Asisten rumah tangga berlari panik, suaranya bergetar saat menelpon ambulans. Di ruang tamu yang kacau oleh kepanikan, Nafeeza menopang tubuh Yuliana bersama Arfan. Perempuan paruh baya itu terkulai lemas, nafasnya berat dan tersengal, kulitnya dingin seperti es.“Ma, bertahan ya… tolong…” Arfan berbisik dengan nada panik, menggenggam tangan ibunya yang mulai membiru. Jemarinya bergetar hebat, seakan seluruh dunia bergantung pada genggaman itu. Nafeeza, dengan wajah cemas namun penuh kendali, mengambil selimut dari sofa dan menyelimuti tubuh Yuliana perlahan, mencoba menjaga suhu tubuhnya tetap stabil.Sirine ambulans meraung dari kejauhan, memecah malam yang mencekam. Nafeeza segera membuka pintu, menuntun para petugas medis yang bergegas masuk. Mereka bekerja cepat, oksigen dipasang, tekanan darah diperiksa, dan Yuliana segera diangkat ke atas tandu menuju ambulans.****Di ruang tunggu rumah sakit, Arfan terduduk kaku. Kedua tangannya saling mencengkeram erat di antara lutut, wajah
Nafeeza menarik napas panjang, dalam-dalam, seolah ingin mengumpulkan serpihan nyawanya yang nyaris tercerai. Dingin lantai rumah sakit merayap melalui telapak kakinya yang hanya berlapis sandal tipis, namun bukan itu yang membuat tubuhnya menggigil. Yang membuatnya gemetar adalah kenyataan yang menghantamnya lebih dingin dari lantai manapun, kata-kata Aurel yang penuh tuduhan, sikap Arfan yang semakin menjauh, dan bayang-bayang masa lalu yang terus menghantuinya, tak memberi jeda.Ia telah kehilangan terlalu banyak. Rumah, kepercayaan, harga diri… Dan kini, satu-satunya harapan yang masih ia genggam erat, Arfan pun mulai melepas dirinya perlahan, seperti pasir yang lolos dari sela-sela jemari.“Aku tidak akan membela diri lagi,” ujarnya akhirnya, suaranya lirih tapi penuh keteguhan. “Kalau kau ingin percaya kebohongan yang sudah mereka bentuk, silakan.”Matanya bertemu dengan sorot mata Arfan, tajam, jujur, dan penuh luka yang tak lagi bisa ditahan. Tak ada lagi air mata di pelupukny
Nafeeza berdiri membatu di lorong rumah sakit yang lengang. Lampu-lampu putih menyala pucat, membiaskan bayangan tubuhnya yang rapuh ke dinding. Sesekali suara langkah kaki perawat terdengar, tapi bagi Nafeeza, dunia seakan membisu. Di dalam dadanya, genderang luka berdentam, menggema keras seperti perang yang tak kunjung usai. Ia mencoba menahan air mata yang sudah menggenang sejak tadi, namun tak mampu. Satu-satu, butiran itu jatuh, pecah di lantai dingin.Bahunya terguncang pelan. Nafasnya sesak, seperti ditimpa beban yang tak tertampung oleh tubuh sekecil itu. Bukan hanya karena difitnah. Bukan hanya karena luka. Tapi karena orang yang ia cintai, yang ia tunggu dengan sabar, yang ia doakan dalam sunyi, kini menolaknya tanpa memberi ruang untuk menjelaskan."Aku... sudah cukup," bisiknya, suara itu nyaris tak terdengar di tengah keheningan lorong. "Jika mencintaimu adalah sebuah kesalahan, maka biarlah ini menjadi yang terakhir. Aku tidak akan kembali. Tidak akan lagi mengejarmu, A
Dengan langkah lunglai, Nafeeza menyusuri jalan menuju kontrakan kecilnya. Setiap langkah terasa berat, seolah bumi menambah beban di pundaknya. Tapi di balik sorot matanya yang sayu, ada bara yang mulai menyala, tekad yang tak bisa dipadamkan. Ia akan mengambil Danis, apapun yang terjadi.Beberapa jam kemudian, Nafeeza berdiri di depan pintu kontrakan. Pintu itu terbuka perlahan, menampilkan sosok perempuan paruh baya dengan sorot mata yang familiar.“Bibi…” Nafeeza memanggil dengan suara nyaris tak terdengar. Serak. Penuh luka yang belum sembuh. “Kenapa Bibi ada disini? Danis mana?”Bibi Rara menatapnya terkejut. “Bu Nafeeza? Danis… Danis ada di dalam. Baru tidur. Tadi capek sekali, menangis sepanjang jalan.”Tanpa berkata apa-apa lagi, Nafeeza melangkah masuk. Ruangan itu masih seperti dulu, sempit, sederhana, tapi pernah dipenuhi tawa anak kecil yang kini hanya tersisa dalam kenangan. Matanya menyapu ruangan, hingga berhenti pada sosok mungil yang terbaring di atas kasur tipis di
Pagi menyelinap perlahan di sudut sempit kontrakan itu, membawa embusan udara yang dingin namun menyegarkan. Di balik tirai tipis yang menari perlahan, Nafeeza membuka mata. Masih gelap. Tapi ia tahu, inilah waktu yang tepat,waktu saat dunia masih sunyi dan harapan bisa tumbuh diam-diam.Ia bangkit pelan, menjaga agar suara kasur tak membangunkan Danis yang masih terlelap. Wajah anak itu begitu damai, seolah dunia diluar sana tak punya hak untuk menyakitinya. Nafeeza menatapnya sejenak, lalu melangkah ke dapur kecil dan menyeduh kopi sachet terakhir. Aroma kopi hangat memenuhi udara, tapi lebih dari itu, ada aroma tekad yang mulai menguat.Di depan cermin kecil yang tergantung dekat jendela, Nafeeza menatap dirinya sendiri. Wajahnya tampak letih, kulitnya pucat, namun sorot matanya... ada sesuatu yang berbeda. Ada nyala. Ada keberanian. Ada keteguhan yang hanya dimiliki seorang ibu yang memutuskan untuk tidak menyerah.Ia menggenggam ponselnya, menelusuri halaman demi halaman lowongan
Nafeeza terpaku. Nama itu datang seperti angin, tanpa aba-aba, langsung mengguncang ketenangan yang baru saja berhasil ia bangun. Tangannya gemetar saat membuka pesan berikutnya: “Kalian ada di mana? Aku sudah cari-cari kalian di rumah sakit, tapi kata perawat, Danis sudah lama dipindahkan. Apa Arfan melakukan sesuatu pada kalian? Maaf waktu itu… aku ditekan untuk pindah ke rumah sakit lain. Tapi sekarang aku sudah kembali.” Nafeeza menatap layar ponselnya, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Jemarinya nyaris mengetik balasan, namun pikirannya menahan. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba meredam gelombang emosi yang mendadak menyerbu. Pesan dari Rafa membangkitkan kembali kenangan pahit, saat Arfan memaksa rumah sakit menghentikan pengobatan Danis. Nafeeza tahu, kepindahan Rafa ke luar kota bukan pilihan. Semua karena Arfan. “Arfan… aku sangat membencimu.” Tangannya menggenggam erat ponsel. “Ada apa, Bu?” tanya Bibi Rara dengan lembut. Nafeeza menggeleng pelan. “
Keesokan harinya, Nafeeza melangkah masuk ke restoran tempatnya bekerja dengan langkah yang pelan namun teratur. Di balik senyum tipis yang coba ia pasang, hatinya masih diguncang pertemuan mendalam bersama Rafa malam sebelumnya. Ada sesuatu yang menggantung di udara pagi itu, tekanan yang sulit dijelaskan, seolah alam pun tahu akan datangnya badai kecil dalam hidupnya.Ia baru saja mengganti seragamnya ketika suara langkah kaki terdengar mendekat dari arah pintu utama. Refleks, Nafeeza menoleh. Dan di sanalah mereka, Arfan dan Aurel, berdiri di ambang pintu, kontras dengan hiruk-pikuk pelanggan pagi itu. Arfan tampak gagah dalam balutan jas gelap, wajahnya tegang dan dingin. Di sampingnya, Aurel tersenyum anggun, mengenakan gaun kasual yang mahal, namun di balik senyumnya, Nafeeza bisa membaca keraguan samar yang bersembunyi di matanya. Ada sesuatu yang ingin disembunyikan, tapi Nafeeza mengenal bahasa tubuh itu."Apa yang mereka lakukan di sini?" Nafeeza bertanya dalam hati, buru-bu
Beberapa hari setelah pertemuannya dengan Arfan dan Aurel, akhirnya Nafeeza memutuskan menerima tawaran Rafa.Pagi-pagi sekali, Nafeeza berdiri di depan cermin kecil di kontrakannya, merapikan jilbab dan blazer hitam yang telah lama tergantung di lemari. Danis masih tertidur lelap, dan Bibi Rara berjanji akan menjaganya hari ini. Nafeeza menarik napas panjang, lalu meraih map cokelat berisi portofolio lamanya. Ia tahu ini bukan hanya tentang pekerjaan. Ini tentang mengembalikan kendali atas hidupnya.Pagi itu, ia melangkah ke kantor perusahaan desain milik teman Rafa dengan langkah mantap. Suasana kantor modern itu terasa asing tapi menyenangkan. Dindingnya dihiasi hasil karya desain produk yang elegan dan kreatif.Seorang resepsionis menyambutnya ramah. “Selamat pagi, Ibu Nafeeza. Silakan tunggu, HRD kami akan segera menemui Anda.”Tak lama, seorang perempuan muda berdandan rapi datang menghampirinya. “Halo, saya Putri dari tim HR. Mari ikut saya, Bu.”Mereka memasuki ruang kecil den
Setelah Nafeeza keluar dari ruang pertemuan, ketegangan di dalam ruangan terasa semakin mencekam. Arfan berdiri tegak di depan jendela besar, matanya tertuju pada hiruk-pikuk kota Jakarta yang tak pernah berhenti berdenyut. Amarah yang sempat membakar dirinya kini mereda, tetapi ada sesuatu yang lain yang mengusik perasaannya, sesuatu yang membuat dadanya terasa sesak, meski ia berusaha menutupinya dengan kebencian yang masih menggerogoti hati. Melisa, yang sejak awal tampak cemas, akhirnya membuka mulut, mencoba meredakan suasana. “Pak, apakah Anda yakin ini keputusan yang tepat? Mungkin kita harus memberi kesempatan pada presentasi itu, terutama jika perusahaan tersebut memiliki potensi besar…” Arfan menatap sekretarisnya dengan tajam, dan tanpa ragu, memotong perkataannya. “Tidak ada yang perlu didengar. Kalau dia ingin bermain-main dengan pekerjaan ini, biarkan dia lihat sendiri akibatnya. Dan kalau perlu, biarkan dia tahu bagaimana rasanya dipermalukan.” Namun, Melisa tahu bet
Keesokan harinya, langit Jakarta masih diselimuti mendung. Sisa hujan yang mengguyur semalam membasahi jalan-jalan, dan kota kembali bergerak dalam ritme yang tak pernah berhenti, macet, padat, penuh ambisi. Suara klakson dan langkah kaki yang terburu-buru mengisi udara, menggambarkan kegelisahan yang tidak pernah lelah.Di lantai atas gedung pencakar langit milik Veranza Corp, Arfan melangkah masuk ke ruang kerjanya. Jas abu-abu yang membalut tubuh tegapnya tampak rapi, dasi yang terpasang sempurna mengingatkan pada ketegasan yang selalu ia bawa. Di belakangnya, Randy, sang asisten setia, menyusul sambil membawa tablet berisi agenda harian.“Jadwal hari ini padat, Pak,” lapor Randy, suaranya penuh kecepatan. “Pukul sepuluh ada rapat dewan direksi, lalu jam dua siang presentasi dari perusahaan desain yang akan bekerja sama untuk produk baru.”Arfan hanya mengangguk, melepas jasnya dengan gerakan yang terlatih, lalu duduk dibalik meja besar yang menghadap jendela kaca raksasa. Dari san
Mereka kembali ke ruang tamu, membawa sisa percakapan hangat dari kamar Danis. Nafeeza duduk di lantai berkarpet tipis, bersandar pada sofa tua yang empuk di satu sisi, sementara Rafa duduk di sampingnya, jarak mereka cukup dekat untuk berbagi kehangatan, namun masih cukup sopan untuk memberi ruang satu sama lain. Televisi dibiarkan menyala sebagai latar. Volume-nya tak terlalu keras, hanya sebagai pelengkap suasana. Nafeeza meraih bantal kecil, memeluknya sambil menatap layar. Rafa melirik sejenak ke wajahnya, lalu ikut mengarahkan pandangannya ke televisi. Hujan di luar mulai reda, menyisakan embun di jendela yang buram. Mereka tertawa kecil saat iklan lucu muncul, kemudian hening kembali. Tapi hening itu bukan hampa, itu tenang, menenangkan. Namun keheningan itu pecah saat layar televisi berubah menampilkan breaking news: “Inilah momen kemewahan pesta pertunangan konglomerat muda Arfan Rahadian dan putri pengusaha, Aurel Ramadhani.” Nafeeza sontak menegakkan tubuhnya, nafasnya
Sejak sore, langit seperti menyimpan tangis yang enggan pecah. Hujan turun perlahan, tak juga usai, seperti luka lama yang belum sempat sembuh. Rintiknya menari di atas atap kontrakan mungil tempat Nafeeza menetap, irama lembut yang mengisi kesepian malam.Di dalam kamar kerjanya, Nafeeza baru saja menyelesaikan desain terakhir untuk klien. Ia bersandar di kursi, memejamkan mata, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam relaksasi sejenak, dan membiarkan pikirannya melayang bersama suara hujan yang jatuh satu-satu, seperti bisikan alam yang paling jujur.Getar pelan dari ponsel di atas meja memecah keheningan. Layarnya menyala. Satu pesan masuk. Dari Rafa. Lihat hujan begini, aku jadi pengen duduk bareng kamu sambil minum coklat panas. Bisa?Senyum kecil muncul di sudut bibir Nafeeza, begitu halus tapi nyata. Jari-jarinya dengan cekatan mengetik balasan. Kalau kamu bawa cokelat panasnya, aku sediain mie rebus. Deal? Hehe.Belum sempat ia beranjak dari kursinya, pintu kamar berderit perlah
Hari-hari berlalu di Studio Avila, dan Nafeeza mulai menemukan ritme barunya. Awalnya canggung, tetapi perlahan ia merasa diterima oleh rekan-rekannya. Ia mendapat kepercayaan untuk menangani proyek desain produk baru untuk lini perlengkapan rumah yang menyasar pasar urban. Ide-idenya, yang sempat diragukan oleh salah satu senior, justru berhasil memukau saat dipresentasikan langsung kepada klien. Malam itu, setelah presentasi yang sukses, ia pulang dengan hati ringan. Di dapur kontrakannya, ia menyeduh teh sambil memandangi Danis yang tertidur lelap. Ada rasa syukur yang menghangatkan dadanya. Namun di sela kebahagiaan itu, pikirannya sesekali kembali pada Arfan, pada tatapan mata pria itu saat terakhir kali mereka bertemu, dan pada pertanyaan yang belum juga ia temukan jawabannya: apakah luka mereka bisa sembuh, atau memang ditakdirkan tinggal sebagai kenangan? Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Nafeeza membuka dengan sedikit heran. Di hadapannya berdiri Rafa, masih mengenakan
Beberapa hari setelah pertemuannya dengan Arfan dan Aurel, akhirnya Nafeeza memutuskan menerima tawaran Rafa.Pagi-pagi sekali, Nafeeza berdiri di depan cermin kecil di kontrakannya, merapikan jilbab dan blazer hitam yang telah lama tergantung di lemari. Danis masih tertidur lelap, dan Bibi Rara berjanji akan menjaganya hari ini. Nafeeza menarik napas panjang, lalu meraih map cokelat berisi portofolio lamanya. Ia tahu ini bukan hanya tentang pekerjaan. Ini tentang mengembalikan kendali atas hidupnya.Pagi itu, ia melangkah ke kantor perusahaan desain milik teman Rafa dengan langkah mantap. Suasana kantor modern itu terasa asing tapi menyenangkan. Dindingnya dihiasi hasil karya desain produk yang elegan dan kreatif.Seorang resepsionis menyambutnya ramah. “Selamat pagi, Ibu Nafeeza. Silakan tunggu, HRD kami akan segera menemui Anda.”Tak lama, seorang perempuan muda berdandan rapi datang menghampirinya. “Halo, saya Putri dari tim HR. Mari ikut saya, Bu.”Mereka memasuki ruang kecil den
Keesokan harinya, Nafeeza melangkah masuk ke restoran tempatnya bekerja dengan langkah yang pelan namun teratur. Di balik senyum tipis yang coba ia pasang, hatinya masih diguncang pertemuan mendalam bersama Rafa malam sebelumnya. Ada sesuatu yang menggantung di udara pagi itu, tekanan yang sulit dijelaskan, seolah alam pun tahu akan datangnya badai kecil dalam hidupnya.Ia baru saja mengganti seragamnya ketika suara langkah kaki terdengar mendekat dari arah pintu utama. Refleks, Nafeeza menoleh. Dan di sanalah mereka, Arfan dan Aurel, berdiri di ambang pintu, kontras dengan hiruk-pikuk pelanggan pagi itu. Arfan tampak gagah dalam balutan jas gelap, wajahnya tegang dan dingin. Di sampingnya, Aurel tersenyum anggun, mengenakan gaun kasual yang mahal, namun di balik senyumnya, Nafeeza bisa membaca keraguan samar yang bersembunyi di matanya. Ada sesuatu yang ingin disembunyikan, tapi Nafeeza mengenal bahasa tubuh itu."Apa yang mereka lakukan di sini?" Nafeeza bertanya dalam hati, buru-bu
Nafeeza terpaku. Nama itu datang seperti angin, tanpa aba-aba, langsung mengguncang ketenangan yang baru saja berhasil ia bangun. Tangannya gemetar saat membuka pesan berikutnya: “Kalian ada di mana? Aku sudah cari-cari kalian di rumah sakit, tapi kata perawat, Danis sudah lama dipindahkan. Apa Arfan melakukan sesuatu pada kalian? Maaf waktu itu… aku ditekan untuk pindah ke rumah sakit lain. Tapi sekarang aku sudah kembali.” Nafeeza menatap layar ponselnya, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Jemarinya nyaris mengetik balasan, namun pikirannya menahan. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba meredam gelombang emosi yang mendadak menyerbu. Pesan dari Rafa membangkitkan kembali kenangan pahit, saat Arfan memaksa rumah sakit menghentikan pengobatan Danis. Nafeeza tahu, kepindahan Rafa ke luar kota bukan pilihan. Semua karena Arfan. “Arfan… aku sangat membencimu.” Tangannya menggenggam erat ponsel. “Ada apa, Bu?” tanya Bibi Rara dengan lembut. Nafeeza menggeleng pelan. “
Pagi menyelinap perlahan di sudut sempit kontrakan itu, membawa embusan udara yang dingin namun menyegarkan. Di balik tirai tipis yang menari perlahan, Nafeeza membuka mata. Masih gelap. Tapi ia tahu, inilah waktu yang tepat,waktu saat dunia masih sunyi dan harapan bisa tumbuh diam-diam.Ia bangkit pelan, menjaga agar suara kasur tak membangunkan Danis yang masih terlelap. Wajah anak itu begitu damai, seolah dunia diluar sana tak punya hak untuk menyakitinya. Nafeeza menatapnya sejenak, lalu melangkah ke dapur kecil dan menyeduh kopi sachet terakhir. Aroma kopi hangat memenuhi udara, tapi lebih dari itu, ada aroma tekad yang mulai menguat.Di depan cermin kecil yang tergantung dekat jendela, Nafeeza menatap dirinya sendiri. Wajahnya tampak letih, kulitnya pucat, namun sorot matanya... ada sesuatu yang berbeda. Ada nyala. Ada keberanian. Ada keteguhan yang hanya dimiliki seorang ibu yang memutuskan untuk tidak menyerah.Ia menggenggam ponselnya, menelusuri halaman demi halaman lowongan