Sejak Lilis mengenal Steve, bisa dikatakan dia sangat jarang pulang ke rumah. Segala keperluan Alan dia serahkan pada baby sitter, tidak memikirkan anak itu apakah diurus dengan benar. Mendapat penolakan dari Alan membuat Lilis menjadi teringat betapa dia sudah sangat lalai pada putranya sendiri.Hatinya sedikit pilu, sekali lagi Lilis mencoba meminta Alan datang padanya, tapi masih terus dapat penolakan. Apakah anak kecil bisa merasakan patah hati karena tidak diurus oleh ibunya?Sesaat kemudian, ponsel di dalam tas Lilis berdering. Dia segera melupakan Alan saat melihat nama Steve di layar ponselnya."Halo, Sayang..." jawab Lilis, suaranya dibuat sangat manja."Kamu udah nyampe di rumah, Babe?""Udah, dong. Dari tadi.""Terus, gimana soal Alan? Kamu udah beresin dia?" Seperti tertampar, Lilis melihat lagi putranya yang juga menatap dirinya kini. Mata sendu anak itu terlihat sangat menyedihkan, membuat Lilis semakin merasa bersalah."Lis, jawab dong, Lisa....""Itu... belum.""Ya am
Dua bola mata cantik milik Juwita mengerjap beberapa kali, sebelum akhirnya mata itu terbuka sempurna. Wajah tampan Hendra langsung menyapa pemandangannya, lelaki itu masih tertidur dengan pulasnya. Juwi memperhatikan Hendra, mengamati bentuk wajah lelaki itu.Hendra tidak terlalu putih, malah terkesan hitam jika dibandingkan dengan kulit Juwi yang putih bak porselen. Tapi kulitnya terlihat bersih, apalagi setelah beberapa hari ini Juwita rajin membawanya perawatan. Garis wajah Hendra juga tegas, dengan dagu lancip dan sedikit maju ke depan. Hal itu membuat Hendra terlihat lebih menawan, nyaman untuk dipandang.Jika Hendra terlahir menjadi anak orang kaya seperti Juwi, mungkin laki-laki itu akan lebih tampan lagi. Tangannya tidak akan memiliki urat nadi yang timbul sebab tidak harus bekerja keras di pabrik. Dia akan bisa lebih tampan daripada laki-laki di luar sana yang sering mengejar cinta Juwita."Tapi nggak apa, kok. Justru urat di tangannya kelihatan seksi," bisik Juwi tiba-tiba,
Percikan air yang jatuh dari shower memberi kesan romantis bagi sepasang suami istri yang tengah mandi bersama. Hendra menatap istrinya yang tengah membasahkan diri di bawah shower, pemandangan yang sangat seksi dan menyejukkan. Matanya sulit dialihkan dari sana, ingin berlama-lama menatap tubuh sintal Juwita yang sempurna.Juwi menyadari tatapan suaminya dan langsung menutup bagian dada. Ini kali pertama mereka mandi bersama, sangat berbeda kesannya dengan telanjang saat bercinta di atas ranjang. Dia malu-malu."Kenapa ditutup?" tanya Hendra, tersenyum dia melihat Juwi yang malu-malu."Kamu lihatin.""Loh, dari tadi juga udah aku lihat, kan? Aku juga sentuh dan menikmatinya pake mulut."Mata Juwita membesar, wajahnya semakin merah mendengar perkataan Hendra yang semakin berani."Udah pinter ya sekarang," gerutu Juwi menepis rasa malunya."Pinter, dong. Kan diajarin sama istriku yang cantik ini." Hendra mencolek dagu Juwi untuk menggodanya, seakan menggoda Juwita menjadi candu baru ba
Hendra mengusap bibirnya dengan tissue setelah meletakan sendok perlahan di atas piring. Hal itu tidak lepas dari pandangan Juwita yang belum selesai dengan makannya. “Kok nggak dihabiskan? Nggak enak?” tanya Juwi, tak biasanya Hendra menyisakan makanan.“Enak. Masakan kamu mana ada tandingan, sih," sahut Hendra menggoda.Juwi tersipu mendapat pujian dari suaminya tersebut, tapi berikutnya dia mengerutkan kening."Loh, mau ke mana?" tanya Juwi yang melihat Hendra sudah berdiri dari kursinya.Sebenarnya sejak tadi Hendra tidak bisa tenang pikirannya. Lilis memiliki selingkuhan, bahkan tega meninggalkan putra mereka di pagi-pagi sekali. Bukan tidak mungkin Lilis juga melakukan itu kapan pun dia ingin menemui laki-laki itu.Alan pasti sering ditinggal hanya dengan baby sitter. Anak itu tentu akan kekurangan kasih sayang dan perhatian dari kedua orang tuanya, apalagi sejak Hendra tinggal di rumah Juwi. Dia tidak tega membayangkan nasib putranya hanya diurus seorang baby sitter."Wi, aku
"Aku tahu kamu di dalam, Lis. Kalo kamu nggak buka pintnya sekarang, aku bakal panggil petugas keamanan!" Hendra berteriak lagi dari luar. Suara lantang Hendra membuat Lilis tersentak, wanita yang masih berstatus istri orang tersebut merasa frustrasi sekarang. Dia bahkan tidak menemukan ide, bagaimana akan mengatasi Hendra kali ini."Dia nggak boleh tahu ada Steve di sini, nggak boleh!" kata Lilis, kelimpungan dia masuk ke dalam kamar lagi. "Hey, kamu tahan Hendra, jangan sampe masuk ke kamar aku, paham!""Baik, Bu Lisa." Asisten rumah tangga itu patuh."Ada apa sih, Lis? Kayak habis lihat setan aja. Pembantu kamu ngapain ganggu segala?"Steve sedang di puncak berahinya. Dia kesal ditinggalkan begitu saja oleh Lilis. Steve tarik pinggang Lilis kembali dan merebahkan Lilis dengan posisi telungkup di sisi ranjang."Aku belum puas, belum keluar sama sekali. Ayo kita lanjut dong, Babe." Asisten itu masih di ambang pintu melihat mereka, dan Steve tidak merasa sungkan olehnya."Steve, cuk
Hendra tak bisa menahan sabarnya lagi melihat Lilis yang begitu binal dan menjijikkan. Matanya memerah, sakit hatinya mengetahui istri yang selama ini dia percaya, ternyata memiliki fantasi gila tentang seks. Tak tahan dia melihat Lilis terus menjilat dan mengulum jarinya, sehingga Hendra menarik tangannya kasar. "Hentikan!" teriak Hendra keras. "Aku ke sini menjemput putraku, bukan untuk menyaksikan betapa menjijikkan kamu yang sesungguhnya, Lis!" Lilis terkekeh, usahanya sia-sia ternyata. Tapi jangan berharap dia akan melepaskan Alan. "Cari aja sendiri. Kalo ketemu, ya kamu beruntung. Tapi... Alan nggak ada di sini, Suamiku." Sejak masuk tadi memang Hendra tidak melihat Alan di ruang tengah. Hendra berpikir mungkin Lilis sengaja menyembunyikan anak itu, jadi dia berinisiatif mencari sendiri di mana putranya. “Percuma ngomong sama kamu. Lebih baik bicara sama setan saja!” Hendra meninggalkan Lilis di kamar itu, sempat dia melihat ke cela pintu kamar mandi yang sedikit terbuka da
Tapi, Steve masih kesal karena menunggu terlalu lama di kamar mandi. Wajahnya merengut menatap Lilis, tanpa membalas pelukan perempuan itu. "Kenapa sih, Sayang? Muka kamu cemberut mulu." Steve masih diam tidak menjawab. Apa dia marah karena tadi Lilis menggoda Hendra? Steve memang menggemaskan di mata Lilis dan dia memaklumi kecemburuan lelaki itu. “Sayang, maaf.” "Nggak mau. Tadi kamu bikin aku kesal." Steve akhirnya membuka mulut dan itu terasa lucu bagi Lilis. "Ih... jangan marah tau. Kan aku cuma berusaha mengalihkan pikiran dia. Kalo dia sampe tau kamu di kamar mandi, bisa berabe, kan? Lihat aja buktinya, dia langsung pergi, ga kuat dia digoda sama aku." Dengan bangga Lilis berkata seperti tidak ada rasa malu mengingat kejadian itu. Kecupan singkat Lilis berikan di bibir Steve, berusaha keras dia membujuk kekasihnya. Lilis bahkan memutar otak, bagaimana caranya agar Steve segera menyetubuhinya seperti tadi. "Kamu nggak pengen ini, apa?" Lilis gesekkan miliknya yang telanj
Tatapan Hendra kosong, merasa kecewa dengan diri sendiri. Dia sangat menyesal tidak segera menjemput Alan sejak kemarin. Seharusnya Hendra mendahulukan yang terpenting daripada sekedar bercinta dengan Juwi. Tapi semua sudah menjadi bubur, dia tidak mampu menarik lagi waktu yang sudah berlalu. Brugh! Hendra tersentak mendengar suara kencang di depannya. Pikiran tentang Alan pun buyar berganti dengan rasa terkejut setelah melihat sesuatu yang tidak diharapkan di depan sana. Beruntung dia tidak menjadi hilang akal, Hendra segera turun menolong wanita yang terhimpit sepeda motornya. “Maaf, saya tidak sengaja, tolong maafkan saya.” Hendra mengangkat sepeda motor itu dari atas kaki si wanita berperut gendut. Tampaknya wanita itu sedang hamil, terlihat dari perutnya yang membuncit. "Maaf, Bu, maaf." Hanya kalimat maaf yang terus Hendra ucapkan, dia masih terlalu terkejut. Karena memikirkan Alan, Hendra tidak sadar baru saja menabrak seorang pengendara sepeda motor. Beruntung dia tidak me
Sejenak Hendra menunduk. Dia menatap lantai di bawah kakinya dan memikirkan pertanyaan itu. Cinta... Hendra tersenyum kecil.Tentu saja dia mencintai Juwita, dan cinta itu pula yang membuatnya selalu sabar dengan semua cobaan pernikahan mereka. Tapi Hendra tidak akan lupa bahwa cinta pula yang membuatnya menjadi suami yang terjual. Karena rasa cintanya pada Lilis dan tidak ingin istrinya bercerai, Hendra yang bodoh pun menerima pernikahan tertulis dengan Juwita.Bukankah cinta itu pula yang membuatnya menjadi menderita? Meski sangat mencintai Juwita, Hendra juga ingin mempertahankan harga dirinya.“Mencintai adalah hal yang sangat mematikan, sampai aku menjadi menantu Anda pun itu karena dulu aku mencintai mantan istriku. Jika sekali lagi aku mengalah demi cinta, bukan tak mungkin akan kehilangan harga diri lagi. Maka kuputuskan, bercerai adalah jalan yang sudah sepatutnya,” ucap Hendra dengan yakin.Juwita tidak kuasa mendengar perkataan Hendra, air matannya mengalir lebih deras oleh
Hendra mengangguk, tidak ingin mengulur waktu sehingga membuat orang-orang berharap banyak padanya. Semuanya harus diakhiri agar Juwita tidak terus merendahkannya.“Nggak mungkin,” bisik Juwita patah hati, kedua tangan memegangi kepalanya yang belum mampu menerima kenyataan. “Kamu nggak mungkin menanda tanganinya, kamu pasti berbohong.” Dia tatap suaminya dengan mata memelas, sungguh tidak Juwita harapkan benar-benar bercerai dari Hendra.“Maaf mengecewakan kamu. Tapi... kedatanganku ke sini untuk mengantarkan surat cerai itu.” Hendra mengeluarkan amplop yang Juwita kirimkan itu, dan membuka bagian yang sudah dia tanda tangani. Dia letakkan berkas itu di atas meja agar semua orang bisa melihatnya. “Aku hanya mengabulkan permintaan kamu. Dan lagi, aku rasa kita tidak mungkin meneruskan pernikahan yang sejak awal tidak sehat. Aku tidak ingin terus dikenal sebagai suami yang dibeli, maka itu memang sebaiknya kita bercerai saja.”Sebagai lelaki, Hendra punya harga diri. Meski di awal sud
Berkali-kali Juwita melirik ke pintu utama rumah orang tuanya. Duduknya tak bisa diam, bergeser setiap menit seakan tidak sabaran. Sofa yang didesain sangat empuk itu seakan tidak nyaman menjadi tempatnya. Dia melirik lagi, dan itu terus saja terulang setiap kali dia mendengar suara pergerakan seseorang di sekitarnya.Maria mengamati putrinya itu dari anak tangga, tampak penyesalan dan ragu-ragu di wajah cantik Juwi yang belakangan ini terlihat semakin kurus. Dia mendatangi putrinya dan duduk di sebelah Juwi.“Wi, tenangkan dirimu,” kata Maria, mungkin dengan ucapan itu putrinya bisa merasa lebih baik. “Pikirkan anak di kandungan kamu. Jika mamanya stres, anak kamu juga akan ikut stres di dalam sana.Mata sayu Juwi menatap mamanya ragu dan dia berkata, “Entah lah, Ma. Aku tidak bisa tenang sebelum melihat Hendra datang. Aku takut jika dia tidak benar-benar menemuiku,” katanya.Hendra memang tidak pernah berkata akan datang menemui Juwita, melainkan Armaja lah yang akan ditemui lelaki
Setelah mendapatkan bukti itu, polisi langsung memeriksanya. Benar saja, video yang Steve berikan sebagai bukti jelas adalah editan. Banyak bukti yang Armaja bawa sehingga Steve tidak bisa berkutik sekarang. Bukan hanya itu, Armaja juga berhasil menangkap pelaku yang selama ini bersembunyi di belakang Steve, sebagai orang yang mengunggah di media sosial.“Bukan saya yang bersalah, Pak! Dia yang lebih dulu memukul saya!” Steve meronta di tangan polisi. Dia terus menuduh Hendra lah yang sudah memukulnya terlebih dahulu, tapi bukti-bukti yang dibawa oleh Armaja tidak bisa dibohongi.Hendra yang masih sangat shock dengan kejadian ini, hanya bisa diam menyaksikan Armaja dan polisi menyelesaikan masalah mereka. Lelaki itu memeluk putranya erat, menenangkan Alan yang masih sesunggukan.“Dia yang memukul saya! Dia yang seharusnya ditangkap!” Steve menunjuk-nunjuk pada Hendra, sangat memuakkan. Bahkan ketika semua bukti sudah terarah padanya, lelaki itu masih saja ingin menyalahkan Hendra.And
Jalan raya itu sangat ramai oleh mobil-mobil yang berlalu lalang. Tak ada cela jika pun Hendra ingin lari dari kejaran polisi yang tengah menunggunya di luar sana. Pasrah. Hanya itu yang bisa Hendra lakukan sekarang. Dia tidak mungkin berlarian di jalanan menggendong Alan, seperti yang tadi dilakukannya. Bisa-bisa membuat Alan menjadi celaka.“Pak, bagaimana selanjutnya? Kita tidak bisa lewat, apakah kita harus menabrak mobil lainnya agar memberikan jalan?” tanya Rahmat dari bangku kemudi, dia tidak rela bosnya tertangkap begitu saja.Akan tetapi, Hendra sudah lelah. Perkataan Rahmat terlalu berisiko dan dia tidak ingin membuat masalah yang lebih besar.Dia melepaskan sebelah tangan dari punggung Alan, kemudian membuka pintu mobil itu sangat pelan.“Pak, jangan keluar. Bagaimana nasib Alan jika bapak sampai ke kantor polisi?” Rahmat masih mengingatkan.“Kita tidak mungkin membuat masalah yang lebih besar lagi, Mat. Aku tidak ingin kamu ikut ke dalam masalah ini.” Dia pun keluar dari
Taksi yang Hendra tumpangi dengan Alan pun meluncur di jalanan. Sopir taksi itu merasa iba melihat Alan yang menangis berkata takut, dia membayangkan andaikan dirinya bersama anaknya yang ada di posisi Hendra sekarang. Meski sebenarnya pak sopir juga terlihat ketakutan, wajahnya berkeringat saat melihat dua petugas polisi dari kaca spion-nya.“Bapak ini mau ke mana, toh? Saya nggak berani kalo Suria Hotel, itu terlalu jauh, takutnya dikejar sama polisi. Saya juga punya anak istri, Pak, tidak berani berurusan dengan mereka,” kata pak sopir, nadanya gemetar saat bertanya.Hendra pun tidak mungkin melibatkan orang lain dalam kasusnya. Suria Hotel terbilang jauh dari posisi mereka sekarang, sangat benar yang dikatakan sang sopir kalau petugas kepolisian itu mungkin tengah mengejarnya. Lagian, Hendra juga tidak mungkin pergi ke sana lagi, akan sangat gampang jika polisi melacaknya.Beruntung saja ponselnya terselip di saku celana Hendra, sehingga dia bisa menghubungi Rahmat untuk meminta
Ketika Hendra masih memaksa Lilis agar keluar dari mobilnya, dua mobil lainnya datang ke tempat itu. Berhenti tepat di sebelah Hendra, membuatnya bertanya-tanya siapa kira-kira orang yang datang di dalam sana. Hendra menghela napas panjang ketika melihat itu adalah Steve dan beberapa orang dengan kamera besar.Reporter lagi?Astaga... entah sampai kapan Hendra harus bertemu dengan orang-orang itu, dia sudah sangat lelah.Tidak cukup hanya Steve dan reporter saja yang datang ke sana. Tidak lebih dari dua menit, ada mobil polisi yang juga ikut parkir di halaman warga yang luas itu. Entah apa yang akan terjadi di ke depan nanti, Hendra sudah sangat lelah berpikir. Menghadapi Lilis saja sudah membuatnya kesulitan, kenapa Steve harus datang ke sini membawa reporter dan polisi?“Itu perempuan yang menghancurkan kaca mobil saya, tolong tangkap dia, Pak. Meski Lisa adalah istri saya, saya tidak terima mobil saya dirusak begitu saja,” kata Steve pada polisi, menunjuk Lilis di dalam mobil Hendr
“Jangan bawa Alan, Hendra! Kamu nggak boleh bawa dia sebelum kasih duit ke aku!”Hendra sudah berhasil merebut paksa Alan dari Lilis dan Ratna, tapi saat akan membawanya masuk ke mobil, Lilis segera menghentikan Hendra. Perempuan itu betul-betul tak merelakan Hendra pergi tanpa memberinya uang. Lilis bahkan bergantung di kaki Hendra, memegangi agar lelaki itu tidak bisa bergerak.“Kasih aku uang dulu! Kamu nggak boleh pergi dari sini sebelum ngasih aku uang!” kata Lilis terus berteriak, memeluk kaki Hendra sangat erat.Setiap kali Hendra akan melangkah, kakinya selalu ditahan oleh Lilis. Bahkan hampir saja Hendra terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangan.“Lepasin, Lilis! Kamu ini jangan bikin malu!” Hendra berkata geram, orang-orang sudah berkerumun menyaksikan mereka di halaman itu. Sudah seperti suami kejam saja Hendra dengan posisi Lilis memeluk kakinya.“Nggak! Aku nggak bakal lepasin kaki kamu, sebelum kasih aku uang!” sahut Lilis semakin mempererat pelukannya di kaki Hend
Dalam kecewanya yang mendalam terhadap Steve, Lilis mencengkeram baju lelaki itu, lalu merosot perlahan-lahan. Saat itu dia mendengar deru mesin mobil di sebelahnya, dalam keputusasaan dia melihat ke kanan, berharap seseorang mungkin mendengar pertengkarannya dengan Steve. Mungkin seseorang itu bisa bersaksi untuk Lilis, bahwa semua ini sudah direncanakan Steve, dan laki-laki itu adalah alasannya bercerai dari Hendra.“He-Hendra. I-itu Hendra!” seru Lilis penuh harap. Dia berpikir Hendra bisa membantunya untuk itu.Namun, benarkah Hendra mau membantunya? Meski laki-laki itu mendengar pertengkarannya dengan Steve, Hendra tidak mungkin mau membantu Lilis. Harapan yang tadi sempat singgah, perlahan menjadi rasa takut.“Tidak! Dia tidak boleh mengambil Alan!” seru Lilis lantas berdiri. “Jangan ambil Alan! Alan milikku!”Tidak Lilis hiraukan lagi Steve yang kebingungan melihatnya, Lilis sudah berlari kembali ke dalam mobil. Dia harus menghentikan Hendra sebelum lebih dulu mengambil Alan.