Idenya memang oke, tapi Lilis sama sekali tidak tertarik. Tujuannya bukan sekedar uang, dia menginginkan Hendra. Jika melakukan perintah Steve, Hendra pasti langsung mendepaknya dan tidak akan mau melihat wajahnya lagi. Lilis yang rugi, sedang Steve akan keenakan menikmati uang hasil kerjanya. Tentu saja Lillis tidak rela, dia harus berpura bodoh untuk mengelak dari ide suaminya.“Maksudnya, aku ketemu Alan terus kasih tahu kalo aku ini ibu yang melahirkannya, begitu? Kan yang Alan tahu ibunya itu Juwita, mana dia bisa percaya, Steve. Lagian, Hendra sudah larang aku, tar dia nggak kasih duitnya, lagi. Makin berabe yang ada,” sahut Lilis.Otak Lilis memang setengah, begitu Steve memandangnya. Karena itu lah Steve selalu muak melihat istrinya itu. Tapi jika Lilis pintar, Steve juga tidak akan mungkin bisa mengerut uang Lilis. Sedikit banyaknya Steve bersyukur otak Lilis tidak sepintar perempuan lain. Dia tidak tahu kalau semua sisi yang Lilis tunjukkan hanyalah untuk mengelabuhi dirinya
“Kandungan kamu baik-baik saja kan, Wi? Pernah merasa perut nggak enak atau bagaimana?”Pagi ini Hendra dan Juwita kedatangan tamu yang seharusnya tidak datang. Ya, itu Maria, mamanya Juwita. kedatangan wanita itu membuat Juwi dan Hendra duduk bersama di meja makan, meski keduanya sangat terpaksa.Perang dingin antara mereka belum juga menemukan titik terang. Juwi masih terlalu sakit hati atas perlakuan Hendra tadi malam, sedang Hendra juga enggan membuka mulutnya untuk saling menyapa. Bahkan ketika bangun tidur saja keduanya tidak saling menemukan di kamar, sebab Hendra lebih memilih mengungsi tidur di kamar Alan.“Nggak kok, Ma, aku nggak merasa apa-apa,” sahut Juwita sembari menuang teh untuk Hendra, lantas meletakkan gelas teh itu di depan suaminya. “Ini teh kamu, Hen,” katanya seakan tidak ada masalah. Juwita memamerkan senyum palsu selayaknya sangat tulus pada Hendra.“Makasih, Sayang.” Hendra menjawab lembut meski dia sedang tidak berminat. Di depan Maria, mereka harus berpura
“Oh... iya. Mama sampe lupa sudah janji bawa Alan jalan-jalan.” Juwita memegangi kepalanya. Dia benar-benar lupa, tak ada niat sama sekali berpura lupa dengan janji itu. Sebab pertengkaran dengan Hendra pula dia sampai menjadi kalap mencari Lilis, kemarin.“Baik, mama minta maaf, Sayang. Hari ini mama akan tepati janji,” ucapnya sangat menyesal.Setelah ingkar janji, dengan gampangnya Juwita meminta maaf dan membuat janji lagi. Hendra tidak ingin anaknya sekali lagi kecewa termakan janji Juwita, dia pun berdiri menghampiri mereka dan berkata, “Tapi aku yang bawa Alan hari ini. Kamu istirahat saja di rumah, pasti capek setelah kemarin sangat sibuk, kan?”Hendra menyindir secara halus sehingga Maria tidak mengerti keduanya sedang tidak baik-baik saja.“Lubang… Alan mau jalan-jalan sama mama.” Alan berteriak sambil bertanya, dan berkata pada Hendra, “Pa, Alan nggak mau ikut papa, maunya pelgi sama mama.”“Tapi, Lan. Mama capek dan butuh istirahat, kamu ikut papa saja,” kata Hendra lagi u
Juwita berpura tidak mendengar pertanyaan ibunya. Dia berpura sibuk mengisi sarapan untuk Alan, menghiraukan tatapan Maria yang penuh selidik. Sedangkan Hendra menghilangkan rasa khawatirnya dengan meminum sampai habis teh yang tadi Juwi siapkan untuknya. “Aku berangkat sekarang, ya. Perjalanan ke Bandung sering macet.” Dia segera berdiri mengulurkan tangan pada mertuanya. “Permisi, Ma.” “Ya, hati-hati di jalan, Hendra. Bawa lah sopir agar kamu tidak terlalu lelah menyetir, perjalanan itu tidak sebentar,” pesa Maria pada Hendra. “Baik. Saya akan membawa sopir.” Buru-buru Hendra meninggalkan meja makan, dia tidak punya jawaban jika mertuanya mengulang pertanyaan yang sama. “Alan, makan sampai habis ya. Kita harus punya tenaga cukup agar bisa bermain seharian.” Kini Juwita yang mendapat tatapan dari mamanya, membuat Juwi sedikit salah tingkah. Maria tidak melupakan begitu saja pertanyaan yang belum mendapat jawaban. “Mama tanya, tante siapa yang bawa Alan jalan-jalan? Kamu dan Hendr
“Alan mainnya hati-hati, ya. Mama duduk di sini lihatin Alan,” kata Juwi melepas putra sambungnya memasuki arena bermain itu. Alan mengangguk antusias sedang Juwita memilih duduk di salah satu kursi untuk yang disediakan untuk orang tua mengawasi anaknya. Perut Juwita sudah mulai terlihat besar, tak terasa kandungannya memasuki bulan ke lima. Hal itu membuat geraknya tidak bebas seperti sebelum mengandung dulu, dia tidak bisa ikut ke dalam arena menemani Alan. Sembari melihat Alan yang tertawa bahagia dengan tumpukan bola-bola kecil itu, Juwita tersenyum. Ini adalah pengalaman pertama Juwi memasuki arena bermain untuk anak-anak, selama ini hanya tahu tempat seperti itu dari layar televisi. Sejak kecil, Juwita tidak pernah dibawa bermain oleh papa dan mamanya, sebab keduanya sangat sibuk dengan pekerjaan. Juwita tidak mempermasalahkan hal itu, dia tahu kedua orang tuanya harus bekerja sangat keras agar bisa seperti sekarang. Terkadang dia merasa bersalah pada Alan. Ketidaktahuannya a
“Alan, kamu di mana, Sayang?”Juwita sudah berputar-putar di sekitar arena bermain, mencari keberadaan Alan yang menghilang entah ke mana. Dengan perut yang sudah mulai membuncit, Juwi berlarian melihat ke segala arah berharap akan menemukan anak itu. Tapi sampai sudah lama dia mencari, Alan tidak juga ditemukan.Dia sangat lelah, kedua kakinya mulai pegal setelah berjalan sejak tadi. Juwita menjatuhkan diri di salah satu bangku yang disediakan untuk pengunjung.“Aku harus memberitahu Hendra. Aku tidak mungkin bisa menemukan Alan jika begini,” kata Juwita, lantas mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Tapi baru saja akan menekan tombol pemanggil pada suaminya, Juwi menghentikannya.Jika Hendra tahu hal ini, habis lah Juwita. Baru pertama kali membawa Alan pergi dengannya, anak itu sudah menghilang. Entah kata kasar apa yang akan Hendra katakan pada Juwita nanti, saat tahu anaknya menghilang di arena permainan.Alan adalah separuh dari hidup Hendra, memberitahunya hanya akan menambah m
"Ini bayaran lo. Ingat, jangan pernah kasih tau gue yang nyuruh lo nyulik dia. Paham?" Steve menyerahkan segepok uang pada laki-laki suruhannya, yang langsung diserobot cepat. Dengan mata berbinar dia tertawa menerima uang yang berjumlah tidak sedikit itu."Beres, Bos. Kalo bayarannya besar begini mah, gue bakal tutup mulut," jawab si lelaki sembari membuat gerakan mengunci mulut dengan tangan. "Bagus. Udah, lo pergi sana. Gue masih banyak urusan." Steve segera mengusir laki-laki itu yang berlalu meninggalkan dirinya. Sekarang mata Steve tertuju pada anak kecil yang menangis di ujung lorong, dia tertawa melihat uang yang lebih besar akan datang padanya. "Keluar sedikit uang tak mengapa demi uang yang lebih banyak," kata Steve tertawa lebar. Tak sia-sia Steve memata-matai rumah Juwita dan melihat perempuan itu keluar bersama Alan. Tadinya dia berniat akan menculik Alan langsung dari rumah Juwita, ternyata kesempatan itu justru lebih mudah. Juwita yang lalai menjaga Alan sangat ga
Ketika Lilis akan menemui Alan, tiba-tiba sebuah ide muncul di kepala Steve. Dia merasa ide ini akan sangat menguntungkan dirinya, lantas segera mencegat tangan Lilis."Tunggu sebentar, aku punya ide bagus buat kita," katanya. Lilis yang sudah bersemangat akan menemui Alan pun harus kembali berhenti mendengarkan ide yang dikatakan Steve."Ada apa lagi, sih? Tadi buru-buru suruh aku ketemu Alan, sekarang malah tunggu-tunggu.""Makanya dengarin, goblok! Jawab aja mulut lu." Steve sangat geram melihat Lilis yang selalu cerewet. "Ya udah, bilang. Aku dengar nih," kata Lilis dengan wajah cemberut."Begini. Lu jangan langsung kasih tau Alan kalau lu itu emaknya. Tapi, lu telepon aja Hendra dan minta sesuatu darinya." Tampaknya Steve selalu memiliki ide yang akan mencegah kelancaran rencananya. Tapi Lilis tak punya pilihan selain mendengarkan apa maksud laki-laki itu. "Terus, aku minta apa? Kalo kita langsung minta duit ke dia, yang ada Hendra bakal curiga, Steve. Gimana kalau ternyata s
Sejenak Hendra menunduk. Dia menatap lantai di bawah kakinya dan memikirkan pertanyaan itu. Cinta... Hendra tersenyum kecil.Tentu saja dia mencintai Juwita, dan cinta itu pula yang membuatnya selalu sabar dengan semua cobaan pernikahan mereka. Tapi Hendra tidak akan lupa bahwa cinta pula yang membuatnya menjadi suami yang terjual. Karena rasa cintanya pada Lilis dan tidak ingin istrinya bercerai, Hendra yang bodoh pun menerima pernikahan tertulis dengan Juwita.Bukankah cinta itu pula yang membuatnya menjadi menderita? Meski sangat mencintai Juwita, Hendra juga ingin mempertahankan harga dirinya.“Mencintai adalah hal yang sangat mematikan, sampai aku menjadi menantu Anda pun itu karena dulu aku mencintai mantan istriku. Jika sekali lagi aku mengalah demi cinta, bukan tak mungkin akan kehilangan harga diri lagi. Maka kuputuskan, bercerai adalah jalan yang sudah sepatutnya,” ucap Hendra dengan yakin.Juwita tidak kuasa mendengar perkataan Hendra, air matannya mengalir lebih deras oleh
Hendra mengangguk, tidak ingin mengulur waktu sehingga membuat orang-orang berharap banyak padanya. Semuanya harus diakhiri agar Juwita tidak terus merendahkannya.“Nggak mungkin,” bisik Juwita patah hati, kedua tangan memegangi kepalanya yang belum mampu menerima kenyataan. “Kamu nggak mungkin menanda tanganinya, kamu pasti berbohong.” Dia tatap suaminya dengan mata memelas, sungguh tidak Juwita harapkan benar-benar bercerai dari Hendra.“Maaf mengecewakan kamu. Tapi... kedatanganku ke sini untuk mengantarkan surat cerai itu.” Hendra mengeluarkan amplop yang Juwita kirimkan itu, dan membuka bagian yang sudah dia tanda tangani. Dia letakkan berkas itu di atas meja agar semua orang bisa melihatnya. “Aku hanya mengabulkan permintaan kamu. Dan lagi, aku rasa kita tidak mungkin meneruskan pernikahan yang sejak awal tidak sehat. Aku tidak ingin terus dikenal sebagai suami yang dibeli, maka itu memang sebaiknya kita bercerai saja.”Sebagai lelaki, Hendra punya harga diri. Meski di awal sud
Berkali-kali Juwita melirik ke pintu utama rumah orang tuanya. Duduknya tak bisa diam, bergeser setiap menit seakan tidak sabaran. Sofa yang didesain sangat empuk itu seakan tidak nyaman menjadi tempatnya. Dia melirik lagi, dan itu terus saja terulang setiap kali dia mendengar suara pergerakan seseorang di sekitarnya.Maria mengamati putrinya itu dari anak tangga, tampak penyesalan dan ragu-ragu di wajah cantik Juwi yang belakangan ini terlihat semakin kurus. Dia mendatangi putrinya dan duduk di sebelah Juwi.“Wi, tenangkan dirimu,” kata Maria, mungkin dengan ucapan itu putrinya bisa merasa lebih baik. “Pikirkan anak di kandungan kamu. Jika mamanya stres, anak kamu juga akan ikut stres di dalam sana.Mata sayu Juwi menatap mamanya ragu dan dia berkata, “Entah lah, Ma. Aku tidak bisa tenang sebelum melihat Hendra datang. Aku takut jika dia tidak benar-benar menemuiku,” katanya.Hendra memang tidak pernah berkata akan datang menemui Juwita, melainkan Armaja lah yang akan ditemui lelaki
Setelah mendapatkan bukti itu, polisi langsung memeriksanya. Benar saja, video yang Steve berikan sebagai bukti jelas adalah editan. Banyak bukti yang Armaja bawa sehingga Steve tidak bisa berkutik sekarang. Bukan hanya itu, Armaja juga berhasil menangkap pelaku yang selama ini bersembunyi di belakang Steve, sebagai orang yang mengunggah di media sosial.“Bukan saya yang bersalah, Pak! Dia yang lebih dulu memukul saya!” Steve meronta di tangan polisi. Dia terus menuduh Hendra lah yang sudah memukulnya terlebih dahulu, tapi bukti-bukti yang dibawa oleh Armaja tidak bisa dibohongi.Hendra yang masih sangat shock dengan kejadian ini, hanya bisa diam menyaksikan Armaja dan polisi menyelesaikan masalah mereka. Lelaki itu memeluk putranya erat, menenangkan Alan yang masih sesunggukan.“Dia yang memukul saya! Dia yang seharusnya ditangkap!” Steve menunjuk-nunjuk pada Hendra, sangat memuakkan. Bahkan ketika semua bukti sudah terarah padanya, lelaki itu masih saja ingin menyalahkan Hendra.And
Jalan raya itu sangat ramai oleh mobil-mobil yang berlalu lalang. Tak ada cela jika pun Hendra ingin lari dari kejaran polisi yang tengah menunggunya di luar sana. Pasrah. Hanya itu yang bisa Hendra lakukan sekarang. Dia tidak mungkin berlarian di jalanan menggendong Alan, seperti yang tadi dilakukannya. Bisa-bisa membuat Alan menjadi celaka.“Pak, bagaimana selanjutnya? Kita tidak bisa lewat, apakah kita harus menabrak mobil lainnya agar memberikan jalan?” tanya Rahmat dari bangku kemudi, dia tidak rela bosnya tertangkap begitu saja.Akan tetapi, Hendra sudah lelah. Perkataan Rahmat terlalu berisiko dan dia tidak ingin membuat masalah yang lebih besar.Dia melepaskan sebelah tangan dari punggung Alan, kemudian membuka pintu mobil itu sangat pelan.“Pak, jangan keluar. Bagaimana nasib Alan jika bapak sampai ke kantor polisi?” Rahmat masih mengingatkan.“Kita tidak mungkin membuat masalah yang lebih besar lagi, Mat. Aku tidak ingin kamu ikut ke dalam masalah ini.” Dia pun keluar dari
Taksi yang Hendra tumpangi dengan Alan pun meluncur di jalanan. Sopir taksi itu merasa iba melihat Alan yang menangis berkata takut, dia membayangkan andaikan dirinya bersama anaknya yang ada di posisi Hendra sekarang. Meski sebenarnya pak sopir juga terlihat ketakutan, wajahnya berkeringat saat melihat dua petugas polisi dari kaca spion-nya.“Bapak ini mau ke mana, toh? Saya nggak berani kalo Suria Hotel, itu terlalu jauh, takutnya dikejar sama polisi. Saya juga punya anak istri, Pak, tidak berani berurusan dengan mereka,” kata pak sopir, nadanya gemetar saat bertanya.Hendra pun tidak mungkin melibatkan orang lain dalam kasusnya. Suria Hotel terbilang jauh dari posisi mereka sekarang, sangat benar yang dikatakan sang sopir kalau petugas kepolisian itu mungkin tengah mengejarnya. Lagian, Hendra juga tidak mungkin pergi ke sana lagi, akan sangat gampang jika polisi melacaknya.Beruntung saja ponselnya terselip di saku celana Hendra, sehingga dia bisa menghubungi Rahmat untuk meminta
Ketika Hendra masih memaksa Lilis agar keluar dari mobilnya, dua mobil lainnya datang ke tempat itu. Berhenti tepat di sebelah Hendra, membuatnya bertanya-tanya siapa kira-kira orang yang datang di dalam sana. Hendra menghela napas panjang ketika melihat itu adalah Steve dan beberapa orang dengan kamera besar.Reporter lagi?Astaga... entah sampai kapan Hendra harus bertemu dengan orang-orang itu, dia sudah sangat lelah.Tidak cukup hanya Steve dan reporter saja yang datang ke sana. Tidak lebih dari dua menit, ada mobil polisi yang juga ikut parkir di halaman warga yang luas itu. Entah apa yang akan terjadi di ke depan nanti, Hendra sudah sangat lelah berpikir. Menghadapi Lilis saja sudah membuatnya kesulitan, kenapa Steve harus datang ke sini membawa reporter dan polisi?“Itu perempuan yang menghancurkan kaca mobil saya, tolong tangkap dia, Pak. Meski Lisa adalah istri saya, saya tidak terima mobil saya dirusak begitu saja,” kata Steve pada polisi, menunjuk Lilis di dalam mobil Hendr
“Jangan bawa Alan, Hendra! Kamu nggak boleh bawa dia sebelum kasih duit ke aku!”Hendra sudah berhasil merebut paksa Alan dari Lilis dan Ratna, tapi saat akan membawanya masuk ke mobil, Lilis segera menghentikan Hendra. Perempuan itu betul-betul tak merelakan Hendra pergi tanpa memberinya uang. Lilis bahkan bergantung di kaki Hendra, memegangi agar lelaki itu tidak bisa bergerak.“Kasih aku uang dulu! Kamu nggak boleh pergi dari sini sebelum ngasih aku uang!” kata Lilis terus berteriak, memeluk kaki Hendra sangat erat.Setiap kali Hendra akan melangkah, kakinya selalu ditahan oleh Lilis. Bahkan hampir saja Hendra terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangan.“Lepasin, Lilis! Kamu ini jangan bikin malu!” Hendra berkata geram, orang-orang sudah berkerumun menyaksikan mereka di halaman itu. Sudah seperti suami kejam saja Hendra dengan posisi Lilis memeluk kakinya.“Nggak! Aku nggak bakal lepasin kaki kamu, sebelum kasih aku uang!” sahut Lilis semakin mempererat pelukannya di kaki Hend
Dalam kecewanya yang mendalam terhadap Steve, Lilis mencengkeram baju lelaki itu, lalu merosot perlahan-lahan. Saat itu dia mendengar deru mesin mobil di sebelahnya, dalam keputusasaan dia melihat ke kanan, berharap seseorang mungkin mendengar pertengkarannya dengan Steve. Mungkin seseorang itu bisa bersaksi untuk Lilis, bahwa semua ini sudah direncanakan Steve, dan laki-laki itu adalah alasannya bercerai dari Hendra.“He-Hendra. I-itu Hendra!” seru Lilis penuh harap. Dia berpikir Hendra bisa membantunya untuk itu.Namun, benarkah Hendra mau membantunya? Meski laki-laki itu mendengar pertengkarannya dengan Steve, Hendra tidak mungkin mau membantu Lilis. Harapan yang tadi sempat singgah, perlahan menjadi rasa takut.“Tidak! Dia tidak boleh mengambil Alan!” seru Lilis lantas berdiri. “Jangan ambil Alan! Alan milikku!”Tidak Lilis hiraukan lagi Steve yang kebingungan melihatnya, Lilis sudah berlari kembali ke dalam mobil. Dia harus menghentikan Hendra sebelum lebih dulu mengambil Alan.