“Tapi aku takut, Dimas,” tolakku.“Mbak Lita mau tidak mau harus bersedia. Risma ingin menyampaikan sesuatu, tapi aku juga tidak tahu apa, hanya saja dengan begitu kemungkinan nanti arwahnya tidak akan penasaran lagi dan tidak akan mengganggu kalian lagi.” Dimas tetap ‘membuka pintu’ di kedua mataku agar nanti Risma bisa menyampaikan pesannya lewat mimpi. “Gimana kalau Risma berniat jahat dengan masuk ke dalam mimpiku? Dia kan menganggapku saingan karena aku istrinya Mas Burhan.” Aku masih ragu-ragu.“Berdoa dulu sebelum tidur, jadi Mbak Lita tetap minta perlindungan Tuhan. Insyaalloh Risma tidak akan sampai mencelakai Mbak, dia hanya ingin menyampaikan pesan namun entah pesan baik atau sebaliknya,” jawab Dimas meyakinkanku.Kak Titi yang terlihat sudah kecapean, ketakutan, dan ingin cepat masuk rumah mendesakku agar terima saja apa yang dikatakan Dimas. “Siapa tahu Risma mau ngasih tahu Burhan masih hidup atau enggak. Udah, kamu jangan banyak cincong lagi, terima aja!” katanya.“Iy
“Ahkk—" Napasku tersengal karena cekikan Risma begitu kuat. Aku juga tidak bisa melawan karena semua anggota tubuhku tidak bisa leluasa bergerak. Rasanya nyawaku sudah berada di ujung tenggorokan.Saat aku hampir menyerah dan sudah pasrah, Risma melepaskan cekikan tangannya. Saat itu juga aku merasa lega dan dapat bernapas kembali.“Apa maumu?” Akhirnya aku bisa bicara dan bertanya padanya.“Lepaskan Burhan!”“Dia suamiku, tidak akan kulepaskan,” jawabku. Meski sebenarnya aku tidak mengerti ke mana arah pembicaraan Risma namun entah mengapa jawaban itu yang kuberikan padanya. Risma mendekatkan wajahnya, aku sangat ketakutan dengan wajah seramnya yang hanya berjarak satu jengkal denganku. “Mas Burhan hampir saja menjadi suamiku seandainya hari itu kami tidak tenggelam. Gara-gara kamu, perahu yang kami tumpangi jadi terbalik dan akhirnya kami tidak pernah sampai ke pulau seberang—tempat dimana aku akan menikah dengan Mas Burhan dan melanjutkan hidup. Sial, lidahmu begitu pahit hingga s
“Mas, itu sebelah situ mau aku sapu tapi motornya ngehalangin,” kataku mengalihkan pembicaraan, sekaligus memberi kode agar Mas Burhan cepat pergi.“O-oh, ya sudah aku berangkat,” katanya seraya mencium keningku.Begitu Mas Burhan pergi, badanku mendadak pegal-pegal. Perutku panas. Ibu mertua yang menyadari kondisiku langsung memapahku ke kamar. “Ini bener-bener Risma gangguin kamu terus, harus dihentikan ini!” katanya.“Makanya kubilang juga kita harus temui Dimas, dia kan yang udah bukain mata batinnya Lita supaya bisa dimasuki Risma dalam mimpi, kita minta tutup lagi saja. Kasihan Lita,” saran Kak Titi yang mengikuti kami di belakang.Sejak pulang dari pesisir, badanku memang jadi mudah lemas. Apalagi setelah didatangi Risma semalam. Akhirnya aku tertidur nyenyak setelah ibu mertua membaringkanku di kasur.*Sesampai di rumah Dimas, aku menceritakan perubahan daya tahan tubuhku dan juga mimpi semalam. Dimas mendengarkan dengan penuh perhatian, menangkap kata demi kata yang kuucapka
“M—mas …” ucapku terbata karena salah tingkah. Mas Burhan sudah tahu tentang cermin di malam Jumat Kliwon itu, mungkin Dimas yang memberitahunya. “I—itu, aku tidak bermaksud untuk memata-matai kamu—”Mas Burhan hanya mendengarkanku sekilas lalu matanya memperhatikan serpihan kaca di lantai. “Jangan takut, ini bukan perbuatanku,” kata Mas Burhan sambil menyapu sedikit demi sedikit serpihan kaca itu.Aku, ibu mertua, dan Kak Titi mundur selangkah. Wajah Mas Burhan merah padam, tapi dia sama sekali tidak dalam kondisi marah. Dia menjelaskan bahwa yang memcahkan cermin-cermin itu adalah sosok makhluk halus yang mengikutinya sejak pagi. Itulah sebabnya dia pulang ke rumah terburu-buru dan langsung mengambil sapu lidi untuk mengusir sosok makhluk halus tersebut.Ibu mertua yang mulai tak tahan dengan kondisi mistis di rumah, mulai memberanikan diri berkomentar langsung pada Mas Burhan. “Burhan, ada apa dengan semua ini? Ayo, jelaskan pada kami! Setahun lalu kamu menghilang, dikabarkan tengg
“Lanjut saja, Mas!” jawabku seraya menjauhkan diri dari dekapannya. Mendengar ceritanya yang menyakitkan itu jadi membuatku enggan disentuh Mas Burhan. “Berapa kali kamu dan Risma datang ke penginapan itu?” tanyaku, meski terdengar menyakitkan namun aku tetap wajib tahu.“Cuma sekali itu, demi Alloh.”“Bohong!”“Demi Alloh, aku bersumpah demi Alloh, Lita …” jawab Mas Burhan meyakinkan namun aku tak puas dengan jawabannya itu.Aku memalingkan wajah dari Mas Burhan, merasa tidak percaya padanya.“Terus kamu mau aku jawab apa?” lanjut Mas Burhan merayu. “Dijawab jujur gak percaya, nanti aku jawab bohong juga kamu gak akan percaya. Demi Alloh aku bicara yang sejujurnya, hanya sekali aku mengajak Risma ke sana.”“Terus, ngapain aja di sana?” Bodohnya aku malah menanyakan hal yang sudah kuketahui jawabannya, tapi entahlah … rasanya ingin mendengar langsung dari pelakunya!“Kami berzina.”“Astaghfirulloh ….” Air mataku semakin deras dan Mas Burhan semakin panik.“Mending tidak usah kulanjutk
“Jawabannya ada pada detak jantung ini,” jawab Mas Burhan.Detak jantungnya terasa nyata. “Jadi, kamu hantu atau manusia, Mas? Jawablah langsung. Aku tidak tahu hantu punya detak jantung atau tidak.”Baru saja Mas Burhan hendak menjawab, dari luar terdengar suara langkah kaki perlahan-lahan mulai mendekat ke arah kami. “Kalian ngapain?” tanya ibu mertua. Ternyata dia yang datang. Ibu juga tampaknya sudah lupa dengan kejadian cermin pecah, dia bersikap biasa saja ketika melihat Mas Burhan, tidak ketakutan.“Quality time, Bu,” jawab Mas Burhan.Ibu mertua lalu memberitahu bahwa di dapur sudah ada Bi Idah. “Katanya tadi disuruh kamu ke sini, sana samperin,” kata ibu mertua pada Mas Burhan.Percakapan serius kami pun akhirnya buyar karena kedatangan tamu. Mas Burhan lekas memakai kembali kausnya dan menuju dapur menemui Bi Idah.“Itu kenapa pentol-pentol dibungkusin semua bukannya dijual?” tanya ibu mertua padaku. Kami masih berada di dalam kamar kecil ini.“Katanya mau dibagikan, Bu. M
“Mungkin waktunya tidak akan lama,” jawab Mas Burhan datar.Aku menghentikan tangan Mas Burhan yang tengah mengupas bawang putih. Suamiku itu jadi menoleh padaku.“Hah? Tidak akan lama bagaimana maksudnya, Mas?” tanyaku semakin bertambah penasaran.“Aku hanya diberi kesempatan hidup oleh Alloh. Saat tenggelam, setelah mencapai dasar lautan dan melihat Risma serta Mang Dasa sakaratul maut, tiba-tiba ada sebuah cahaya di depan mataku dan cahaya itu sangat menyilaukan hingga aku tak dapat membuka mata. Aku terpejam dan seperti tertidur pada saat itu juga, lalu aku bermimpi. Dalam mimpiku, cahaya itu memutar kembali kehidupanku selama di dunia, dimulai ketika aku mulai bosan dengan pernikahan kita. Aku diperlihatkan banyak kelakuanku yang tidak sepantasnya padamu,” jawab Mas Burhan, lalu dia kembali mengupas bawang sambil bercerita. “Hingga saat aku berselingkuh dengan Risma, semuanya diputar. Aku seperti melihat film dengan diriku sendiri sebagai aktornya.”Bawang putih yang dikupas Mas
“Lepaskan Burhan dan kembalikan kalungku!” kata Risma dengan suara serak dari dalam cermin.Lidahku mendadak kelu, aku sangat ketakutan. Ini bukan yang pertama kali Risma datang menggangguku, harusnya aku sudah terbiasa dan tak perlu terlalu takut. Tapi hantu Risma begitu lain, auranya sangat kuat hingga mampu mengintimidasiku walau hanya dengan kehadirannya. Apalagi saat dia mengancam, meneror dan berbicara padaku ... selalu membuatku tak berkutik. Beberapa saat kemudian, Risma menghilang dan cermin langsung pecah. Aku terperanjat mundur beberapa langkah, kagetnya bukan kepalang. Dan semua rasa gerah juga lengket di badan mendadak hilang, kembali normal. Aku mengurungkan niat untuk membersihkan badan dan kembali ke kamar untuk tidur. Kupandangi suami dan bayiku yang masih pulas, suara teriakanku barusan tidak membangunkan mereka. Syukurlah. Mas Burhan juga tidak menyadari kedatangan Risma kali ini, apakah besok perlu kuceritakan tentang kejadian malam ini atau aku cukup diam saja?
“Apa maksudmu? Jangan bilang kamu suka sama gadis itu. Huh, gak kapok ya lirik-lirik perempuan terus,” kataku panas hati.“Jangan dulu cemburu. Aku biasa aja sama Lastri, tertarik bukan berarti suka.” Mas Burhan membela diri.“Udah lah, Mas. Kupikir setelah kejadian kemarin kamu akan berubah tapi ternyata sama aja. Aku gak nyangka kamu macam-macam selama keliling jualan, aku yakin kamu pasti suka main ke rumah Lastri, kan.”“Astaghfirullah. Dengar dulu—”“Capek ah, Mas!”Langsung kutinggalkan Mas Burhan sendirian, kugendong Syifa dan pindah menidurkannya di kamar. Cerita ibu-ibu pelanggan tadi siang membuatku kepikiran dan mumet, entah mungkin aku yang berlebihan meresponnya tapi perasaan cemburu ini tak dapat kuhindari. Bagaimana pun baiknya seorang suami terhadap istrinya, tidak jadi jaminan dia tidak akan tergoda perempuan lain di luar sana. Apalagi Mas Burhan ganteng, siapapun bisa terpikat meski profesinya hanya penjual pentol.Sengaja tak kututup pintu kamar, agar aku bisa mengi
“Mas Burhaaan!”Dari kejauhan mereka melambaikan tangan seraya memanggil nama suamiku. Tentu saja aku semakin penasaran dengan maksud kedatangan mereka.“Ada apa ya, Mas. Kok mereka ngumpul di depan rumah kita terus manggil-manggil nama kamu dengan antusias seperti itu?” tanyaku pada Mas Burhan.“Hadeuuhh …” gumam Mas Burhan sambil geleng-geleng kepala.“Siapa sih, Mas?”Mas Burhan hanya diam saja ketika kutanya karena fokusnya hanya tertuju pada ibu-ibu di depan sana yang terus-terusan memanggil namanya.Awalnya kupikir sekumpulan ibu-ibu itu adalah para tetanggaku yang menunggu kedatangan kami, mengingat kabar sakit non medis-ku beberapa hari kemarin ternyata sudah menyebar dan menjadi bahan perbincangan warga sekitar, kupikir mereka datang hendak menjenguk atau sekedar kepo dengan apa yang terjadi padaku. Tapi, setelah aku sampai di halaman rumah dan tepat berada di hadapan mereka … ternyata mereka bukan tetanggaku, aku sama sekali tidak mengenali mereka. “Mas, jawab dong, mereka
Akhirnya aku menggelengkan kepala sebagai jawaban.“Karena dunia ini Tuhan-lah yang mengatur, bukan manusia. Kita tidak bisa tahu setiap misteri yang terjadi dalam hidup ini,” jawab Mbah Aki dengan tenang. Rupanya, tadi itu dia hanya menggertak saja. “Singkirkan berbagai macam pertanyaan dalam pikiranmu, itu hanya akan menyulitkanmu saja. Mulailah ber-aksi, ikuti nasihat-nasihat yang tadi kuberikan. Dan kalau kamu merasa tidak adil, hidup ini kadang memang tidak adil. Tapi gak apa-apa, tetap hidup saja hadapi setiap keadaan. Tak perlu banyak bertanya lagi. Paham?”Aku mengangguk. Sampai sini pemahamanku mulai bisa mencerna semuanya. “Di sini masyaraktnya hidup makmur semua,” celetuk Dimas menyela peribncanganku dengan Mbah Aki. Dimas melihat melalui jendela sekelompok orang yang beraktivitas d luar sana. “Pakaian dan kendaraan mereka mahal semua.”“Apa pekerjaan warga sini, Mbah?” Mas Burhan ikut bertanya.Kini topik pembicaraan beralih tentang Desa Kabut dan keseharian warganya.“Pe
“Aku merasa jadi korban, kenapa disalahkan?” tanyaku. “Ingat-ingat lagi apa yang kamu lakukan ketika tahu suamimu selingkuh dan apa yang kamu ucapkan!” perintah Mbah Aki.“Sumpah serapah?”“Itulah kesalahanmu!”“Di mana letak salahnya? Aku hanya merasa perlu mendapat keadilan dari sakit hati yang kuderita. Suamiku selingkuh dengan sahabatku sendiri, apa aku harus bahagia? Tentu saja aku merasa sakit hati, dan karena itu aku spontan mengucapkan sumpah itu.”“Dan sumpahmu itu menjadi kenyataan.”“Pasti lah. Karena doa istri yang terdzalimi kemungkinan besar akan dikabulkan.”“Itu menurutmu.”“Lalu menurut Mbah?”“Tanpa kamu sadari, sebenarnya sumpah yang kamu ucapkan itu juga berbalik pada dirimu sendiri. Lihatlah dirimu, dan ingat-ingat lagi kejadian dari mulai kamu dengar kabar suamimu tenggelam hingga kini kamu berada di sini meminta pertolonganku agar terlepas dari karma. Kamu juga ikut menderita, bukan?”Aku termenung lagi, tertampar lagi dengan pernyataan Mbah Aki. Sejauh ini hid
Mas Burhan dan Kak Rudi sontak menoleh padaku, ada perasaan khawatir yang terpancar dari ekspresi Kak Rudi, sedangkan Mas Burhan menggenggam tanganku lebih erat meski dia terlihat cukup tenang saat mendengar pernyataan Mbah Aki.“Kenapa takut?” Mbah Aki langsung mengarahkan pertanyaan itu padaku. Tentu saja dia dapat membaca pikiran dan isi hatiku yang memang tengah ketakutan. “Aku tidak sedang menakutimu. Yang kukatakan barusan itu memang suatu hal yang mutlak,” lanjutnya dengan warna suara yang khas.. Aku langsung menunduk, menyembunyikan wajahku yang mendadak kaku dan segan jika harus berhadapan langsung dengan Mbah Aki. Tak kurespon sepatah kata pun apa yang dinyatakannya.“Semua yang hidup pasti akan mati. Artinya, kita semua memang diikuti oleh ajal. Itu hal yang mutlak.” Dimas lah yang akhirnya menjawab dengan lantang, membutat Mbah Aki manggut-manggut saat mendengarnya.“Kamu memang bukan orang biasa,” ucap Mbah Aki pada Dimas. Sudah pasti dia mengetahui bahwa Dimas mempunyai
“Tempatnya angker. Maklum, penghuninya rata-rata penganut ilmu hitam yang pasti berkawan dengan setan dan jin,” jelas Kak Rudi.“Apa kalau kita ke sana nanti bakal celaka?” tanya Mas Burhan.“Bisa jadi, mereka jahil.”Terlintas keraguan dalam benakku untuk pergi ke sana. Bagiku, mendatangi tempat itu sangat beresiko. Setelah kejadian kemarin Mas Burhan tenggelam di lautan dan kejadian-kejadian mistis yang kualami setelahnya, aku tidak ingin lagi bergelut dengan hal-hal semacam itu. Sudah terbayang bagaimana jadinya nanti ketika tiba di Desa Kabut yang katanya angker itu, takut terjadi apa-apa. Belum lagi nanti ketika pulang pasti ada satu atau dua makhluk halus yang ikut dengan kami.“Jangan terlalu takut. Kita tidak berniat jahat datang ke sana,” ucap Kak Rudi padaku. Rupanya dia paham tentang apa yang kupikirkan. “Tujuan kita hanya untuk mencari kalung pusaka, untuk dikembalikan pada Risma agar kutukan kalung itu terhenti.”“Tetap saja hasilnya belum pasti. Daripada nanti malah dapa
“Di sini Lita sudah sembuh, baru saja aku merasa bersyukur dan lega … sekarang langsung mendapat kabar duka Kak Titi meninggal dunia,” lanjut Mas Burhan.Aku juga ikut kaget sekaligus sedih mendengarnya.“Ini salah Ibu, Burhan. Harusnya Ibu dari kemarin ke sini untuk mengurus Titi, di sini Titi gak ada yang mengurus jadinya dia tidak tertolong,” isak ibu mertua di telepon.“Sudah takdirnya, Bu. Memang sudah waktunya Kak Titi berpulang. Tidak ada yang perlu disesalkan,” balas Mas Burhan.Tangisan ibu mertua semakin kencang terdengar. Memori di masa lalu kembali terkenang dalam benakku, saat di mana ibu dan Kak Titi selalu berselisih paham hingga berdebat hebat. Hubungan mereka bagai air dan minyak, sulit untuk menyatu meski dalam satu wadah yang sama. Melihat bagaimana sekarang mertuaku itu begitu terpukul kehilangan Kak Titi … membuatku terharu dan tak menyangka reaksi ibu mertua akan sesedih ini.Memang seburuk apapun anggota keluarga kita, mereka tetaplah saudara yang tidak mungkin
“Ibu ke rumah Kak Titi saja, Lita biar aku yang jaga. Jangan khawatir,” jawab Mas Burhan. “Tapi kan kamu besok harus kerja, terus nanti Syifa siapa yang jagain? Kamu gak akan bisa ngurus bayi,” tolak Ibu. Mas Burhan terus meyakinkan ibu mertua hingga akhirnya ibu pun dengan terpaksa berangkat menuju rumah Kak Titi dan Kak Rudi. “Aku bisa mengurus semuanya, Bu,” ucap Mas Burhan saat mengantar ibunya hingga pintu depan rumah. Aku dapat mendengar karena suaranya lumayan nyaring terdengar hingga ke kamar. *Mungkin ada dua jam ini aku mendengar Mas Burhan menelepon orang-orang yang dikenalnya dulu saat masih nongkrong di belakang pasar. Suamiku itu menanyakan alamat rumah orang pintar yang dicurigainya membeli kalung pusaka itu dari Kak Titi. Namun tidak membuahkan hasil. “Gak ada yang tahu,” ucapnya kesal. “Padahal aku yakin sekali Kak Titi jual kalungnya pada orang ini.” Mas Burhan menunjukkan sebuah foto yang tampil di layar ponselnya padaku. Seorang wanita dalam foto itu, dia mo
“Kamu selalu merasa dirimu baik, Lita! Menganggap dirimu adalah orang yang ramah, sopan, dan lembut pada setiap orang. Lama-lama muncul lah kesombongan dalam hati kecilmu,” jawabnya sinis, suaranya seperti suara nenek-nenek.Risma kemudian menghilang namun ular itu masih melilit leherku. Kini tidak terlalu mencekik, hanya saja tenggorokanku masih terasa panas.Aku masih terus terpikir apa dosaku pada Risma di masa lalu. Sejauh yang kuingat, aku tak pernah menyakiti orang lain. Selalu kujaga ucapan dan tingkah laku, bahkan orang-orang mengenalku sebagai anak yang sopan.Ah … selain karena menahan rasa sakit, aku pun jadi tidak bisa tidur karena kepikiran hal itu terus. Aku dan Risma berteman selama masa SMA, tiga tahun kami jadi teman sebangku. Selama itu pula tidak ada permasalahan yang membuat kami ribut, semua teman di sekolah mengenal kami sebagai bestie forever.*Dua hari berlalu namun sakitku tak kunjung sembuh, ular ini terus mencekik leherku. Tak ada yang dapat melihat ular in