"Kamu kok sedih begitu?"
Yuda yang baru kembali dengan motor bututnya, di sambut Dinar yang melemparkan senyuman tipis.Dari sorot mata gadis itu, dapat Yuda lihat sakit terpendam."Gak apa-apa, Mas. Dinar baik," balasnya."Kayak banyak orang," kata Yuda saat suara riuh orang-orang yang berbincang di dalam terdengar sampai keluar."Iya itu. Keluarga ibu dari luar kota," jelas Dinar singkat. "Masuk yuk mas. Dinar udah masak loh," ajak Dinar.Yuda hanya mengangguk dan mengikuti langkah Dinar yang lebih dulu melewatinya. Saat melintas di ruang tamu, mata Yuda langsung menangkap banyaknya orang yang duduk di sofa. Bahkan ada anak-anak juga yang bermain kesana kemari dalam ruangan itu.Bekas makanan, bahkan kulit kacang berserakan di mana-mana. Sisa bungkus snack yang berhamburan plus isinya yang hanya tersisa berupa serpihan itu dibiarkan mengotori lantai."Ini suami kamu, Dinar?" tanya salah satu sepupu ibu TiaraSaat keluar, ruang tamu sudah kosong. Memang katanya mereka semua mau jalan-jalan bersama makan-makan setelah barusan Danu pulang.Dan tentu saja mereka tidak mengajak Yuda dan Dinar."Maaf ya? Gara-gara saya kamu di jauhi sama keluarga," kata Yuda jadi tidak enak.Malam ini harusnya mereka makan malam dengan keluarga besar. Tapi sayangnya pupus karena mereka semua tidak mau mengajak Dinar dan Yuda.Katanya, nanti gak sanggup bayar makanan, dan malah nambah-nambahin beban."Dinar malah lebih suka kayak gini. Keluarga ibu itu hampir semuanya parasit, Mas. Nanti mereka minta bayarin Mas lagi."Dinar bersyukur. Ia tidak mau Yuda di manfaatkan. Liat saja, ia bertaruh mereka akan saling menyodorkan uang tagihan nanti saat makan malam di restoran."Jangan souzon, Sayang.""Gak souzon. Ih, mas gak tau aja. Tante Ayana mah gayanya aja kaya raya. Dia selalu nyuruh orang buat bayarin makanan. Bagus malahan, Mas, kita gak
"Mas kok malah bayarin sih?" protes Dinar saat mereka berada di parkiran yang lumayan jauh dari mallKarena padatnya jalanan di malam tahun baru ini membuat mereka terpaksa berjalan agak jauh."Dari pada berantem. Gak apalah," balas Yuda santai."Keenakan merekalah. Yang makan mereka, yang bayar Mas. Gak suka pokoknya!" gerutu Dinar.Yuda tersenyum tipis sembari memberikan helm pada sang istri."Jangan cemberut. Nanti cantiknya ilang," goda Yuda sambil menjawil dagu sang istri."Mas Yuda tuh gak usah terlalu baik sama mereka. Dinar sengaja gak bilang-bilang kalau Mas punya uang banyak. Nanti kalau mereka tau, bisa-bisa jadi bank tempat berhutang buat mereka," omel Dinar.Lagi-lagi Yuda tak mau mengambil pusing omelan sang istri. Ia meraih helm yang ada di tangan Dinar yang tak kunjung di kenakan oleh istrinya yang sedang merajuk iniDikenakannya dengan lembut helm tersenyum dikepala Dinar"Udah. Yuk! Pu
"Mana suami kamu, Sania?"Pertanyaan bernada sindiran itu langsung Sania dapatkan saat keluar dari kamar.Celosan dalam hatinya langsung mengeluh saat menyadari kalau ia bertemu dengan sang Tante. Padahal sejak tadi ia kalau mau keluar kamar mengendap-endap agar tidak bertemu tantenya ini.Ya pasti untuk agar tidak di tanya seperti ini."Belum berani pulang?" Lagi, tante Ayana menyindirnya."Lagi ada kerjaan mendesak, Tante," balas Sania bohong.Jangan tanya dirinya di mana Danu. Ia bahkan tidak bisa menelpon pria itu. Saat pulang dari restoran kemarin, Danu ternyata tidak kembali ke rumah ini. Saat di telpon ke Rumah mertuanya juga katanya tidak ada Danu.Karena tidak mau di recoki banyak pertanyaan oleh mertuanya, akhirnya Sania berbohong juga pada mertuanya kalau Danu sudah pulang.Mau tidak mau ia begitu. Nanti kalau ia bilang pada mertuanya Danu tidak pulang, bisa-bisa Bu Halimah ke sini dan membuat keributan dengan tantenya ini."Alesan!" desis Tante Ayana lalu beralih menatap t
Saat Yuda sedang repot mengurus mertuanya yang kini terbujur di bangsal rumah sakit, ia di telpon Simon, supir pribadi sekaligus sahabatnya."Kenapa, Sim? Saya lagi sibuk. Telpon nanti aja ya?" potong Yuda langsung ketika ia mengangkat panggilan telpon Simon.Ia sedang menandatangani berkas pembayaran administrasi agar mertuanya bisa segera di obati."Eh, tunggu dulu, Yuda. Saya ini di kota kamu. Nih, saya udah dekat dari rumah kamu."Yuda yang selesai menandatangani berkas itu terdiam beberapa detik."Gimana?" tanyanya kurang fokus."Haduh! Ini nih, saya lagi di kota kamu. Nih, saya sama Yanti di suruh bapa buat nyusul kamu. Katanya kamu gak pulang-pulang. Bapa dan ibu kangen katanya."Yuda menggaruk kepalanya mengurangi kebingungan. "Duh, saya gak di rumah, Sim. Saya lagi di rumah sakit," jelas Yuda."Kamu sakit?!" tanya Simon spontan."Ck! Bukan! Mertua saya sakit!" balas Yuda yang yakin ak
Akhirnya bapak bangun juga setelah hampir tengah malam. Sebelum siuman juga sudah di bawa ke ruang inap karena keadaan sudah mulai membaik."Bapak makan dulu ya?" kata Dinar sambil membuka rantang berisi makanan."Nanti aja, Nak," kata bapak.Yuda masuk keruangan membawa segelas teh hangat yang ia minta di meja jaga para perawat. Kalau di kantin, sudah di pastikan tutup.Diletakkannya pelan di dekat Dinar.Kini mereka hanya berdua. Ibu Tiara dan Sania sudah pulang. Yuda meminta Simon mengantar mereka. Pada awalnya Yuda menyarankan Dinar juga ikut. Tapi Dinar bersikeras tidak mau dan ingin menunggui bapaknya sampai sembuh."Nak, bapak minta maaf ya?" tutur bapak dengan suara lemah.Mata beliau menatap lurus ke depan seolah sedang menerawang sesuatu."Maaf apa sih, Pak? Gak ada yang perlu dimaafkan dan memaafkan," balas Dinar.Bapak menggeleng lemah. Kepalanya berperban tebal karena banyaknya darah yang k
"Ngomongin apa sih sama Bulan?" tanya Dinar kepo.Yuda yang baru selesai mandi menautkan alisnya mendengar pertanyaan Dinar yang terkesan ketus."Ada sedikit masalah aja. Saya yakin aja kalau Bulan bisa menyelesaikan masalahnya," balas Yuda sambil mengenakan pakaian.Dinar memonyongkan bibirnya dengan respon abu-abu dari Yuda."Mas kenapa sih sama Dinar gak mau terbuka banget," rajuknya.Rasanya Dinar selama ini tidak banyak tau tentang Yuda. Ia tidak tau pasti apa yang Yuda lakukan, dan lelaki itu selalu misterius bila ia bertanya."Bukan gak mau terbuka, Dinar. Cuma saya rasa belum saatnya saja. Saya bakal kasih tau semuanya kalau udah saatnya," terang Yuda mencoba menenangkan Dinar."Emangnya kenapa sih, Mas? Ada apa? Dinar gak amanah gitu sampai mas gak berani cerita apa-apa tentang diri mas ke Dinar. Kalau pun harus di rahasiakan, Dinar bakal diam tentang diri mas yang sebenarnya," keluh kesah Dinar.Yuda m
Sebuah pemakaman umum terbentang sepanjang mata memandang. Dinar berdiri di belakang Yuda yang sedang bersimpuh di samping sebuah nisan.Wajah sedih Yuda, bak mengisyaratkan pada Dinar kalau orang yang ada di dalam makam itu adalah orang yang paling berarti bagi suaminya itu.Nama yang ada di batu nisan itu sudah kebus. Bak nisan yang memang sudah cukup lama. Atau bisa juga karena nisan terbuat dari bahan kayu. Makanya tulisan tak tahan puluhan tahun "Dinar. Sini." Yuda memanggilnya dengan sedikit menoleh.Dinar maju dua langkah ikut berjongkok seperti Yuda."Ini mama kandung saya," kata Yuda. "Ibu mertua kamu Dinar," terangnya lagi. Yuda menatapnya lekat Dinar dengan mata yang berair. Dinar mengangguk kecil seolah mengisyaratkan kalau ia mengerti maksud Yuda."Assalamu'alaikum, Ma," sapa Dinar seolah ibu kandung suaminya itu masih hidup."Ini istri Yuda, Ma. Cantik ya? Dia kaya mama waktu muda dulu. . . ."
Sepulangnya Simon dan Yanti, Dinar jadi canggung masuk kedalam kamar. Ia melirik Yuda yang sibuk dengan tabletnya entah apa yang pria itu lakukan."Mas. Dinar mau lanjutin ngobrol yang tadi," kata Dinar mencoba memberanikan diri.Yuda mengalihkan perhatiannya dari tablet.Pria itu langsung mematikan tablet dan menepuk tempat di sampingnya mengisyaratkan Dinar untuk duduk didekat nya.Takut-takut, Dinar mendekati Yuda. Entah kenapa dirinya jadi tiba-tiba takut berdekatan dengan suaminya sendiri."Ibu terlibat apa dalam kasus kematian almarhum mamanya mas Yuda?" tanya Dinar berharap bukan hal yang fatal.Yuda hanya tersenyum singkat membalas pertanyaan Dinar. Ia merangkul Dinar agar merapat pada tubuhnya. Di sandarkannya kepala Dinar di bahunya."Bukan sesuatu yang penting," kata YudaDinar melirik wajah Yuda yang hanya menatap lurus kedepan. Sementara tangannya mengusap bahu Dinar lembut.Ia membenamkan
“Jaga diri kamu,” ujar Daneen. “Jangan sampai kenapa-napa di sana.”Fahrian tersenyum lebar sembari mengangguk. Dirinya mendapat restu setelah bicara baik-baik dengan Yuda. Jika ia akan kembali setelah bertaruh nasib di negri orang. Bahwa dirinya, akan mengusahakan kehidupan yang lebih baik untuk Daneen.“Ini memang tidak berharga. Tapi hanya ini yang aku punya untuk mengikat kamu.”Fahrian memberikan sebuah cincin perak putih. Namun tak berani menyematkannya di jemari Daneen. Takut jika mungkin Daneen tidak suka dengan pemberiannya.Tapi mengerti dengan ketakutan Fahrian, Daneen mengambil cincin itu dan menyematkannya di jemarinya. “Aku janji ini tidak akan hilang sampai kamu pulang.”****Sementara di lantai atas, sepasang suami istri memandangi dua insan yang akan berpisah itu. “Aku sedih, Mas. Kenapa gak di kasih kerjaan di sini aja? Mas punya banyak cabang usaha.”“Itu Namanya perjuangan. Biarkan dia memandang anak kit aitu mahal dan berharga. Agar dia tidak menyia-nyiakannya. B
Yuda sedang kesal dengan Dinar karena perbedaan pendapat mereka. Apalagi Dinar kuekeh dengan keinginannya bertemu dengan pacar Daneen yang pernah bertemu dengannya. Walau Daneen tidak mengaku, tapi ia yakin itu adalah pacar Daneen.Ia tidak suka.Putrinya tidak mungkin bersama laki-laki seperti itu. Culun, lemah, dan cuma tukang ngepel di sekolah. Mau jadi apa anaknya di nikahkan dengan laki-laki tanpa masa depan begitu. Apalagi mengingat laki-laki itulah yang memukul Daneen di malamsepi itu.Meski sih dalam tekanan dan ancaman. Tapi masa di ancam begitu langsung memukuli perempuan. Di lawan dulu atau gimana lah. Masa diam aja. Pengecut.Tapi biarpun sudah 1001 cerita ketidak sukaan dirinya dengan lelaki itu, masih saja Dinar memberikan pembelaan. Dari yang masuk akal, sampai yang penting di bela, masa bodo gak masuk logika.Dinar bilang seorang laki-laki memang mengutamakan ibunya. Dan salah bila menyudutkan pacar Daneen itu hanya karena ia tak berani melawan. Semua orang punya level
Liburan yang di harapkan bisa membuat mereka tenang dan senang justru malah menjadi kejadian paling menyebalkan untuk Satria. Ia juga harus membawa pulang bekas pukulan di sudut bibirnya hasil pukul balas dari Aji. Tapi bisa di bilang juga Satria dan Ana puas dengan bulan madu mereka ini. Setidaknya ada beberapa moment mereka habiskan Bersama. Juga pengutaraan rasa cinta mereka. Sebelum menemui Ana kemarin, setelah masalah di selesaikan secara damai, Satria sempat menasehati Aji untuk berhenti mendekati istrinya, dan jangan membuat konten tidak mutu seperti prank-prank-an lagi. Lebih baik cari kerjaan tetap, sembari mengerjakan hobi membuat konten, tapi konten yang bermanfaat. Ana turun dari mobil mendahului Satria. Pastinya sudah tidak sabar menemui anak mereka yang tercinta. Ini kali pertama Tasya mereka tinggalkan berhari-hari. Ia menyusul Ana yang sudah duduk di samping Syafira. Ibu dari Ana itu tampak sibuk merajut. Entah apa yang mau di buatnya dari hasil rajutan itu. “Mana
Udara segar berembus menerpa kulit Ana. Secara alami ia tersenyum merasakan betapa nyaman lingkungan seperti ini. Bebas dari kebisingan dan polusi.“Ana?”Me timenya serasa terganggu begitu melihat seseorang di sampingnya. Entah kenapa Ana jadi merasa harus menoleh ke kamarnya. Dan ia jadi lega melihat sang suami yang masih tertidur.“Aku mau minta maaf dan berterima kasih sekali lagi sama kamu.”Ana mengangguk kecil. Ia mengerti Aji tak bermaksud jahat. Cuma tetap saja yang kemarin itu sangat tidak sopan dan mengganggu.Untungnya Satria mau menyelesaikannya dengan memaafkan Aji dan teman-temannya.“Aku, gak nyangka,” ujarnya dengan terjeda. Seolah yakin atau tidak untuk bicara.“Nyangka apa?”“Kalau berita kamu udah nikah itu bener.”Setelah lulus, inilah kali pertama mereka bertemu lagi. Banyak kabar yang sempat bersimpang siur tentang pernikahan Ana dari para teman-temannya. Terutama tentang Ana yang menikah dengan laki-laki seumuran dengan orang tuanya.“Iya. Aku udah nikah. Malah
Dinar hendak beranjak dari tempatnya melihat seseorang yang diam-diam di rindukannya selama ini. Namun tangan Yuda menahannya. Dinar mendongak dengan tatapan memohon pada Yuda.“Diam di sini. Di mana-mana yang nengokin orang sakit yang mendekat. Bukannya kamu yang turun dari tempat tidur.”Mendengar perkataan Yuda, Daneen menghela nafas sembari mengarahkan tantenya Sania untuk mendekati bangsal Dinar.Sania memilih ujung bajunya. Tampak sangat ragu dan kikuk berdiri di samping sang kakak. Otaknya bekerja keras menyatukan kata apa untuk menyapa atau sekedar membuka pembicaraan.“Mbak?”Sania tertegun dengan pelukan erat Dinar. Butuh beberapa saat untuk dirinya merespon pelukan itu.“Maafin Mbak, Sania. Maaf,” lirih Dinar.Sania melepaskan pelukan kakaknya. “Jangan meminta maaf, Mbak. Gimanapun Mbak gak salah. Harusnya bahkan aku yang bilang maaf dan terima kasih.”Dinar menggeleng. “Mbak rasanya udah jahat banget sama kamu. Pura-pura gak peduli. Bahkan gak mau tau gimana kehidupan kamu
Yuda memicingkan matanya seolah mencoba mempediksi apa yang sedang di pikirkan putrinya.“Kita balik lagi ke Rumah sakit, Pa?” tanya Daneen tampak mencoba menghindari sesuatu.Seolah dia bisa tau kalau akan di tanyai masalah yang tadi.“Ya,” balas Yuda singkat.“Dia itu, bukan pacarmukan?” tanya Yuda tidak tahan untuk tidak bertanya.“Dia siapa?” tanya Daneen balik tampak tidak paham.Papanya mendecak . “Gak usah pura-pura gak ngerti. Papa tau loh ekspresi kamu kalau lagi suka sesuatu.”“Papa ngomong apa sih?”“Kerja di mana dia? Terus gimana bisa dia mukul kamu?”“Kenapa bahas dia sih, Pa? Kita fokus mikirin mama aja.”****Bagi Yuda, Daneen sedang menghindari pertanyaannya seputar laki-laki yang di lindunginya tadi. Yang pada akhirnya Yuda lepaskan karena permintaan putrinya. Tapi tentu saja Yuda masih merasa ingin tau. Ralat, ia perlu tau dan sungguh harus tau tentang laki-laki itu.Cuma Daneen cukup keras kepala untuk tidak mau membicarakan pria itu. Greget juga waktu Yuda terpaks
Yuda dan Daneen mendatangi kediaman Sania. Sebelum itu ia menelpon Bulan untuk segera menyusul ke sini. Di mobil, Daneen dan Yuda sama-sama hanya diam. Namun, diamnya seorang ayah, tidak bisa melepaskan sepenuhnya tentang kecemasannya saat putri kesayangannya ini rasanya belum makan apa-apaIa memesan makanan drive-thru tanpa banyak bicara lalu memberikannya pada Daneen. Dirinya Kembali fokus melihat jalan dan mengalihkan mobil ke jalur alamat yang mereka tuju.“Makasih, Pa.” Suara Daneen terdengar penuh dengan makanan.“Mmm.”Sebuah rumah yang taka sing bagi Yuda terpampang di hadapan mereka. Butuh beberapa saat untuk Yuda sehingga dirinya bisa melangkahkan kakinya.Rumah ini, jadi lebih mengerikan dari terakhir kali dirinya ke sini dulu. Tampak sangat tidak terawatt dan banyak bagian rumah yang butuh renovasi.Ia mengikuti Daneen yang mengetuk pintu dan memanggil si pemilik rumah. Lalu seseorang dengan wajah lelah dan tampaknya baru habis menangis, membukakan pintu.“Tante, gimana k
Yuda harusnya menyadari ini sejak awal. Bahwa kembali ke kampung halaman istrinya, hanya akan membawa petaka. Tapi di sinilah jawaban atas kebingungan dan keputusasaan dirinya dan istrinya. Tapi bagaikan pertukaran yang tak mungkin bisa di pilih. Karena pada akhirnya Yuda juga harus menerima istrinya terbaring di rumah sakit dengan balutan perban di kepala Dinar. Kecemasan tak kunjung reda, dengan pemandangan wajah istrinya yang tak kunjung membuka mata.“Papa?”Panggilan itu membuat Yuda menoleh singkat. Harusnya saat ini ia memeluk gadis kecilnya yang sudah menjadi dewasa ini. Yang menghilang tanpa kabar bahkan tak memberikan alasan jelas. Mungkin tak berselang puluhan tahun kepergian putrinya. Tapi sudah cukup membuat banyak perubahan.“Mama masih belum sadar?” Suara itu berpindah ke samping istrinya. Jemari Dinar diraih. Kini kedua tangan Dinar di remas hangat. Andaikan tidak dalam kondisi seperti sekarang, mungkin ini adalah moment membahagiakan. Tapi sayangnya yang terasa han
Yuda memasukan koper ke dalam mobil. Dirinya melirik Dinar yang mengipasi wajahnya seperti orang kepanasan. Cuaca memang sedang terik saat mereka tiba mendarat beberapa menit lalu."Loh. Kok mobilnya jalan, Mas?"Yuda tersenyum dengan keterkejutan Dinar, karena mobil jemputan yang berjalan tanpa mereka."Kita naik motor, " ujar Yuda.Dinar membulatkan mata. "Panas, Mas," keluhnya dengan wajah cemberut.Motor yang akan mereka naiki di antarkan seseorang. Untungnya bukan motor lama Yuda yang 20 tahunan lalu. Motor itu pasti sudah tidak bisa di gunakan. Setau Dinar motor itu sudah di museumkan oleh Yuda.Masih dengan wajah cemberutnya, Dinar mengenakan jaket dan helm yang di berikan Yuda."Kita udah gak muda lagi loh, Mas," gumam Dinar.Yuda meraih jemari Dinar agar erat memeluk pinggangnya. "Ini buat mengingatkan kita kalau kita pernah melewati hari-hari dengan cinta kayak gini."Ban motor berjalan seiring dengan tarikan gas. Jemari Yuda terus mengelus jemari yang sejak dulu menemaninya