Kata-kata Hendra membuat Juwita terdiam seketika. Mulutnya terkunci, kedua manik cokelat itu nanar menatap Hendra. Dia baru saja menyadari bahwa ucapannya sudah sangat keterlaluan, sehingga melukai hati Hendra. Juwita tidak berani membalas ucapan suaminya, sehingga hanya diam lah yang bisa dia lakukan.Hendra melihat Juwita yang hanya diam pun merasa yakin bahwa istrinya sudah tidak menginginkan dirinya lagi. Tak mungkin selamanya bertahan dengan perempuan itu, jika hanya dipandang sebagai suami yang dibeli. Meski benar Juwita sudah membelinya, Hendra tetap lah laki-laki yang ingin dihargai oleh sang istri. Tak ada gunanya bertahan dengan perempuan yang terus saja menganggap dirinya bagaikan sampah tidak berguna.“Aku juga lelah. Aku juga capek jika terus-terusan ribut seperti ini. Aku butuh ketenangan, maka itu, atas permintaan kamu aku akan keluar dari rumah ini.”Hendra melepaskan pegangannya di lengan Juwita, tak tahan dia terus beradu tatap dengan istrinya. Sudah cukup, Hendra me
Juwita masih berharap Hendra tidak akan pergi meninggalkannya. Dia hanya berdiri di tengah kamar itu menatap lurus pintu kamar yang terbuka di depan sana. Tapi sampai beberapa menit dia menunggu Hendra kembali, lelaki itu tidak juga terlihat batang hidungnya. Hati Juwita menjadi gelisah, tak rela kehilangan suami yang begitu perhatian padanya.“Hendra, Hendra!” Dia memanggil dari dalam kamar, hatinya berharap Hendra hanya bermain-main lalu muncul dari luar sana dan memeluk Juwita seperti biasa. Harapan yang sia-sia, Hendra tidak terlihat seperti yang dia inginkan.Dengan hati yang tak rela, Juwita menyambar jubah tidurnya dari atas sofa. Segera dia kenakan pakaian itu untuk menutupi bagian pundaknya yang telanjang, kemudian berlari ke lantai satu. Mulutnya terus meneriakkan nama Hendra, berharap suaminya akan mendengar dan menunggunya di bawah sana.“Hendra, jangan pergi, Hendra! Kamu nggak boleh ninggalin aku seperti ini!”Juwi masih berteriak, kakinya berlari kencang menuruni anak t
Siang itu Hendra langsung menemui Lilis di apartemennya. Masih sama seperti dulu, tidak ada yang berubah dengan letak perabot di dalamnya, sama seperti saat Hendra masih tinggal dengan Lilis. Hanya saja, sekarang ada laki-laki lain yang tinggal dengan Lilis, dan itu bukan Hendra.“Bagaimana kabarmu?” tanya Lilis berbasa-basi, meletakkan secangkir teh di atas meja.“Tidak baik, aku rasa kamu tahu itu.”Tidak ada yang baik-baik saja ketika berjauhan dengan putranya, kecuali Lilis. Manusia berakal akan selalu gelisah sebelum melihat anaknya.“Di mana Alan? Bukannya kamu bilang Alan ada sama kamu?” Langsung Hendra menanyakan perihal Alan, hal yang membuat dirinya ada di rumah itu.Lilis tersenyum. “Jangan terlalu buru-buru. Alan baik-baik saja, kok. Diminum dulu tehnya,” ucap Lilis ramah.Bukannya tidak mau, tapi bagaimana pun, Hendra harus tetap waspada. Saat ini hanya ada dirinya dan Lilis di ruangan itu, sedangkan Steve sama sekali tidak terlihat di sana. Bisa saja Steve memang sedang
"Dan omong-omong, kita tidak pernah bercerai, Hendra. Kamu tidak lupa itu, kan?" kata Lilis tiba-tiba. Hendra yang mendengarnya menjadi bingung dengan ucapan perempuan itu."Apa lagi maksud kamu? Kamu itu udah menikah dengan Steve, nggak bercerai bagaimana?" "Tapi kamu nggak pernah menandatangani surat cerai kita. Kamu menolak keras menandatangani itu, yang artinya sampai detik ini kita masih menjadi pasangan suami istri yang resmi."Di belahan dunia mana pun, Hendra tidak pernah mendengar seorang istri memiliki suami lebih dari satu. Jika sudah menikah dengan lelaki lain, tentu saja artinya sudah bercerai dengan yang pertama! "Itu nggak benar. Kamu udah menikah, tandanya sudah bercerai dengan aku!""Tapi pernikahan kami tidak terdaftar secara resmi, karena tidak memiliki surat cerai dari kamu. Artinya, suamiku yang sebenarnya adalah kamu. Sementara Steve, ya... anggap aja aku selingkuh dengan dia." Lilis berkata dengan entengnya.Entah apa yang ada di dalam pikiran Lilis, bahkan pa
272.“Steve, Steve! Bangun, Steve, bangun!” teriak Lilis mengguncang tubuh Steve. Dia ketakutan tentu saja, melihat Steve yang terbaring di depannya. Apalagi laki-laki itu sama sekali tidak bergerak, Lilis takut jika suaminya dalam keadaan kritis atau mungkin mati?Di sini hanya ada Lilis, Hendra sudah pergi setelah puas memukul Steve tadi. Jika terjadi sesuatu, Lilis lah yang akan lebih dulu disalahkan!“Steve, astaga!” teriak Lilis lagi, meletakkan tangannya di hidung Steve untuk memastikan laki-laki itu masih bernapas.Sebenarnya, Steve mati pun tidak merugikan bagi Lilis. Apakah terlalu kejam jika Lilis justru beruntung? Toh, selama ini Steve tidak berguna di dalam hidupnya. Steve selalu kasar, bahkan tak sungkan memukul Lilis. Uang yang Lilis punya pun semua habis oleh Steve. Lantas kenapa harus merasa rugi dia mati?Hal yang membuat Lilis ketakutan adalah, karena kejadian itu ada di rumahnya, juga menyangkut dirinya. Jika Steve benar-benar mati, lalu polisi menangani kasus ini,
Kepergian Hendra meninggalkan kesedihan mendalam pada Juwita. Dia menjadi tak bersemangat, hari-harinya dihabiskan hanya merenung seorang diri. Makan pun dia tidak selera, sudah seperti seorang yang kehilangan suami saja. Ketika asisten rumah tangga datang mengantarkan makanan, Juwita hanya menatapnya saja. Sehari sekali pun belum tentu dia sentuh makanan itu. Hal itu membuat semua orang di rumah menjadi khawatir, apalagi sejak malam kepergian Hendra, laki-laki itu tidak pernah pulang ke rumah. "Bagaimana ini, Ratih? Aku nggak tega sama ibu." Asih duduk di sebelah Ratih setelah membawa nampan yang sama sekali isinya tidak disentuh Juwita."Aku juga nggak tau, Mbok. Tapi kasihan ibu, bayinya bisa kekurangan gizi kalau ibu nggak makan terus.""Lalu gimana, dong? Mau cari bapak pun kita nggak tau ke mana. Di resto nggak kelihatan, hanya ada Pak Rahmat yang gantikan bapak di sana." Mereka sudah mencoba menemukan Hendra di resto, tapi orang di sana berkata Hendra tidak pernah muncul. I
“Bagaimana kabar resto, Mat? Baik semua, kan?”“Baik, Pak. Laporannya akan saya kirimkan ke email bapak,” jelas Rahmat di dalam telepon.Setiap hari Hendra menghubungi bawahannya itu untuk menanyakan perkembangan restoran. Dia memang mematikan ponsel yang biasa dia pakai, tapi membeli satu ponsel lainnya untuk urusan pekerjaan. Hendra sedang tidak ingin diganggu oleh apa pun, selain pekerjaan.“Ya sudah, kirimkan seperti biasa. Nanti saya koreksi. Terima kasih, ya.”“Sama-sama, Pak. Oh ya, ada yang cari bapak lagi ke resto, dan kali ini sepertinya bukan disuruh ibu. Saya lihat, sepertinya mereka disuruh sama Bapak Armaja, mertunya bapak.”Laporan itu membuat Hendra menghela napas panjang. Padahal baru satu minggu, sudah tahu saja mertuanya tentang masalah ini. Hendra tidak bisa hanya berdiam diri jika orang tua Juwita sudah tahu.“Baik, terima kasih juga untuk itu.” Hendra mengakhiri panggilan teleponnya.Sekarang Hendra tinggal di salah satu hotel yang—sebenarnya—tidak jauh dari temp
Rekaman video itu sangat ramai beredar. Baik di televisi, mau pun di sosial media. Banyak orang yang sudah melihatnya, tidak terkecuali dengan para pekerja di rumah Juwita. Mereka sangat terkejut dan tidak percaya, padahal selama ini Hendra tidak pernah terdengar macam-macam.Padahal, saat ini Juwita sudah mulai membaik perasaannya. Apalagi setelah kedatangan papanya dua hari yang lalu, dia percaya masalahnya dan Hendra akan ditangani baik oleh Armaja.Saat ini Juwita lebih memilih fokus mengurus kehamilannya. Meski Hendra sendiri belum menerima anak itu, dia tetap menjaganya dengan baik. Juwita tidak ingin bayinya kekurangan gizi, dia mulai mengatur pola makannya lagi.Sambil membawa gelas susu yang sudah kosong, Juwita menuruni anak tangga. Dia tidak ingin manja, sehingga segalanya diurus oleh asisten rumah tangga. Karena itu Juwita memilih banyak bergerak agar anak di dalam perutnya juga sehat.Saat memasuki dapur, terdengar para asisten sedang berbincang-bincang.“Tapi aku nggak p
Sejenak Hendra menunduk. Dia menatap lantai di bawah kakinya dan memikirkan pertanyaan itu. Cinta... Hendra tersenyum kecil.Tentu saja dia mencintai Juwita, dan cinta itu pula yang membuatnya selalu sabar dengan semua cobaan pernikahan mereka. Tapi Hendra tidak akan lupa bahwa cinta pula yang membuatnya menjadi suami yang terjual. Karena rasa cintanya pada Lilis dan tidak ingin istrinya bercerai, Hendra yang bodoh pun menerima pernikahan tertulis dengan Juwita.Bukankah cinta itu pula yang membuatnya menjadi menderita? Meski sangat mencintai Juwita, Hendra juga ingin mempertahankan harga dirinya.“Mencintai adalah hal yang sangat mematikan, sampai aku menjadi menantu Anda pun itu karena dulu aku mencintai mantan istriku. Jika sekali lagi aku mengalah demi cinta, bukan tak mungkin akan kehilangan harga diri lagi. Maka kuputuskan, bercerai adalah jalan yang sudah sepatutnya,” ucap Hendra dengan yakin.Juwita tidak kuasa mendengar perkataan Hendra, air matannya mengalir lebih deras oleh
Hendra mengangguk, tidak ingin mengulur waktu sehingga membuat orang-orang berharap banyak padanya. Semuanya harus diakhiri agar Juwita tidak terus merendahkannya.“Nggak mungkin,” bisik Juwita patah hati, kedua tangan memegangi kepalanya yang belum mampu menerima kenyataan. “Kamu nggak mungkin menanda tanganinya, kamu pasti berbohong.” Dia tatap suaminya dengan mata memelas, sungguh tidak Juwita harapkan benar-benar bercerai dari Hendra.“Maaf mengecewakan kamu. Tapi... kedatanganku ke sini untuk mengantarkan surat cerai itu.” Hendra mengeluarkan amplop yang Juwita kirimkan itu, dan membuka bagian yang sudah dia tanda tangani. Dia letakkan berkas itu di atas meja agar semua orang bisa melihatnya. “Aku hanya mengabulkan permintaan kamu. Dan lagi, aku rasa kita tidak mungkin meneruskan pernikahan yang sejak awal tidak sehat. Aku tidak ingin terus dikenal sebagai suami yang dibeli, maka itu memang sebaiknya kita bercerai saja.”Sebagai lelaki, Hendra punya harga diri. Meski di awal sud
Berkali-kali Juwita melirik ke pintu utama rumah orang tuanya. Duduknya tak bisa diam, bergeser setiap menit seakan tidak sabaran. Sofa yang didesain sangat empuk itu seakan tidak nyaman menjadi tempatnya. Dia melirik lagi, dan itu terus saja terulang setiap kali dia mendengar suara pergerakan seseorang di sekitarnya.Maria mengamati putrinya itu dari anak tangga, tampak penyesalan dan ragu-ragu di wajah cantik Juwi yang belakangan ini terlihat semakin kurus. Dia mendatangi putrinya dan duduk di sebelah Juwi.“Wi, tenangkan dirimu,” kata Maria, mungkin dengan ucapan itu putrinya bisa merasa lebih baik. “Pikirkan anak di kandungan kamu. Jika mamanya stres, anak kamu juga akan ikut stres di dalam sana.Mata sayu Juwi menatap mamanya ragu dan dia berkata, “Entah lah, Ma. Aku tidak bisa tenang sebelum melihat Hendra datang. Aku takut jika dia tidak benar-benar menemuiku,” katanya.Hendra memang tidak pernah berkata akan datang menemui Juwita, melainkan Armaja lah yang akan ditemui lelaki
Setelah mendapatkan bukti itu, polisi langsung memeriksanya. Benar saja, video yang Steve berikan sebagai bukti jelas adalah editan. Banyak bukti yang Armaja bawa sehingga Steve tidak bisa berkutik sekarang. Bukan hanya itu, Armaja juga berhasil menangkap pelaku yang selama ini bersembunyi di belakang Steve, sebagai orang yang mengunggah di media sosial.“Bukan saya yang bersalah, Pak! Dia yang lebih dulu memukul saya!” Steve meronta di tangan polisi. Dia terus menuduh Hendra lah yang sudah memukulnya terlebih dahulu, tapi bukti-bukti yang dibawa oleh Armaja tidak bisa dibohongi.Hendra yang masih sangat shock dengan kejadian ini, hanya bisa diam menyaksikan Armaja dan polisi menyelesaikan masalah mereka. Lelaki itu memeluk putranya erat, menenangkan Alan yang masih sesunggukan.“Dia yang memukul saya! Dia yang seharusnya ditangkap!” Steve menunjuk-nunjuk pada Hendra, sangat memuakkan. Bahkan ketika semua bukti sudah terarah padanya, lelaki itu masih saja ingin menyalahkan Hendra.And
Jalan raya itu sangat ramai oleh mobil-mobil yang berlalu lalang. Tak ada cela jika pun Hendra ingin lari dari kejaran polisi yang tengah menunggunya di luar sana. Pasrah. Hanya itu yang bisa Hendra lakukan sekarang. Dia tidak mungkin berlarian di jalanan menggendong Alan, seperti yang tadi dilakukannya. Bisa-bisa membuat Alan menjadi celaka.“Pak, bagaimana selanjutnya? Kita tidak bisa lewat, apakah kita harus menabrak mobil lainnya agar memberikan jalan?” tanya Rahmat dari bangku kemudi, dia tidak rela bosnya tertangkap begitu saja.Akan tetapi, Hendra sudah lelah. Perkataan Rahmat terlalu berisiko dan dia tidak ingin membuat masalah yang lebih besar.Dia melepaskan sebelah tangan dari punggung Alan, kemudian membuka pintu mobil itu sangat pelan.“Pak, jangan keluar. Bagaimana nasib Alan jika bapak sampai ke kantor polisi?” Rahmat masih mengingatkan.“Kita tidak mungkin membuat masalah yang lebih besar lagi, Mat. Aku tidak ingin kamu ikut ke dalam masalah ini.” Dia pun keluar dari
Taksi yang Hendra tumpangi dengan Alan pun meluncur di jalanan. Sopir taksi itu merasa iba melihat Alan yang menangis berkata takut, dia membayangkan andaikan dirinya bersama anaknya yang ada di posisi Hendra sekarang. Meski sebenarnya pak sopir juga terlihat ketakutan, wajahnya berkeringat saat melihat dua petugas polisi dari kaca spion-nya.“Bapak ini mau ke mana, toh? Saya nggak berani kalo Suria Hotel, itu terlalu jauh, takutnya dikejar sama polisi. Saya juga punya anak istri, Pak, tidak berani berurusan dengan mereka,” kata pak sopir, nadanya gemetar saat bertanya.Hendra pun tidak mungkin melibatkan orang lain dalam kasusnya. Suria Hotel terbilang jauh dari posisi mereka sekarang, sangat benar yang dikatakan sang sopir kalau petugas kepolisian itu mungkin tengah mengejarnya. Lagian, Hendra juga tidak mungkin pergi ke sana lagi, akan sangat gampang jika polisi melacaknya.Beruntung saja ponselnya terselip di saku celana Hendra, sehingga dia bisa menghubungi Rahmat untuk meminta
Ketika Hendra masih memaksa Lilis agar keluar dari mobilnya, dua mobil lainnya datang ke tempat itu. Berhenti tepat di sebelah Hendra, membuatnya bertanya-tanya siapa kira-kira orang yang datang di dalam sana. Hendra menghela napas panjang ketika melihat itu adalah Steve dan beberapa orang dengan kamera besar.Reporter lagi?Astaga... entah sampai kapan Hendra harus bertemu dengan orang-orang itu, dia sudah sangat lelah.Tidak cukup hanya Steve dan reporter saja yang datang ke sana. Tidak lebih dari dua menit, ada mobil polisi yang juga ikut parkir di halaman warga yang luas itu. Entah apa yang akan terjadi di ke depan nanti, Hendra sudah sangat lelah berpikir. Menghadapi Lilis saja sudah membuatnya kesulitan, kenapa Steve harus datang ke sini membawa reporter dan polisi?“Itu perempuan yang menghancurkan kaca mobil saya, tolong tangkap dia, Pak. Meski Lisa adalah istri saya, saya tidak terima mobil saya dirusak begitu saja,” kata Steve pada polisi, menunjuk Lilis di dalam mobil Hendr
“Jangan bawa Alan, Hendra! Kamu nggak boleh bawa dia sebelum kasih duit ke aku!”Hendra sudah berhasil merebut paksa Alan dari Lilis dan Ratna, tapi saat akan membawanya masuk ke mobil, Lilis segera menghentikan Hendra. Perempuan itu betul-betul tak merelakan Hendra pergi tanpa memberinya uang. Lilis bahkan bergantung di kaki Hendra, memegangi agar lelaki itu tidak bisa bergerak.“Kasih aku uang dulu! Kamu nggak boleh pergi dari sini sebelum ngasih aku uang!” kata Lilis terus berteriak, memeluk kaki Hendra sangat erat.Setiap kali Hendra akan melangkah, kakinya selalu ditahan oleh Lilis. Bahkan hampir saja Hendra terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangan.“Lepasin, Lilis! Kamu ini jangan bikin malu!” Hendra berkata geram, orang-orang sudah berkerumun menyaksikan mereka di halaman itu. Sudah seperti suami kejam saja Hendra dengan posisi Lilis memeluk kakinya.“Nggak! Aku nggak bakal lepasin kaki kamu, sebelum kasih aku uang!” sahut Lilis semakin mempererat pelukannya di kaki Hend
Dalam kecewanya yang mendalam terhadap Steve, Lilis mencengkeram baju lelaki itu, lalu merosot perlahan-lahan. Saat itu dia mendengar deru mesin mobil di sebelahnya, dalam keputusasaan dia melihat ke kanan, berharap seseorang mungkin mendengar pertengkarannya dengan Steve. Mungkin seseorang itu bisa bersaksi untuk Lilis, bahwa semua ini sudah direncanakan Steve, dan laki-laki itu adalah alasannya bercerai dari Hendra.“He-Hendra. I-itu Hendra!” seru Lilis penuh harap. Dia berpikir Hendra bisa membantunya untuk itu.Namun, benarkah Hendra mau membantunya? Meski laki-laki itu mendengar pertengkarannya dengan Steve, Hendra tidak mungkin mau membantu Lilis. Harapan yang tadi sempat singgah, perlahan menjadi rasa takut.“Tidak! Dia tidak boleh mengambil Alan!” seru Lilis lantas berdiri. “Jangan ambil Alan! Alan milikku!”Tidak Lilis hiraukan lagi Steve yang kebingungan melihatnya, Lilis sudah berlari kembali ke dalam mobil. Dia harus menghentikan Hendra sebelum lebih dulu mengambil Alan.