Sempat Hendra ragu mendengar permintaan Juwi. Dia terdiam beberapa detik sampai Juwita memiringkan cangkir itu hingga teh di dalamnya menyentuh bibir Hendra. Saat itu lah dia berani mencicipi teh yang seharusnya untuk Juwi.
“Enak?” tanya Juwi, suaranya yang lembut menyejukkan telinga yang mendengarnya, membawa rasa sejuk itu merambat ke hati Hendra.
“Enak, kok. Gulanya pas, nggak terlalu manis dan nggak hambar, seperti kesukaan kamu,” kata Hendra, setelah mencicip dua kali tehnya.
Juwita mengambil cangkir itu kembali. Dia putar dengan tangan kirinya lantas meminum dari bekas bibir Hendra. Juwi merasa tersanjung, belum lama dia menikah dengan Hendra tapi suaminya tahu selera Juwi.
“Gimana, pas nggak?”
“Ini enak, sangat enak.” Juwi tersenyum sangat manis, lebih manis dari rasa teh yang Hendra buatkan.
Selama menjadi suami, Hendra tidak pernah mendapat perhatian seperti ini. Dia adalah suam
Lilis bergerak liar di atas tubuh lelaki yang berbaring di bawahnya. Mulutnya melantunkan desah-desah nikmat dari gesekan persatuan tubuh mereka. Perempuan yang sudah dimabuk kepayang itu bagaikan lupa dengan fakta bawa dirinya masih menjadi istri resmi Hendra.Bagai tidak mengenal waktu dua manusia itu melakukan olah raga ranjang. Kapan saja, di mana pun asal ada kesempatan, Lilis dan Steve akan melakukannya lagi dan lagi.Sampai keduanya mencapai puncak yang sejak tadi didaki bersama, hingga akhirnya terkapar di atas ranjang yang sudah kusut di mana-mana.“Kamu hebat banget, sih. Punya kamu juga legit banget, pengen terus terusan ada di dalam sini,” puji Steve, mencolek nakal milik Lilis yang sensitif.Dipuji seperti itu membuat Lilis besar kepala. Dia menaikkan kepalanya ke dada Steve, dengan tangan liar membelai dada bidang lelaki itu. Lilis sudah sangat menyukai Steve sampai berpikir andaikan Steve yang menjadi suaminya.&ldq
“Bu, kapan ibu balik ke rumah?” tanya Lilis pada Ratna.Wanita yang tengah menemani cucunya menonton televisi, memutar kepala menatap Lilis di sofa.“Pulang ke mana? Ibu kan udah di sini, mau dipulangin ke mana lagi, Lis?”Mendapat desakan dari Steve membuat Lilis tidak punya pilihan. Dia tidak mau Steve berpikir dirinya istri seseorang lantas lelaki itu akan meninggalkannya begitu saja. Lilis tidak rela, dia sudah sangat menyukai Steve sejak pertama kali mendengar lelaki itu seorang aktor terkenal.Tapi tetap saja tidak mungkin dia membawa Steve kalau Ratna dan Alan ada di rumah itu. Lilis berencana menyuruh ibunya kembali ke rumah lamanya bersama Alan.“Ya ke rumah ibu, lah. Kan ibu punya rumah sendiri. Gimana sih?”“Lilis!” Ratna kesal. Baru saja merasakan hidup yang enak tinggal di apartemen mewan, anaknya sudah menyuruhnya kembali ke rumah itu. “Kamu kan tau, Lis. Rumah itu udah bany
‘Apa Hendra dengar aku cium-cium di hp?’ Lilis masih tetap diam. Pikirannya sudah dipenuhi berbagai pertanyaan, apakah benar suaminya mendengar semua yang dia ucapkan di telepon tadi? Lilis khawatir jika Hendra benar mendengarnya, mungkin rumah tangga mereka akan hancur. ‘Mampus deh kalo dia sampe tau, bisa habis kamu, Lis... Lis!’ Tapi kalau pun tahu, memangnya apa yang bisa Hendra lakukan? Semua uang ada di tangan Lilis, atas nama Lilis sendiri. Apartemen dan mobil yang Juwita kasih pun, semua atas nama Lilis. Hendra tidak bisa mengambil semua itu dari dia, tanpa persetujuan Lilis sendiri. Lagian toh mereka sama. Lilis sudah mencarikan wanita lain untuk Hendra, bahkan sah jadi istrinya. Kenapa Lilis tidak boleh memiliki lelaki lain? Jika Hendra ingin bercerai bukannya malah bagus? Dia bisa bebas bersama Steve tanpa perlu bersembunyi-sembunyi lagi. Lilis akan hidup bahagia jika dia menikah dengan aktor terkenal. “Apaan sih, Hen?” Lilis memasang wajah juteknya. “Aku telponan sama
Sejak menikah dengan Juwita ini pertama kali Hendra menginap di rumah istri pertamanya. Hendra begitu senang mendapat perlakuan Lilis yang lebih baik dari padanya. Lilis benar-benar berubah, bahkan sangat jauh dari Lilis yang sebelum, saat mereka hidup di rumah kontrakan lama.Bukan sekedar seperti saat pengantin baru saja. Meski tadi malam Lilis dan Hendra sempat cek cok perkara Juwita, kemudian istrinya itu menjadi sangat baik dan lembut. Hendra dipijiti sampai benar-benar merasa tubuhnya lebih baik.Ketika bangun pagi pun, Lilis sudah menyiapkan sarapan di atas nakas. Dia bangunkan Hendra dengan kecupan-kecupan manja yang membuat Hendra merasa dirinya benar-benar menjadi suami sejati. Lalu sekarang keduanya tengah menikmati sarapan pagi sambil menikmati indahnya pemandangan dari apartemen tempat tinggal mereka.“Hen, maafin aku, ya,” kata Lilis tiba-tiba. Wajahnya sedih, tampak sangat menyesal.“Minta maaf untuk apa sih, Lis? Bukannya masalah tadi malem kita udah lupain?” sahut He
“Hendra, tunggu, Hendra!”Lilis mengejar Hendra yang bergegas keluar dari kamar mereka. Suaranya sangat keras sampai asisten rumah tangga di rumah itu ketakutan semuanya. Lilis jika mengamuk sangat menakutkan, tidak bisa mengontrol omongannya. Para asisten rumah tangga sering mendapat bentakan dari perempuan itu.“Hendra, jangan begini, dong! Bukannya kamu udah setuju mau ubah hidup kita ke depan nanti?”“Nggak, aku nggak setuju kalo begitu caranya!” Hendra menolak permintaan Lilis yang sangat menjengkelkan, dia tidak habis pikir istrinya akan meminta Hendra melakukan hal menjijikkan lagi setelah yang sudah terjadi.“Ini udah terlanjur, kamu nggak boleh mundur!” Lilis memegangi daun pintu sebelum Hendra keluar dari unit apartemen mereka, Matanya menatap Hendra sangat garang. “Aku udah terlanjur ngomong sama orangnya, kamu nggak boleh nolak!”Alan menangis di kamarnya. Baby sitter yang menjaga anak itu tidak mampu mendiamkan Alan yang terkejut mendengar keributan kedua orang tuanya. He
"Loh, Hendra? Bukannya kamu seharusnya di rumah Lilis? Atau... mungkin ada sesuatu yang ketinggalan?" Juwita sedikit terkejut melihat suaminya duduk di kursi teras. Kemarin malam Hendra sudah berpamitan akan ke rumah istri pertamanya, sebab memang sudah jadwalnya dia ke sana. Ini masih terlalu pagi jika pun Hendra datang sekedar ingin mengambil sesuatu ke rumah Juwi.Tanpa berkata-kata, Hendra langsung memeluk Juwita. "Juwi, maafin aku," katanya lemah. Dia peluk perempuan itu seperti tidak rela melepaskannya.Juwita tertegun. Ada apa dengan Hendra? Dia tidak merasa Hendra membuat kesalahan, lantas kenapa meminta maaf? Tapi merasakan tangan Hendra yang begitu erat di tubuhnya, Juwita menjadi diam. Tak ingin dia tanyakaln apa yang membuat lelaki itu meminta maaf. Juwi berpikir pasti ada sebuah masalah di rumah Lilis.Untuk beberapa saat Hendra memeluk tubuh Juwita, sampai akirnya dia lepaskan perempuan itu. Wajah sendunya menatap Juwi sejenak."Kamu akan ke kantor?"Juwita mengangguk s
Kepala Juwita seperti ditimpah beban puluhan ton, dadanya sesak, sangat sulit dirasa untuk bernapas. Bagaimana seorang istri tega ingin menjual suaminya untuk yang kedua kali? Yakin lah Lilis pasti tidak punya hati! "Aku udah bilang ke Hendra, tapi dia bilang nggak bisa ambil keputusan. Karena sekarang kamu juga jadi istri kedua suami aku, kamu harus ikut kasih dia ijin."Belum lagi Juwi bisa mencerna kalimat pertama Lilis, perempuan itu sudah kembali berbicara di depannya. Hati yang tadi sesak penuh amarah pada Lilis, kini juga kecewa. Juwita sangat kecewa mendengar penjelasan dari perempuan di depannya itu."Hendra bilang begitu?" tanya Juwita, dia harus meyakinkan apa yang baru saja didengarnya."Iya. Hendra nggak mau ambil keputusan sendiri karena nggak mau kamu marah. Tapi gimana pun, kamu nggak bisa marah, Juwita. Hendra punya keluarga yang sebenarnya dan dia harus membiayai kami."Dadanya semakin sesak, sakitnya semakin terasa. Juwita sampai kehabisan kata-kata untuk kalimat
Mimpi apa Lilis tadi malam? Tampaknya Dewi Fortuna selalu berpihak padanya belakangan ini. Semua yang Lilis inginkan selalu terpenuhi tanpa capek bekerja seperti orang lain. Hanya dengan meminta pada Hendra, lalu datang pada Juwita untuk memastikan, dan semua pun terwujud begitu saja."Padahal aku cuma nge-test Hendra doang, nggak nyangka jadi beneran gini. Heran... heran, mana ada perempuan yang mau beli Hendra sampe dua ratus juta? Itu cuma akal-akalan aku doang, loh!" Sejak pulang menemui Juwita, Lilis terus berbicara sendiri. Awalnya dia hanya ingin mendengar jawaban dari Hendra, tapi suaminya itu justru menyuruh Lilis meminta ijin pada Juwita. Penolakan secara tidak langsung itu membuat Lilis nekad datang pada Juwita berniat untuk membuat Juwi kesal, tapi nyatanya Juwi malah mengabulkan permintaannya.Lilis heran apa yang membuat Juwi begitu sangat berminat pada Hendra, padahal di luar sana masih banyak laki-laki yang lebih baik dari lelaki itu."Kayaknya mata Juwita picek deh,
Sejenak Hendra menunduk. Dia menatap lantai di bawah kakinya dan memikirkan pertanyaan itu. Cinta... Hendra tersenyum kecil.Tentu saja dia mencintai Juwita, dan cinta itu pula yang membuatnya selalu sabar dengan semua cobaan pernikahan mereka. Tapi Hendra tidak akan lupa bahwa cinta pula yang membuatnya menjadi suami yang terjual. Karena rasa cintanya pada Lilis dan tidak ingin istrinya bercerai, Hendra yang bodoh pun menerima pernikahan tertulis dengan Juwita.Bukankah cinta itu pula yang membuatnya menjadi menderita? Meski sangat mencintai Juwita, Hendra juga ingin mempertahankan harga dirinya.“Mencintai adalah hal yang sangat mematikan, sampai aku menjadi menantu Anda pun itu karena dulu aku mencintai mantan istriku. Jika sekali lagi aku mengalah demi cinta, bukan tak mungkin akan kehilangan harga diri lagi. Maka kuputuskan, bercerai adalah jalan yang sudah sepatutnya,” ucap Hendra dengan yakin.Juwita tidak kuasa mendengar perkataan Hendra, air matannya mengalir lebih deras oleh
Hendra mengangguk, tidak ingin mengulur waktu sehingga membuat orang-orang berharap banyak padanya. Semuanya harus diakhiri agar Juwita tidak terus merendahkannya.“Nggak mungkin,” bisik Juwita patah hati, kedua tangan memegangi kepalanya yang belum mampu menerima kenyataan. “Kamu nggak mungkin menanda tanganinya, kamu pasti berbohong.” Dia tatap suaminya dengan mata memelas, sungguh tidak Juwita harapkan benar-benar bercerai dari Hendra.“Maaf mengecewakan kamu. Tapi... kedatanganku ke sini untuk mengantarkan surat cerai itu.” Hendra mengeluarkan amplop yang Juwita kirimkan itu, dan membuka bagian yang sudah dia tanda tangani. Dia letakkan berkas itu di atas meja agar semua orang bisa melihatnya. “Aku hanya mengabulkan permintaan kamu. Dan lagi, aku rasa kita tidak mungkin meneruskan pernikahan yang sejak awal tidak sehat. Aku tidak ingin terus dikenal sebagai suami yang dibeli, maka itu memang sebaiknya kita bercerai saja.”Sebagai lelaki, Hendra punya harga diri. Meski di awal sud
Berkali-kali Juwita melirik ke pintu utama rumah orang tuanya. Duduknya tak bisa diam, bergeser setiap menit seakan tidak sabaran. Sofa yang didesain sangat empuk itu seakan tidak nyaman menjadi tempatnya. Dia melirik lagi, dan itu terus saja terulang setiap kali dia mendengar suara pergerakan seseorang di sekitarnya.Maria mengamati putrinya itu dari anak tangga, tampak penyesalan dan ragu-ragu di wajah cantik Juwi yang belakangan ini terlihat semakin kurus. Dia mendatangi putrinya dan duduk di sebelah Juwi.“Wi, tenangkan dirimu,” kata Maria, mungkin dengan ucapan itu putrinya bisa merasa lebih baik. “Pikirkan anak di kandungan kamu. Jika mamanya stres, anak kamu juga akan ikut stres di dalam sana.Mata sayu Juwi menatap mamanya ragu dan dia berkata, “Entah lah, Ma. Aku tidak bisa tenang sebelum melihat Hendra datang. Aku takut jika dia tidak benar-benar menemuiku,” katanya.Hendra memang tidak pernah berkata akan datang menemui Juwita, melainkan Armaja lah yang akan ditemui lelaki
Setelah mendapatkan bukti itu, polisi langsung memeriksanya. Benar saja, video yang Steve berikan sebagai bukti jelas adalah editan. Banyak bukti yang Armaja bawa sehingga Steve tidak bisa berkutik sekarang. Bukan hanya itu, Armaja juga berhasil menangkap pelaku yang selama ini bersembunyi di belakang Steve, sebagai orang yang mengunggah di media sosial.“Bukan saya yang bersalah, Pak! Dia yang lebih dulu memukul saya!” Steve meronta di tangan polisi. Dia terus menuduh Hendra lah yang sudah memukulnya terlebih dahulu, tapi bukti-bukti yang dibawa oleh Armaja tidak bisa dibohongi.Hendra yang masih sangat shock dengan kejadian ini, hanya bisa diam menyaksikan Armaja dan polisi menyelesaikan masalah mereka. Lelaki itu memeluk putranya erat, menenangkan Alan yang masih sesunggukan.“Dia yang memukul saya! Dia yang seharusnya ditangkap!” Steve menunjuk-nunjuk pada Hendra, sangat memuakkan. Bahkan ketika semua bukti sudah terarah padanya, lelaki itu masih saja ingin menyalahkan Hendra.And
Jalan raya itu sangat ramai oleh mobil-mobil yang berlalu lalang. Tak ada cela jika pun Hendra ingin lari dari kejaran polisi yang tengah menunggunya di luar sana. Pasrah. Hanya itu yang bisa Hendra lakukan sekarang. Dia tidak mungkin berlarian di jalanan menggendong Alan, seperti yang tadi dilakukannya. Bisa-bisa membuat Alan menjadi celaka.“Pak, bagaimana selanjutnya? Kita tidak bisa lewat, apakah kita harus menabrak mobil lainnya agar memberikan jalan?” tanya Rahmat dari bangku kemudi, dia tidak rela bosnya tertangkap begitu saja.Akan tetapi, Hendra sudah lelah. Perkataan Rahmat terlalu berisiko dan dia tidak ingin membuat masalah yang lebih besar.Dia melepaskan sebelah tangan dari punggung Alan, kemudian membuka pintu mobil itu sangat pelan.“Pak, jangan keluar. Bagaimana nasib Alan jika bapak sampai ke kantor polisi?” Rahmat masih mengingatkan.“Kita tidak mungkin membuat masalah yang lebih besar lagi, Mat. Aku tidak ingin kamu ikut ke dalam masalah ini.” Dia pun keluar dari
Taksi yang Hendra tumpangi dengan Alan pun meluncur di jalanan. Sopir taksi itu merasa iba melihat Alan yang menangis berkata takut, dia membayangkan andaikan dirinya bersama anaknya yang ada di posisi Hendra sekarang. Meski sebenarnya pak sopir juga terlihat ketakutan, wajahnya berkeringat saat melihat dua petugas polisi dari kaca spion-nya.“Bapak ini mau ke mana, toh? Saya nggak berani kalo Suria Hotel, itu terlalu jauh, takutnya dikejar sama polisi. Saya juga punya anak istri, Pak, tidak berani berurusan dengan mereka,” kata pak sopir, nadanya gemetar saat bertanya.Hendra pun tidak mungkin melibatkan orang lain dalam kasusnya. Suria Hotel terbilang jauh dari posisi mereka sekarang, sangat benar yang dikatakan sang sopir kalau petugas kepolisian itu mungkin tengah mengejarnya. Lagian, Hendra juga tidak mungkin pergi ke sana lagi, akan sangat gampang jika polisi melacaknya.Beruntung saja ponselnya terselip di saku celana Hendra, sehingga dia bisa menghubungi Rahmat untuk meminta
Ketika Hendra masih memaksa Lilis agar keluar dari mobilnya, dua mobil lainnya datang ke tempat itu. Berhenti tepat di sebelah Hendra, membuatnya bertanya-tanya siapa kira-kira orang yang datang di dalam sana. Hendra menghela napas panjang ketika melihat itu adalah Steve dan beberapa orang dengan kamera besar.Reporter lagi?Astaga... entah sampai kapan Hendra harus bertemu dengan orang-orang itu, dia sudah sangat lelah.Tidak cukup hanya Steve dan reporter saja yang datang ke sana. Tidak lebih dari dua menit, ada mobil polisi yang juga ikut parkir di halaman warga yang luas itu. Entah apa yang akan terjadi di ke depan nanti, Hendra sudah sangat lelah berpikir. Menghadapi Lilis saja sudah membuatnya kesulitan, kenapa Steve harus datang ke sini membawa reporter dan polisi?“Itu perempuan yang menghancurkan kaca mobil saya, tolong tangkap dia, Pak. Meski Lisa adalah istri saya, saya tidak terima mobil saya dirusak begitu saja,” kata Steve pada polisi, menunjuk Lilis di dalam mobil Hendr
“Jangan bawa Alan, Hendra! Kamu nggak boleh bawa dia sebelum kasih duit ke aku!”Hendra sudah berhasil merebut paksa Alan dari Lilis dan Ratna, tapi saat akan membawanya masuk ke mobil, Lilis segera menghentikan Hendra. Perempuan itu betul-betul tak merelakan Hendra pergi tanpa memberinya uang. Lilis bahkan bergantung di kaki Hendra, memegangi agar lelaki itu tidak bisa bergerak.“Kasih aku uang dulu! Kamu nggak boleh pergi dari sini sebelum ngasih aku uang!” kata Lilis terus berteriak, memeluk kaki Hendra sangat erat.Setiap kali Hendra akan melangkah, kakinya selalu ditahan oleh Lilis. Bahkan hampir saja Hendra terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangan.“Lepasin, Lilis! Kamu ini jangan bikin malu!” Hendra berkata geram, orang-orang sudah berkerumun menyaksikan mereka di halaman itu. Sudah seperti suami kejam saja Hendra dengan posisi Lilis memeluk kakinya.“Nggak! Aku nggak bakal lepasin kaki kamu, sebelum kasih aku uang!” sahut Lilis semakin mempererat pelukannya di kaki Hend
Dalam kecewanya yang mendalam terhadap Steve, Lilis mencengkeram baju lelaki itu, lalu merosot perlahan-lahan. Saat itu dia mendengar deru mesin mobil di sebelahnya, dalam keputusasaan dia melihat ke kanan, berharap seseorang mungkin mendengar pertengkarannya dengan Steve. Mungkin seseorang itu bisa bersaksi untuk Lilis, bahwa semua ini sudah direncanakan Steve, dan laki-laki itu adalah alasannya bercerai dari Hendra.“He-Hendra. I-itu Hendra!” seru Lilis penuh harap. Dia berpikir Hendra bisa membantunya untuk itu.Namun, benarkah Hendra mau membantunya? Meski laki-laki itu mendengar pertengkarannya dengan Steve, Hendra tidak mungkin mau membantu Lilis. Harapan yang tadi sempat singgah, perlahan menjadi rasa takut.“Tidak! Dia tidak boleh mengambil Alan!” seru Lilis lantas berdiri. “Jangan ambil Alan! Alan milikku!”Tidak Lilis hiraukan lagi Steve yang kebingungan melihatnya, Lilis sudah berlari kembali ke dalam mobil. Dia harus menghentikan Hendra sebelum lebih dulu mengambil Alan.