"Puas?! Senengkan kamu? Mau jadi anak yang cepu kamu sekarang?!"Adelia duduk diam sambil menunduk mendengarkan kemarahan Mamanya. Sesekali ia menahan rambutnya yang di rambak mamanya.Gemuruh hati Adelia semakin menjadi-jadi. Rasa kecewanya dengan sikap tidak adil mamanya, malah semakin memperbesar luka itu."Kamu mau mama sama papa cerai?!" teriak Yanti sambil mendorong kuat bahu Adelia hingga tersungkur di atas sofa.Yanti benar-benar melampiaskan amarahnya. Kekesalan yang selama ini ia tahan sudah menggunung. Beberapa waktu di mana dirinya tak punya pikiran lain selain rasa takut kehilangan putri dan suami.Tak ada seorang pun yang coba mengerti bagaimana dirinya sekarang. Suaminya hanya perasaan anak-anak saja. Tak seujung kuku pun memikirkan tentang perasaannya. Yanti butuh sekali tempat berbicara. Ia tau kesalahannya. Tapi dirinya tak bisa di hukum begitu saja. Kenapa tidak ada yang mau mengerti kalau apa ia lakukan pada Melisa hanya demi kebahagaiaan Melisa sendiri.Ia mendidi
"Gak bisa di hapus gitu tuh. Liat tuh," cerocos Yuda sambil menunjuk-nunjuk layar handphonenya."Ck! Tau!" Satria menepis tangan Yuda yang mengganggu konsentrasi sekertarisnya.Karena tragedi video tak senonoh yang tiba-tiba masuk ke grup keluarga itu, akhirnya Satria memilih memanggil Sekertarisnya yang ia tau paham soal retas meretas. Untungnya dia punya keahlian lain selain menjadi seorang sekertaris."Saya yakin ini perbuatan salah satu anak," gumam Yuda."Daneen maksudmu?" Yuda menyirit tajam Satria. "Anak itu bukan berarti anak saya. Kamu tau sendiri kita di sini punya banyak anak-anak. Ada yang ngirim-ngirim begini pasti," duga Yuda yang lebih ke nuduh.Satria mendengus. Ia sempat bingung dari mana sifat suka menuduh Daneen berasal. Rupanya memang tak jauh dari pohonnya."Kayaknya saya pernah liat perempuan ini, Pak, " kata si Sekertaris saat jarinya masih sibuk menari-nari di atas laptopnya.Sekarang grup di retas dengan laptop guna menghapus dan menemukan siapa yang mengirim
"Dari mana kamu dapat ini?"Daneen di sidang Tantenya Syafira bersama dengan kedua orang tuanya yang juga menatapnya serius.Pasalnya mereka sedang memanas dengan Melisa. Dan Daneen malah membawa berita lebih panas lagi."Aku gak cuma tau Melisa ajakin Ana ke hotel aja kok, Tante. Aku juga tau Melisa habis gugurin janinnya."Daneen melirik Ana yang sejak tadi seolah mengancamnya. Astaga. Hanya dengan tatapan seperti itu, mana mungkin seorang Daneen akan takut. Mau langsung keluar juga itu mata dia gak takut. Pokoknya semua orang harus tau! Kalau Melisa itu tipe hama yang harus di hujat dan di musnahkan.Siapa suruh tidak mengaku sejak awal dan malah membalikkan fakta sampai bikin dirinya tampak seperti memfitnah."Tante cuma mau tau, dari mana kamu dapat ini semua?" tekan Syafira karena jawaban Daneen bukan yang ia harapkan."Dari mana itu gak penting, Tante. Yang pentingkan udah jelas, aku gak bohong kalau Melisa yang udah jebak Ana. Dia sampai hamil itu gara-gara Melisa. Tuduhan ak
Daneen menarik kopernya dari lantai atas. Pagi-pagi ia sudah siap. Entah kenapa rasa yakin yang di tanamnya sejak tadi malam, justru perlahan memudar. Ada perasaan tidak tega meninggalkan rumah ini.Apalagi niatnya untuk selama yang ia bisa. Jadinya malah tidak bisa. Berat meninggalkan kenangan yang telah di tanam bertahun-tahun."Mau di bantu?" tanya Yasrif yang sejak tadi memandangi kakaknya.Ia sudah diam di sudut lantai dua sejak subuh tadi takut kakaknya pergi tanpa berpamitan padanya. Beruntung bangun terlalu subuh bukan keahlian Daneen.Sejak tadi ia memandangi Daneen yang terdiam seolah sedang mengenang.Koper yang baru sampai di dua anak tangga menuju bawah."Bisa kok."Daneen menyeret perlahan koper besarnya turun.Menuruni anak tangga dengan membawa koper tentunya tidak mudah. Yasrif saja tidak tahan berdiam diri melihat.Ia mengambil paksa koper kakaknya. Lalu mengangkatnya sambil menuruni anak tangga.Daneen terdiam sembari memandangi adiknya. Terbayang saat mereka masih
Dinar menepis cengraman Yanti dari lengan putrinya. "Siapa kau berani menyentuh putriku?!" teriak Dinar menjauhkan Daneen dari Yanti.Ia mengusap lengan Daneen, memastikan putrinya tidak terluka. Ia meraba seluruh tubuh putrinya takut terjadi sesuatu.Daneen menyentuh tangan mamanya meyakinkan kalau ia tidak apa-apa.Daneen hanya kaget saat ia keluar langsung di sambar Yanti yang marah-marah tanpa sebab.Daneen dan Dinar tersentak saat Yanti yang di tahan Yuda mau menyerang mereka lagi."Lepas! Anakmu harus merasakan apa yang anakku rasakan! Gara-gara anakmu, anakku jadi menderita!" Teriak Yanti meluapkan seluruh emosinya."Apa yang putriku lakukan?!" bentak Yuda.Ia sudah tidak tahan dengan hal seperti ini. Keluarga mereka jadi tidak seakrab dulu lagi. Ada banyak masalah yang menimpa, dan membuat mereka retak perlahan-lahan."Kau pura-pura tidak tau?! Sejak awal anakmu sudah memfitnah anakku. Lalu membuat fitnah baru dengan membuat video tidak senonoh pada putriku. Kau yang membuat
Jono meratapi dengan ragu pada sebuah villa yang menjadi bagian dari asset milik Bapa. Ia sendiri baru pertama kali ini datang. Apalagi ini termausk villa modern. Cukup jauh pula dari rumah.Gelap gulita seperti tidak ada penghuninya. Perasaan cemas akan sang putri kembali ia rasakan. Ia melihat kanan kiri yang di penuhi villa-villa lainnya. Sepertinya memang daerah di sini lumayan ramai. Tapi tak ada satpam yang jaga tempat ini.Dirinya mengikuti Devandra yang lebih dulu keluar mobil. Mereka masuk bersama-sama ke dalam.Saat masuk, Jono makin yakin tempat ini tidak berpenghuni. Karena ia tau Adelia tak mungkin membiarkan tampat ini gelap kalau memang ada dia di dalam.Ia menolah pada Devandra yang terdiam di tempat seolah sama kebingungannya dengan Jono.Sebuah laptop menyala di tengah kegelapan yang tergeletak di atas sofa membuat Devandra segera menyambil benda itu.Ia ikut melihat apa yang Devandra lakukan pada benda itu."Ini milik Adelia," ujar Jono. Artinya Adelia memang di s
Amelia cepat menolak panggilan yang sejak tadi mengganggunya. Ia mematikan hpnya dengan perasaan cemas. "Kenapa Mel?"Amelia berbalik kaget melihat teman sekamarnya."Kok kaget sih?!" tanyanya heran."E-enggak. Nggak apa-apa."Ia mencoba mengontrol diri agar tidak membuat temannya bertanya-tanya."Jadi gimana?" tanya Amelia."Lancar. Kita berangkat keluar negri kalau nggak besok, ya lusa."Amelia mengangguk antusias. Semakin cepat semakin baik. Ia tak mau di permalukan perempuan tua itu."Btw, katanya adik lo meninggal? Lo nggak pulang dulu?" tanya temannya ragu."Itu. . . ., orang tua gue bilang gak usah pulang. Soalnya ini tentang masa depan gue. Lagian gue sama adik gue itu gak deket kok," balas Amelia tergesa."Tapi. . . .""Amelia. Tuh di depan ada cari. Katanya adek kamu. Namanya Adelia."Amelia yang merasa sedikit terselamatkan dari pertanyaan temannya dengan kehadiran temannya yang lain segera mengiyakan dan pergi menemui adiknya itu.Sejujurnya ia tidak memiliki janji apa-ap
"Aku mau minum, Ma," pinta Ana yang langsung di ambilkan oleh mamanya.Syafira mengusap peluh di dahi Ana. Tampak wajah lelah putrinya masih nampak dengan jelas.Sementara di sebelah sana, bapak-bapak sedang menimang bayi yang baru saya hadir di dunia ini tengah malam tadi.Mereka teramat sangat bahagia karena akhirnya Satria punya anak juga. Setelah penantian panjang katanya, akhirnya punya anak sendiri.Ternyata sebelum ia bisa punya anak, harus membesarkan anak kecil dulu. Baru diajak bikin anak bersama.Hal yang membuat otomatis jabatan Devandra naik menjadi Kakek, saat jabatan Satria baru naik jadi Papa.Yasrif, Gio dan Kamila datang membawakan hadiah atas kelahiran anak Ana. Wajah bahagianya bisa menutupi rasa lelah dan lemas sehabis melahirkan.Rasa sakit setelah melahirkan normal, terbayar melihat moment membahagiakan seperti ini."Daneen gak pulang, Yas? Inikan harusnya dia udah libur," kata Ana setelah menerima hadiah dari Yasrif.Terlihat, Yasrif terdiam untuk beberapa saat
“Jaga diri kamu,” ujar Daneen. “Jangan sampai kenapa-napa di sana.”Fahrian tersenyum lebar sembari mengangguk. Dirinya mendapat restu setelah bicara baik-baik dengan Yuda. Jika ia akan kembali setelah bertaruh nasib di negri orang. Bahwa dirinya, akan mengusahakan kehidupan yang lebih baik untuk Daneen.“Ini memang tidak berharga. Tapi hanya ini yang aku punya untuk mengikat kamu.”Fahrian memberikan sebuah cincin perak putih. Namun tak berani menyematkannya di jemari Daneen. Takut jika mungkin Daneen tidak suka dengan pemberiannya.Tapi mengerti dengan ketakutan Fahrian, Daneen mengambil cincin itu dan menyematkannya di jemarinya. “Aku janji ini tidak akan hilang sampai kamu pulang.”****Sementara di lantai atas, sepasang suami istri memandangi dua insan yang akan berpisah itu. “Aku sedih, Mas. Kenapa gak di kasih kerjaan di sini aja? Mas punya banyak cabang usaha.”“Itu Namanya perjuangan. Biarkan dia memandang anak kit aitu mahal dan berharga. Agar dia tidak menyia-nyiakannya. B
Yuda sedang kesal dengan Dinar karena perbedaan pendapat mereka. Apalagi Dinar kuekeh dengan keinginannya bertemu dengan pacar Daneen yang pernah bertemu dengannya. Walau Daneen tidak mengaku, tapi ia yakin itu adalah pacar Daneen.Ia tidak suka.Putrinya tidak mungkin bersama laki-laki seperti itu. Culun, lemah, dan cuma tukang ngepel di sekolah. Mau jadi apa anaknya di nikahkan dengan laki-laki tanpa masa depan begitu. Apalagi mengingat laki-laki itulah yang memukul Daneen di malamsepi itu.Meski sih dalam tekanan dan ancaman. Tapi masa di ancam begitu langsung memukuli perempuan. Di lawan dulu atau gimana lah. Masa diam aja. Pengecut.Tapi biarpun sudah 1001 cerita ketidak sukaan dirinya dengan lelaki itu, masih saja Dinar memberikan pembelaan. Dari yang masuk akal, sampai yang penting di bela, masa bodo gak masuk logika.Dinar bilang seorang laki-laki memang mengutamakan ibunya. Dan salah bila menyudutkan pacar Daneen itu hanya karena ia tak berani melawan. Semua orang punya level
Liburan yang di harapkan bisa membuat mereka tenang dan senang justru malah menjadi kejadian paling menyebalkan untuk Satria. Ia juga harus membawa pulang bekas pukulan di sudut bibirnya hasil pukul balas dari Aji. Tapi bisa di bilang juga Satria dan Ana puas dengan bulan madu mereka ini. Setidaknya ada beberapa moment mereka habiskan Bersama. Juga pengutaraan rasa cinta mereka. Sebelum menemui Ana kemarin, setelah masalah di selesaikan secara damai, Satria sempat menasehati Aji untuk berhenti mendekati istrinya, dan jangan membuat konten tidak mutu seperti prank-prank-an lagi. Lebih baik cari kerjaan tetap, sembari mengerjakan hobi membuat konten, tapi konten yang bermanfaat. Ana turun dari mobil mendahului Satria. Pastinya sudah tidak sabar menemui anak mereka yang tercinta. Ini kali pertama Tasya mereka tinggalkan berhari-hari. Ia menyusul Ana yang sudah duduk di samping Syafira. Ibu dari Ana itu tampak sibuk merajut. Entah apa yang mau di buatnya dari hasil rajutan itu. “Mana
Udara segar berembus menerpa kulit Ana. Secara alami ia tersenyum merasakan betapa nyaman lingkungan seperti ini. Bebas dari kebisingan dan polusi.“Ana?”Me timenya serasa terganggu begitu melihat seseorang di sampingnya. Entah kenapa Ana jadi merasa harus menoleh ke kamarnya. Dan ia jadi lega melihat sang suami yang masih tertidur.“Aku mau minta maaf dan berterima kasih sekali lagi sama kamu.”Ana mengangguk kecil. Ia mengerti Aji tak bermaksud jahat. Cuma tetap saja yang kemarin itu sangat tidak sopan dan mengganggu.Untungnya Satria mau menyelesaikannya dengan memaafkan Aji dan teman-temannya.“Aku, gak nyangka,” ujarnya dengan terjeda. Seolah yakin atau tidak untuk bicara.“Nyangka apa?”“Kalau berita kamu udah nikah itu bener.”Setelah lulus, inilah kali pertama mereka bertemu lagi. Banyak kabar yang sempat bersimpang siur tentang pernikahan Ana dari para teman-temannya. Terutama tentang Ana yang menikah dengan laki-laki seumuran dengan orang tuanya.“Iya. Aku udah nikah. Malah
Dinar hendak beranjak dari tempatnya melihat seseorang yang diam-diam di rindukannya selama ini. Namun tangan Yuda menahannya. Dinar mendongak dengan tatapan memohon pada Yuda.“Diam di sini. Di mana-mana yang nengokin orang sakit yang mendekat. Bukannya kamu yang turun dari tempat tidur.”Mendengar perkataan Yuda, Daneen menghela nafas sembari mengarahkan tantenya Sania untuk mendekati bangsal Dinar.Sania memilih ujung bajunya. Tampak sangat ragu dan kikuk berdiri di samping sang kakak. Otaknya bekerja keras menyatukan kata apa untuk menyapa atau sekedar membuka pembicaraan.“Mbak?”Sania tertegun dengan pelukan erat Dinar. Butuh beberapa saat untuk dirinya merespon pelukan itu.“Maafin Mbak, Sania. Maaf,” lirih Dinar.Sania melepaskan pelukan kakaknya. “Jangan meminta maaf, Mbak. Gimanapun Mbak gak salah. Harusnya bahkan aku yang bilang maaf dan terima kasih.”Dinar menggeleng. “Mbak rasanya udah jahat banget sama kamu. Pura-pura gak peduli. Bahkan gak mau tau gimana kehidupan kamu
Yuda memicingkan matanya seolah mencoba mempediksi apa yang sedang di pikirkan putrinya.“Kita balik lagi ke Rumah sakit, Pa?” tanya Daneen tampak mencoba menghindari sesuatu.Seolah dia bisa tau kalau akan di tanyai masalah yang tadi.“Ya,” balas Yuda singkat.“Dia itu, bukan pacarmukan?” tanya Yuda tidak tahan untuk tidak bertanya.“Dia siapa?” tanya Daneen balik tampak tidak paham.Papanya mendecak . “Gak usah pura-pura gak ngerti. Papa tau loh ekspresi kamu kalau lagi suka sesuatu.”“Papa ngomong apa sih?”“Kerja di mana dia? Terus gimana bisa dia mukul kamu?”“Kenapa bahas dia sih, Pa? Kita fokus mikirin mama aja.”****Bagi Yuda, Daneen sedang menghindari pertanyaannya seputar laki-laki yang di lindunginya tadi. Yang pada akhirnya Yuda lepaskan karena permintaan putrinya. Tapi tentu saja Yuda masih merasa ingin tau. Ralat, ia perlu tau dan sungguh harus tau tentang laki-laki itu.Cuma Daneen cukup keras kepala untuk tidak mau membicarakan pria itu. Greget juga waktu Yuda terpaks
Yuda dan Daneen mendatangi kediaman Sania. Sebelum itu ia menelpon Bulan untuk segera menyusul ke sini. Di mobil, Daneen dan Yuda sama-sama hanya diam. Namun, diamnya seorang ayah, tidak bisa melepaskan sepenuhnya tentang kecemasannya saat putri kesayangannya ini rasanya belum makan apa-apaIa memesan makanan drive-thru tanpa banyak bicara lalu memberikannya pada Daneen. Dirinya Kembali fokus melihat jalan dan mengalihkan mobil ke jalur alamat yang mereka tuju.“Makasih, Pa.” Suara Daneen terdengar penuh dengan makanan.“Mmm.”Sebuah rumah yang taka sing bagi Yuda terpampang di hadapan mereka. Butuh beberapa saat untuk Yuda sehingga dirinya bisa melangkahkan kakinya.Rumah ini, jadi lebih mengerikan dari terakhir kali dirinya ke sini dulu. Tampak sangat tidak terawatt dan banyak bagian rumah yang butuh renovasi.Ia mengikuti Daneen yang mengetuk pintu dan memanggil si pemilik rumah. Lalu seseorang dengan wajah lelah dan tampaknya baru habis menangis, membukakan pintu.“Tante, gimana k
Yuda harusnya menyadari ini sejak awal. Bahwa kembali ke kampung halaman istrinya, hanya akan membawa petaka. Tapi di sinilah jawaban atas kebingungan dan keputusasaan dirinya dan istrinya. Tapi bagaikan pertukaran yang tak mungkin bisa di pilih. Karena pada akhirnya Yuda juga harus menerima istrinya terbaring di rumah sakit dengan balutan perban di kepala Dinar. Kecemasan tak kunjung reda, dengan pemandangan wajah istrinya yang tak kunjung membuka mata.“Papa?”Panggilan itu membuat Yuda menoleh singkat. Harusnya saat ini ia memeluk gadis kecilnya yang sudah menjadi dewasa ini. Yang menghilang tanpa kabar bahkan tak memberikan alasan jelas. Mungkin tak berselang puluhan tahun kepergian putrinya. Tapi sudah cukup membuat banyak perubahan.“Mama masih belum sadar?” Suara itu berpindah ke samping istrinya. Jemari Dinar diraih. Kini kedua tangan Dinar di remas hangat. Andaikan tidak dalam kondisi seperti sekarang, mungkin ini adalah moment membahagiakan. Tapi sayangnya yang terasa han
Yuda memasukan koper ke dalam mobil. Dirinya melirik Dinar yang mengipasi wajahnya seperti orang kepanasan. Cuaca memang sedang terik saat mereka tiba mendarat beberapa menit lalu."Loh. Kok mobilnya jalan, Mas?"Yuda tersenyum dengan keterkejutan Dinar, karena mobil jemputan yang berjalan tanpa mereka."Kita naik motor, " ujar Yuda.Dinar membulatkan mata. "Panas, Mas," keluhnya dengan wajah cemberut.Motor yang akan mereka naiki di antarkan seseorang. Untungnya bukan motor lama Yuda yang 20 tahunan lalu. Motor itu pasti sudah tidak bisa di gunakan. Setau Dinar motor itu sudah di museumkan oleh Yuda.Masih dengan wajah cemberutnya, Dinar mengenakan jaket dan helm yang di berikan Yuda."Kita udah gak muda lagi loh, Mas," gumam Dinar.Yuda meraih jemari Dinar agar erat memeluk pinggangnya. "Ini buat mengingatkan kita kalau kita pernah melewati hari-hari dengan cinta kayak gini."Ban motor berjalan seiring dengan tarikan gas. Jemari Yuda terus mengelus jemari yang sejak dulu menemaninya