Menatap kesunyian, ternyata Hendra benar-benar pergi, Lilis menunduk ia merasa tidak mau kehilangan sesosok Hendra. Ia pikir laki-laki itu bisa ia peralat apa lagi Hendra sudah terlihat kaya dengan penampilan menggoda. “Steve, tolongin aku...” panggil Lilis, ketika mobil Hendra meninggalkan tempat tersebut. Laki-laki yang mempunyai wajah tampan khas idol itu mencoba membantu Lilis berdiri."Hendra, Steve, dia... aku nggak bisa lepasin dia, apa yang harus aku lakukan, Sayang?" Steve mendecih, dia masih kesal mengingat perkataan Lilis yang tadinya memojokkan Steve. "Bukannya tadi kamu nuduh-nuduh aku? Terus sekarang kamu panggil sayang, biar apa? Kamu pembohong, Lis."Lilis memegang wajah Steve dan menatap lelaki itu serius. "Aku memang bikin kamu marah, tapi itu hanya di depan Hendra, Steve. Aku memang bohong, tapi semua itu karena aku nggak mau kehilangan kamu. Aku udah sayang banget ke kamu, aku nggak mau kamu pergi saat tau aku punya suami," katanya penuh permohonan.Karena Stev
Setelah berpikir keras, akhirnya Hendra memutuskan untuk berbicara terus terang. Ia mengambil napas, membuang dengan perlahan dan berkata, “Juwi, kamu tahu aku punya anak, kan.”Juwita mengangguk. “lalu?” “Dia bersama Lilis.” lanjut Hendra, jujur mungkin dia sangat tidak enak jika harus berkata terus terang sama Juwita. Sedangkan sudah beberapa bulan ini dia menghabiskan harta wanita yang telah ia nikahi demi Lilis, istrinya yang tidak tahu di untung tersebut. Di tambah lagi Juwita pasti tidak terbiasa dengan adanya anak kecil. “Terus? Apa masalahnya jika anakmu bersama Lilis?” tanya Juwi, belum bisa memahami ucapan Hendra.Hendra mulai gusar, dari perkataan Juwita ia ragu mungkin wanita itu tidak menyukai anak kecil. “Aku tidak tega jika dia bersama Lilis. Kamu tahu sendiri Lilis hanya mementingkan diri sendiri." Hendra tidak kuasa menyebutkan perselingkuhan Lilis, itu terlalu memalukan.Hendra mengurunkan niatnya, saat melihat Juwita tak bergeming. “Ya sudah kamu pasti tidak ak
Hendra semakin mengeratkan pelukannya, Juwita merasa nyaman tak berpikir bahwa Hendra hanya sebagai suami yang dia beli. Wajahnya yah sempat murung kini bersemu bahagia. Entah mengapa Juita merasa nyaman bersama laki-laki ini, bau parfum maskulin menyengat di penciuman Juwita, parfume yang Juwi pilihkan untuk Hendra. Detak jantungnya menjadi lebih cepat berada di dalam pelukan Hendra.Sedang Hendra sibuk dengan pikirannya. Pengkhianatan yang Lilis lakukan begitu membuat Hendra merasa tidak berguna menjadi seorang suami. Tapi di balik semua itu, Hendra merasa nyaman berada di dalam pelukan Juwi.Entah apa yang membuat Juwi mau menerima Alan tinggal dengan mereka. Apakah hanya sekedar ingin membuat Hendra kagum padanya, hanya Juwi lah yang tahu. Tapi di dasar hatinya, Hendra tetap senang untuk itu. Secara tidak langsung hatinya justru berterima kasih mengenal Juwi, sebab di sini lah dia dihargai sebagai suami. “Juwita, terima kasih kamu mau mengerti dengan keadaanku yang memprihatink
Juwi menatap wajah Hendra, kepalanya mengangguk dengan bibir menjawa, "Ya, apa pun itu, aku siap."Dengan begitu, Hendra mulai menurunkan wajahnya menuju tempat sensitif Juwita, hangat napasnya terasa mempermainkan bulu-bulu halus Juwi dan membuat seluruh tubuhnya meremang."Hen..." panggil Juwi tak sadar, dia menyentuh rambut lelaki itu dan meremasnya.Hendra tidak bisa hanya diam. Sekarang dia mulai mempermainkan bagian sensitif itu dengan lidah basahnya, sehingga Juwi menggelinjang kenikmatan. Darahnya bagaikan terbang dan berkumpul di kepala oleh sensasi dari permainan Hendra yang memabukkan."Hen... please..." erang Juwi di tengah kenikmatan yang mendera. Permainan yang semakin panas itu membuat Juwi merasakan sesuatu akan keluar dari bagian intinya. Miliknya sudah sangat basah oleh air liur milik lelaki itu, seperti pelumas yang membuatnya menjadi licin. Rasa nikmat pun Juwi rasakan oleh gesekan lidah Hendra yang semakin cepat saja.Tak sabar hanya menerima, Juwi bangkit dari
Di sisi lain, tampak ada anak kecil sedang bermain mobil-mobilan, anak laki-laki tersebut terlihat gembul dengan lesung pipi, bulu mata lentik membuat wajah bocah gembul terlihat sangat tampan. "Blum... Blum...."Ia memaju-mundurkan mobil-mobilan yang ia pegangi, mobil kecil berwarna biru warna favorit bocah kecil itu. Alan, begitu dia biasa dipanggil.Seketika mata Alan teralihkan oleh pintu yang terbuka dari luar sana. Senyumnya mengembang, Alan mencoba bangun dengan dua kakinya yang belum benar-benar kuat.“Ma...” Lilis masuk, melihat putranya bermain sendiri, sedang baby sitter yang biasa menjaganya baru saja kembali dari dapur. Melirik ke sofa di dekat televisi, Lilis bisa melihat ibunya tengah memainkan ponsel di sana. Sejak kapan ibunya datang ke apartemen ini?“Ibu kok di sini? Bukannya seharusnya ibu menenin tukang di rumah?” tanya Lilis penasaran.Ratna menoleh, dia tersenyum melihat kedatangan putrinya. Tapi tunggu, kenapa penampilan Ratna sangat berbeda hari ini? Tidak
Sejak Lilis mengenal Steve, bisa dikatakan dia sangat jarang pulang ke rumah. Segala keperluan Alan dia serahkan pada baby sitter, tidak memikirkan anak itu apakah diurus dengan benar. Mendapat penolakan dari Alan membuat Lilis menjadi teringat betapa dia sudah sangat lalai pada putranya sendiri.Hatinya sedikit pilu, sekali lagi Lilis mencoba meminta Alan datang padanya, tapi masih terus dapat penolakan. Apakah anak kecil bisa merasakan patah hati karena tidak diurus oleh ibunya?Sesaat kemudian, ponsel di dalam tas Lilis berdering. Dia segera melupakan Alan saat melihat nama Steve di layar ponselnya."Halo, Sayang..." jawab Lilis, suaranya dibuat sangat manja."Kamu udah nyampe di rumah, Babe?""Udah, dong. Dari tadi.""Terus, gimana soal Alan? Kamu udah beresin dia?" Seperti tertampar, Lilis melihat lagi putranya yang juga menatap dirinya kini. Mata sendu anak itu terlihat sangat menyedihkan, membuat Lilis semakin merasa bersalah."Lis, jawab dong, Lisa....""Itu... belum.""Ya am
Dua bola mata cantik milik Juwita mengerjap beberapa kali, sebelum akhirnya mata itu terbuka sempurna. Wajah tampan Hendra langsung menyapa pemandangannya, lelaki itu masih tertidur dengan pulasnya. Juwi memperhatikan Hendra, mengamati bentuk wajah lelaki itu.Hendra tidak terlalu putih, malah terkesan hitam jika dibandingkan dengan kulit Juwi yang putih bak porselen. Tapi kulitnya terlihat bersih, apalagi setelah beberapa hari ini Juwita rajin membawanya perawatan. Garis wajah Hendra juga tegas, dengan dagu lancip dan sedikit maju ke depan. Hal itu membuat Hendra terlihat lebih menawan, nyaman untuk dipandang.Jika Hendra terlahir menjadi anak orang kaya seperti Juwi, mungkin laki-laki itu akan lebih tampan lagi. Tangannya tidak akan memiliki urat nadi yang timbul sebab tidak harus bekerja keras di pabrik. Dia akan bisa lebih tampan daripada laki-laki di luar sana yang sering mengejar cinta Juwita."Tapi nggak apa, kok. Justru urat di tangannya kelihatan seksi," bisik Juwi tiba-tiba,
Percikan air yang jatuh dari shower memberi kesan romantis bagi sepasang suami istri yang tengah mandi bersama. Hendra menatap istrinya yang tengah membasahkan diri di bawah shower, pemandangan yang sangat seksi dan menyejukkan. Matanya sulit dialihkan dari sana, ingin berlama-lama menatap tubuh sintal Juwita yang sempurna.Juwi menyadari tatapan suaminya dan langsung menutup bagian dada. Ini kali pertama mereka mandi bersama, sangat berbeda kesannya dengan telanjang saat bercinta di atas ranjang. Dia malu-malu."Kenapa ditutup?" tanya Hendra, tersenyum dia melihat Juwi yang malu-malu."Kamu lihatin.""Loh, dari tadi juga udah aku lihat, kan? Aku juga sentuh dan menikmatinya pake mulut."Mata Juwita membesar, wajahnya semakin merah mendengar perkataan Hendra yang semakin berani."Udah pinter ya sekarang," gerutu Juwi menepis rasa malunya."Pinter, dong. Kan diajarin sama istriku yang cantik ini." Hendra mencolek dagu Juwi untuk menggodanya, seakan menggoda Juwita menjadi candu baru ba
Sejenak Hendra menunduk. Dia menatap lantai di bawah kakinya dan memikirkan pertanyaan itu. Cinta... Hendra tersenyum kecil.Tentu saja dia mencintai Juwita, dan cinta itu pula yang membuatnya selalu sabar dengan semua cobaan pernikahan mereka. Tapi Hendra tidak akan lupa bahwa cinta pula yang membuatnya menjadi suami yang terjual. Karena rasa cintanya pada Lilis dan tidak ingin istrinya bercerai, Hendra yang bodoh pun menerima pernikahan tertulis dengan Juwita.Bukankah cinta itu pula yang membuatnya menjadi menderita? Meski sangat mencintai Juwita, Hendra juga ingin mempertahankan harga dirinya.“Mencintai adalah hal yang sangat mematikan, sampai aku menjadi menantu Anda pun itu karena dulu aku mencintai mantan istriku. Jika sekali lagi aku mengalah demi cinta, bukan tak mungkin akan kehilangan harga diri lagi. Maka kuputuskan, bercerai adalah jalan yang sudah sepatutnya,” ucap Hendra dengan yakin.Juwita tidak kuasa mendengar perkataan Hendra, air matannya mengalir lebih deras oleh
Hendra mengangguk, tidak ingin mengulur waktu sehingga membuat orang-orang berharap banyak padanya. Semuanya harus diakhiri agar Juwita tidak terus merendahkannya.“Nggak mungkin,” bisik Juwita patah hati, kedua tangan memegangi kepalanya yang belum mampu menerima kenyataan. “Kamu nggak mungkin menanda tanganinya, kamu pasti berbohong.” Dia tatap suaminya dengan mata memelas, sungguh tidak Juwita harapkan benar-benar bercerai dari Hendra.“Maaf mengecewakan kamu. Tapi... kedatanganku ke sini untuk mengantarkan surat cerai itu.” Hendra mengeluarkan amplop yang Juwita kirimkan itu, dan membuka bagian yang sudah dia tanda tangani. Dia letakkan berkas itu di atas meja agar semua orang bisa melihatnya. “Aku hanya mengabulkan permintaan kamu. Dan lagi, aku rasa kita tidak mungkin meneruskan pernikahan yang sejak awal tidak sehat. Aku tidak ingin terus dikenal sebagai suami yang dibeli, maka itu memang sebaiknya kita bercerai saja.”Sebagai lelaki, Hendra punya harga diri. Meski di awal sud
Berkali-kali Juwita melirik ke pintu utama rumah orang tuanya. Duduknya tak bisa diam, bergeser setiap menit seakan tidak sabaran. Sofa yang didesain sangat empuk itu seakan tidak nyaman menjadi tempatnya. Dia melirik lagi, dan itu terus saja terulang setiap kali dia mendengar suara pergerakan seseorang di sekitarnya.Maria mengamati putrinya itu dari anak tangga, tampak penyesalan dan ragu-ragu di wajah cantik Juwi yang belakangan ini terlihat semakin kurus. Dia mendatangi putrinya dan duduk di sebelah Juwi.“Wi, tenangkan dirimu,” kata Maria, mungkin dengan ucapan itu putrinya bisa merasa lebih baik. “Pikirkan anak di kandungan kamu. Jika mamanya stres, anak kamu juga akan ikut stres di dalam sana.Mata sayu Juwi menatap mamanya ragu dan dia berkata, “Entah lah, Ma. Aku tidak bisa tenang sebelum melihat Hendra datang. Aku takut jika dia tidak benar-benar menemuiku,” katanya.Hendra memang tidak pernah berkata akan datang menemui Juwita, melainkan Armaja lah yang akan ditemui lelaki
Setelah mendapatkan bukti itu, polisi langsung memeriksanya. Benar saja, video yang Steve berikan sebagai bukti jelas adalah editan. Banyak bukti yang Armaja bawa sehingga Steve tidak bisa berkutik sekarang. Bukan hanya itu, Armaja juga berhasil menangkap pelaku yang selama ini bersembunyi di belakang Steve, sebagai orang yang mengunggah di media sosial.“Bukan saya yang bersalah, Pak! Dia yang lebih dulu memukul saya!” Steve meronta di tangan polisi. Dia terus menuduh Hendra lah yang sudah memukulnya terlebih dahulu, tapi bukti-bukti yang dibawa oleh Armaja tidak bisa dibohongi.Hendra yang masih sangat shock dengan kejadian ini, hanya bisa diam menyaksikan Armaja dan polisi menyelesaikan masalah mereka. Lelaki itu memeluk putranya erat, menenangkan Alan yang masih sesunggukan.“Dia yang memukul saya! Dia yang seharusnya ditangkap!” Steve menunjuk-nunjuk pada Hendra, sangat memuakkan. Bahkan ketika semua bukti sudah terarah padanya, lelaki itu masih saja ingin menyalahkan Hendra.And
Jalan raya itu sangat ramai oleh mobil-mobil yang berlalu lalang. Tak ada cela jika pun Hendra ingin lari dari kejaran polisi yang tengah menunggunya di luar sana. Pasrah. Hanya itu yang bisa Hendra lakukan sekarang. Dia tidak mungkin berlarian di jalanan menggendong Alan, seperti yang tadi dilakukannya. Bisa-bisa membuat Alan menjadi celaka.“Pak, bagaimana selanjutnya? Kita tidak bisa lewat, apakah kita harus menabrak mobil lainnya agar memberikan jalan?” tanya Rahmat dari bangku kemudi, dia tidak rela bosnya tertangkap begitu saja.Akan tetapi, Hendra sudah lelah. Perkataan Rahmat terlalu berisiko dan dia tidak ingin membuat masalah yang lebih besar.Dia melepaskan sebelah tangan dari punggung Alan, kemudian membuka pintu mobil itu sangat pelan.“Pak, jangan keluar. Bagaimana nasib Alan jika bapak sampai ke kantor polisi?” Rahmat masih mengingatkan.“Kita tidak mungkin membuat masalah yang lebih besar lagi, Mat. Aku tidak ingin kamu ikut ke dalam masalah ini.” Dia pun keluar dari
Taksi yang Hendra tumpangi dengan Alan pun meluncur di jalanan. Sopir taksi itu merasa iba melihat Alan yang menangis berkata takut, dia membayangkan andaikan dirinya bersama anaknya yang ada di posisi Hendra sekarang. Meski sebenarnya pak sopir juga terlihat ketakutan, wajahnya berkeringat saat melihat dua petugas polisi dari kaca spion-nya.“Bapak ini mau ke mana, toh? Saya nggak berani kalo Suria Hotel, itu terlalu jauh, takutnya dikejar sama polisi. Saya juga punya anak istri, Pak, tidak berani berurusan dengan mereka,” kata pak sopir, nadanya gemetar saat bertanya.Hendra pun tidak mungkin melibatkan orang lain dalam kasusnya. Suria Hotel terbilang jauh dari posisi mereka sekarang, sangat benar yang dikatakan sang sopir kalau petugas kepolisian itu mungkin tengah mengejarnya. Lagian, Hendra juga tidak mungkin pergi ke sana lagi, akan sangat gampang jika polisi melacaknya.Beruntung saja ponselnya terselip di saku celana Hendra, sehingga dia bisa menghubungi Rahmat untuk meminta
Ketika Hendra masih memaksa Lilis agar keluar dari mobilnya, dua mobil lainnya datang ke tempat itu. Berhenti tepat di sebelah Hendra, membuatnya bertanya-tanya siapa kira-kira orang yang datang di dalam sana. Hendra menghela napas panjang ketika melihat itu adalah Steve dan beberapa orang dengan kamera besar.Reporter lagi?Astaga... entah sampai kapan Hendra harus bertemu dengan orang-orang itu, dia sudah sangat lelah.Tidak cukup hanya Steve dan reporter saja yang datang ke sana. Tidak lebih dari dua menit, ada mobil polisi yang juga ikut parkir di halaman warga yang luas itu. Entah apa yang akan terjadi di ke depan nanti, Hendra sudah sangat lelah berpikir. Menghadapi Lilis saja sudah membuatnya kesulitan, kenapa Steve harus datang ke sini membawa reporter dan polisi?“Itu perempuan yang menghancurkan kaca mobil saya, tolong tangkap dia, Pak. Meski Lisa adalah istri saya, saya tidak terima mobil saya dirusak begitu saja,” kata Steve pada polisi, menunjuk Lilis di dalam mobil Hendr
“Jangan bawa Alan, Hendra! Kamu nggak boleh bawa dia sebelum kasih duit ke aku!”Hendra sudah berhasil merebut paksa Alan dari Lilis dan Ratna, tapi saat akan membawanya masuk ke mobil, Lilis segera menghentikan Hendra. Perempuan itu betul-betul tak merelakan Hendra pergi tanpa memberinya uang. Lilis bahkan bergantung di kaki Hendra, memegangi agar lelaki itu tidak bisa bergerak.“Kasih aku uang dulu! Kamu nggak boleh pergi dari sini sebelum ngasih aku uang!” kata Lilis terus berteriak, memeluk kaki Hendra sangat erat.Setiap kali Hendra akan melangkah, kakinya selalu ditahan oleh Lilis. Bahkan hampir saja Hendra terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangan.“Lepasin, Lilis! Kamu ini jangan bikin malu!” Hendra berkata geram, orang-orang sudah berkerumun menyaksikan mereka di halaman itu. Sudah seperti suami kejam saja Hendra dengan posisi Lilis memeluk kakinya.“Nggak! Aku nggak bakal lepasin kaki kamu, sebelum kasih aku uang!” sahut Lilis semakin mempererat pelukannya di kaki Hend
Dalam kecewanya yang mendalam terhadap Steve, Lilis mencengkeram baju lelaki itu, lalu merosot perlahan-lahan. Saat itu dia mendengar deru mesin mobil di sebelahnya, dalam keputusasaan dia melihat ke kanan, berharap seseorang mungkin mendengar pertengkarannya dengan Steve. Mungkin seseorang itu bisa bersaksi untuk Lilis, bahwa semua ini sudah direncanakan Steve, dan laki-laki itu adalah alasannya bercerai dari Hendra.“He-Hendra. I-itu Hendra!” seru Lilis penuh harap. Dia berpikir Hendra bisa membantunya untuk itu.Namun, benarkah Hendra mau membantunya? Meski laki-laki itu mendengar pertengkarannya dengan Steve, Hendra tidak mungkin mau membantu Lilis. Harapan yang tadi sempat singgah, perlahan menjadi rasa takut.“Tidak! Dia tidak boleh mengambil Alan!” seru Lilis lantas berdiri. “Jangan ambil Alan! Alan milikku!”Tidak Lilis hiraukan lagi Steve yang kebingungan melihatnya, Lilis sudah berlari kembali ke dalam mobil. Dia harus menghentikan Hendra sebelum lebih dulu mengambil Alan.