"Ini bayaran lo. Ingat, jangan pernah kasih tau gue yang nyuruh lo nyulik dia. Paham?" Steve menyerahkan segepok uang pada laki-laki suruhannya, yang langsung diserobot cepat. Dengan mata berbinar dia tertawa menerima uang yang berjumlah tidak sedikit itu."Beres, Bos. Kalo bayarannya besar begini mah, gue bakal tutup mulut," jawab si lelaki sembari membuat gerakan mengunci mulut dengan tangan. "Bagus. Udah, lo pergi sana. Gue masih banyak urusan." Steve segera mengusir laki-laki itu yang berlalu meninggalkan dirinya. Sekarang mata Steve tertuju pada anak kecil yang menangis di ujung lorong, dia tertawa melihat uang yang lebih besar akan datang padanya. "Keluar sedikit uang tak mengapa demi uang yang lebih banyak," kata Steve tertawa lebar. Tak sia-sia Steve memata-matai rumah Juwita dan melihat perempuan itu keluar bersama Alan. Tadinya dia berniat akan menculik Alan langsung dari rumah Juwita, ternyata kesempatan itu justru lebih mudah. Juwita yang lalai menjaga Alan sangat ga
Ketika Lilis akan menemui Alan, tiba-tiba sebuah ide muncul di kepala Steve. Dia merasa ide ini akan sangat menguntungkan dirinya, lantas segera mencegat tangan Lilis."Tunggu sebentar, aku punya ide bagus buat kita," katanya. Lilis yang sudah bersemangat akan menemui Alan pun harus kembali berhenti mendengarkan ide yang dikatakan Steve."Ada apa lagi, sih? Tadi buru-buru suruh aku ketemu Alan, sekarang malah tunggu-tunggu.""Makanya dengarin, goblok! Jawab aja mulut lu." Steve sangat geram melihat Lilis yang selalu cerewet. "Ya udah, bilang. Aku dengar nih," kata Lilis dengan wajah cemberut."Begini. Lu jangan langsung kasih tau Alan kalau lu itu emaknya. Tapi, lu telepon aja Hendra dan minta sesuatu darinya." Tampaknya Steve selalu memiliki ide yang akan mencegah kelancaran rencananya. Tapi Lilis tak punya pilihan selain mendengarkan apa maksud laki-laki itu. "Terus, aku minta apa? Kalo kita langsung minta duit ke dia, yang ada Hendra bakal curiga, Steve. Gimana kalau ternyata s
Saat mendengar dering teleponnya tadi, Hendra berharap itu adalah Juwita, ternyata perempuan lain yang sangat mengganggu. Suasana hati yang tidak baik-baik saja pun semakin buruk, sebab rasa kecewa. Hendra meletakkan ponselnya secara kasar ke dalam laci, dan lagi, dia memikirkan Juwita.Ya, Hendra merindukan kedekatannya dengan Juwita. Baru saja dia terkenang kemesraan yang mereka lalui selama ini, sebelum datangnya badai yang menerjang biduk rumah tangga ini. Dia merasa tersiksa karena harus terus berperang dingin dengan wanita yang dicintainya itu, tapi Hendra juga tidak tahu bagaimana akan menyampaikan rasa rindunya pada wanita itu. Masalah yang mereka hadapi terlalu besar dan pelik, tidak mungkin Hendra bisa mengabaikannya. Sebab itu, dia memilih pergi ke luar kota agar rasa rindunya sedikit berkurang.Sudah Hendra coba menyibukkan diri dengan pekerjaan, pergi ke luar kota sebenarnya hanya alasan agar rasa rindunya tidak semakin menggebu dia rasakan. Jika tidak pergi, mungkin Hend
Seperti yang Hendra pikirkan selama perjalanan pulang, masalah ini harus dituntaskan. Tidak keberatan dia mengalah dan menurunkan egonya, demi kebaikan rumah tangga mereka ke depan nanti. Meski pun hasil akhirnya akan mengecewakan, Hendra akan berusaha mencari solusi untuk mereka.Dia menarik napasnya panjang lalu kemudian berkata, “Ayo kita bertemu.”Beberapa detik berlalu, Juwita masih diam di dalam telepon. Mungkin perempuan itu sangat terkejut dan tidak menyangka, Hendra cukup memahaminya.“Aku rasa kita harus bicara.” Hendra menarik ponsel dari telinganya, memastikan panggilan itu belum terputus. Lalu kembali dia tempelkan benda itu di indra pendengarnya. “Halo, Wi, kamu masih di sana, kan?” tanya Hendra.“Ah, i-iya. Aku....” Juwita tidak tahu akan mengatakan apa, pikirannya sangat kusut sampai tak tahu bagaimana caranya menjelaskan. “Hen, aku sebenarnya masih ada urusan sedikit. Jika sudah selesai, aku akan segera menghubungimu.”Panggilan pun terputus begitu saja, tanpa jawaban
Dengan hati yang hancur Juwita menatap layar ponselnya, dia tak bisa menghindar sekarang. Alan belum juga ditemukan sedangkan dia tidak mungkin terus mencari-cari alasan, kesabaran Hendra sudah habis terlihat dari pesan yang dia kirimkan.Karena itu, Juwita tak bisa berkelit lagi. Dia menekan layar ponselnya untuk melakukan panggilan pada Hendra. Tak sampai pada panggilan ke dua, Hendra mengangkat panggilan video call dari Juwita.Wajahnya terlihat bersinar, Hendra seakan baru saja memenangkan hati Juwita, dia segara tersenyum pada istrinya.“Wi, kalian di mana? Apa itu masih lama?” tanya Hendra hati-hati. “Maaf, aku tidak tega Alan akan mengantuk menunggumu, aku akan menjemputnya jika kamu masih sibuk.”Namun melihat sorot mata Juwi yang sangat putus asa, senyum Hendra pun memudar perlahan. Alisnya mengerut, dia membaca suasana hati yang istri yang tampak tidak baik.“Juwita, ada apa? Kamu sedang tidak baik? Katakan apa yang terjadi,” bujuk Hendra, suaranya dibuat serendah mungkin. M
Terburu Hendra memasuki kantor kepolisian, dan melihat istrinya duduk di salah satu bangku tunggu di lorong itu. Juwita menangkupkan ke dua tangan ke wajahnya, dengan wajah tertunduk seperti sangat putus asa. Merasa iba, Hendra mendatangi Juwita dan mengelus pundak istrinya.“Wi, ada apa? Kenapa kamu di sini? Apa yang terjadi?” tanya Hendra random. Dia belum menyadari Alan tidak berada di sekitar istrinya, hanya mengkhawatirkan sang istri.Juwita tidak berani menatap wajah Hendra. Dia tetap dengan posisinya, hanya isakan pelan yang keluar dari mulut wanita itu. Hendra melihatnya pun menjadi semakin yakin bahwa Juwi sedang dalam masalah.“Apa yang terjadi? Ada masalah yang sangat besar?” tanya Hendra lembut.Ada rasa bersalah di dalam hati Hendra. Dia bahkan tak tahu istrinya tengah menghadapi sebuah masalah. Tangis Juwita yang semakin terdengar memilukan hati lelaki itu. Dia sangat egois, tidak memikirkan mental sang istri yang seharusnya mendapat dukungan.“Maafkan aku, seharusnya ak
“Demi Tuhan, jangan katakan itu. Aku tidak sengaja melakukannya, aku tidak pernah mengharap Alan akan menghilang.” Mata Juwita memelas menatap Hendra dan nada suaranya sangat kalut. Tapi menyalahkan Hendra tidak lah benar, sebab memang semua ini karena kelalaian Juwi.“Baik lah, aku mengerti.” Sekarang dia menyeka air mata yang mengalir di kedua pipi. Juwi tidak ingin memperumit masalah lagi sehingga Hendra akan menjadi marah. “Dan aku berjanji, aku akan menemukan Alan bagaimana pun caranya.”Dia hendak bangkit mencari Alan, tapi Hendra segera menghentikannya. Lelaki itu menyentuh pundak Juwita dan mendudukkan Juwi kembali.“Kamu akan ke mana?”“Mencari Alan. Ini kelalaianku, aku akan menemukannya entah di mana pun Alan berada.”Akan tetapi Hendra tidak sejahat itu. Meski dia tidak bisa menerima kabar menghilangnya Alan, tidak mungkin Hendra biarkan Juwita mencari putra mereka di malam seperti ini.“Kamu pulang lah ke rumah. Aku yang akan mencari Alan.”“Tidak, Hen, itu salahku. Aku y
“Lilis?” kata Hendra menyebutkan nama istrinya. Benarkah menghilangnya Alan ada sangkut pautnya dengan Lilis? Dia tidak bisa mempercayai pikirannya saat ini, tapi untuk mengabaikan pun Hendra tidak mungkin.“Ya, aku harus memastikannya,” katanya sekali lagi dan bergegas masuk ke dalam mobil.Siapa yang tidak tahu Lilis itu sangat licik? Isi kepalanya hanya uang, tanpa mau bekerja keras untuk mendapatkannya. Lilis hanya sibuk mencari uang dengan cara simpel, bukan tak mungkin dia juga bisa menculik anaknya sendiri agar bisa mendapatkan uang yang banyak dari Hendra.Di dalam mobil Hendra segera mengambil ponselnya dan menghubungi nomor Lilis. Jantung lelaki itu terasa sangat kesal membayangkan jika benar Lilis lah dalang menghilangnya Alan, dia tidak akan bisa mengampuni perempuan itu sekali lagi!Sementara di apartemen mewahnya, Lilis dan Steve sedang berpesta untuk merayakan kemenangan yang sebentar lagi akan datang ke genggaman tangan. Keduanya asyik mabuk-mabukan dan tertawa terbaha
Sejenak Hendra menunduk. Dia menatap lantai di bawah kakinya dan memikirkan pertanyaan itu. Cinta... Hendra tersenyum kecil.Tentu saja dia mencintai Juwita, dan cinta itu pula yang membuatnya selalu sabar dengan semua cobaan pernikahan mereka. Tapi Hendra tidak akan lupa bahwa cinta pula yang membuatnya menjadi suami yang terjual. Karena rasa cintanya pada Lilis dan tidak ingin istrinya bercerai, Hendra yang bodoh pun menerima pernikahan tertulis dengan Juwita.Bukankah cinta itu pula yang membuatnya menjadi menderita? Meski sangat mencintai Juwita, Hendra juga ingin mempertahankan harga dirinya.“Mencintai adalah hal yang sangat mematikan, sampai aku menjadi menantu Anda pun itu karena dulu aku mencintai mantan istriku. Jika sekali lagi aku mengalah demi cinta, bukan tak mungkin akan kehilangan harga diri lagi. Maka kuputuskan, bercerai adalah jalan yang sudah sepatutnya,” ucap Hendra dengan yakin.Juwita tidak kuasa mendengar perkataan Hendra, air matannya mengalir lebih deras oleh
Hendra mengangguk, tidak ingin mengulur waktu sehingga membuat orang-orang berharap banyak padanya. Semuanya harus diakhiri agar Juwita tidak terus merendahkannya.“Nggak mungkin,” bisik Juwita patah hati, kedua tangan memegangi kepalanya yang belum mampu menerima kenyataan. “Kamu nggak mungkin menanda tanganinya, kamu pasti berbohong.” Dia tatap suaminya dengan mata memelas, sungguh tidak Juwita harapkan benar-benar bercerai dari Hendra.“Maaf mengecewakan kamu. Tapi... kedatanganku ke sini untuk mengantarkan surat cerai itu.” Hendra mengeluarkan amplop yang Juwita kirimkan itu, dan membuka bagian yang sudah dia tanda tangani. Dia letakkan berkas itu di atas meja agar semua orang bisa melihatnya. “Aku hanya mengabulkan permintaan kamu. Dan lagi, aku rasa kita tidak mungkin meneruskan pernikahan yang sejak awal tidak sehat. Aku tidak ingin terus dikenal sebagai suami yang dibeli, maka itu memang sebaiknya kita bercerai saja.”Sebagai lelaki, Hendra punya harga diri. Meski di awal sud
Berkali-kali Juwita melirik ke pintu utama rumah orang tuanya. Duduknya tak bisa diam, bergeser setiap menit seakan tidak sabaran. Sofa yang didesain sangat empuk itu seakan tidak nyaman menjadi tempatnya. Dia melirik lagi, dan itu terus saja terulang setiap kali dia mendengar suara pergerakan seseorang di sekitarnya.Maria mengamati putrinya itu dari anak tangga, tampak penyesalan dan ragu-ragu di wajah cantik Juwi yang belakangan ini terlihat semakin kurus. Dia mendatangi putrinya dan duduk di sebelah Juwi.“Wi, tenangkan dirimu,” kata Maria, mungkin dengan ucapan itu putrinya bisa merasa lebih baik. “Pikirkan anak di kandungan kamu. Jika mamanya stres, anak kamu juga akan ikut stres di dalam sana.Mata sayu Juwi menatap mamanya ragu dan dia berkata, “Entah lah, Ma. Aku tidak bisa tenang sebelum melihat Hendra datang. Aku takut jika dia tidak benar-benar menemuiku,” katanya.Hendra memang tidak pernah berkata akan datang menemui Juwita, melainkan Armaja lah yang akan ditemui lelaki
Setelah mendapatkan bukti itu, polisi langsung memeriksanya. Benar saja, video yang Steve berikan sebagai bukti jelas adalah editan. Banyak bukti yang Armaja bawa sehingga Steve tidak bisa berkutik sekarang. Bukan hanya itu, Armaja juga berhasil menangkap pelaku yang selama ini bersembunyi di belakang Steve, sebagai orang yang mengunggah di media sosial.“Bukan saya yang bersalah, Pak! Dia yang lebih dulu memukul saya!” Steve meronta di tangan polisi. Dia terus menuduh Hendra lah yang sudah memukulnya terlebih dahulu, tapi bukti-bukti yang dibawa oleh Armaja tidak bisa dibohongi.Hendra yang masih sangat shock dengan kejadian ini, hanya bisa diam menyaksikan Armaja dan polisi menyelesaikan masalah mereka. Lelaki itu memeluk putranya erat, menenangkan Alan yang masih sesunggukan.“Dia yang memukul saya! Dia yang seharusnya ditangkap!” Steve menunjuk-nunjuk pada Hendra, sangat memuakkan. Bahkan ketika semua bukti sudah terarah padanya, lelaki itu masih saja ingin menyalahkan Hendra.And
Jalan raya itu sangat ramai oleh mobil-mobil yang berlalu lalang. Tak ada cela jika pun Hendra ingin lari dari kejaran polisi yang tengah menunggunya di luar sana. Pasrah. Hanya itu yang bisa Hendra lakukan sekarang. Dia tidak mungkin berlarian di jalanan menggendong Alan, seperti yang tadi dilakukannya. Bisa-bisa membuat Alan menjadi celaka.“Pak, bagaimana selanjutnya? Kita tidak bisa lewat, apakah kita harus menabrak mobil lainnya agar memberikan jalan?” tanya Rahmat dari bangku kemudi, dia tidak rela bosnya tertangkap begitu saja.Akan tetapi, Hendra sudah lelah. Perkataan Rahmat terlalu berisiko dan dia tidak ingin membuat masalah yang lebih besar.Dia melepaskan sebelah tangan dari punggung Alan, kemudian membuka pintu mobil itu sangat pelan.“Pak, jangan keluar. Bagaimana nasib Alan jika bapak sampai ke kantor polisi?” Rahmat masih mengingatkan.“Kita tidak mungkin membuat masalah yang lebih besar lagi, Mat. Aku tidak ingin kamu ikut ke dalam masalah ini.” Dia pun keluar dari
Taksi yang Hendra tumpangi dengan Alan pun meluncur di jalanan. Sopir taksi itu merasa iba melihat Alan yang menangis berkata takut, dia membayangkan andaikan dirinya bersama anaknya yang ada di posisi Hendra sekarang. Meski sebenarnya pak sopir juga terlihat ketakutan, wajahnya berkeringat saat melihat dua petugas polisi dari kaca spion-nya.“Bapak ini mau ke mana, toh? Saya nggak berani kalo Suria Hotel, itu terlalu jauh, takutnya dikejar sama polisi. Saya juga punya anak istri, Pak, tidak berani berurusan dengan mereka,” kata pak sopir, nadanya gemetar saat bertanya.Hendra pun tidak mungkin melibatkan orang lain dalam kasusnya. Suria Hotel terbilang jauh dari posisi mereka sekarang, sangat benar yang dikatakan sang sopir kalau petugas kepolisian itu mungkin tengah mengejarnya. Lagian, Hendra juga tidak mungkin pergi ke sana lagi, akan sangat gampang jika polisi melacaknya.Beruntung saja ponselnya terselip di saku celana Hendra, sehingga dia bisa menghubungi Rahmat untuk meminta
Ketika Hendra masih memaksa Lilis agar keluar dari mobilnya, dua mobil lainnya datang ke tempat itu. Berhenti tepat di sebelah Hendra, membuatnya bertanya-tanya siapa kira-kira orang yang datang di dalam sana. Hendra menghela napas panjang ketika melihat itu adalah Steve dan beberapa orang dengan kamera besar.Reporter lagi?Astaga... entah sampai kapan Hendra harus bertemu dengan orang-orang itu, dia sudah sangat lelah.Tidak cukup hanya Steve dan reporter saja yang datang ke sana. Tidak lebih dari dua menit, ada mobil polisi yang juga ikut parkir di halaman warga yang luas itu. Entah apa yang akan terjadi di ke depan nanti, Hendra sudah sangat lelah berpikir. Menghadapi Lilis saja sudah membuatnya kesulitan, kenapa Steve harus datang ke sini membawa reporter dan polisi?“Itu perempuan yang menghancurkan kaca mobil saya, tolong tangkap dia, Pak. Meski Lisa adalah istri saya, saya tidak terima mobil saya dirusak begitu saja,” kata Steve pada polisi, menunjuk Lilis di dalam mobil Hendr
“Jangan bawa Alan, Hendra! Kamu nggak boleh bawa dia sebelum kasih duit ke aku!”Hendra sudah berhasil merebut paksa Alan dari Lilis dan Ratna, tapi saat akan membawanya masuk ke mobil, Lilis segera menghentikan Hendra. Perempuan itu betul-betul tak merelakan Hendra pergi tanpa memberinya uang. Lilis bahkan bergantung di kaki Hendra, memegangi agar lelaki itu tidak bisa bergerak.“Kasih aku uang dulu! Kamu nggak boleh pergi dari sini sebelum ngasih aku uang!” kata Lilis terus berteriak, memeluk kaki Hendra sangat erat.Setiap kali Hendra akan melangkah, kakinya selalu ditahan oleh Lilis. Bahkan hampir saja Hendra terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangan.“Lepasin, Lilis! Kamu ini jangan bikin malu!” Hendra berkata geram, orang-orang sudah berkerumun menyaksikan mereka di halaman itu. Sudah seperti suami kejam saja Hendra dengan posisi Lilis memeluk kakinya.“Nggak! Aku nggak bakal lepasin kaki kamu, sebelum kasih aku uang!” sahut Lilis semakin mempererat pelukannya di kaki Hend
Dalam kecewanya yang mendalam terhadap Steve, Lilis mencengkeram baju lelaki itu, lalu merosot perlahan-lahan. Saat itu dia mendengar deru mesin mobil di sebelahnya, dalam keputusasaan dia melihat ke kanan, berharap seseorang mungkin mendengar pertengkarannya dengan Steve. Mungkin seseorang itu bisa bersaksi untuk Lilis, bahwa semua ini sudah direncanakan Steve, dan laki-laki itu adalah alasannya bercerai dari Hendra.“He-Hendra. I-itu Hendra!” seru Lilis penuh harap. Dia berpikir Hendra bisa membantunya untuk itu.Namun, benarkah Hendra mau membantunya? Meski laki-laki itu mendengar pertengkarannya dengan Steve, Hendra tidak mungkin mau membantu Lilis. Harapan yang tadi sempat singgah, perlahan menjadi rasa takut.“Tidak! Dia tidak boleh mengambil Alan!” seru Lilis lantas berdiri. “Jangan ambil Alan! Alan milikku!”Tidak Lilis hiraukan lagi Steve yang kebingungan melihatnya, Lilis sudah berlari kembali ke dalam mobil. Dia harus menghentikan Hendra sebelum lebih dulu mengambil Alan.