Juwita langsung mengeksekusi barang kenikmatan yang ada di depan matanya. Pelan tapi pasti ia merasakan sensasi yang luar biasa di hidupnya. Hendra tidak mau kalau dia berada di bawah kendali juwi. Dia membawa istri kesayangannya itu ke atas ranjang dan membelainya pelan.Mata Hendra memindai Juwi dari atas sampai ke bawah, dia sangat terpesona oleh kecantikan tubuh istrinya yang sungguh memabukkan. Di mata Hendra, Juwita bak bidadari yang turun dari langit. Entah bagaimana ceritanya wanita ini bisa luluh oleh cintanya.Tangan besar Hendra masih terus berjalan di wajah mulus yang lembut itu. Berhenti sejenak, dia cubit kecil bibir Juwi yang sangat menggemaskan.Kenapa jadi begini? Padahal, Juwi sudah sangat ingin melanjutkan percintaan yang tertunda, tapi Hendra terlalu sibuk memperhatikan dirinya.Ketika Hendra berdiri, Juwi mengamati lelaki itu menuju jendela yang terbuka. Seketika Juwita terkejut kala suaminya menyentuh kain gorden penutup jendela.“Hendra, kamu mau apa?” tanya Juw
Mereka istirahat sebentar kemudian mandi dan membersihkan diri lalu duduk minum teh sambil mengobrol masalah masa depan mereka.Juwi dan Hendra sedang fokus membicarakan usaha apa yang harus mereka jalankan berdua agar bisa membuktikan tanpa harta dari keluarga Armaja mereka bisa hidup bahagia sampai tua nanti.“Kira-kira kalau kita membuka resto bagaimana?” tanya Hendra memberi saran.“Lalu siapa yang akan memasak, dan juga menu andalan resto kita apa?” balas Juwi yang masih kebingungan karena membuka resto itu tak segampang yang dikatakan.Juwi mengatakan kalau usaha masakan itu rentan basi kalau tidak ada yang membeli. Modal yang dikeluarkan juga sangat banyak belum lagi menyewa tempat untuk membuka resto sendiri.“Aku tahu kekhawatiranmu, Juwi. Kamu itu pandai memasak untuk sementara tidak usah menyewa ruko dulu. Bagaimana jika kamu beberapa hari ini mencoba membuat menu masakan yang enak lalu aku akan mencobanya. Jika cocok aku itu adalah menu andalan resto kita,” ucap Hendra me
Seperti yang dibicarakan kemarin, Hendra mulai sibuk menyusun rencana untuk usaha baru yang akan mereka buka. Dia sudah berbelanja sejak pagi-pagi sekali, bahkan tidak sempat membangunkan Juwita yang tertidur sangat lelap. Ketika kembali dari berbelanja, Hendra sangat bersemangat mengeluarkan semua bahan masakan dari bagasi mobil.“Pak Hendra, Bapak habis dari mana? Itu barang apaan saja,kok banyak banget?”“Ratih, Ibu sudah bangun?” tanya Hendra pada baby sitter yang bengong melihat tuannya berbelanja sangat banyak. “Ini bahan masakan. Sana panggilkan ibu,” lanjutnya masih sibuk menurunkan barang-barang belanjaan.Tanpa bertanya lagi, Ratih berlari ke dalam rumah dan langsung menghampiri Juwita.“Bu Juwi, bapak manggil!”“Loh, dia sudah pulang?” Juwita meletakkan mainan milik Alan yang tengah dia pegang. Saat ini Juwi memang sedang menemani Alan bermain di ruang keluarga.“Sudah, Bu. Tapi... bapak bawa banyak banget belanjaan. Katanya sih bahan masakan, memangnya kita mau ada acara a
Siang itu Hendra langsung berada di kantor pengembang yang menyewakan pertokoan di mall besar di kotanya. Berkat bantuan Juwi yang banyak mengenal orang-orang penting di kota itu, Hendra bisa bertemu secara langsung dengan bos pengembang pertokoan itu dan berhasil mendapatkan sebuah lapak yang sangat tepat untuk membuka restoran. Tempatnya yang stragetis dan kerja sama bos pemiliknya pun sangat ramah menerima Hendra di sana. Tidak sulit bagi Hendra langsung menandatangani kertas perjanjian sewa yang diberikan oleh mereka.Dia merasa sangat senang memegang kertas yang sudah ditandatangani.“Terima kasih banyak, Pak. Jika semua sudah selesai, saya ingin pamit dulu,” ucap Hendra menyalami bos pemilik persewaan tersebut.“Jangan sungkan. Kami dan Ibu Juwita sudah lama saling mengenal, dan beliau adalah orang yang baik.”Ah... rasanya bangga Hendra mendengar nama istrinya disebut sebagai orang yang baik.Ketika baru saja keluar dari kantor itu, Hendra tidak sengaja berpapasan dengan orang
Saat itu Juwi tengah sibuk di dapur bersama asisten rumah tangga, mengolah bahan makanan yang pagi tadi dibeli Hendra. Ketika mendengar Hendra pulang, dia tinggalkan pekerjaannya untuk menyambut sang suami.“Sudah pulang, Sayang? Bagaimana, kamu sudah ketemu sama mereka, kan?” Juwi bertanya dengan nada manja nan girang, memberikan aura positif untuk suaminya.Namun, raut wajah Hendra terlihat kurang senang. Juwi merasa pasti ada sesuatu terjadi di luar.Pertama-tama Juwi sambut suaminya dengan kecupan ringan di pipi, lalu mengajak Hendra duduk di sofa nyaman ruang tengah, sebelum mengajaknya bicara.“Kenapa mukanya ditekuk begitu? Suami aku yang ganteng kok merengut?” Tangannya membelai kening Hendra memberikan rasa nyaman untuk suaminya. “Ada apa? Mereka enggak mempersulit kamu kan?”Menggeleng pelan, Hendra menarik napas panjang.“Nggak kok, semuanya sudah beres. Kita bisa langsung buka resto di tempat itu,” jawab Hendra menyerahkan berkas dalam amplop coklat kepada Juwi.Juwi mene
Tidak ada yang sulit jika segala sesuatu dikerjakan dengan sungguh-sungguh. Hanya dalam kurun waktu tidak sampai satu minggu, juga karyawan yang berjumlah lima orang saja, usaha resto milik Juwita dan Hendra sudah siap untuk beroperasi. Hari ini adalah pembukaan hari pertama resto mereka, yang menyediakan makanan khas Korea, makanan masa kini yang sedang digandrungi para pecinta rasa.Hendra yang memberikan saran itu. Menurut Hendra, masakan ala Korea yang terkenal dengan rasa pedas manisnya masih sangat bersahabat dengan lidah orang Indonesia. Tidak hanya di kalangan anak muda saja, orang-orang dari berbagai tingkat usia pasti menyukainya.“Selamat siang... kami baru saja membuka restoran Korea di sini. Ada banyak menu, kami juga memberikan diskon besar di hari pertama kami. Silakan dilihat-lihat dulu, nanti Anda bisa singgah setelah lelah berbelanja seharian.” Hendra sangat bersemangat membagi-bagikan brosur menu restoran mereka, di dekat pintu masuk. Siapa pun yang lewat tidak lupu
“Aku bukan mertuamu! Jangan pernah mengada-ada. Sampai kapan pun aku tidak akan pernah mengakui kau menantuku!” Maria yang kesal pun ikut angkat bicara. Dia tidak suka melihat Hendra menghina Arman seperti anak kecil.“Tapi itu memang kenyataan, Ibu Mertua. Bagaimana pun Anda mengelak, Anda tetap lah mertua saya. Meski Anda tidak mau mengakui saya sebagai menantu, tapi saya sudah menikah dengan Juwita. Tapi... jika Anda tidak merasa pernah melahirkan Juwita, bisa saja Anda berkata demikian.” Seperti tidak mau kalah, Hendra menjawab kata-kata Maria yang lantas membuat wanita itu semakin geram. Bukannya marah, Juwita justru tertawa kecil mendengar suaminya berkata seperti itu.“Lihat, kamu lihat laki-laki yang kamu nikahi ini, Juwi? Dia saja tak punya sopan pada mama, apa kamu ini memang buta?” Maria melampiaskan kemarahannya pada Juwita, tapi justru ditanggapi biasa saja oleh Juwi.“Bukannya Hendra betul, Ma? Karena dia suami aku, kan sudah seharusnya dia manggil mama mertuanya. Aku ra
Sebelum meninggalkan tempat itu, Arman melihat usaha apa yang baru di rintis oleh Juwi dan Hendra. Dia membaca tulisan ABEOJI RESTO, di pintu masuk yang bermakna ayah di dalam bahasa Korea. Arman semakin kesal, membayangkan Juwita sengaja memberi nama itu untuk menekankan bahwa Hendra akan menjadi ayah untuk anak-anaknya.‘Jangan harap aku akan membiarkan itu terjadi!’“Ibu Mertua, bagaimana jika kita sebar berita ke orang-orang kalau restoran ini menjual makanan yang tidak steril?” ucap Arman, mempengaruhi Maria yang sudah akan pergi.“Memangnya kita bisa lakukan apa, Man? Orang-orang juga nggak bakal percaya kalo nggak ada bukti!” Maria melengos, kekesalannya belum terobati.Tapi justru itu lah yang Arman sukai, karena semakin Maria marah, akan semakin mudah mempengaruhi pikirannya. Arman sudah lama mengenal keluarga itu, sudah bisa dia nilai watak Maria sejak dulu.“Soal itu gampang... aku bisa menyuruh orang lain meletakkan bukti di dalam sana. Serahkan saja padaku,” ucap Arman,
Sejenak Hendra menunduk. Dia menatap lantai di bawah kakinya dan memikirkan pertanyaan itu. Cinta... Hendra tersenyum kecil.Tentu saja dia mencintai Juwita, dan cinta itu pula yang membuatnya selalu sabar dengan semua cobaan pernikahan mereka. Tapi Hendra tidak akan lupa bahwa cinta pula yang membuatnya menjadi suami yang terjual. Karena rasa cintanya pada Lilis dan tidak ingin istrinya bercerai, Hendra yang bodoh pun menerima pernikahan tertulis dengan Juwita.Bukankah cinta itu pula yang membuatnya menjadi menderita? Meski sangat mencintai Juwita, Hendra juga ingin mempertahankan harga dirinya.“Mencintai adalah hal yang sangat mematikan, sampai aku menjadi menantu Anda pun itu karena dulu aku mencintai mantan istriku. Jika sekali lagi aku mengalah demi cinta, bukan tak mungkin akan kehilangan harga diri lagi. Maka kuputuskan, bercerai adalah jalan yang sudah sepatutnya,” ucap Hendra dengan yakin.Juwita tidak kuasa mendengar perkataan Hendra, air matannya mengalir lebih deras oleh
Hendra mengangguk, tidak ingin mengulur waktu sehingga membuat orang-orang berharap banyak padanya. Semuanya harus diakhiri agar Juwita tidak terus merendahkannya.“Nggak mungkin,” bisik Juwita patah hati, kedua tangan memegangi kepalanya yang belum mampu menerima kenyataan. “Kamu nggak mungkin menanda tanganinya, kamu pasti berbohong.” Dia tatap suaminya dengan mata memelas, sungguh tidak Juwita harapkan benar-benar bercerai dari Hendra.“Maaf mengecewakan kamu. Tapi... kedatanganku ke sini untuk mengantarkan surat cerai itu.” Hendra mengeluarkan amplop yang Juwita kirimkan itu, dan membuka bagian yang sudah dia tanda tangani. Dia letakkan berkas itu di atas meja agar semua orang bisa melihatnya. “Aku hanya mengabulkan permintaan kamu. Dan lagi, aku rasa kita tidak mungkin meneruskan pernikahan yang sejak awal tidak sehat. Aku tidak ingin terus dikenal sebagai suami yang dibeli, maka itu memang sebaiknya kita bercerai saja.”Sebagai lelaki, Hendra punya harga diri. Meski di awal sud
Berkali-kali Juwita melirik ke pintu utama rumah orang tuanya. Duduknya tak bisa diam, bergeser setiap menit seakan tidak sabaran. Sofa yang didesain sangat empuk itu seakan tidak nyaman menjadi tempatnya. Dia melirik lagi, dan itu terus saja terulang setiap kali dia mendengar suara pergerakan seseorang di sekitarnya.Maria mengamati putrinya itu dari anak tangga, tampak penyesalan dan ragu-ragu di wajah cantik Juwi yang belakangan ini terlihat semakin kurus. Dia mendatangi putrinya dan duduk di sebelah Juwi.“Wi, tenangkan dirimu,” kata Maria, mungkin dengan ucapan itu putrinya bisa merasa lebih baik. “Pikirkan anak di kandungan kamu. Jika mamanya stres, anak kamu juga akan ikut stres di dalam sana.Mata sayu Juwi menatap mamanya ragu dan dia berkata, “Entah lah, Ma. Aku tidak bisa tenang sebelum melihat Hendra datang. Aku takut jika dia tidak benar-benar menemuiku,” katanya.Hendra memang tidak pernah berkata akan datang menemui Juwita, melainkan Armaja lah yang akan ditemui lelaki
Setelah mendapatkan bukti itu, polisi langsung memeriksanya. Benar saja, video yang Steve berikan sebagai bukti jelas adalah editan. Banyak bukti yang Armaja bawa sehingga Steve tidak bisa berkutik sekarang. Bukan hanya itu, Armaja juga berhasil menangkap pelaku yang selama ini bersembunyi di belakang Steve, sebagai orang yang mengunggah di media sosial.“Bukan saya yang bersalah, Pak! Dia yang lebih dulu memukul saya!” Steve meronta di tangan polisi. Dia terus menuduh Hendra lah yang sudah memukulnya terlebih dahulu, tapi bukti-bukti yang dibawa oleh Armaja tidak bisa dibohongi.Hendra yang masih sangat shock dengan kejadian ini, hanya bisa diam menyaksikan Armaja dan polisi menyelesaikan masalah mereka. Lelaki itu memeluk putranya erat, menenangkan Alan yang masih sesunggukan.“Dia yang memukul saya! Dia yang seharusnya ditangkap!” Steve menunjuk-nunjuk pada Hendra, sangat memuakkan. Bahkan ketika semua bukti sudah terarah padanya, lelaki itu masih saja ingin menyalahkan Hendra.And
Jalan raya itu sangat ramai oleh mobil-mobil yang berlalu lalang. Tak ada cela jika pun Hendra ingin lari dari kejaran polisi yang tengah menunggunya di luar sana. Pasrah. Hanya itu yang bisa Hendra lakukan sekarang. Dia tidak mungkin berlarian di jalanan menggendong Alan, seperti yang tadi dilakukannya. Bisa-bisa membuat Alan menjadi celaka.“Pak, bagaimana selanjutnya? Kita tidak bisa lewat, apakah kita harus menabrak mobil lainnya agar memberikan jalan?” tanya Rahmat dari bangku kemudi, dia tidak rela bosnya tertangkap begitu saja.Akan tetapi, Hendra sudah lelah. Perkataan Rahmat terlalu berisiko dan dia tidak ingin membuat masalah yang lebih besar.Dia melepaskan sebelah tangan dari punggung Alan, kemudian membuka pintu mobil itu sangat pelan.“Pak, jangan keluar. Bagaimana nasib Alan jika bapak sampai ke kantor polisi?” Rahmat masih mengingatkan.“Kita tidak mungkin membuat masalah yang lebih besar lagi, Mat. Aku tidak ingin kamu ikut ke dalam masalah ini.” Dia pun keluar dari
Taksi yang Hendra tumpangi dengan Alan pun meluncur di jalanan. Sopir taksi itu merasa iba melihat Alan yang menangis berkata takut, dia membayangkan andaikan dirinya bersama anaknya yang ada di posisi Hendra sekarang. Meski sebenarnya pak sopir juga terlihat ketakutan, wajahnya berkeringat saat melihat dua petugas polisi dari kaca spion-nya.“Bapak ini mau ke mana, toh? Saya nggak berani kalo Suria Hotel, itu terlalu jauh, takutnya dikejar sama polisi. Saya juga punya anak istri, Pak, tidak berani berurusan dengan mereka,” kata pak sopir, nadanya gemetar saat bertanya.Hendra pun tidak mungkin melibatkan orang lain dalam kasusnya. Suria Hotel terbilang jauh dari posisi mereka sekarang, sangat benar yang dikatakan sang sopir kalau petugas kepolisian itu mungkin tengah mengejarnya. Lagian, Hendra juga tidak mungkin pergi ke sana lagi, akan sangat gampang jika polisi melacaknya.Beruntung saja ponselnya terselip di saku celana Hendra, sehingga dia bisa menghubungi Rahmat untuk meminta
Ketika Hendra masih memaksa Lilis agar keluar dari mobilnya, dua mobil lainnya datang ke tempat itu. Berhenti tepat di sebelah Hendra, membuatnya bertanya-tanya siapa kira-kira orang yang datang di dalam sana. Hendra menghela napas panjang ketika melihat itu adalah Steve dan beberapa orang dengan kamera besar.Reporter lagi?Astaga... entah sampai kapan Hendra harus bertemu dengan orang-orang itu, dia sudah sangat lelah.Tidak cukup hanya Steve dan reporter saja yang datang ke sana. Tidak lebih dari dua menit, ada mobil polisi yang juga ikut parkir di halaman warga yang luas itu. Entah apa yang akan terjadi di ke depan nanti, Hendra sudah sangat lelah berpikir. Menghadapi Lilis saja sudah membuatnya kesulitan, kenapa Steve harus datang ke sini membawa reporter dan polisi?“Itu perempuan yang menghancurkan kaca mobil saya, tolong tangkap dia, Pak. Meski Lisa adalah istri saya, saya tidak terima mobil saya dirusak begitu saja,” kata Steve pada polisi, menunjuk Lilis di dalam mobil Hendr
“Jangan bawa Alan, Hendra! Kamu nggak boleh bawa dia sebelum kasih duit ke aku!”Hendra sudah berhasil merebut paksa Alan dari Lilis dan Ratna, tapi saat akan membawanya masuk ke mobil, Lilis segera menghentikan Hendra. Perempuan itu betul-betul tak merelakan Hendra pergi tanpa memberinya uang. Lilis bahkan bergantung di kaki Hendra, memegangi agar lelaki itu tidak bisa bergerak.“Kasih aku uang dulu! Kamu nggak boleh pergi dari sini sebelum ngasih aku uang!” kata Lilis terus berteriak, memeluk kaki Hendra sangat erat.Setiap kali Hendra akan melangkah, kakinya selalu ditahan oleh Lilis. Bahkan hampir saja Hendra terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangan.“Lepasin, Lilis! Kamu ini jangan bikin malu!” Hendra berkata geram, orang-orang sudah berkerumun menyaksikan mereka di halaman itu. Sudah seperti suami kejam saja Hendra dengan posisi Lilis memeluk kakinya.“Nggak! Aku nggak bakal lepasin kaki kamu, sebelum kasih aku uang!” sahut Lilis semakin mempererat pelukannya di kaki Hend
Dalam kecewanya yang mendalam terhadap Steve, Lilis mencengkeram baju lelaki itu, lalu merosot perlahan-lahan. Saat itu dia mendengar deru mesin mobil di sebelahnya, dalam keputusasaan dia melihat ke kanan, berharap seseorang mungkin mendengar pertengkarannya dengan Steve. Mungkin seseorang itu bisa bersaksi untuk Lilis, bahwa semua ini sudah direncanakan Steve, dan laki-laki itu adalah alasannya bercerai dari Hendra.“He-Hendra. I-itu Hendra!” seru Lilis penuh harap. Dia berpikir Hendra bisa membantunya untuk itu.Namun, benarkah Hendra mau membantunya? Meski laki-laki itu mendengar pertengkarannya dengan Steve, Hendra tidak mungkin mau membantu Lilis. Harapan yang tadi sempat singgah, perlahan menjadi rasa takut.“Tidak! Dia tidak boleh mengambil Alan!” seru Lilis lantas berdiri. “Jangan ambil Alan! Alan milikku!”Tidak Lilis hiraukan lagi Steve yang kebingungan melihatnya, Lilis sudah berlari kembali ke dalam mobil. Dia harus menghentikan Hendra sebelum lebih dulu mengambil Alan.