“Wah, tanpa tanya-tanya langsung mengancam, ya. Astaga... memangnya kamu nggak bisa ngomong bagus-bagus, ya?” kata menjawab, sedangkan Steve di sebelahnya mengguncang pundak Lilis dan berbisik ingin ikut mendengar juga. Lilis menyalakan pengeras suara di ponselnya, dan kembali fokus mendengarkan Hendra.“Bagus-bagus apanya? Tadi siang, kamu bilang aku nggak pedulikan anak. Lalu tiba-tiba anakku menghilang, itu berarti Alan memang ada sama kamu, kan? Aku bilang antarkan dia, atau aku akan datang bersama polisi ke sana. Kamu sengaja menculik Alan, agar bisa meminta uang dariku. Itu lah yang kamu inginkan.”Silakan saja kalau dia tidak malu, Hendra pikir Lilis akan takut? Hendra tidak punya bukti yang bisa memberatkan Lilis, jadi dia bisa tetap tenang.“Mau lapor polisi, memangnya kamu nggak malu, Hen? Kalian yang tidak becus menjaga anak, bisa-bisanya mau laporkan aku ke polisi? Lagian ya, jangan bilang Alan itu hanya anak kalian. Aku ibunya, aku yang melahirkannya. Kalo pun sekarang Al
“Lilis, jangan macam-macam kamu, ya. Kita sudah sepakat, kamu nggak akan pernah bilang pada Alan bahwa kamu memang ibunya. Kamu tahu itu akan sangat berpengaruh pada Alan.” Hendra mengingatkan perjanjian mereka beberapa waktu yang lalu, agar Lilis tidak pernah mengatakan siapa ibu Alan yang sebenarnya.“Janji?” Lilis terkekeh kecil. “Iya sih, aku pernah janji seperti itu sama kamu. Tapi itu karena kamu juga berjanji akan membiarkan aku bebas bertemu dengan Alan. Nyatanya kamu nggak bisa melakukannya, kan? Jadi ya... kenapa aku harus mengingat janji itu? Sekarang dengarkan aku, Hendra, kalau kamu memang tak mau Alan tahu aku ibunya, bagaimana jika kita membuat perjanjian? Aku ingin kita rujuk,” ucap Lilis langsung pada ide yang disarankan Steve.Mendengar perkataan Lilis saja Hendra sudah mau muntah, apalagi kalau harus benar-benar rujuk dengan perempuan itu? Hendra juga masih resmi menjadi suami Juwita, dia tidak akan pernah mengulang kisah dengan Lilis.“Jangan mimpi kamu, Lis. Bahka
Alan masih sangat kecil, dia tidak begitu saja paham dengan kata-kata Lilis yang menyebutkan dirinya sebagai mamanya Alan. Dia yang tadinya menangis pun menjadi terlihat bingung menatap wajah Lilis.“Di muka tante nggak ada wajahnya mama Alan. Apa yang mau dilihat?” katanya dengan polos.Steve yang mendengarnya sampai tertawa sedangkan Lilis gemas memandang dua orang itu secara bergantian. Memangnya Lilis ini pelawak?“Begini, Sayang. Bukan di wajah tante, tapi memang wajah ini lah wajah mamanya Alan, ibu yang mengandung dan melahirkan Alan. Mungkin Alan akan sedikit terkejut mendengarnya, tapi itu lah fakta yang sebenarnya. Mama yang melahirkan dan mengurus Alan waktu bayi, tapi sayangnya... mama dan papa harus berpisah karena hal yang tidak diinginkan. Namun satu yang harus Alan ingat, mama tidak pernah berniat ninggalin kamu, Anak.”Lilis menitikkan air matanya. Dia memang keras kepala, tidak begitu peduli dengan anaknya, dan hanya terpikir akan uang. Tapi di balik semua itu, Lilis
Ketika Hendra kembali ke rumah, Juwita belum juga tidur. Pikirannya tidak bisa tenang, banyak yang dia khawatirkan sekarang. Selain ancaman Hendra yang tidak ingin melihat dirinya lagi, Juwita lebih takut andaikan sesuatu terjadi pada Alan.Dia lantas berdiri menghampiri Hendra yang baru membuka pintu, menanyakan apakah sudah ada perkembangan dalam pencarian Alan.“Bagaimana, Hen? Polisi sudah menemukan penculik itu? Di mana Alan, apa mereka belum bisa menemukannya?”Melihat Juwi begitu khawatir, Hendra tidak bisa mengabaikannya. Dia mengusap pundak istrinya untuk menenangkan Juwita, tapi hal itu sama sekali tidak membantu. Juwita lagi-lagi menghujaninya dengan pertanyaan yang sama.“Kamu belum jawab pertanyaan aku, Hendra. Bagaimana perkembangannya, polisi sudah tahu ke mana penculik itu membawa Alan, kan?”“Wi, tenang lah,” kata Hendra. Untuk saat ini dia bisa lebih tenang mendengar Alan ada bersama dengan Lilis. “Alan baik-baik saja. Dia sekarang bersama ibunya.”Ibunya? Kening Juw
Pertanyaan konyol, padahal Hendra tidak mengatakan apa pun. Entah kenapa Juwita mencurigai Hendra akan rujuk dengan mantan istrinya.“Sudahlah, jangan membahas hal nggak penting. Aku ngantuk, aku capek. Kita bahas itu lain kali saja.” Hendra menanggalkan kemejanya, meletakkan sembarang di atas sofa. Kemudian dia naik ke tempat tidur dan berbaring di sana.Tak ada semangat untuk membersihkan diri lebih dulu, bahkan perutnya kosong pun sama sekali tidak dipedulikan oleh Hendra. Dia hanya ingin bisa beristirahat sejenak, sebelum besok menghadapi Lilis. Akan tetapi, Juwita yang belum mendapat jawaban merasa tidak puas dan menyerang Hendra kembali.“Aku tahu, semua ini rencana kalian, kan? Sengaja menyuruh seseorang menculik Alan dari arena bermain, agar Lilis bisa mengambilnya. Atau kalian memang sengaja ingin mencari-cari kesalahanku? Membuat aku terlihat seperti ibu bodoh yang tak bisa menjaga anak,” katanya.Hendra tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh istrinya.Bagaimana bisa Juwit
Kata-kata Hendra membuat Juwita terdiam seketika. Mulutnya terkunci, kedua manik cokelat itu nanar menatap Hendra. Dia baru saja menyadari bahwa ucapannya sudah sangat keterlaluan, sehingga melukai hati Hendra. Juwita tidak berani membalas ucapan suaminya, sehingga hanya diam lah yang bisa dia lakukan.Hendra melihat Juwita yang hanya diam pun merasa yakin bahwa istrinya sudah tidak menginginkan dirinya lagi. Tak mungkin selamanya bertahan dengan perempuan itu, jika hanya dipandang sebagai suami yang dibeli. Meski benar Juwita sudah membelinya, Hendra tetap lah laki-laki yang ingin dihargai oleh sang istri. Tak ada gunanya bertahan dengan perempuan yang terus saja menganggap dirinya bagaikan sampah tidak berguna.“Aku juga lelah. Aku juga capek jika terus-terusan ribut seperti ini. Aku butuh ketenangan, maka itu, atas permintaan kamu aku akan keluar dari rumah ini.”Hendra melepaskan pegangannya di lengan Juwita, tak tahan dia terus beradu tatap dengan istrinya. Sudah cukup, Hendra me
Juwita masih berharap Hendra tidak akan pergi meninggalkannya. Dia hanya berdiri di tengah kamar itu menatap lurus pintu kamar yang terbuka di depan sana. Tapi sampai beberapa menit dia menunggu Hendra kembali, lelaki itu tidak juga terlihat batang hidungnya. Hati Juwita menjadi gelisah, tak rela kehilangan suami yang begitu perhatian padanya.“Hendra, Hendra!” Dia memanggil dari dalam kamar, hatinya berharap Hendra hanya bermain-main lalu muncul dari luar sana dan memeluk Juwita seperti biasa. Harapan yang sia-sia, Hendra tidak terlihat seperti yang dia inginkan.Dengan hati yang tak rela, Juwita menyambar jubah tidurnya dari atas sofa. Segera dia kenakan pakaian itu untuk menutupi bagian pundaknya yang telanjang, kemudian berlari ke lantai satu. Mulutnya terus meneriakkan nama Hendra, berharap suaminya akan mendengar dan menunggunya di bawah sana.“Hendra, jangan pergi, Hendra! Kamu nggak boleh ninggalin aku seperti ini!”Juwi masih berteriak, kakinya berlari kencang menuruni anak t
Siang itu Hendra langsung menemui Lilis di apartemennya. Masih sama seperti dulu, tidak ada yang berubah dengan letak perabot di dalamnya, sama seperti saat Hendra masih tinggal dengan Lilis. Hanya saja, sekarang ada laki-laki lain yang tinggal dengan Lilis, dan itu bukan Hendra.“Bagaimana kabarmu?” tanya Lilis berbasa-basi, meletakkan secangkir teh di atas meja.“Tidak baik, aku rasa kamu tahu itu.”Tidak ada yang baik-baik saja ketika berjauhan dengan putranya, kecuali Lilis. Manusia berakal akan selalu gelisah sebelum melihat anaknya.“Di mana Alan? Bukannya kamu bilang Alan ada sama kamu?” Langsung Hendra menanyakan perihal Alan, hal yang membuat dirinya ada di rumah itu.Lilis tersenyum. “Jangan terlalu buru-buru. Alan baik-baik saja, kok. Diminum dulu tehnya,” ucap Lilis ramah.Bukannya tidak mau, tapi bagaimana pun, Hendra harus tetap waspada. Saat ini hanya ada dirinya dan Lilis di ruangan itu, sedangkan Steve sama sekali tidak terlihat di sana. Bisa saja Steve memang sedang
Sejenak Hendra menunduk. Dia menatap lantai di bawah kakinya dan memikirkan pertanyaan itu. Cinta... Hendra tersenyum kecil.Tentu saja dia mencintai Juwita, dan cinta itu pula yang membuatnya selalu sabar dengan semua cobaan pernikahan mereka. Tapi Hendra tidak akan lupa bahwa cinta pula yang membuatnya menjadi suami yang terjual. Karena rasa cintanya pada Lilis dan tidak ingin istrinya bercerai, Hendra yang bodoh pun menerima pernikahan tertulis dengan Juwita.Bukankah cinta itu pula yang membuatnya menjadi menderita? Meski sangat mencintai Juwita, Hendra juga ingin mempertahankan harga dirinya.“Mencintai adalah hal yang sangat mematikan, sampai aku menjadi menantu Anda pun itu karena dulu aku mencintai mantan istriku. Jika sekali lagi aku mengalah demi cinta, bukan tak mungkin akan kehilangan harga diri lagi. Maka kuputuskan, bercerai adalah jalan yang sudah sepatutnya,” ucap Hendra dengan yakin.Juwita tidak kuasa mendengar perkataan Hendra, air matannya mengalir lebih deras oleh
Hendra mengangguk, tidak ingin mengulur waktu sehingga membuat orang-orang berharap banyak padanya. Semuanya harus diakhiri agar Juwita tidak terus merendahkannya.“Nggak mungkin,” bisik Juwita patah hati, kedua tangan memegangi kepalanya yang belum mampu menerima kenyataan. “Kamu nggak mungkin menanda tanganinya, kamu pasti berbohong.” Dia tatap suaminya dengan mata memelas, sungguh tidak Juwita harapkan benar-benar bercerai dari Hendra.“Maaf mengecewakan kamu. Tapi... kedatanganku ke sini untuk mengantarkan surat cerai itu.” Hendra mengeluarkan amplop yang Juwita kirimkan itu, dan membuka bagian yang sudah dia tanda tangani. Dia letakkan berkas itu di atas meja agar semua orang bisa melihatnya. “Aku hanya mengabulkan permintaan kamu. Dan lagi, aku rasa kita tidak mungkin meneruskan pernikahan yang sejak awal tidak sehat. Aku tidak ingin terus dikenal sebagai suami yang dibeli, maka itu memang sebaiknya kita bercerai saja.”Sebagai lelaki, Hendra punya harga diri. Meski di awal sud
Berkali-kali Juwita melirik ke pintu utama rumah orang tuanya. Duduknya tak bisa diam, bergeser setiap menit seakan tidak sabaran. Sofa yang didesain sangat empuk itu seakan tidak nyaman menjadi tempatnya. Dia melirik lagi, dan itu terus saja terulang setiap kali dia mendengar suara pergerakan seseorang di sekitarnya.Maria mengamati putrinya itu dari anak tangga, tampak penyesalan dan ragu-ragu di wajah cantik Juwi yang belakangan ini terlihat semakin kurus. Dia mendatangi putrinya dan duduk di sebelah Juwi.“Wi, tenangkan dirimu,” kata Maria, mungkin dengan ucapan itu putrinya bisa merasa lebih baik. “Pikirkan anak di kandungan kamu. Jika mamanya stres, anak kamu juga akan ikut stres di dalam sana.Mata sayu Juwi menatap mamanya ragu dan dia berkata, “Entah lah, Ma. Aku tidak bisa tenang sebelum melihat Hendra datang. Aku takut jika dia tidak benar-benar menemuiku,” katanya.Hendra memang tidak pernah berkata akan datang menemui Juwita, melainkan Armaja lah yang akan ditemui lelaki
Setelah mendapatkan bukti itu, polisi langsung memeriksanya. Benar saja, video yang Steve berikan sebagai bukti jelas adalah editan. Banyak bukti yang Armaja bawa sehingga Steve tidak bisa berkutik sekarang. Bukan hanya itu, Armaja juga berhasil menangkap pelaku yang selama ini bersembunyi di belakang Steve, sebagai orang yang mengunggah di media sosial.“Bukan saya yang bersalah, Pak! Dia yang lebih dulu memukul saya!” Steve meronta di tangan polisi. Dia terus menuduh Hendra lah yang sudah memukulnya terlebih dahulu, tapi bukti-bukti yang dibawa oleh Armaja tidak bisa dibohongi.Hendra yang masih sangat shock dengan kejadian ini, hanya bisa diam menyaksikan Armaja dan polisi menyelesaikan masalah mereka. Lelaki itu memeluk putranya erat, menenangkan Alan yang masih sesunggukan.“Dia yang memukul saya! Dia yang seharusnya ditangkap!” Steve menunjuk-nunjuk pada Hendra, sangat memuakkan. Bahkan ketika semua bukti sudah terarah padanya, lelaki itu masih saja ingin menyalahkan Hendra.And
Jalan raya itu sangat ramai oleh mobil-mobil yang berlalu lalang. Tak ada cela jika pun Hendra ingin lari dari kejaran polisi yang tengah menunggunya di luar sana. Pasrah. Hanya itu yang bisa Hendra lakukan sekarang. Dia tidak mungkin berlarian di jalanan menggendong Alan, seperti yang tadi dilakukannya. Bisa-bisa membuat Alan menjadi celaka.“Pak, bagaimana selanjutnya? Kita tidak bisa lewat, apakah kita harus menabrak mobil lainnya agar memberikan jalan?” tanya Rahmat dari bangku kemudi, dia tidak rela bosnya tertangkap begitu saja.Akan tetapi, Hendra sudah lelah. Perkataan Rahmat terlalu berisiko dan dia tidak ingin membuat masalah yang lebih besar.Dia melepaskan sebelah tangan dari punggung Alan, kemudian membuka pintu mobil itu sangat pelan.“Pak, jangan keluar. Bagaimana nasib Alan jika bapak sampai ke kantor polisi?” Rahmat masih mengingatkan.“Kita tidak mungkin membuat masalah yang lebih besar lagi, Mat. Aku tidak ingin kamu ikut ke dalam masalah ini.” Dia pun keluar dari
Taksi yang Hendra tumpangi dengan Alan pun meluncur di jalanan. Sopir taksi itu merasa iba melihat Alan yang menangis berkata takut, dia membayangkan andaikan dirinya bersama anaknya yang ada di posisi Hendra sekarang. Meski sebenarnya pak sopir juga terlihat ketakutan, wajahnya berkeringat saat melihat dua petugas polisi dari kaca spion-nya.“Bapak ini mau ke mana, toh? Saya nggak berani kalo Suria Hotel, itu terlalu jauh, takutnya dikejar sama polisi. Saya juga punya anak istri, Pak, tidak berani berurusan dengan mereka,” kata pak sopir, nadanya gemetar saat bertanya.Hendra pun tidak mungkin melibatkan orang lain dalam kasusnya. Suria Hotel terbilang jauh dari posisi mereka sekarang, sangat benar yang dikatakan sang sopir kalau petugas kepolisian itu mungkin tengah mengejarnya. Lagian, Hendra juga tidak mungkin pergi ke sana lagi, akan sangat gampang jika polisi melacaknya.Beruntung saja ponselnya terselip di saku celana Hendra, sehingga dia bisa menghubungi Rahmat untuk meminta
Ketika Hendra masih memaksa Lilis agar keluar dari mobilnya, dua mobil lainnya datang ke tempat itu. Berhenti tepat di sebelah Hendra, membuatnya bertanya-tanya siapa kira-kira orang yang datang di dalam sana. Hendra menghela napas panjang ketika melihat itu adalah Steve dan beberapa orang dengan kamera besar.Reporter lagi?Astaga... entah sampai kapan Hendra harus bertemu dengan orang-orang itu, dia sudah sangat lelah.Tidak cukup hanya Steve dan reporter saja yang datang ke sana. Tidak lebih dari dua menit, ada mobil polisi yang juga ikut parkir di halaman warga yang luas itu. Entah apa yang akan terjadi di ke depan nanti, Hendra sudah sangat lelah berpikir. Menghadapi Lilis saja sudah membuatnya kesulitan, kenapa Steve harus datang ke sini membawa reporter dan polisi?“Itu perempuan yang menghancurkan kaca mobil saya, tolong tangkap dia, Pak. Meski Lisa adalah istri saya, saya tidak terima mobil saya dirusak begitu saja,” kata Steve pada polisi, menunjuk Lilis di dalam mobil Hendr
“Jangan bawa Alan, Hendra! Kamu nggak boleh bawa dia sebelum kasih duit ke aku!”Hendra sudah berhasil merebut paksa Alan dari Lilis dan Ratna, tapi saat akan membawanya masuk ke mobil, Lilis segera menghentikan Hendra. Perempuan itu betul-betul tak merelakan Hendra pergi tanpa memberinya uang. Lilis bahkan bergantung di kaki Hendra, memegangi agar lelaki itu tidak bisa bergerak.“Kasih aku uang dulu! Kamu nggak boleh pergi dari sini sebelum ngasih aku uang!” kata Lilis terus berteriak, memeluk kaki Hendra sangat erat.Setiap kali Hendra akan melangkah, kakinya selalu ditahan oleh Lilis. Bahkan hampir saja Hendra terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangan.“Lepasin, Lilis! Kamu ini jangan bikin malu!” Hendra berkata geram, orang-orang sudah berkerumun menyaksikan mereka di halaman itu. Sudah seperti suami kejam saja Hendra dengan posisi Lilis memeluk kakinya.“Nggak! Aku nggak bakal lepasin kaki kamu, sebelum kasih aku uang!” sahut Lilis semakin mempererat pelukannya di kaki Hend
Dalam kecewanya yang mendalam terhadap Steve, Lilis mencengkeram baju lelaki itu, lalu merosot perlahan-lahan. Saat itu dia mendengar deru mesin mobil di sebelahnya, dalam keputusasaan dia melihat ke kanan, berharap seseorang mungkin mendengar pertengkarannya dengan Steve. Mungkin seseorang itu bisa bersaksi untuk Lilis, bahwa semua ini sudah direncanakan Steve, dan laki-laki itu adalah alasannya bercerai dari Hendra.“He-Hendra. I-itu Hendra!” seru Lilis penuh harap. Dia berpikir Hendra bisa membantunya untuk itu.Namun, benarkah Hendra mau membantunya? Meski laki-laki itu mendengar pertengkarannya dengan Steve, Hendra tidak mungkin mau membantu Lilis. Harapan yang tadi sempat singgah, perlahan menjadi rasa takut.“Tidak! Dia tidak boleh mengambil Alan!” seru Lilis lantas berdiri. “Jangan ambil Alan! Alan milikku!”Tidak Lilis hiraukan lagi Steve yang kebingungan melihatnya, Lilis sudah berlari kembali ke dalam mobil. Dia harus menghentikan Hendra sebelum lebih dulu mengambil Alan.