“Hah! Enin cerita apa?” Bram terus memutar otak agar eninnya tak bercerita banyak pada siapapun tanpa membuat neneknya ini curiga.
“IH! Orang Enin cuma bilang kamu sering kelelahan aja, gak ngomong yang lain.”
“Benar?!”
“Ya, bener, atuh. Masa Enin bohong. Memangnya kenapa? Takut amat?” Enin kembali melihat keanehan di diri cucunya itu.
“Mmm!” Bram memejamkan matanya berusaha terlihat tenang. “Enin jangan bilang siapa-siapa soal Bram. Bram ini kan artis, ya. Jadi harus hati-hati. Cuma takut kalau ada yang kepo terus bikin hoax,”
“Iya, Enin juga paham. Jangan takut kelewatan gitu. Ujang banyak-banyak istigfar. Enin teh sayang ke Ujang. Masa Enin tega nyebar-nyebarin berita yang bikin Ujang kena masalah,”
Bram tersenyum simpul pada Neneknya dan berusaha menganggap semuanya baik adanya.
“Tapi emang Ujang Cuma kelelahan, kan?”
“Kenapa Enin bilang gitu?” Bram yang baru saja merasa tenang kembali merasa insecure.
“Soalnya namanya artis kan banyak godaannya. Enin cuma gak mau, Ujang teh keperosok ke dunia yang aneh-aneh. Kaya narkoba, ih auzubilah hamidalik nya Jang.”
“Enin,” bisik Bram yang seketika jadi takut nenek yang sangat dia sayangi ini tau kondisinya yang sebenarnya.
“Cucu Enin mah gak mungkin kegoda yang gitu-gitu kan, Jang?”
“Iya atuh, Nin. Cucu Enin mah paling godaannya cewek cantik doang,” kekeh Bram mencoba menutupi rasa bersalahnya.
“Ah! Itu mah turunan dari bapak kamu,” kekeh Enin.
“Sudah kalau sudah turunan ya, Nin”
“Kalau bapakmu pernah salah, kamu ya jangan ikutan salah, Jang”
Bram membalas ucapan neneknya dengan senyuman.
“Udah! Sini Enin doain.” Enin meraih pipi Bram kemudian berbisik di ubun-ubun cucunya. “Bismillah Ya Allah, jauhkan Ujang ganteng ini dari yang jelek-jelek. Enin teh cuma punya Bram sekarang, jadi sing jauh dari musibah, Ya Allah!” Enin meniup ubun-ubun Bram tiga kali, hal yang selalu dia lakukan sejak kecil.
“Aamiin,” sahut Bram dengan tatapan nanar ke arah sang nenek yang duduk di depannya.
“Sudah! Sekarang Ujang sholat. Sholat itu cara kita minta ampunan dan perlindungan dari Allah Subhana wata'ala, Jang. Jadi jangan sampai telat sholat, ya.”
Enin berdiri dari samping tempat tidur lalu melangkah keluar untuk memberikan waktu pada Bram yang akan bersiap menjalankan ibadah sholatnya siang ini.
Meski berat, Bram akhirnya bangkit dan berjalan menuju kamar mandi untuk membilas peluh yang belum sempat lepas dari tubuhnya setelah konser semalam yang melelahkan.
Selang sedetik dari doa terdalamnya di kamar mandi tiba-tiba...
Brak!
Brak!Brak!
“Bram!” panggil Enin sambil menggedor pintu kamar mandi. “Keluar, Jang. Enin mau bicara!!”
“Hah! Kenapa dengan Enin?”
“Jang! Keluar, Jang!”
“Ada apa?” tanya Bram lirih sambil menoleh ke arah pintu.
“Buka aja pintunya, Jang!”
Suara panik sang Nenek membuat Bram bergegas. Dia segera membasuh sisa sabun di tubuhnya kemudian mengeringkan tubuhnya.
Tak lama kemudian pria 20 tahun itu sudah keluar dengan wajah bingung sambil berharap tak ada hal buruk yang akan diberitahukan neneknya siang itu.
“Ada apa?” tanya Bram yang rambutnya masih basah.
“Jang, apa benar manager teh namanya Kholil, kan?” tanya Enin dengan wajahnya yang datar.
“Iya, memangnya kenapa?”
Mendengar jawaban cucunya, Enin langsung terduduk lemas di atas lantai rumahnya. “Astagfirullah hal adzim,” bisiknya lalu menatap Bram yang masih berdiri dengan wajahnya yang bingung.
“Enin, ada apa?”
Wanita itu ketika meneteskan air mata dengan tatapan kosong berharap kabar yang baru diterima hanyalah gosip belaka.
“Ada apa?” tanya Bram yang semakin cemas saja lalu meraih bahu sang nenek yang masih belum bisa berkata-kata.
“Enin tadi nonton berita infotainment, katanya yang namanya Kholil ditangkap polisi dengan barang bukti sabu seberat 10 gram yang akan dibagikan,”
Blaz!
Wajah Bram yang pucat semakin pucat saja mendengar apa yang baru saja dikatakan neneknya, “Enin!”
“Dia juga ngaku kalau semua grup band D’Klok pake barang dari dia, berarti kamu juga....”
“Enin!” bisik Bram dengan air mata yang sudah tak bisa lagi dibendung. “Tidak, Nin! Mereka memang pakai, tapi Bram tidak! Percaya sama Bram,”
“Tapi beritanya semua anggota band pake, berarti Ujang juga!”
“Dengar dulu, Nin! Percaya sama Bram!”
“Enin teh nggak punya siapa-siapa lagi sekarang. Cuma kamu, Jang. Kalau seperti ini, terus Enin harus gimana!”
“Nggak, Nin! Enggak! Berapa kali Bram bilang. Bram gak ikutan make!”
“Jang, Bukti sudah jelas. Ada fotonya ujang ada di ruangan itu. Polisi dalam perjalanan kemari. Kamu tau itu artinya apa?”
“Nin!” Bram memeluk neneknya dengan pelukan penuh rasa bersalah, dia terus menangis memohon maaf dari wanita yang sudah membesarkannya itu.
“Kalau polisi sampai datang kemari, jangan sampai Enin lihat kamu naik mobil polisi. Hancur hati Enin, Jang!”
“Tapi mereka belum tentu datang hari ini, Nin. Pasti Bram masih punya waktu untuk kabur,”
Plak!
Tangan Enin yang masih kokoh menampar keras wajah Bram membuat cucunya itu terbelalak karena nya.“Denger, Jang. Enin mengajak kamu untuk apa? Untuk kabur dari tanggung jawab? Nggak, Jang. Enin gak mau kamu kayak bapakmu yang lari dari tanggung jawabnya.”
“Tapi...”
“Kamu harus tanggung jawab. Salah gak salah kamu tetap harus ke kantor polisi untuk bereskan urusanmu disana.”
Bram menghapus air mata yang sudah berlinang di wajahnya. “Bram gak mau, Nin! Bram gak terlibat! Bram memang ada di ruangan itu tapi Bram ngak make”
“Kalau kamu gak make ngapain kamu mau kabur?”
Bram terdiam mendengar perkataan neneknya yang memang benar adanya.
“Kalau kamu berani kabur, Enin yang akan ikat kamu di kamar sampai mereka datang nyusul Ujang. Gak ada, Jang. Enin gak akan biarkan mau kabur kayak bapakmu. Durhaka kamu sampai lari dari tanggung jawab!”
“Nin! Tapi aku gak make. Masa aku harus ikut ke polisi?”
“Kamu bicara apa? Memangnya kenapa kalau kamu ke kantor polisi untuk tanggung jawab? Jelaskan pada mereka kalau kamu gak make. Itu lebih baik daripada kamu kabur!”
“Malu, Nin. Malu. Apa kata dunia kalau sampai mereka lihat Bram di televisi. Hancur karir Bram, Nin!”
“Sudah, Jang!”
“Tapi Nin. Ini memalukan!” Bram mulai merengek seperti anak kecil yang tak dapat bagian permen, dia terus merengek antara malu, menyesal dan kesal.
Enin yang begitu menyayangi Bram kemudian memeluk cucunya kemudian berbisik, “Percaya sama Enin. Di saat seperti ini, hanya Allah yang bisa tolong Ujang. Gak usah berharap sama manusia, Jang.”
“Tapi mereka kemana?”
“Tidak usah kau cari. Kita siapkan saja dirimu, agar saat kau disusul polisi, aku sudah siap secara mental!”
Tak punya pilihan, Bram akhirnya menangguk meyakinkan kalau dia tak akan lari seperti sebersit ide buruk dalam kepalanya saat ini.
Dengan berat hati dia kemudian menunggu hingga akhirnya...
Tok!
Tok! Tok!“Permisi,”
“Astaga itu mereka, Nin,” bisik Bram dengan mata yang terpejam dan sebenarnya tak pernah siap di susul polisi dengan kondisinya saat ini. “Aku kabur aja,” bisik Bram yang kali ini mulai melirik jalan yang sekiranya bisa digunakan untuk kabur.
“Dengar Enin dulu, Bram!”“Tapi, Nin!” Bram kembali terlihat cemas. “Sudah! Tak usah takut. Enin akan ada di sisimu, Jang. Tak apa, ya Enin bukakan pintu untuk mereka?” “Kamu harus tanggung jawab, Jang. Kamu tau kalau kamu salah kan,”Bram memanggil yakin dan Enin kemudian berdiri menuju pintu untuk menyambut tamunya. Dengan berani Enin kemudian membukakan pintu. “Selamat siang, kami dari kepolisian. Benar Bramasta Araya tinggal disini?” sapa seorang polisi berbaju preman yang tersenyum ramah pada nenek tua itu. “Benar, Pak. Cucu saya ada di dalam,” tegas Enin lalu membuka pintu rumahnya lebar untuk tiga orang anggota polisi yang berdiri di depan pintu rumahnya.“Terima kasih kerjasamanya. Kami harus bawa Bram ke kantor polisi sekarang,”“Iya!” Enin meraih tangan polisi yang berjalan paling awal. “Pak, tapi Ujang Bram saya jangan digebugin, ya!”“Digebukin?” Polisi itu menatap Enin dengan wajahnya yang tertunduk.“Iya, Pak. Enin sayang sekali sama ujang sholeh ini, mungkin dia nak
“Kami rasa cukup,” tutur polisi kemudian meminta rekanya membawa masuk kembali Bram dan teman-temannya ke ruang tahanan sementara.Riuh para wartawan yang masih ingin mewawancarai semua anggota band itu terdengar, mereka terus menyalakan lampu blitz kamera untuk mendapatkan gambar yang mereka butuhkan yang harus tayang hari ini juga.Saling dorong terus terjadi hingga akhirnya Bram masuk ke dalam ruangan dimana dia dan keempat temannya yang lain selain Kholil sudah masuk.“Karir kita usai,” bisik Bram dengan mata terpejam sembari membayangkan masa depannya yang kini jadi suram karena pengaruh buruk managernya.“Iya, tapi ya mau gimana lagi, Bro. Kalau gak gini kita tak akan pernah kuat menghadapi konser berjubel yang sudah kita tanda tangani bersama,”“Kau benar,” sahut Bram mengingat kembali jalur karir musiknya yang memang begitu padat sehingga untuk bisa tidur nyenyak saja sangat sulit bagi mereka.“Kalian siap-siap ke RSKO!” seru Swarna memasuki ruangan tempat Bram berada.“Apa se
“Pasti! Ayahmu boleh kabur dari tanggung jawabnya. Ibumu boleh menolakmu, tapi percaya sama Enin, cinta Enin mah tulus untuk Ujang. Enin gak akan ninggalin Ujang asal ujang tetap sayang sama diri ujang,”Bram kembali meneteskan air matanya, ketulusan wanita paruh baya ini sungguh membuatnya semakin merasa jika hidupnya kini hanya pantas dipersembahkan untuk Enin.Dia terus memohon kepada Allah semoga tubuhnya yang begitu rapuh ini bisa kembali mendapatkan kekuatan seperti saat semua kejadian bodoh ini belum berjalan.“Sekarang Ujang sholat. Percaya sama Enin, Cuma Sholat yang bisa membantu Ujang keluar dari semua ujian ini,”Deg! Jantung Bram serasa ditikam belati, dia teringat jika selama ini satu-satunya hal yang dia lupakan adalah menyembah tuhannya.“Kenapa?” tanya Enin melihat perubahan ekspresi wajah cucunya.“Maafkan Bram, Nin. Sepertinya Ujang lupa melakukan ini,” “Jadi Ujang teh ngak pernah sholat di RSK apa itu?”Bram melebarkan senyumnya membuat Enin semakin marah padan
"Jangan banyak menunda! Pergi sekarang!" teriak Enin pada cucunya yang tak juga bergerak dari tempatnya."I--iya. Aku akan pergi!" tegas Bram memberanikan diri.Dengan langkah gontai, Bram bergegas menuju kamarnya dan memesan taksi online yang datang tak lama kemudian. Dengan informasi dari sang nenek dia pun bergegas pergi untuk menemui istrinya yang kabarnya sedang mengalami masalah dengan kandungannya."Ini rumah sakitnya," lirih Bram setelah taksi yang dia kendarai berhenti di halaman Rumah Sakit Advent, Bandung dan dia bergegas turun setelah membayar.Baru saja langkahnya mengayun yakin memasuki rumah sakit tiba-tiba..."Hey, sedang apa kau di sini?!" teriak Dory, sepupu Widi yang melihat sosok Bram datang tanpa diundang."Dory! Hey," Bram mencoba ramah para pria tinggi besar berambut klimis itu."Hey? Hahahaha! Sapaan apa itu?""Kau di sini?" tanya Bram lalu mengulurkan tangannya.Plas!Dory menepis uluran tangan Bram yang ingin bersalaman dengannya."Kenapa denganmu?" "Kau pik
"AAH! Ayah!" teriak Widi berkali-kali dengan wajah yang begitu kesakitan.Bram bersiap untuk melangkah masuk tapi tangan mertuanya segera menariknya. "Jangan! Kau disini saja!""Tapi...""Aku tau kau berniat baik pada putriku tapi percayalah, ini akan jadi urusanku hingga cucuku lahir!""Kenapa aku tak boleh masuk?"Pria tua itu menggelengkan kepalanya cepat lalu mendorong tubuh Bram yang sangat ingin bertemu Widi disaat sakitnya. "Pergilah!"Mendengar kata yang singkat dan begitu jelas itu, Bram menatap nanar wajah Widi yang seakan sulit dia sentuh untuk saat ini, meski permintaan ayah mertuanya begitu sulit, tapi dia mengalah.Pria tampan itu memilih melangkah mundur kemudian membiarkan Hartono masuk ke dalam kamar Widi tanpa dirinya.Kepala Bram tertunduk lalu memutar badan menuju lift untuk meninggalkan Widi yang terlihat sangat kesakitan."Maafkan aku, Widi," bisik Bram menahan sakit di dadanya. Sakit! Ini sangat sakit, tak cuma karena dia tak bisa menemui Widi, tapi juga karen
“Kalau begitu kejadiannya, aku akan membantumu mencari pelakunya!” “Sungguh Ayah akan membantuku?”“Bram, kau ini bagaimana sih? Aku sekarang ini ayahmu. Aku harus mengungkap semua ini agar saat kau menduduki posisi CEO, jalanmu akan lapang!”Bram mengangguk penuh semangat mendengar janji dari ayah mertuanya itu. Diapun segera menjabat tangan Hartono berbesar hati untuk melanjutkan hidupnya yang sempat berantakan karena kasus narkoba yang menimpanya.“Kau harus semangat, Nak! Aku akan mendukungmu apapun yang terjadi demi masa depan kau dan putriku!”“Terima kasih, Ayah! Aku tau ini tak mudah bagimu tapi aku sangat senang dengan dukungan yang kau katakan barusan,”“Iya, sekarang temui Widi. Katakan padanya kau tak akan meninggalkannya lagi. Hanya itu yang aku mau sekarang,”“Baik! Aku akan menemuinya setelah jam istirahatnya selesai,”Hartono menatap menantunya itu dengan lembut berharap banyak pada pria yang kini ada tak jauh dari hadapannya. Dia terus berharap segera menemukan orang
"Nyonya!" teriak seorang perawat yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar Widi yang masih begitu lemas setelah melahirkan."Ada apa?" tanya Widi dengan penuh awas. "Katakan saja,""Tapi, Nyonya!""Apa?" tanya Widi sekali lagi. "Katakan ada apa?" ucapnya penuh penekanan."Pak Hartono, kondisinya dia telah meninggal," ucapnya dengan bibir bergetar."Ayah!" tangis Widi seketika pecah dan tak ada yang bisa menghentikan. Tangisan wanita yang baru melahirkan itu segera bertaut dengan tangisan bayi Widi yang masih berada di kamar perawatannya.Semua orang yang sedang berada di sana tak berani menyentuh Widi karena mereka tau kesedihan ini tak akan bisa tergantikan oleh apapun.Setelah kesedihan di ruang perawatan Widi, beberapa orang anggota keluarga pengusaha dapur rekaman itu satu persatu mulai berdatangan.Tentu Widi butuh penghiburan namun yang ada mereka justru datang untuk menyalahkan Bram yang dianggap keluarga wanita kaya ini sebagai penyebab kematian Hartono yang sebelum kasus gitaris ta
“Aku sangat menyesal, Ayah! Maafkan aku!” ucap Bram berkali-kali sambil terus menangis meski tangisan ini tak sedikitpun ingin dihentikan oleh salah satu anggota keluarga istrinya. Tangisannya baru terhenti saat supir kepercayaan ayah mertuanya mendekatinya."Pak, biar saya antar pulang. Ada pesan dari Pak Hartono sebelum Beliau meninggal dunia,""Ayah bilang apa?" tanya Bram sembari memutar lehernya ke arah pria berbaju supir itu."Mari ikut saya,"Bram tersenyum simpul lalu melangkah bersama supir itu meninggalkan ruang persemayaman terakhir Hartono.Dalam hatinya dia terus bertanya-tanya apa gerangan yang dikatakan pria yang mengorbitkannya di dunia musik sebelum tutup usia."Masuk, Pak!" Supir mempersilahkan."Baik!" Bram segera duduk di kursi penumpang sambil bersandar menunggu pria kepercayaan Hartono itu duduk di kursi kemudi."Saya cerita dulu, ya. Jangan di sela," pintanya sambil memutar kunci mobil."Iya!""Jadi sebelum Bapak meninggal, Bapak mengatakan kecurigaannya pada Pa
"Iya, benar! Aku juga dengar kabar itu!" kesal Widi lalu memejamkan mata. "Aku lelah dengan keadaan ini!""Kalau begitu apa yang akan kau lakukan?" tanya Enin pada istri cucunya itu."Tapi kita tak bisa mengalahkan mereka saat ini. Kita terlalu lemah!" ucap Widi yang sadar jika ini tak bisa dia pecahkan sendiri."Jadi apa yang akan kau lakukan?" tanya Enin sekali lagi."Aku dan suamiku akan pergi untuk sementara dan kembali saat kami sudah cukup kuat melawan mereka.""Jadi kau mau pergi?" Enin tersentak mendengar rencana Widi. Sungguh dia tak menyangka jika dia akan berpisah dengan Bram sekali lagi padahal dia masih sangat ingin bersama sang cucu yang malang."Benar!" Bram membulatkan tekatnya. "Kita tak bisa mengalahkan mereka saat ini. Kita harus menghilang sementara dan kembali saat kita sudah kuat!""Tapi kau akan kemana?" Enin semakin sedih saja mendengar percakapan keduanya. "Nin, pahamilah. Bram tak cukup cerdas untuk membangun bisnis ayahku. Kami harus sekolah lagi dengan tek
Hari yang disiapkan Raka akhirnya tiba. Hari ini dia tiba di rumah Enin untuk menyusul Bram yang sudah begitu tampan dengan jaket kulit hitam dan koper dorongnya.Dengan setia Widi menggendong putrinya mengikuti langkah Bram yang begitu sumringah hari ini."Kalian jadi pergi?" tanya Enin yang sesekali menghapus air matanya. "Aku harap kalian tak lama," tambahnya."Nin, ini tak akan lama. Hanya sekolah singkat dan aku harap belum setahun kami sudah kembali," terang Raka tegas namun cukup menenangkan hati Enin."Baiklah, kami akan segera pergi! Aku rasa semakin cepat kita pergi semakin cepat juga kita kembali," ucap Bram sembari meraih tangan Enin dan menciumnya pelan."Jang, hati-hati di jalan. Enin selalu mendoakanmu semoga apa yang kau usahakan menjadi mudah dan lancar,""Aamiin!" seru semuanya lalu mulai berjalan meninggalkan rumah wanita paruh baya itu.Bram tak menoleh kebelakang, ada hati yang terlalu rapuh untuk kembali berpisah dengan sang nenek yang begitu menyayanginya."Kena
"Kalian yang akan membantuku membalas semua dendamku?" tanya Raka dengan senyumannya yang miring."Iya, kami akan membantumu!" tegas Warsa membuat mata Bram menyipit. "Kami?" tanya suami Widi itu lirih."Siapa anak muda ini? Aku tidak kenal?" tanya Raka dengan raut wajah meledek."Dia ini suaminya Widi," jawab Warsa lalu menepuk bahu Bram yang begitu kaku di depan pria tua yang akan membuatnya jadi orang yang akan ditakuti mertuanya."Kau yakin dia siap menghadapi keluarga Widi?" Raka masih tak percaya."Aku yakin dia bisa. Setelah semua kejahatan Dory dan Dwi tak mungkin dia tak bangkit untuk menunjukkan pada keluarga kaya itu akan keperkasaannya,"Raka tak cepat percaya, dia terus memandangi wajah Bram dengan seksama. Pria paruh baya itu seperti menemukan seberkas cahaya harapan di sana namun masih tertutup banyak keraguan yang diciptakan oleh Bram sendiri."Apa yang kau lihat, Tuan?" tanya Kholil yang ternyata sudah kenal pada sepupu mantan bosnya."Aku rasa dia memang perkasa, ta
"Itu tidak mungkin!" kesal Bram lalu berbalik badan menghindari Dwi yang menatapnya tajam seakan bersiap untuk menyantapnya."Tenang," bisik Kholil yang segera mendekati temannya itu. "Kau jangan terpancing. Kita harus tenang menghadapi,""Oh!" desar Bram memahami maksud perkataan temannya itu. "Kau benar!""Apa yang benar?!" pekik Dwi lalu menarik tangan menantunya itu dengan kasar. "Kau mau laporkan aku ke polisi, kan?""Iya!" jawab Bram lalu tersenyum meledek. "Menantu macam apa kau ini?! Lihat saja kau, kalau sampai aku kena masalah kau yang akan aku hancurkan!"Mendengar ancaman itu Bram tak bergeming. Toh bukan dia yang melaporkan mertuanya itu ke polisi dan bukan dia juga yang memulai perseteruan ini.Lama dia terdiam hingga mertuanya itu pergi meninggalkan ruangan tempat mereka berada. Bram terus memutar otaknya mencari tau siapa gerangan yang melaporkan mertuanya itu ke polisi dan tentunya karena dia juga harus menjaga perasaan istrinya yang kini juga adalah ibu dari anaknya
"Kamu!" teriak Bram sambil melangkah keluar dari bilik toiletnya dengan sangat marah. "Sudah kuduga kau memang orang jahat!""Ka--mu!" tunjuk pria itu lalu melirik ke arah temannya yang juga terkejut saat tau Bram ada di dalam toilet SPBU itu."Mau mengelak kau?!" kesal Bram lalu meraih tangan kurir itu bersiap untuk menghajarnya."Pak, dengar dulu,""Aduh kita ketahuan!" teriak rekan kurir itu bersiap untuk mengambil langkah seribu."Kau mau kemana?!" pekik Bram lalu menarik tangan kurir yang satunya dan...Hab!Sekali gerak saja kedua pria jahat itu berhasil dibekuk."Mau kemana kalian?!" kekeh Bram merasa menang lalu menarik ke duanya menuju mobilnya."Eh! Kita mau dibawa kemana ini?!""Diam! Kalian sudah tertangkap basah. Tak bisa lagi kalian mengelak!" teriak Bram lalu memasukkan keduanya yang tak bisa berkutik lagi ke dalam mobilnya.Brak!Bram membanting pintu dengan marah lalu mulai mengendalikan mobilnya menuju kantor. "Kau tau rasa sekarang. Aku akan laporkan kalian berdua k
"Hey! Kau!" teriak Bram sambil menunjuk ke pria mencurigakan yang wajahnya begitu kaget saat menyadari cucu Enin sudah semakin dekat dengan dirinya. "Jangan lari kau!" teriak Bram semakin lantang membuat beberapa orang yang ada di dekatnya terperanjat."Eh! Kenapa kau?" tanya pria asing itu dengan lantang."Kau kan orang yang mengawasi kami sejak tadi?! Kau pasti mau jahat pada nenekku?" teriak Bram bersiap mengirimkan bogem mentah ke mata kanan pria asing itu."Ih! Kamu salah orang!" teriak pria itu sambil mencoba menangkis tangan Bram yang sudah terlanjur melesat."Bram!" teriak Enin yang kebetulan keluar dari rumahnya. "Ada apa, Jang?""Ini, Nin! Orang ini mencurigakan, sejak tadi dia mengawasi kita dari sini. Aku yakin dia bersekongkol dengan orang-orang jahat itu!""Eh! Jangan asal tuduh, ya. Aku ini kurir, aku sedang berteduh sambil mencari alamat dari barang-barang yang sedang aku kirimkan!" kelipnya sambil menunjuk ke arah motor bebek berwarna hitam yang nampak penuh dengan pa
"Tapi Enin gak apa-apa, kan?" tanya Widi sembari membersihkan baju Enin yang jadi basah karena kejadian mengejutkan itu."Enin baik!" ucap wanita paruh baya itu lalu melangkah masuk ke dalam rumahnya. "Enin rasa Enin harus mulai hati-hati kalau keluar. Jangan sampai kejadian lagi aja,""Astaga!" Bram yang wajahnya masih merah padam lalu duduk di samping Enin yang nafasnya masih terengah. "Kalau sampai aku tau siapa pelakunya, akan kuhabisi dia!" "Jangan, Jang!" tegas Enin dengan wajah tuanya yang begitu bijaksana. "Kita tak boleh melawan keburukan dengan keburukan. Kita harus sadar dan mawas diri saja. Nanti biar Allah yang balas!""Bram!" terdengar seorang pria berteriak dari luar rumah lalu mendorong pintu dengan sekuat tenaga. Kepala Bram segera menoleh ke arah pintu dan mendapati Kholil begitu ketakutan entah karena apa."Kau lihat itu tadi!" ucapnya dengan lembut namun tegas karena tau putri dari temannya sedang tertidur pulas di pangkuan ayahnya."Siapa?" tanya Widi dengan waj
"Kenapa kau mengancamku?" kesal Romi yang sebenarnya enggan berdebat dengan Widi yang berada beberapa langkah dibelakangnya."Aku bisa buktikan kalau kau tidak bersalah?" Widi semakin meninggikan nada bicaranya.Romi mengepalkan tangannya menatap keponakannya itu dengan marah tapi tak berani bergeming karena dia tau kalau sampai dia salah bertindak di depan Warsa maupun Bram, itu akan sangat merugikan dirinya. "Terserah kau mau percaya atau tidak, yang pasti aku tak ikut campur dalam penangkapan ibumu, Widi!" tegas Romi melanjutkan langkahnya.Pria paruh baya itu tak menoleh lagi ke belakang, dia terus berjalan mendekati lift sebelum dadanya terasa sakit hingga dia tak sanggup lagi berdiri. "Ah!" rintihnya dengan mata yang perlahan mulai berkaca-kaca."To--long!" erangnya."Paman!" teriak Widi sembari berlari mendekati pria yang menyebalkan ini. "Bram, panggil ambulance!" "Baik!" tanpa banyak berkata-kata Bram segera mendekati telepon di atas meja dan mulai menghubungi rumah sakit te
"Kita lihat saja apakah dia takut akan ancamanmu atau tidak?" tambah Bram yang dijawab istrinya dengan terkekeh."Sulit sekali kau percaya kalau dia itu takut ancamanku, sih?"Bram tersenyum simpul, dia tahu istrinya ini sangat bisa diandalkan namun egonya yang besar untuk menolak anggapan ini membuatnya terus saja menolaknya.Setelah pertemuan Bram dengan Byan hari ini hati gitaris kenamaan itu mulai tenang. Dia semakin tau jika dia akan bisa seperti yang sudah mereka rencanakan sebelumnya hingga mereka tak mungkin dianggap remeh lagi oleh keluarga Widi yang selama ini begitu sinis padanya.Sore menjelang dan ini saatnya Bram bertemu dengan Warsa untuk menceritakan semua yang terjadi hari ini."Sungguh dia ketakutan karena ancaman Widi?" Warsa melebarkan senyumannya seketika."Hahahaha! Seperti itulah adanya!" ucap Widi penuh rasa bangga."Iya, aku rasa kita memang harus sering mengancam mereka agar tak selalu saja mengganggu,""Warsa!" panggil Romi yang memasuki ruangan pengacara ke