Amelia cepat menolak panggilan yang sejak tadi mengganggunya. Ia mematikan hpnya dengan perasaan cemas. "Kenapa Mel?"Amelia berbalik kaget melihat teman sekamarnya."Kok kaget sih?!" tanyanya heran."E-enggak. Nggak apa-apa."Ia mencoba mengontrol diri agar tidak membuat temannya bertanya-tanya."Jadi gimana?" tanya Amelia."Lancar. Kita berangkat keluar negri kalau nggak besok, ya lusa."Amelia mengangguk antusias. Semakin cepat semakin baik. Ia tak mau di permalukan perempuan tua itu."Btw, katanya adik lo meninggal? Lo nggak pulang dulu?" tanya temannya ragu."Itu. . . ., orang tua gue bilang gak usah pulang. Soalnya ini tentang masa depan gue. Lagian gue sama adik gue itu gak deket kok," balas Amelia tergesa."Tapi. . . .""Amelia. Tuh di depan ada cari. Katanya adek kamu. Namanya Adelia."Amelia yang merasa sedikit terselamatkan dari pertanyaan temannya dengan kehadiran temannya yang lain segera mengiyakan dan pergi menemui adiknya itu.Sejujurnya ia tidak memiliki janji apa-ap
"Aku mau minum, Ma," pinta Ana yang langsung di ambilkan oleh mamanya.Syafira mengusap peluh di dahi Ana. Tampak wajah lelah putrinya masih nampak dengan jelas.Sementara di sebelah sana, bapak-bapak sedang menimang bayi yang baru saya hadir di dunia ini tengah malam tadi.Mereka teramat sangat bahagia karena akhirnya Satria punya anak juga. Setelah penantian panjang katanya, akhirnya punya anak sendiri.Ternyata sebelum ia bisa punya anak, harus membesarkan anak kecil dulu. Baru diajak bikin anak bersama.Hal yang membuat otomatis jabatan Devandra naik menjadi Kakek, saat jabatan Satria baru naik jadi Papa.Yasrif, Gio dan Kamila datang membawakan hadiah atas kelahiran anak Ana. Wajah bahagianya bisa menutupi rasa lelah dan lemas sehabis melahirkan.Rasa sakit setelah melahirkan normal, terbayar melihat moment membahagiakan seperti ini."Daneen gak pulang, Yas? Inikan harusnya dia udah libur," kata Ana setelah menerima hadiah dari Yasrif.Terlihat, Yasrif terdiam untuk beberapa saat
Begitu sampai di tempat laundrynya, Syafira terkejut melihat Dinar yang sedang menyetrika bersama dengan anak buahnya yang lain."Hai," sapanya ringan.Syafira yang masih dengan keterkejutannya, melirik pada anak buahnya yang lain yang menatap kearah mereka."Ngapain di sini?" tanya Syafira.Sementara Dinar cengar cengir lalu manyun. "Yuda pergi ke luar kota."Syafira mengangguk. "Devandra juga."Kedua laki-laki itu memang sering terlibat dalam pekerjaan yang sama."Aku kesepian di rumah," kata Dinar yang membuat Syafira langsung mengerti.Ia menarik Dina menjauh dari ruang setrika yang hawanya sangat panas. Walau sudah di fasilitasi dengan kipas angin jumbo, tetap saja rasa panasnya terasa.Syafira membawa Dinar ke ruangannya. Ia melihat tangan Dinar melepuh di beberapa bagian. Dirinya tau otu pasti karena terkena panasnya setrika uap."Udah. Ngapain kamu malah cari kesibukan di sana. Tangan kamu tuh banyak melepuhnya."Dinar mengusap tangannya. "Iya nih. Heran juga. Padahal dulu wak
Ana hendak menitipkan Tasya pada pembantu di rumah mamanya. Namun Dinar memanggilnya begitu ia melintasi rumah tantenya itu."Mau nitipin Tasya ya, An?" tanya Dinar.Tantenya itu berlari ke pinggir jalanan menghampiri Ana."Iya, Tante. Aku ada kuliah pagi.""Titipin ke tante aja. Tante gak ada kerjaan nih."Ana tampak tak yakin. Ia tidak mau merepotkan orang lain dalam mengurus Tasya. Ia meminta pembantu di rumah mamanya mengasuh Tasya juga ada bayaran lebih dari Satria."Gak repot kok," kata Dinar sudah tau apa yang Ana pikirkan."Tapi, Tante. . . ."Dinar mendekati Ana dengan wajah memelas. "Kasih ke Tante aja, An. Tante gak ada temennya ini di rumah. Kamu tau sendiri gimana tante sekarang. Kalau ada Tasya, tante jadi nostalgia membesarkan Daneen dulu."Ana langsung luluh kala mengingat Daneen. Ia hampir mau ikutan meneteskan air mata saat memikirkan Daneen. Perpisahan tanpa saling memaafkan, dan kabar yang tak kunjung datang.Ia akhirnya memberikan Tasya pada Dinar. Ana yakin Tante
Bertahan dari usia 10 tahun hingga menjadi seorang mahasiswa, adalah perjalanan panjang yang penuh perjuangan. Ada banyak cerita pahit nan sakit yang sudah Aprilia hadapi.Mimpinya menjadi seorang sarjana lalu mendapatkan pekerjaan hingga bisa memiliki kehidupan sendiri masih berlanjut.Aprilia rasa jalannya sudah dekat. Ia hanya perlu memijaki beberapa langkah saja lagi. Ia sudah terbiasa mengalami rasa sakit dan menginjak tiap batu krikil tajam untuk mencapai tujuannya.Hari-hari beratnya sebentar lagi akan berubah seiring waktu yang dirinya alami. Setiap langkah sudah dirinya kontrol dengan baik bahkan tahapan-tahapan apa dalam hidupnya yang akan ia hadapi.Tapi kejadian di malam itu, sungguh membuat dirinya dilema hingga satu persatu jembatan yang Aprilia sudah buat dengan susah payah hancur lebur.Datangnya seorang laki-laki yang cukup ia kenal, menjadikan dirinya tumbal oleh keluarganya sendiri."Dia orang kaya. Salah satu anak dari bapak Togar yang kaya raya itu."Aprilia masih
Menjelang malam, Aprilia terbangun. Samar-samar suara klakson di luar membuatnya sekejap mengumpulkan kesadarannya.Ia segera berjalan ke balkon. Matanya menyipit saat melihat sosok yang cukup ia kenali berdiri di dekat mobil mendongak melihat dirinya yang sedang berdiri di balkon.Orang itu memberi kode dengan menunjuk pintu. Barulah Aprilia sadar kalau ia mengunci pintu dari dalam.Berlari ke lantai dasar, lalu membukakan pintu. Matanya langsung bertatapan dengan pemilik wajah dingin yang menatapnya seolah kesal."Maaf. Aku ketiduran," ujar Aprilia.Lelaki itu tidak membalasnya lalu berjalan masuk melintas begitu saja tanpa mengatakan sepatah kata juapun.Ia mengikuti Jono yang tampak kelelahan di sofa. Bersandar dengan tubuh yang terlihat lunglai. Matanya tertutup. Tapi Aprilia tau Jono tidak tidur."Mau makan atau mandi dulu?" tanya Aprilia.Pertanyaan yang ia ajukan normal di pertanyakan seorang istri, bukan?"Aku tidak makan apalagi mandi saat pukul 2 malam," balas Jono bernada
Ana naik taksi online menuju kantor sang suami. Tadi pagi terpaksa Tasya ia titipkan pada Satria. Karena dirinya harus kuliah pagi-pagi sekali.Sementara demi tetap bekerja, Satria membawa Tasya ke kantornya.Untung saja Satria merupakan direktur utama di perusahaan itu. Hingga tak akan ada yang mengomeli suaminya bila membawa bayi kecil mereka.Ana sangat terburu-buru menuju lantai kantor suaminya. Ia pun sejak tadi mengerjakan tugas cepat-cepat agar bisa membawa putri kecilnya pulang."Siang, Lalita," sapa Ana pada sekertaris baru suaminya itu.Wanita sebaya suaminya itu tersenyum padanya lalu ia segera masuk.Sekertaris suaminya yang lama tiba-tiba minta berhenti entah kenapa. Tapi kata Satria itu karena sekertarisnya dan beberapa staf wanita yang berhenti secara bersamaan tidak enak padanya.Jujur Ana juga bingung kenapa jadi tidak enak. Tapi ya sudahlah. Itu keputusan mereka.Saat ia membuka mata, senyum Ana mengembang melihat sang suami yang sedang memberi makan siang untuk putr
Entah apa maunya si Pak Tua ini. Sudah 3 kali keliling taman komplek yang entah apa gunanya. Ternyata Pak Tua yang selama berhari-hari pernikahan mereka tidak banyak tingkah mulai membuat dirinya repot saja.Saat Aprilia memilih tidur lebih banyak di weekandy yang mendung ini, Pak Tua malah mengajaknya keliling-kiing tidak jelas dan sudah 3 kali pula mereka di sapa lelaki yang seusia Pak Tua ini.Kalau tidak salah namanya Yuda. Entah apa gunanya keliling tidak jelas lalu di sapa dengan randomnya."Kayaknya udah mau ujan," gumam Aprilia merasakan titik-titik basah yang mengenai wajahnya.Aprilia melirik pada Pak Tua yang seolah tidak dengar kode darinya agar segera pulang.Ia justru tersentak kaget saat tangannya di genggam oleh Jono.Kekagetannya tidak sampai di situ. Ia di buat makin kebingungan saat tiba-tiba Jono memeluknya erat.Dadanya berdetak sangat kuat bahkan ia di landa perasaan aneh saat hembusan nafad Jono sangat terasa di ceruk lehernya.Kekagetannya itu terhenti saat but
“Jaga diri kamu,” ujar Daneen. “Jangan sampai kenapa-napa di sana.”Fahrian tersenyum lebar sembari mengangguk. Dirinya mendapat restu setelah bicara baik-baik dengan Yuda. Jika ia akan kembali setelah bertaruh nasib di negri orang. Bahwa dirinya, akan mengusahakan kehidupan yang lebih baik untuk Daneen.“Ini memang tidak berharga. Tapi hanya ini yang aku punya untuk mengikat kamu.”Fahrian memberikan sebuah cincin perak putih. Namun tak berani menyematkannya di jemari Daneen. Takut jika mungkin Daneen tidak suka dengan pemberiannya.Tapi mengerti dengan ketakutan Fahrian, Daneen mengambil cincin itu dan menyematkannya di jemarinya. “Aku janji ini tidak akan hilang sampai kamu pulang.”****Sementara di lantai atas, sepasang suami istri memandangi dua insan yang akan berpisah itu. “Aku sedih, Mas. Kenapa gak di kasih kerjaan di sini aja? Mas punya banyak cabang usaha.”“Itu Namanya perjuangan. Biarkan dia memandang anak kit aitu mahal dan berharga. Agar dia tidak menyia-nyiakannya. B
Yuda sedang kesal dengan Dinar karena perbedaan pendapat mereka. Apalagi Dinar kuekeh dengan keinginannya bertemu dengan pacar Daneen yang pernah bertemu dengannya. Walau Daneen tidak mengaku, tapi ia yakin itu adalah pacar Daneen.Ia tidak suka.Putrinya tidak mungkin bersama laki-laki seperti itu. Culun, lemah, dan cuma tukang ngepel di sekolah. Mau jadi apa anaknya di nikahkan dengan laki-laki tanpa masa depan begitu. Apalagi mengingat laki-laki itulah yang memukul Daneen di malamsepi itu.Meski sih dalam tekanan dan ancaman. Tapi masa di ancam begitu langsung memukuli perempuan. Di lawan dulu atau gimana lah. Masa diam aja. Pengecut.Tapi biarpun sudah 1001 cerita ketidak sukaan dirinya dengan lelaki itu, masih saja Dinar memberikan pembelaan. Dari yang masuk akal, sampai yang penting di bela, masa bodo gak masuk logika.Dinar bilang seorang laki-laki memang mengutamakan ibunya. Dan salah bila menyudutkan pacar Daneen itu hanya karena ia tak berani melawan. Semua orang punya level
Liburan yang di harapkan bisa membuat mereka tenang dan senang justru malah menjadi kejadian paling menyebalkan untuk Satria. Ia juga harus membawa pulang bekas pukulan di sudut bibirnya hasil pukul balas dari Aji. Tapi bisa di bilang juga Satria dan Ana puas dengan bulan madu mereka ini. Setidaknya ada beberapa moment mereka habiskan Bersama. Juga pengutaraan rasa cinta mereka. Sebelum menemui Ana kemarin, setelah masalah di selesaikan secara damai, Satria sempat menasehati Aji untuk berhenti mendekati istrinya, dan jangan membuat konten tidak mutu seperti prank-prank-an lagi. Lebih baik cari kerjaan tetap, sembari mengerjakan hobi membuat konten, tapi konten yang bermanfaat. Ana turun dari mobil mendahului Satria. Pastinya sudah tidak sabar menemui anak mereka yang tercinta. Ini kali pertama Tasya mereka tinggalkan berhari-hari. Ia menyusul Ana yang sudah duduk di samping Syafira. Ibu dari Ana itu tampak sibuk merajut. Entah apa yang mau di buatnya dari hasil rajutan itu. “Mana
Udara segar berembus menerpa kulit Ana. Secara alami ia tersenyum merasakan betapa nyaman lingkungan seperti ini. Bebas dari kebisingan dan polusi.“Ana?”Me timenya serasa terganggu begitu melihat seseorang di sampingnya. Entah kenapa Ana jadi merasa harus menoleh ke kamarnya. Dan ia jadi lega melihat sang suami yang masih tertidur.“Aku mau minta maaf dan berterima kasih sekali lagi sama kamu.”Ana mengangguk kecil. Ia mengerti Aji tak bermaksud jahat. Cuma tetap saja yang kemarin itu sangat tidak sopan dan mengganggu.Untungnya Satria mau menyelesaikannya dengan memaafkan Aji dan teman-temannya.“Aku, gak nyangka,” ujarnya dengan terjeda. Seolah yakin atau tidak untuk bicara.“Nyangka apa?”“Kalau berita kamu udah nikah itu bener.”Setelah lulus, inilah kali pertama mereka bertemu lagi. Banyak kabar yang sempat bersimpang siur tentang pernikahan Ana dari para teman-temannya. Terutama tentang Ana yang menikah dengan laki-laki seumuran dengan orang tuanya.“Iya. Aku udah nikah. Malah
Dinar hendak beranjak dari tempatnya melihat seseorang yang diam-diam di rindukannya selama ini. Namun tangan Yuda menahannya. Dinar mendongak dengan tatapan memohon pada Yuda.“Diam di sini. Di mana-mana yang nengokin orang sakit yang mendekat. Bukannya kamu yang turun dari tempat tidur.”Mendengar perkataan Yuda, Daneen menghela nafas sembari mengarahkan tantenya Sania untuk mendekati bangsal Dinar.Sania memilih ujung bajunya. Tampak sangat ragu dan kikuk berdiri di samping sang kakak. Otaknya bekerja keras menyatukan kata apa untuk menyapa atau sekedar membuka pembicaraan.“Mbak?”Sania tertegun dengan pelukan erat Dinar. Butuh beberapa saat untuk dirinya merespon pelukan itu.“Maafin Mbak, Sania. Maaf,” lirih Dinar.Sania melepaskan pelukan kakaknya. “Jangan meminta maaf, Mbak. Gimanapun Mbak gak salah. Harusnya bahkan aku yang bilang maaf dan terima kasih.”Dinar menggeleng. “Mbak rasanya udah jahat banget sama kamu. Pura-pura gak peduli. Bahkan gak mau tau gimana kehidupan kamu
Yuda memicingkan matanya seolah mencoba mempediksi apa yang sedang di pikirkan putrinya.“Kita balik lagi ke Rumah sakit, Pa?” tanya Daneen tampak mencoba menghindari sesuatu.Seolah dia bisa tau kalau akan di tanyai masalah yang tadi.“Ya,” balas Yuda singkat.“Dia itu, bukan pacarmukan?” tanya Yuda tidak tahan untuk tidak bertanya.“Dia siapa?” tanya Daneen balik tampak tidak paham.Papanya mendecak . “Gak usah pura-pura gak ngerti. Papa tau loh ekspresi kamu kalau lagi suka sesuatu.”“Papa ngomong apa sih?”“Kerja di mana dia? Terus gimana bisa dia mukul kamu?”“Kenapa bahas dia sih, Pa? Kita fokus mikirin mama aja.”****Bagi Yuda, Daneen sedang menghindari pertanyaannya seputar laki-laki yang di lindunginya tadi. Yang pada akhirnya Yuda lepaskan karena permintaan putrinya. Tapi tentu saja Yuda masih merasa ingin tau. Ralat, ia perlu tau dan sungguh harus tau tentang laki-laki itu.Cuma Daneen cukup keras kepala untuk tidak mau membicarakan pria itu. Greget juga waktu Yuda terpaks
Yuda dan Daneen mendatangi kediaman Sania. Sebelum itu ia menelpon Bulan untuk segera menyusul ke sini. Di mobil, Daneen dan Yuda sama-sama hanya diam. Namun, diamnya seorang ayah, tidak bisa melepaskan sepenuhnya tentang kecemasannya saat putri kesayangannya ini rasanya belum makan apa-apaIa memesan makanan drive-thru tanpa banyak bicara lalu memberikannya pada Daneen. Dirinya Kembali fokus melihat jalan dan mengalihkan mobil ke jalur alamat yang mereka tuju.“Makasih, Pa.” Suara Daneen terdengar penuh dengan makanan.“Mmm.”Sebuah rumah yang taka sing bagi Yuda terpampang di hadapan mereka. Butuh beberapa saat untuk Yuda sehingga dirinya bisa melangkahkan kakinya.Rumah ini, jadi lebih mengerikan dari terakhir kali dirinya ke sini dulu. Tampak sangat tidak terawatt dan banyak bagian rumah yang butuh renovasi.Ia mengikuti Daneen yang mengetuk pintu dan memanggil si pemilik rumah. Lalu seseorang dengan wajah lelah dan tampaknya baru habis menangis, membukakan pintu.“Tante, gimana k
Yuda harusnya menyadari ini sejak awal. Bahwa kembali ke kampung halaman istrinya, hanya akan membawa petaka. Tapi di sinilah jawaban atas kebingungan dan keputusasaan dirinya dan istrinya. Tapi bagaikan pertukaran yang tak mungkin bisa di pilih. Karena pada akhirnya Yuda juga harus menerima istrinya terbaring di rumah sakit dengan balutan perban di kepala Dinar. Kecemasan tak kunjung reda, dengan pemandangan wajah istrinya yang tak kunjung membuka mata.“Papa?”Panggilan itu membuat Yuda menoleh singkat. Harusnya saat ini ia memeluk gadis kecilnya yang sudah menjadi dewasa ini. Yang menghilang tanpa kabar bahkan tak memberikan alasan jelas. Mungkin tak berselang puluhan tahun kepergian putrinya. Tapi sudah cukup membuat banyak perubahan.“Mama masih belum sadar?” Suara itu berpindah ke samping istrinya. Jemari Dinar diraih. Kini kedua tangan Dinar di remas hangat. Andaikan tidak dalam kondisi seperti sekarang, mungkin ini adalah moment membahagiakan. Tapi sayangnya yang terasa han
Yuda memasukan koper ke dalam mobil. Dirinya melirik Dinar yang mengipasi wajahnya seperti orang kepanasan. Cuaca memang sedang terik saat mereka tiba mendarat beberapa menit lalu."Loh. Kok mobilnya jalan, Mas?"Yuda tersenyum dengan keterkejutan Dinar, karena mobil jemputan yang berjalan tanpa mereka."Kita naik motor, " ujar Yuda.Dinar membulatkan mata. "Panas, Mas," keluhnya dengan wajah cemberut.Motor yang akan mereka naiki di antarkan seseorang. Untungnya bukan motor lama Yuda yang 20 tahunan lalu. Motor itu pasti sudah tidak bisa di gunakan. Setau Dinar motor itu sudah di museumkan oleh Yuda.Masih dengan wajah cemberutnya, Dinar mengenakan jaket dan helm yang di berikan Yuda."Kita udah gak muda lagi loh, Mas," gumam Dinar.Yuda meraih jemari Dinar agar erat memeluk pinggangnya. "Ini buat mengingatkan kita kalau kita pernah melewati hari-hari dengan cinta kayak gini."Ban motor berjalan seiring dengan tarikan gas. Jemari Yuda terus mengelus jemari yang sejak dulu menemaninya