"Loh, Hendra? Bukannya kamu seharusnya di rumah Lilis? Atau... mungkin ada sesuatu yang ketinggalan?" Juwita sedikit terkejut melihat suaminya duduk di kursi teras. Kemarin malam Hendra sudah berpamitan akan ke rumah istri pertamanya, sebab memang sudah jadwalnya dia ke sana. Ini masih terlalu pagi jika pun Hendra datang sekedar ingin mengambil sesuatu ke rumah Juwi.Tanpa berkata-kata, Hendra langsung memeluk Juwita. "Juwi, maafin aku," katanya lemah. Dia peluk perempuan itu seperti tidak rela melepaskannya.Juwita tertegun. Ada apa dengan Hendra? Dia tidak merasa Hendra membuat kesalahan, lantas kenapa meminta maaf? Tapi merasakan tangan Hendra yang begitu erat di tubuhnya, Juwita menjadi diam. Tak ingin dia tanyakaln apa yang membuat lelaki itu meminta maaf. Juwi berpikir pasti ada sebuah masalah di rumah Lilis.Untuk beberapa saat Hendra memeluk tubuh Juwita, sampai akirnya dia lepaskan perempuan itu. Wajah sendunya menatap Juwi sejenak."Kamu akan ke kantor?"Juwita mengangguk s
Kepala Juwita seperti ditimpah beban puluhan ton, dadanya sesak, sangat sulit dirasa untuk bernapas. Bagaimana seorang istri tega ingin menjual suaminya untuk yang kedua kali? Yakin lah Lilis pasti tidak punya hati! "Aku udah bilang ke Hendra, tapi dia bilang nggak bisa ambil keputusan. Karena sekarang kamu juga jadi istri kedua suami aku, kamu harus ikut kasih dia ijin."Belum lagi Juwi bisa mencerna kalimat pertama Lilis, perempuan itu sudah kembali berbicara di depannya. Hati yang tadi sesak penuh amarah pada Lilis, kini juga kecewa. Juwita sangat kecewa mendengar penjelasan dari perempuan di depannya itu."Hendra bilang begitu?" tanya Juwita, dia harus meyakinkan apa yang baru saja didengarnya."Iya. Hendra nggak mau ambil keputusan sendiri karena nggak mau kamu marah. Tapi gimana pun, kamu nggak bisa marah, Juwita. Hendra punya keluarga yang sebenarnya dan dia harus membiayai kami."Dadanya semakin sesak, sakitnya semakin terasa. Juwita sampai kehabisan kata-kata untuk kalimat
Mimpi apa Lilis tadi malam? Tampaknya Dewi Fortuna selalu berpihak padanya belakangan ini. Semua yang Lilis inginkan selalu terpenuhi tanpa capek bekerja seperti orang lain. Hanya dengan meminta pada Hendra, lalu datang pada Juwita untuk memastikan, dan semua pun terwujud begitu saja."Padahal aku cuma nge-test Hendra doang, nggak nyangka jadi beneran gini. Heran... heran, mana ada perempuan yang mau beli Hendra sampe dua ratus juta? Itu cuma akal-akalan aku doang, loh!" Sejak pulang menemui Juwita, Lilis terus berbicara sendiri. Awalnya dia hanya ingin mendengar jawaban dari Hendra, tapi suaminya itu justru menyuruh Lilis meminta ijin pada Juwita. Penolakan secara tidak langsung itu membuat Lilis nekad datang pada Juwita berniat untuk membuat Juwi kesal, tapi nyatanya Juwi malah mengabulkan permintaannya.Lilis heran apa yang membuat Juwi begitu sangat berminat pada Hendra, padahal di luar sana masih banyak laki-laki yang lebih baik dari lelaki itu."Kayaknya mata Juwita picek deh,
[Mana uangku? Bukannya kamu bilang mau bayar hari ini? Aku udah nunggu sejak pagi, loh.][Kamu nggak pura-pura lupa ‘kan? Kemarin udah janji kasih sekarang, tapi nggak ada kabar. Kontraknya udah aku siapin ini....][Juwita, kamu jangan macem-macem, deh! Seharusnya sekarang giliran Hendra sama aku, tapi karna kamu bilang mau bayar dia full makanya aku kasih dia balik ke sana. Kamu kalo nggak datang sekarang juga, aku bakal ke sana jemput Hendra!]Entah sudah berapa banyak pesan yang masuk ke ponsel Juwita, sejak pagi tadi. Lilis mengirimkan alamat di mana mereka akan bertemu, juga menyuruh Juwi agar membawa uang sesuai perjanjian kemarin. Juwita hanya bisa menarik napas panjang melihat pesan-pesan yang banyak berjejer itu. Dia memang tidak menyimpan nomor Lilis di ponselnya, tapi sudah pasti pesan itu dari Lilis.Tadi malam, ingin rasanya Juwi bertanya apa yang menyebabkan Hendra mau mengikuti lagi keinginan perempuan itu. Tapi bagaimana pun, Juwita sadar Hendra bukan suaminya sendiri.
Lilis berpikir keras bagaimana harus menyetujui permintaan Juwita. Jika dia tidak bisa bertemu Hendra, akan sulit bagi Lilis mencari alasan untuk mendapatkan uang tambahan dari lelaki itu. Apalagi Hendra sendiri juga masih bekerja, meski gaji nggak banyak tapi lumayan lah buat tambah-tambah uang jajan. Tapi jika Lilis tidak setuju, uang besarnya akan menghilang. Hal itu adalah pilihan yang sedikit memberatkan bagi Lilis.‘Makin nyebelin banget sih ini orang!’ sindir Lilis dalam hati, menurutnya Juwita semakin banyak maunya.‘Tapi kalo nggak setuju, dari mana aku dapet duit dua ratus juta, ya? Mana setiap dua bulan lagi. Gaji Hendra kalo dikumpulin juga nggak bisa sebanyak itu dalam satu tahu.’Akhirnya Lilis mengalah pada permintaan Juwita, walau hatinya setengah jengkel.“Ya udah, deh, terserah kamu aja. Sini, biar aku tambahkan di bawahnya.” Muka Lilis cemberut mengambil kertas itu dari Juwita dan menambahkan tulisan baru dengan pena. “Nih, sesuai permintaan kamu.” Dia serahkan kemb
Di kamar, sepasang suami istri itu duduk berhadapan. Juwita duduk di atas kursi riasnya sedangkan Hendra menatap Juwita dari tepian ranjang. Wajah Juwita datar tanpa sedikit pun senyum yang dia tunjukkan, hal itu sudah terjadi sejak siang kemarin. Hendra tidak mengerti apa yang membuat istrinya demikian.“Katanya mau ngomong. Kok hanya diam?” Hendra mencoba mencairkan suasana yang dingin di antara mereka.Juwita menarik napas panjang. Perlu kah dia ungkapkan tentang Lilis yang berselingkuh dengan aktor itu? Lalu setelah Hendra tahu, apakah Juwi harus mengatakan Hendra sudah sangat bodoh dengan mengikuti maunya Lilis? Rasanya ingin Juwita meledak pada Hendra perihal persekongkolan mereka memerasnya.“Juwi, ada apa?” Sekali lagi Hendra berbicara, menyadarkan Juwita dari pikirannya.Lantas, Juwi mempersiapkan diri sebelum mulai berkata, “Mulai sekarang, kamu bekerja sama aku.”Padahal, Juwita ingin mengatakan soal Lilis, dan hanya kalimat itu yang mampu keluar dari mulutnya.“Aku udah bi
Malam sudah larut dan Hendra belum bisa menutup matanya. Sementara Juwita sudah tertidur di atas sofa yang dijadikan mengganjal pintu agar Hendra tidak keluar diam-diam saat dia tertidur. Hendra tatap wajah perempuan kedua yang masuk dalam hidupnya.Setelah mendengar penjelasan dari Juwita, Hendra tidak sempat mengamuk pada Juwi. Ia berkata Juwi perempuan tamak yang tidak puas hanya memiliki setengah dari waktu Hendra untuknya. Tapi setelah Juwita berkata dia membayar uang itu agar Lilis tidak menjualnya pada perempuan lain, Hendra pun terdiam tak kuasa berkata-kata. Sekali lagi perempuan itu ternyata membelinya atas ulah Lilis sendiri. Dan perasaan Hendra tidak mampu diuangkapkan, dia hanya bisa kembali ke dalam kamar dan duduk di tepi ranjang.Perempuan berparas cantik itu, sebenarnya apa tujuannya membeli Hendra? Bukankah Juwi bisa mencari lelaki lain? Kenapa Juwi harus menghabiskan banyak uangnya demi membuat Hendra menjadi miliknya?Terkadang Hendra merasa dirinya berharga bagi J
Juwita melirik Hendra yang termenung di depannya. “Makanannya ga enak?” tanya Juwi. Wajahnya menunjukkan kemurungan seperti seorang istri yang takut suaminya tidak menyukai masakan itu.Hendra menggelengkan kepala dan menjawab terburu, “Nggak kok. Ini enak.”“Terus, kenapa termenung? Aku perhatiin dari tadi, sarapan kamu nggak habis-habis.”Perlu kah Hendra mempertanyakannya? Lantas jika ia bertanya, apakah Juwi akan kembali pada sifat aslinya? Sekejap Hendra termenung, bingung bagaimana akan menyikapi kepedulian Juwi yang tiba-tiba.Dan sebagai orang yang bertingkah aneh itu, Juwi juga bukan tidak tahu Hendra sedang bingung padanya. Dia sudah memikirkan hal ini sejak tadi malam. Dia harus membicarakan ini dengan Hendra sebelum semuanya menjadi semakin berantakan.“Lilis nemuin aku, dia bilang kamu suruh dia minta ijin aku,” ucap Juwi membuka pembicaraan.“Dia salah tanggap, aku nggak suruh dia minta ijin karena aku setuju ide gilanya. Aku pikir dia akan mengerti, nyatanya malah datan
Sejenak Hendra menunduk. Dia menatap lantai di bawah kakinya dan memikirkan pertanyaan itu. Cinta... Hendra tersenyum kecil.Tentu saja dia mencintai Juwita, dan cinta itu pula yang membuatnya selalu sabar dengan semua cobaan pernikahan mereka. Tapi Hendra tidak akan lupa bahwa cinta pula yang membuatnya menjadi suami yang terjual. Karena rasa cintanya pada Lilis dan tidak ingin istrinya bercerai, Hendra yang bodoh pun menerima pernikahan tertulis dengan Juwita.Bukankah cinta itu pula yang membuatnya menjadi menderita? Meski sangat mencintai Juwita, Hendra juga ingin mempertahankan harga dirinya.“Mencintai adalah hal yang sangat mematikan, sampai aku menjadi menantu Anda pun itu karena dulu aku mencintai mantan istriku. Jika sekali lagi aku mengalah demi cinta, bukan tak mungkin akan kehilangan harga diri lagi. Maka kuputuskan, bercerai adalah jalan yang sudah sepatutnya,” ucap Hendra dengan yakin.Juwita tidak kuasa mendengar perkataan Hendra, air matannya mengalir lebih deras oleh
Hendra mengangguk, tidak ingin mengulur waktu sehingga membuat orang-orang berharap banyak padanya. Semuanya harus diakhiri agar Juwita tidak terus merendahkannya.“Nggak mungkin,” bisik Juwita patah hati, kedua tangan memegangi kepalanya yang belum mampu menerima kenyataan. “Kamu nggak mungkin menanda tanganinya, kamu pasti berbohong.” Dia tatap suaminya dengan mata memelas, sungguh tidak Juwita harapkan benar-benar bercerai dari Hendra.“Maaf mengecewakan kamu. Tapi... kedatanganku ke sini untuk mengantarkan surat cerai itu.” Hendra mengeluarkan amplop yang Juwita kirimkan itu, dan membuka bagian yang sudah dia tanda tangani. Dia letakkan berkas itu di atas meja agar semua orang bisa melihatnya. “Aku hanya mengabulkan permintaan kamu. Dan lagi, aku rasa kita tidak mungkin meneruskan pernikahan yang sejak awal tidak sehat. Aku tidak ingin terus dikenal sebagai suami yang dibeli, maka itu memang sebaiknya kita bercerai saja.”Sebagai lelaki, Hendra punya harga diri. Meski di awal sud
Berkali-kali Juwita melirik ke pintu utama rumah orang tuanya. Duduknya tak bisa diam, bergeser setiap menit seakan tidak sabaran. Sofa yang didesain sangat empuk itu seakan tidak nyaman menjadi tempatnya. Dia melirik lagi, dan itu terus saja terulang setiap kali dia mendengar suara pergerakan seseorang di sekitarnya.Maria mengamati putrinya itu dari anak tangga, tampak penyesalan dan ragu-ragu di wajah cantik Juwi yang belakangan ini terlihat semakin kurus. Dia mendatangi putrinya dan duduk di sebelah Juwi.“Wi, tenangkan dirimu,” kata Maria, mungkin dengan ucapan itu putrinya bisa merasa lebih baik. “Pikirkan anak di kandungan kamu. Jika mamanya stres, anak kamu juga akan ikut stres di dalam sana.Mata sayu Juwi menatap mamanya ragu dan dia berkata, “Entah lah, Ma. Aku tidak bisa tenang sebelum melihat Hendra datang. Aku takut jika dia tidak benar-benar menemuiku,” katanya.Hendra memang tidak pernah berkata akan datang menemui Juwita, melainkan Armaja lah yang akan ditemui lelaki
Setelah mendapatkan bukti itu, polisi langsung memeriksanya. Benar saja, video yang Steve berikan sebagai bukti jelas adalah editan. Banyak bukti yang Armaja bawa sehingga Steve tidak bisa berkutik sekarang. Bukan hanya itu, Armaja juga berhasil menangkap pelaku yang selama ini bersembunyi di belakang Steve, sebagai orang yang mengunggah di media sosial.“Bukan saya yang bersalah, Pak! Dia yang lebih dulu memukul saya!” Steve meronta di tangan polisi. Dia terus menuduh Hendra lah yang sudah memukulnya terlebih dahulu, tapi bukti-bukti yang dibawa oleh Armaja tidak bisa dibohongi.Hendra yang masih sangat shock dengan kejadian ini, hanya bisa diam menyaksikan Armaja dan polisi menyelesaikan masalah mereka. Lelaki itu memeluk putranya erat, menenangkan Alan yang masih sesunggukan.“Dia yang memukul saya! Dia yang seharusnya ditangkap!” Steve menunjuk-nunjuk pada Hendra, sangat memuakkan. Bahkan ketika semua bukti sudah terarah padanya, lelaki itu masih saja ingin menyalahkan Hendra.And
Jalan raya itu sangat ramai oleh mobil-mobil yang berlalu lalang. Tak ada cela jika pun Hendra ingin lari dari kejaran polisi yang tengah menunggunya di luar sana. Pasrah. Hanya itu yang bisa Hendra lakukan sekarang. Dia tidak mungkin berlarian di jalanan menggendong Alan, seperti yang tadi dilakukannya. Bisa-bisa membuat Alan menjadi celaka.“Pak, bagaimana selanjutnya? Kita tidak bisa lewat, apakah kita harus menabrak mobil lainnya agar memberikan jalan?” tanya Rahmat dari bangku kemudi, dia tidak rela bosnya tertangkap begitu saja.Akan tetapi, Hendra sudah lelah. Perkataan Rahmat terlalu berisiko dan dia tidak ingin membuat masalah yang lebih besar.Dia melepaskan sebelah tangan dari punggung Alan, kemudian membuka pintu mobil itu sangat pelan.“Pak, jangan keluar. Bagaimana nasib Alan jika bapak sampai ke kantor polisi?” Rahmat masih mengingatkan.“Kita tidak mungkin membuat masalah yang lebih besar lagi, Mat. Aku tidak ingin kamu ikut ke dalam masalah ini.” Dia pun keluar dari
Taksi yang Hendra tumpangi dengan Alan pun meluncur di jalanan. Sopir taksi itu merasa iba melihat Alan yang menangis berkata takut, dia membayangkan andaikan dirinya bersama anaknya yang ada di posisi Hendra sekarang. Meski sebenarnya pak sopir juga terlihat ketakutan, wajahnya berkeringat saat melihat dua petugas polisi dari kaca spion-nya.“Bapak ini mau ke mana, toh? Saya nggak berani kalo Suria Hotel, itu terlalu jauh, takutnya dikejar sama polisi. Saya juga punya anak istri, Pak, tidak berani berurusan dengan mereka,” kata pak sopir, nadanya gemetar saat bertanya.Hendra pun tidak mungkin melibatkan orang lain dalam kasusnya. Suria Hotel terbilang jauh dari posisi mereka sekarang, sangat benar yang dikatakan sang sopir kalau petugas kepolisian itu mungkin tengah mengejarnya. Lagian, Hendra juga tidak mungkin pergi ke sana lagi, akan sangat gampang jika polisi melacaknya.Beruntung saja ponselnya terselip di saku celana Hendra, sehingga dia bisa menghubungi Rahmat untuk meminta
Ketika Hendra masih memaksa Lilis agar keluar dari mobilnya, dua mobil lainnya datang ke tempat itu. Berhenti tepat di sebelah Hendra, membuatnya bertanya-tanya siapa kira-kira orang yang datang di dalam sana. Hendra menghela napas panjang ketika melihat itu adalah Steve dan beberapa orang dengan kamera besar.Reporter lagi?Astaga... entah sampai kapan Hendra harus bertemu dengan orang-orang itu, dia sudah sangat lelah.Tidak cukup hanya Steve dan reporter saja yang datang ke sana. Tidak lebih dari dua menit, ada mobil polisi yang juga ikut parkir di halaman warga yang luas itu. Entah apa yang akan terjadi di ke depan nanti, Hendra sudah sangat lelah berpikir. Menghadapi Lilis saja sudah membuatnya kesulitan, kenapa Steve harus datang ke sini membawa reporter dan polisi?“Itu perempuan yang menghancurkan kaca mobil saya, tolong tangkap dia, Pak. Meski Lisa adalah istri saya, saya tidak terima mobil saya dirusak begitu saja,” kata Steve pada polisi, menunjuk Lilis di dalam mobil Hendr
“Jangan bawa Alan, Hendra! Kamu nggak boleh bawa dia sebelum kasih duit ke aku!”Hendra sudah berhasil merebut paksa Alan dari Lilis dan Ratna, tapi saat akan membawanya masuk ke mobil, Lilis segera menghentikan Hendra. Perempuan itu betul-betul tak merelakan Hendra pergi tanpa memberinya uang. Lilis bahkan bergantung di kaki Hendra, memegangi agar lelaki itu tidak bisa bergerak.“Kasih aku uang dulu! Kamu nggak boleh pergi dari sini sebelum ngasih aku uang!” kata Lilis terus berteriak, memeluk kaki Hendra sangat erat.Setiap kali Hendra akan melangkah, kakinya selalu ditahan oleh Lilis. Bahkan hampir saja Hendra terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangan.“Lepasin, Lilis! Kamu ini jangan bikin malu!” Hendra berkata geram, orang-orang sudah berkerumun menyaksikan mereka di halaman itu. Sudah seperti suami kejam saja Hendra dengan posisi Lilis memeluk kakinya.“Nggak! Aku nggak bakal lepasin kaki kamu, sebelum kasih aku uang!” sahut Lilis semakin mempererat pelukannya di kaki Hend
Dalam kecewanya yang mendalam terhadap Steve, Lilis mencengkeram baju lelaki itu, lalu merosot perlahan-lahan. Saat itu dia mendengar deru mesin mobil di sebelahnya, dalam keputusasaan dia melihat ke kanan, berharap seseorang mungkin mendengar pertengkarannya dengan Steve. Mungkin seseorang itu bisa bersaksi untuk Lilis, bahwa semua ini sudah direncanakan Steve, dan laki-laki itu adalah alasannya bercerai dari Hendra.“He-Hendra. I-itu Hendra!” seru Lilis penuh harap. Dia berpikir Hendra bisa membantunya untuk itu.Namun, benarkah Hendra mau membantunya? Meski laki-laki itu mendengar pertengkarannya dengan Steve, Hendra tidak mungkin mau membantu Lilis. Harapan yang tadi sempat singgah, perlahan menjadi rasa takut.“Tidak! Dia tidak boleh mengambil Alan!” seru Lilis lantas berdiri. “Jangan ambil Alan! Alan milikku!”Tidak Lilis hiraukan lagi Steve yang kebingungan melihatnya, Lilis sudah berlari kembali ke dalam mobil. Dia harus menghentikan Hendra sebelum lebih dulu mengambil Alan.