangat rahasia. Danang sendiri cukup berharap Miko akan memberikan sebuah informasi yang berguna untuknya dikarenakan dia belum tahu terlalu banyak tentang pimpinan perusahan itu.Miko pun berujar pelan, “Saya sebenarnya tidak sering bertemu dengan Pak Rayan. Hanya beberapa kali, saat beliau bersama dengan istrinya.”Mendengar penjelasan itu, Danang tidak bisa menahan diri untuk bertanya, “Eh, Pak. Istrinya Pak Rayan kay
“Tentu saja, Pak Rayan,” sahut Febri patuh.Hanya dalam beberapa detik Febri telah menyiapkan file tentang data karyawan yang dimaksud oleh Rayan dalam sebuah tablet khusus yang digunakan Rayan untuk bekerja.Rayan pun langsung membaca daftar itu tanpa membuang waktu.Akan tetapi, baru saja dia membaca beberapa halaman, Febri kembali berkata, “Pak, meeting segera dimulai.”Dengan terpaksa Rayan menyerahkan tablet itu lagi pada sang asisten pribadi dan berujar, “Saya akan baca lagi nanti.”“Baik, Pak. Saya akan sampaikan pada Pak Danang nanti,” balas Febri.Rayan bangkit dari kursinya dan berjalan menuju ke ruang meeting yang le
“Ada apa, Pak Rayan?” Miko bertanya dengan penuh keheranan.Rayan pun langsung bertanya sambil menunjuk ke arah Bagas yang terlihat sedang berbicara dengan dua orang laki-laki, “Dia … apa dia karyawan di perusahaan ini?”Tentu saja untuk masalah itu Miko sama sekali tidak tahu dan dia menoleh ke arah pemuda yang berdiri di sampingnya, meminta bantuan.Sehingga yang menjawab adalah Febri yang selalu berada di perusahaan itu sebagai asisten Rayan yang akan melakukan pekerjaan apapun menurut perintahnya, “Seharusnya iya, Pak. Dia memakai kartu tanda pengenal karyawan perusahaan sini.”Rayan langsung melihat benda yang menggantung leher Bagas yang berwarna biru tua itu dan langsung mengerti.Febri pun menambahkan, “Warna biru menunjukkan bahwa dia adalah karyawan atau staf, warna hijau menunjukkan dia pegawai di bagian produksi, sedangkan merah untuk pengunjung atau tamu.”Rayan mengan
“Ke ruang meeting sekarang juga,” kata Rayan dengan nada memerintah yang hampir membuat sebagian staf dan karyawan hampir kehilangan pijakan kakinya.Agatha menelan ludah dengan gugup dan menjawab, “Baik, Pak.”Semua orang di dalam restoran tersebut pun segera memasuki area meeting yang telah disiapkan. Beberapa di antara mereka, tepatnya para staf terlihat menempati tempat duduk yang tersedia, sedangkan para karyawan biasa seperti pelayan dan yang lain berdiri di belakang mereka.“Saya sudah baca semua laporan minggu ini dan secara keseluruhan hasilnya ….”Agatha menahan napas dan beberapa staf pun ikut tidak berani napas. Namun, saat Rayan berkata, “Cukup memuaskan.”Mereka langsung menghela napas penuh kelegaan. Agatha bahkan bisa tersenyum meskipun sangat tipis.Tapi, rupanya hal itu tidak berlangsung lama lantaran setelahnya Rayan berujar, “Tapi … ada beberapa hal yang
Kedua bola mata cantik Agatha yang dilapisi oleh contact lens berwarna abu-abu itu pun melebar dengan sempurna seketika, “Maksud Pak Rayan … apa? Saya tidak mengerti, Pak.”Rayan menghela napas lagi, terlihat begitu lelah. Febri dan beberapa staf yang telah mengenal karakter Rayan dengan cukup baik sadar bahwa saat ini pria super tampan itu sedang menahan rasa kesal luar biasa pada karyawannya tersebut.Rayan hampir saja akan langsung memecat Agatha tetapi, dia adalah seorang pimpinan di restoran bergaya Eropa itu maka dia tidak bisa langsung memberhentikan orang karena alasan yang kurang jelas. Dia pun juga tidak bisa lepas tangan atau malah mengabaikan masalah-masalah kecil yang terjadi.Selain itu, Le Restaurant Jules Verne De R adalah restoran pertama yang dia bangun tanpa ikut campur tangan ayahnya sehingga dia tidak akan pernah rela jika tempat itu memiliki citra buruk.“Feb,” panggil Rayan.Febri pun bergegas menyodorkan sebuah laptop pada Agatha. Gadis itu dengan cepat meng
Rayan terdiam cukup lama dan tidak langsung menjawab pertanyaan dari mertuanya itu.Tetapi, setelah dia berpikir masak-masak dia pun akhirnya berkata, “Ibu saya telah meninggal dan ayah saya sudah menikah lagi.”Herni mendengus saat mendengar jawaban menantunya itu, “Oh, pantesan jadi kamu itu anaknya nggak terlalu dianggap sama bapak kamu ya?”Rayan saat itu tersenyum dan Kirana khawatir bila perkataan kedua orang tuanya mungkin akan menyakitkan hati Rayan.Akan tetapi, di luar dugaannya Rayan malah dengan sangat tenang menjawab, “Begini saja. Dalam beberapa hari lagi saya akan mengundang ibu dan bapak ke acara keluarga besar saya.”Herni menaikkan alisnya, “Maksud kamu? Keluarga besar kamu akan menggelar acara dan kamu mengundang kami?”Rayan menganggukkan kepalanya dan jujur saja Kirana cukup bingung dengan ucapan suaminya karena dia sama sekali tidak mengerti tentang acara yang dimaksud oleh Rayan. “Sebenarnya acara itu seharusnya digelar beberapa bulan lagi, tapi … sepertinya sa
Kirana menatap ibu dan bapaknya secara bergantian dengan tatapan penuh kekecewaan. Bagaimana bisa mereka bersikap seperti itu kepada orang yang telah membantu mereka begitu banyak seolah suaminya itu bukanlah orang yang bertanggung jawab. Padahal kalau dipikir-pikir Rayan sama sekali tidak memiliki kewajiban yang penuh untuk benar-benar memberikan sejumlah uang kepada mereka. “Bapak dan Ibu untuk masalah itu tidak perlu khawatir. Karena saya … saat ini sudah membawakan uang tersebut,” kata Rayan.Parlan mendengus dengan tidak sabar, “Ya Itu kan untuk hari ini. Begitu kan? Lalu besok-besoknya gimana?”“Per hari kan? Kamu nggak bermaksud buat ngasih cuman satu kali dalam satu bulan gitu kan, Yan?” Herni menambahkan dengan alis berkerut seakan curiga kepada menantu laki-lakinya tersebut. Rayan dengan begitu sangat sabar menjawab, “Tidak, Bu.”Pria muda tampan itu pun kemudian mengambil sebuah amplop besar dari dalam saku jasnya yang Kirana tebak berisi sejumlah uang.Kirana cukup ter
Tidak ingin tensi di rumah itu menjadi menegang, Rayan pun cepat-cepat berkata, “Kirana, sudah ya!”“Mas. Tapi kan ….”Wanita itu melihat tatapan suaminya yang penuh permohonan sehingga dia pun terpaksa lagi-lagi harus membungkam mulutnya sendiri.Bagaimanapun juga pria yang berada di dekatnya itu adalah suami yang memiliki hak untuk membuat dirinya menurut kepadanya sehingga mau tidak mau dia pun mengangguk pada sang suami. Herni melihat kepatuhan putrinya terhadap Rayan dan langsung mendecakkan lidah, “Yah, bagus deh. Ternyata ada baiknya juga kamu menurut sama suami kamu.”Kirana tetap berusaha keras menahan dirinya agar tidak lagi terpancing dengan ucapan ibunya. Rayan pun tetap diam dan ketika dia hampir akan berbicara, Parlan menambahkan seakan mendukung ucapan istrinya, “Bagus memang. Mungkin Rayan ini bisa bikin kamu lebih hormat sama bapak ibu kamu.”Andai saja Kirana tidak menghormati Rayan, dia pasti sudah akan membalas ucapan kedua orang tuanya yang sangat menyakitkan it
Bukannya malah memperbaiki sikap mereka terhadap menantu laki-lakinya yang sudah terlalu banyak mereka hina, mereka tetap tidak mengubah sedikitpun sikap mereka.Parlan malah dengan tenangnya berkata, “Oalah, Kirana. Udah, Nduk. Kalau bermimpi itu jangan terlalu tinggi.”Kirana tercengang ketika mendengar perkataan bapaknya dan wanita muda itu hampir saja akan membalas. Namun rupanya bapaknya tersebut tidak terlalu peduli dengan balasan Kirana dan sekali lagi berujar penuh dengan nada penghinaan, “Kalau bukan hanya tukang sol sepatu, memangnya pengalaman yang lain apa? Tukang parkir maksud kamu?”“Yah Pak. Tukang parkir masih bagusan dikit, gimana kalau ternyata sebelumnya Rayan itu macam tukang angkut sampah?” Herni menanggapi perkataan suaminya. Kirana semakin tidak bisa berkata-kata lagi lantaran sudah tidak habis pikir dengan kedua orang tuanya yang malah semakin menjadi-jadi. Wanita itu ingin sekali segera memberitahu kedua orang tuanya mengenai identitas asli sang suami, tapi
Tina pun akhirnya hanya bisa mendecak penuh sesal karena telah membuang-buang waktu berbicara dengan dua wanita bebal yang tidak bisa dinasehati. Menurutnya sesungguhnya kedua wanita itu sudah mengetahui apabila mereka berbuat salah, hanya saja mereka terlalu gengsi untuk mengakui kesalahan yang telah mereka lakukan. Oleh sebab itu keduanya seolah-olah merasa paling benar di depan dirimu. “Ya udahlah, hanya menghabiskan tenaga dan buang-buang waktu saja kok ngomong sama Mbak berdua ini,” kata Tina yang akhirnya meninggalkan mereka berdua karena tidak ingin terlibat lagi dengan pertengkaran yang tidak ada habisnya.Sementara itu Kirana sudah naik ke dalam mobilnya bersama dengan suami dan saat ini sedang melakukan perjalanan menuju ke arah rumah kedua orang tuanya. “Ini masih siang, kira-kira mereka ada di rumah nggak ya, Mas?” ucap Kirana yang sebenarnya terlihat agak ragu-ragu. Rayan pun menjawab ucapan istrinya, “Mas nggak tahu. Atau mungkin mereka lagi ada di pasar? Kios merek
Pada akhirnya kedua wanita yang selalu mengusik Kirana itu tidak bisa lagi membantah apapun. Keduanya hanya diam saja dengan ekspresi bingung yang masih melekat di wajah mereka berdua.Fakta yang baru saja menampar mereka itu membuat keduanya tersadar bahwa di balik penampilan seseorang ataupun pekerjaan seseorang yang terlihat biasa saja ternyata tersimpan sebuah hal yang menakjubkan. Kadang kala sebuah kemewahan itu tidak bisa dilihat dengan mata saja. Itu persis seperti yang terjadi pada Kirana dan suaminya. Semua orang mengira keduanya memiliki kehidupan yang sederhana tetapi rupanya sang suami menyimpan rahasia yang besar. “Minimarket ini harganya pasti miliaran. Gila! Aku nggak nyangka kalau ternyata semuanya Mbak Kirana itu kaya raya!” ucap salah seorang karyawan yang menatap takjub pada Kirana dan Rayan yang mulai berjalan keluar dari area minimarket. Tina yang cukup dekat dengan Kirana saja akhir-akhir itu juga tidak mengerti tentang rahasia besar itu. Tetapi, menurutny
“Iya, katanya hari ini pembelinya juga udah datang kok,” kata seorang karyawan yang lain. Serin terlihat semakin penasaran, “Hah? Di mana orangnya?” Karyawan yang memberikan informasi itu hanya mengangkat bahu. Kirana sendiri tidak terlalu ingin tahu mengenai masalah itu karena kedatangannya ke minimarket itu di hari itu hanya untuk menyerahkan surat pengunduran dirinya. Maka setelah dia selesai mengerjakan salah satu tugasnya, wanita itu segera menemui bosnya dan menyerahkan surat pengunduran diri tersebut. Setelah berbicara empat mata dengan sang manager, Kirana pergi keluar dan terkejut ketika melihat Rayan berjabat tangan dengan seorang yang dia ketahui sebagai pemilik minimarket itu. “Saya senang sekali berbisnis dengan Anda, Pak. Semoga Anda bisa mengembangkan minimarket ini dengan jauh lebih baik dan saya harap … Anda semakin sukses,” kata pemilik minimarket itu sembari tersenyum lebar. Selanjutnya Kirana melihat orang itu meninggalkan area itu dan membiarkan Rayan be
Serin tentu saja seperti biasanya mengangguk cepat, “Iyalah. Semua juga tahu kalau suami Mbak Kirana itu cuman seorang tukang sol sepatu. Ngapain pakai setelan jas kayak bos gitu?”“Ya kalau nggak bukan buat nutupin profesinya yang asli ya pasti karena cuman mau dibilang punya kerjaan yang bagus aja,” lanjut Serin.Vena terkikik mendengar ucapan temannya, “Lha iya, Mbak. Buat apa sih pakai berusaha untuk nutupin segala, Mbak Rana? Lagian nggak ada juga kok yang mempermasalahkan profesi suaminya Mbak Kirana.”Tina langsung berkaca pinggang menatap dua orang itu dengan begitu galak, “Duh, Mbak. Kalian ini kok repot banget sih ngurusin hidup orang. Yang tanya itu aku dan yang seharusnya jawab itu Mbak Kirana, bukan kalian. Aneh banget!”Vena dan Serin langsung saja tersinggung dengan ucapan Tina dan dua wanita itu segera ingin membalas, tetapi Tina yang tahu akan maksud mereka berdua cepat-cepat mendahului mereka dengan berkata, “Sudah, Mbak. Kita beresin di sebelah sana aja yuk. Biar ngg
Rayan sontak menoleh ke arah istrinya yang terlihat terkejut dengan perkataannya. Sesungguhnya dia sangat maklum dikarenakan istrinya pasti sedikit agak kebingungan tentang rencananya yang tiba-tiba.“Sayang, sebenarnya Mas mau memberi … uang sejumlah yang dulu Bapak minta,” jelas Rayan.Kirana menelan ludah dan tidak menyangka bila ternyata jawabannya seperti itu. Dia pikir Rayan ingin pergi ke rumah kedua orang tuanya dikarenakan memberitahu mereka tentang identitas rakyat yang sebenarnya. Sesungguhnya dia sama sekali tidak keberatan tetapi dia hanya berpikir jika sampai kedua orang tuanya mengetahui latar belakang Rayan yang asli, maka kemungkinan besar orang tuanya tersebut akan mencoba untuk memanfaatkan Rayan. Dia tidak ingin hal itu terjadi dan merasa telah cukup membuat Rayan kesusahan karena sikap kedua orang tuanya.“Mas pikir lebih baik Mas kasih uang itu untuk satu bulan sehingga Mas tidak perlu memikirkannya lagi,” jelas Rayan.Kirana langsung saja menanggapi, “Tapi,