"Lo liatkan Zara disitu?" Aku menunjuk Zara yang sudah berada di gerbang sekolah, sementara kami masih dalam mobil. Saat pulang sekolah, kami langsung mengikuti Zara. Namun, sebelumnya aku sengaja terakhiran untuk pulang sambil menunggu Adelio. "Iya, gue yakin pasti ada yang jemput dia," sahut Adelio mengangguk. Tak lama, mobil hitam berhenti tepat di depan Zara. Aku menoleh ke Adelio, kami emang parkir dekat Zara berdiri Hanya apa Zara sadar, jika kami menggunakan mobil Gita? Pasti tidak akan haha. "Nahkan, harus ikuti cuma jaga jarak aja," saranku ke Adelio menoleh sesaat. Adelio mengangguk. "Pasti itu mah, biar rencana kita lancar."Kami mengikutinya, bahkan perjalanan begitu berbelok-belok. Apa ini akan lama? Sehingga Zara sengaja, memiliki tempat favorit sejauh ini. Untungnya Adelio sangat teliti, walau berjarak dua mobil. Setidaknya, Zara tidak sadar keberadaan kami. "Ini masih lama ya?" tanyaku ke Adelio menoleh sesaat. "Entahlah, ini belum ada kepastian dari mobil
Aku melakukan apa yang disuruh Adelio, membawa mobil ke sekolah. Sekarang aku berada didalam kelas. Sempat melirik Zara sering tersenyum sendiri, apa dia gila? Pasti Zara, membayangkan rencana yang dia buat berhasil. "Eh, Ranesya," panggil Zara menghampiriku. Meja kami beda satu barisan saja, aku mendongak menatap wajah Zara sedang berseri. "Ini kue buat lo," kata Zara menyodorkan kue kukus pelangi kepadaku. Kenapa Zara baik hari ini? Niatnya emang baik, tapi itu hanya formalitas. Aku tidak menolak, menerima pemberian Zara. Jangan sia-siakan makanan gratis, Zara pasti mengira hari ini terakhirku. "Makasih ya," balasku tersenyum kecil. "Lo habisin oke, kalo aja di rumah lo nggak bisa ngabisin," ucap Zara mengodeku dengan kata itu. Sebelah alisku naik, mempertanyakan dari ucapan Zara itu. "Bakal gue habisin kok," balasku seadanya. Aku dengan senang hati membagikannya ke Gita, dan Vivian. Namun mereka menolak, sepertinya mereka berdua dendam kepada Zara. Untungnya kemarin
Niatnya aku hanya ingin menunggu Adelio menghampiriku ke kelas, karena bosan. Jadinya sekarang aku berada di parkiran. Namun, tanganku ditarik paksa oleh Elgar. Lebih gilanya, dia menarikku ke mobil yang sudah dirusak oleh Om tua itu. "Gue nggak mau! Lo mau ngapain," teriakku memberontak, aduh di mana Adelio. Aku mencari-cari keberadaannya, namun batang hidungnya saja tidak terlihat. "Diem, lo cuma harus ikuti gue aja," kata Elgar mendorongku ke dalam mobil. Bentar, ini sejak kapan dia mengambil kunci mobilku? Sejak kapan?! Aku ketar-ketir karena Elgar mengunciku. Kini mobil berjalan meninggalkan sekolah, aku meneguk ludah dengan kepala pening. "Akhirnya, lo harus ketemu kedua orang tua gue," ucap Elgar tersenyum lebar. Tidak meresponnya, aku masih memikirkan cara keluar dari sini. Sementara, pasti mobilnya terjadi sesuatu tidak kuinginkan. Pulang sekolah bukannya bareng Ayang, aku terjebak oleh orang gila ini. "Remnya blong pasti," gumamku menyenderkan kepala di kursi. "Ke
Kini kami berada di danau Menawan Hati, aku melirik Adelio tersenyum memandangi danau tersebut. Sebenernya aku sedikit takut karena suasana begitu dingin rada gelap, untungnya aku hiraukan suara-suara aneh. "Ranesya," panggil Adelio begitu lembut. Aduh Adelio ini membuatku takut, please jangan deh lain kali ke sini. Aku ingin berkata tapi malu, pasti dia menertawaiku. "Kenapa Adelio?" balasku memperhatikan Adelio mendekat. Namun, suara hp menganggu kami. Aku melirik Adelio sedikit menjauh menerima panggilan. "Oh, begitu. Jadi aku harus kesana?" jawab Adelio menoleh kebelakang. Aku melipatkan tangan, menatap bulan begitu terang. Adelio selesai menelpon lalu menghampiriku, mengelus puncak kepala. "Ayo, kita harus pergi ke suatu tempat," ajak Adelio menarik tanganku tanpa mendengar balasanku. "Mau kemana?" tanyaku, menatap punggung di depan. Adelio hanya menoleh dan tersenyum, kami langsung meluncur menggunakan motor Adelio. Perjalanan juga, tidak ada obrolan sama sekali. Hin
Aku tersenyum di mana kami berada di meja makan, kenapa aku bahagia? Karena sedang menulis berita tentang Zara. Zara tidak akan lolos kali ini. Dengan akun anonim, aku sengaja menandai sekolahku di Instagram. "Kenapa keliatan bahagia?" Adelio memberikan roti panggang isi cokelat. Aku menerima dengan senyum mengembang. "Makasih, ya karena mau bongkar kebusukan Zara."Pasti Zara akan dikeluarkan dari sekolah, Adelio hanya mengangguk mengusap kepalaku. "Emang gapapa? Pasti Zara kena masalah," balas Adelio dengan raut muka yang tidak bisa aku jelaskan. Jadi Adelio khawatir kepada Zara? Kenapa berkata begitu, aku menyipitkan mata ke Adelio. "Masih sayang sama Zara?" kataku memberhentikan sesi makan. Adelio mendongak seolah tidak paham maksudku. "Hah? Nggaklah, mana ada gue masih sayang sama Zara," sela Adelio menolak perkataanku. "Masa sih, terus kenapa keliatan khawatir tadi?" Aku dengan dada naik turun, meremas roti itu dengan emosi. Menyadari perubahan suasana di meja makan, A
Aku pulang sekolah sendiri, karena masih marah dengan Adelio. Namun, saat aku berada di depan pintu. Dengan wajah sok imut, Adelio menghadangku. Aduh, padahal aku lagi malas bertengkar. "Maafin gue ya? Beneran deh, nggak lagi kayak gitu," kata Adelio menyatukan kedua tangannya. Aku tidak menyahut dengan tatapan datar, walau hati ini masih kesal. Aku tidak mungkin marah terus. Kedua tanganku merentang untuk Adelio. "Sini, nggak mau peluk?" tanyaku tersenyum. "Lo maafin gue?" tanya Adelio penuh kebahagiaan. Aku mengangguk, kami berpelukan di depan pintu. Sungguh romantis, karena hal kecil saja aku emang marah. Mengingat jika terlalu lama, takutnya hubungan kami akan rusak. "Lo tuh paling berharga gue punya," ucap Adelio mengelus kepalaku. Kamipun masuk berdua, Adelio menungguku di depan pintu kamar. Astaga, aku tidak akan hilang kok. Dia begitu khawatir kepadaku, apa takut aku akan marah lagi?"Lah, ngapain di sini?" Aku bertanya, di mana sudah mengganti baju. "Nungguin lo,"
"Kenapa sih? Gue aja yang boncengin lo."Aku memarahi Adelio yang tidak membolehkanku untuk memboncenginya, kenapa emangnya?Kan, diri ini hanya ingin mencoba. Apalagi sekolah juga dekat, tidak akan lecet kok!"Nggak usah ya? Gue aja biar entar lo anteng di belakang," seru Adelio meninggikan kunci motor. Dengan mata menyipit aku menghela napas, membelakangi Adelio. Aku sedang ngambek ceritanya. "Eh, jangan gitu dong. Ya deh, nih kuncinya," kata Adelio langsung menyodorkan di depan mataku. Aku menarik kunci itu, dan memakai helm tanpa memperhatikan Adelio menganga. "Ayok, cepatan naik!" suruhku sudah berada di atas motor. Tidak ada sahutan dari Adelio yang sedang melamun, aku berteriak sehingga Adelio terkejut. "Adelio! Lo mau kita telat?" Aku menatap tajam Adelio menggaruk tengkuknya. Seketika Adelio cepat-cepat memakai helm tersebut, dan naik menjadi penumpang. "Pelan-pelan aja ent— "Sebelum ucapannya dilanjutkan, aku langsung mengenggas, sehingga Adelio memeluk diriku. "Ra
Jam pelajaran terakhir, di mana perutku melilit ingin ke kamar mandi. Aku sudah meminta izin terlebih dahulu dengan Pak Hendra. Hanya saat aku berjalan melalui lorong, aku begitu terkejut berpapasan dengan Zara dan Om tua. "Sejak kapan? Mana gandengan," gumamku berhenti menatap pemandangan tidak enak itu. Aku kepo, bagaimana jika aku mengikutinya? Tapi perutku sangat melilit, duh dahlah ikuti saja. Setiap kali Zara menengok kebelakang, aku akan selalu bersembunyi. Sepertinya Zara sadar, jika diikuti. "Bentar, kok Zara ke ruang kepala sekolah?" Tidak ingin melewatkan kesempatan, aku tetap mengikuti hingga pintu itu tertutup. "Mereka omongin apa di dalam ya?" kataku sambil mondar-mandir. Apa yang akan dibicarakan sehingga Om tua itu datang kesini? Pasti ada hal penting, sehingga Om tua melakukan hal ini. Ohh, mungkin masalah video viral itu. Namun, kenapa juga Om tua datang? Apa tidak malu?!"Eh, gue harus sembunyi!" seruku langsung ngumpet dibalik dinding lorong, terdengar sua
Di pagi hari, berbeda dari biasanya. Saat aku terbangun, Adelio sudah berada di depanku. Siapa sangka, aku melotot tidak percaya. Bahkan, Adelio mengelus puncak kepalaku. "Lo udah bangun?" tanya Adelio mengecup keningku penuh perhatian. Aku yang masih tidak menyangka hanya bisa berkedip-kedip, yaa aku kan masih terkejut. Dengan tubuhku mundur membuat Adelio terlihat bingung. "Kenapa?" Aku menggeleng cepat, berusaha berdiri dan melirik sekitaran. Asli, aku sangat malu. "Nggak kok," jawabku sedikit gugup. "Seriusan? Kenapa wajah lo langsung tegang gitu," sahut Adelio terkekeh pelan. Yah, siapa coba tidak kaget dengan tingkahnya. Kan aku sangat terkejut, dahal dia sangat jarang begini kepadaku. Paling sesuatu hal penting, atau pergi suatu tempat dia akan menghampiriku terlebih dahulu. "Eh, nggak kok cuma tadi," balasku bingung mengigit bibir bawah. Aku mendorong tubuh Adelio. "Sana gih, lo pesen aja makanan gue laper soalnya," kataku mengalihkan pembicaraan. "Lo laper? Bentar
Sore yang cerah, cocok banget jalan-jalan di pantai. Aku dengan tergesa-gesa menarik tangan Adelio untuk cepat. "Ayolah, lo jangan lama sih!" kesalku mendengus. Adelio menggeleng kepala, saat aku menoleh. Apa dia ikutan kesal denganku? Kan aku hanya tidak ingin ketinggalan ke pantai. "Pelan-pelan aja, pantainya gak berjalan itu," peringat Adelio menahan tawa. Idih, dikira lucu gitu? Aku melepaskan tangan Adelio, bersedekap dada di depannya. Bibir yang merucut kedepan seperti bebek. "Lo kok ketawa? Nggak ada yang lucu tau," hardikku menghentakkan kaki. "Dahlah, nggak jadi aja."Aku berusaha memutarkan badan untuk balik ke kamar, namun tanganku ditahan olehnya. "Mau kemana?" tanya Adelio menatapku lekat. "Gue mau ke kamar aja, lo ngeselin soalnya," kataku mengalihkan pandangan ke tempat lain. Terdengar suara kekehannya. "Gue bercanda doang, ayo kita pergi," ajak Adelio menarikku untuk ke pantai. Tidak menolak, aku hanya mengikuti langkah kakinya turun dari lift. Aku tidak ada
Selama 1 bulan, kami dikasih libur sekolah. Adelio berencana mengajak diriku ke Bali. Sungguh aku sangat senang! Siapa sih yang tidak mau kesana? Sekarang kami bersiap-siap untuk ke bandara. "Gimana, semuanya nggak ketinggalankan?" tanya Adelio melirikku memegang koper. Aku mengangguk semangat, menggandeng tangannya. "Ayok, skuy!" seruku membuat Adelio terkekeh. Kali ini kami di antar oleh supir milik keluarga Andres, karena mengetahui tidak mungkin membawanya sendiri. Saat sampai, kedua orang tua kami sudah berada di bandara. Pasti ingin memberikan salam perpisahan untuk sebulan ini. "Kalian hati-hati ya," kata Bunda Delyna memelukku dan Adelio. Sementara Mama Cahaya menangis, aku merasa geli seolah ditinggal selamanya saja. Tapi aku tahan karena menyadari, jika aku tidak menghargai kesedihan Mamaku. "Ihh, kenapa Mama nangis?" Aku memeluk Mama Cahaya, dan mengelus punggungnya. Setelah memeluk Bunda Delyna, aku beralih ke Mama Cahaya yang kini menangkup pipiku. "Jangan band
Waktu cepat berlalu, di mana aku sudah melewati ulangan ganjil. Kali ini aku berada di depan kantor untuk pengumuman raport. Banyak guru maupun orang tua berkumpul, ini saat menegangkan. Sampai pengumuman siapa yang juara di kelasku. "Seperti biasa, juara 1 didapatkan oleh Ranesya Adipurna," ucap wali kelasku. Urutan tiga maupun dua, sudah disebutkan. Aku tersenyum lebar karena mengetahui pasti aku mendapatkan peringkat pertama. "Lo pasti bisa!" kataku tanpa suara ke arah Adelio, memperhatikanku terlihat bangga. Arghh, aku sangat senang sekali. Setiap kelas memang disebut sampailah di kelas Adelio. "Untuk Bapak Ibu-ibu, ini murid yang bandel astaghfirullah. Dia juga sering banget bolos, hanya semester ini lumayan memberikan hasil memuaskan karena jarang bolos!" jelas wali kelas dengan senyum mengembang. "Semoga kalian nggak kaget, juara ke 3 diberikan kepada Adelio Andres," kata wali kelas bertepuk tangan. Adelio menganga lebar, namun didorong teman sekelasnya.
"Nanti lo nangis darah, kalo gue bisa dapatin Ranesya," ledek Rayyen terkekeh kecil. Sebelah alisku terangkat, percaya diri sekali dirinya. Apa orang gila ini, terlalu pede bisa mendapatkan sesuatu yang dia mau?"Maaf Rayyen, gue tetap sayang Adelio," sahutku membuat keduanya menoleh. "Lo hanya orang baru dalam hidup gue, sementara Adelio udah gue kenal sejak kecil cuma waktu itu berpisah aja," jelasku membuat Adelio tersenyum puas. Sebaliknya, Rayyen begitu muram karena mengetahui pernyataan yang aku berikan. Siapa yang senang, penolakan begitu jelas. Bahkan, ini di depan banyak orang. "Gue nggak akan biarin itu terjadi, selama gue masih hidup lo harus jadi milik gue Ranesya!" kata Rayyen berdiri menatapku begitu lekat. Tidak merespon, aku hanya diam karena malas untuk menyahuti perkataan Rayyen itu. "Dan gue yang akan buat lo kehilangan segalanya," timpal Adelio ikut berdiri. Tanpa segan menarik kerah Rayyen, mereka saling bertatapan begitu tajam. "Silakan! Gue akan ambil R
Aku menatap kaget mendengar lontaran Adelio itu, aku menunduk karena kelopak mataku terasa mengeluarkan buliran bening yang jatuh. Tiba-tiba saja seseorang memeluk, aku mendongak menatap tidak percaya. "Bercanda sayang, aku percaya sama kamu," kata Adelio dengan kekehan kecilnya. Aku mengusap hidung yang basah, aku mendorong dada Adelio. "Nggak usah ngeselin deh! Gue nangis ini," omelku dengan tangisan makin keras. Adelio yang ketar-ketir mendekat, mengusap pipiku yang basah. Apa dia merasa bersalah? Sehingga mendekatiku, dih ngeselin banget sumpah. "Eh, jangan nangis dong. Aku cuma bercanda doang," kata Adelio menarikku dalam pelukannya. "Tapi bercanda lo, nggak lucu tau!" kesalku memukul dada Adelio. Lebih mengesalkan di mana Adelio terkekeh pelan, apa lucunya sih? Aku di sini dituduh loh, malah dia ikut-ikutan buat aku nangis begini. "Ngapain juga lo ketawa?" tanyaku melepaskan diri dari pelukannya. "Lo aja kalo nangis makin menggemaskan," balas Adelio mencubit pipiku. A
Saat pertanyaan Vivian terlontar, aku meneguk ludah. Untungnya aku bisa menjawab semua dengan enteng. Setelah menghadapi masalah besar, mereka berdua akhirnya pulang di jam 7 malam."Gue nggak sanggup asli," keluhku ke Adelio yang duduk di ruang santai. Adelio terkekeh mengelus puncak kepalaku. "Lo pasti ketar-ketir ye kan.""Pake nanya lagi, gue beneran takut tadi," kesalku menabok lengan Adelio. Bayangkan pertanyaan Vivian itu sangat mematikan belum lagi waktu di kamar, ada satu foto ketinggalan di meja belajar. Untungnya aku bisa menyembunyikan tepat waktu, aduh ini Tuhan lagi baik sama aku sih. "Asal mereka nggak taukan? Kita bisa berhasil," seru Adelio tersenyum manis. Alah, itu juga karena aku banyak alasan. Coba Adelio ikut kasih alasan? Mungkin sudah ketauan karena jawaban kami pasti berbeda. "Iya serah lo aja deh," balasku malas. "Ehem, lagi ngapain nih peluk-peluk," sindir seseorang dengan suara nge-bas. Aku yang menyadari orang tersebut cepat bertegak, menoleh kebe
Aku tertawa mengingat kejadian pulang sekolah, sekarang aku berada di rumah memainkan ponsel. Cuma sedikit kaget di mana dalam grup, jika Gita dan Vivian ingin berkunjung ke rumah. Asli ya, aku langsung deg-degan karena mereka sudah berada di rumah orang tuaku. "Adelio, cepetan!" teriakku menggedor pintu kamar. Pintu tersebut buka, terlihat Adelio mengusap mata sepertinya baru bangun tidur. Aku tanpa berkata, menarik tangannya. Adelio terkaget-kaget dari rautnya, ingin tertawa tapi situasi sekarang lagi tidak bagus. "Kenapa lo?" tanya Adelio menarik tanganku sesaat. "Jangan banyak tanya deh, gue gini juga mau cepat ke rumah orang tua gue. Ada Gita sama Vivian di sana," ungkapku membuat Adelio sebaliknya menarikku. Eh, kok malah aku yang ditarik-tarik. Sepertinya Adelio menyadari ketar-ketir diriku. "Ayok, cuss kita harus cepat ke rumah Papa Mama," seru Adelio mendorongku ke dalam mobil. Kasar banget sih, dasar emang ya. Apa karena ingin cepat sehingga begini jadinya. Adelio
"Maksudnya apa Om?" tanya Adelio menarikku kebelakang. Senyum miring tertampil di bibirnya. "Kamukan sudah melukai Zara? Sekarang dia berada di rumah sakit," tuduh Om tua sambil mengepalkan tangan. Eh, sejak kapan please. Aku saja selalu bersama Adelio, kapan melukai Zara murahan itu? Sampai orang tua ini menuduh Adelio. "Astaga Om, aku mana pernah melukai dia. Nggak pengen soalnya, kan aku udah ada ini," kata Adelio menoleh ke arahku sebentar. Aku tersenyum kecil, saat Adelio memberitahu kalo aku adalah pacarnya. "Alasan aja kamu! Apa saya laporkan aja kamu ke kepala sekolah," kata Om tua mendekat menarik kerah Adelio. Hal gilanya, Om tua itu mengangkat dengan mudah tubuh Adelio. Aku menganga tidak percaya, setua ini tenaganya masih oke. "Jangan sembarangan ya, aku juga nggak akan ngelakuin itu karena Zara bukan siapa-siapa," papar Adelio masih berusaha sabar. Aku menggeleng, ya untuk apa bertengkar dengan orang tua? Dia tidak akan mendengarkan. Daripada mak