Sebelum meninggalkan tempat itu, Arman melihat usaha apa yang baru di rintis oleh Juwi dan Hendra. Dia membaca tulisan ABEOJI RESTO, di pintu masuk yang bermakna ayah di dalam bahasa Korea. Arman semakin kesal, membayangkan Juwita sengaja memberi nama itu untuk menekankan bahwa Hendra akan menjadi ayah untuk anak-anaknya.‘Jangan harap aku akan membiarkan itu terjadi!’“Ibu Mertua, bagaimana jika kita sebar berita ke orang-orang kalau restoran ini menjual makanan yang tidak steril?” ucap Arman, mempengaruhi Maria yang sudah akan pergi.“Memangnya kita bisa lakukan apa, Man? Orang-orang juga nggak bakal percaya kalo nggak ada bukti!” Maria melengos, kekesalannya belum terobati.Tapi justru itu lah yang Arman sukai, karena semakin Maria marah, akan semakin mudah mempengaruhi pikirannya. Arman sudah lama mengenal keluarga itu, sudah bisa dia nilai watak Maria sejak dulu.“Soal itu gampang... aku bisa menyuruh orang lain meletakkan bukti di dalam sana. Serahkan saja padaku,” ucap Arman,
Seorang pria tua penuh wibawa berdiri menatap pintu restoran yang baru dibuka dua itu. Matanya menangkap sosok laki-laki yang penuh semangat membagi-bagikan brosur di dekat pintu. Pria tua itu tidak sadar tersenyum melihat betapa bersemangatnya Hendra membujuk para pengunjung mall.“Silakan, Ibu, Bapak, bisa dilihat-lihat dulu brosur restoran kami? Resto ini baru buka dan kami menawarkan diskon yang sangat besar.”“Permisi, Mas, Mbak, silakan dilihat-lihat brosur restoran kami.”Hendra terus menawarkan, suaranya sudah semakin dekat di telinga pria tua yang tidak sadar semakin mendekatinya. Semangat laki-laki itu mengingatkan masa mudanya ketika merintis usaha dulu.“Permisi, Pak, Anda mungkin ingin melihat brosur restoran ka-mi?” ucap terbata, ketika melihat wajah si pria tua yang berdiri di depannya.Pria itu tidak lain adalah Armaja, ayah dari istrinya yang seharusnya dia panggil sebagai mertua. Ayah dari istrinya, yang sangat menentang pernikahannya dan Juwita. Hendra menjadi sanga
“Papa sudah pulang?” sapa Maria, melihat suaminya tengah duduk sendirian di ruang tamu.“Iya, baru sampe.”“Kok tumben cepat? Biasanya papa pulang malam,” tanya Maria lagi, ikut duduk di sebelah Armaja.Sejak Juwi tidak lagi memegang perusahaan, Armaja yang sudah tua yang harus mengurus segala keperluan di kantor. Biasanya dia belum berada di rumah saat jam makan siang, membuat Maria sedikit heran.“Lagi nggak banyak kerjaan, jadi papa pulang lebih cepat.” Armaja menjawab sembari membuka kotak makanan yang dia bawa dari restoran milik putrinya.Teringat akan perbincangannya dengan Arman tadi malam, Maria pun memasang senyum di depan suaminya. Ini waktu yang tepat untuk membahas perihal permintaan Arman, sebab tadi malam dia tidak sempat mengutarakannya.“Pa, tahu nggak? Anak kita Juwita, dia dan laki-laki miskin itu malah buka resto! Gila ya, laki-laki itu memang sangat jago merayu Juwi, sampai-sampai mau memodalinya!” seru Maria berkata dengan nada yang dibuat sedramatis mungkin.Tap
Di kantor polisi, Hendra dan Juwi baru saja menjawab setiap pertanyaan dari penyidik yang menangani mereka. Beruntung petugas keamanan di mall bergerak cepat, menggalang mereka ke kantor polisi terdekat sebelum mendapat perlakuan tidak baik dari pelanggan yang sedang mengamuk. Hendra dan Juwita mengatakan bahwa mereka tidak tahu menahu tentang kepala tikus yang ada di piring pelanggan itu. “Bagaimana, Pak, jika semua sudah selesai, apa kami bisa pulang sekarang?” tanya Juwita, setelah semuanya selesai.Telepon di atas meja berdering, mengalihkan fokus petugas di depan mereka. Polisi itu langsung menjawab panggilan telepon sebelum memberi ijin mereka bisa pulang. “Ya, baik, kirimkan gambarnya ke ponselku.” Dengan wajah berat petugas itu menatap Juwi dan Hendra. “Ibu Juwita dan Pak Hendra, untuk investigasi kali ini mungkin sudah cukup. Tapi... kami masih harus memanggil Bapak dan Ibu untuk investigasi berikutnya.” “Maksud Bapak? Bukannya semua sudah jelas? Kami tidak tahu kenapa a
Pertengkaran di depan kantor polisi membuat Arman tidak senang. Hendra membawa Juwi pergi, dan sama sekali tidak dilarang oleh Armaja. Hal itu membuatnya ingin meledak-ledak menghancurkan Hendra sampai pada remukan paling kecil. “Aku akan membunuhnya! Aku tidak tahan melihat laki-laki miskin itu mempengaruhi Juwita!” ucap Arman, memancing emosi Armaja agar ikut marah. “Mama Mertua, bagaimana pun caranya, kita harus menarik Juwi sekarang juga!” Maria mengangguk setuju. “Arman benar, Pa, kita harus mengambil Juwi kembali! Kalau tidak, laki-laki itu akan membuatnya ke dalam penjara!” Armaja sendiri tidak ingin gegabah. Dia ingin melihat siapa sebenarnya Hendra dan sudah sejauh apa laki-laki itu melakukan kejahatan demi mendapatkan juwita. “Jangan gegabah. Kita harus menunggu kabar selanjutnya kasus ini, agar semuanya jelas. Kita juga tidak mau nama baik Juwi menjadi rusak, kan?” ucap Armaja bijaksana. Tapi hal itu membuat Maria semakin kesal pada suaminya. Dia tidak tahan mendengar
Setelah Arman pulang, Maria menjadi-jadi. Dia sangat marah pada suaminya yang tidak bisa mengerti akan keinginannya. Maria tidak terima melihat suaminya yang seakan lebih mendukung Hendra daripada Arman. “Sebenarnya, apa yang papa rencanakan? Papa nggak berniat membiarkan Juwi kita bersama laki-laki itu, kan?” serga Maria, dia dipenuhi emosi yang meledak-ledak. “Sudahlah, Ma... jangan marah terus.” “Siapa yang nggak marah? Arman sangat baik, dia dari keluarga terpandang dan memiliki kelas yang sama dengan kita. Kenapa papa merasa berat memberikan kepercayaan sama dia? Papa sepertinya lebih percaya pada si miskin itu!” Beberapa hari belakangan ini Armaja sudah mencaritahu tentang Hendra, dan itu lah sebabnya dia tidak bisa mengambil keputusan begitu saja. Informasi yang disampaikan Arman sangat berbeda dengan apa yang sebenarnya terjadi, membuatnya tidak bisa mempercayai Arman lagi. “Dia bukan laki-laki yang baik. Arman banyak berbohong. Mama tidak boleh bertemu dengan Arman mulai
Armaja memegangi kepalanya yang mulai terasa sakit, mendengar ucapan istrinya yang masih saja mengoceh, mengatakan Arman yang lebih pantas untuk Juwita. Maria masih saja tidak paham dengan isi pikiran Armaja. Meski begitu, Armaja sudah meyakinkan dirinya sendiri, untuk mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi antara Arman Juwita di masa lalu.“Maria, tidurlah, besok masih ada hari di mana polisi akan memberikan hasil dari investigasi dan juga olah kejadian perkara,” pinta Armaja, berniat mengakhiri percakapan itu.Tapi, bukankah dunia pun mengakui bahwa wanita memang tidak bisa diam, selama di dalam hatinya masih ada yang mengganjal? Seperti itu pula lah Maria, yang tidak bisa disuruh tidur begitu saja.“Pa! Kenapa kamu bersikap sangat santai seperti ini? Mama kecewa banget sama papa, mana mungkin mama bisa tidur nyenyak sedangkan putri kita tertimpa masalah!” seru Maria, mengejar suaminya.Tidak menanggapi apa yang dikatakan Maria, Armaja memilih untuk masuk ke dalam kamar mendahulu
Tak ubah dengan kedua orang tuanya, Juwita juga tidak bisa tenang malam ini. Jika kedua orang tuanya berdebat perihal masalah yang tengah dihadapi Juwi, dia justru sedang pusing memikirkan apa yang akan terjadi esok pagi. Membayangkan jika polisi tidak bisa segera menemukan pelaku yang sudah mencoreng namanya, resto yang baru dibuka itu harus tutup lebih lama. Itu tidak baik untuk sebuah bisnis yang baru saja berdiri. Hendra melihat istrinya termenung di balkon kamar mereka. Lelaki itu datang dengan segelas teh hangat di tangannya, dan menyodorkan ke wajah Juwi. “Minum lah, teh hangat bisa membantu menenangkan pikiran kamu.” Mata Juwi lurus menatap suaminya. Di saat seperti ini, Hendra masih bisa bersikap tenang dan mencoba menghibur hatinya. Juwi merasa sangat bersyukur memiliki suami seperti Hendra. Setelah meneguk isi teh yang dibawakan Hendra, dia mengucapkan terima kasih. Hendra duduk di sebelah istrinya dan memeluk pundak wanita itu. “Kamu takut?” bisik Hendra, yang mendap
Sejenak Hendra menunduk. Dia menatap lantai di bawah kakinya dan memikirkan pertanyaan itu. Cinta... Hendra tersenyum kecil.Tentu saja dia mencintai Juwita, dan cinta itu pula yang membuatnya selalu sabar dengan semua cobaan pernikahan mereka. Tapi Hendra tidak akan lupa bahwa cinta pula yang membuatnya menjadi suami yang terjual. Karena rasa cintanya pada Lilis dan tidak ingin istrinya bercerai, Hendra yang bodoh pun menerima pernikahan tertulis dengan Juwita.Bukankah cinta itu pula yang membuatnya menjadi menderita? Meski sangat mencintai Juwita, Hendra juga ingin mempertahankan harga dirinya.“Mencintai adalah hal yang sangat mematikan, sampai aku menjadi menantu Anda pun itu karena dulu aku mencintai mantan istriku. Jika sekali lagi aku mengalah demi cinta, bukan tak mungkin akan kehilangan harga diri lagi. Maka kuputuskan, bercerai adalah jalan yang sudah sepatutnya,” ucap Hendra dengan yakin.Juwita tidak kuasa mendengar perkataan Hendra, air matannya mengalir lebih deras oleh
Hendra mengangguk, tidak ingin mengulur waktu sehingga membuat orang-orang berharap banyak padanya. Semuanya harus diakhiri agar Juwita tidak terus merendahkannya.“Nggak mungkin,” bisik Juwita patah hati, kedua tangan memegangi kepalanya yang belum mampu menerima kenyataan. “Kamu nggak mungkin menanda tanganinya, kamu pasti berbohong.” Dia tatap suaminya dengan mata memelas, sungguh tidak Juwita harapkan benar-benar bercerai dari Hendra.“Maaf mengecewakan kamu. Tapi... kedatanganku ke sini untuk mengantarkan surat cerai itu.” Hendra mengeluarkan amplop yang Juwita kirimkan itu, dan membuka bagian yang sudah dia tanda tangani. Dia letakkan berkas itu di atas meja agar semua orang bisa melihatnya. “Aku hanya mengabulkan permintaan kamu. Dan lagi, aku rasa kita tidak mungkin meneruskan pernikahan yang sejak awal tidak sehat. Aku tidak ingin terus dikenal sebagai suami yang dibeli, maka itu memang sebaiknya kita bercerai saja.”Sebagai lelaki, Hendra punya harga diri. Meski di awal sud
Berkali-kali Juwita melirik ke pintu utama rumah orang tuanya. Duduknya tak bisa diam, bergeser setiap menit seakan tidak sabaran. Sofa yang didesain sangat empuk itu seakan tidak nyaman menjadi tempatnya. Dia melirik lagi, dan itu terus saja terulang setiap kali dia mendengar suara pergerakan seseorang di sekitarnya.Maria mengamati putrinya itu dari anak tangga, tampak penyesalan dan ragu-ragu di wajah cantik Juwi yang belakangan ini terlihat semakin kurus. Dia mendatangi putrinya dan duduk di sebelah Juwi.“Wi, tenangkan dirimu,” kata Maria, mungkin dengan ucapan itu putrinya bisa merasa lebih baik. “Pikirkan anak di kandungan kamu. Jika mamanya stres, anak kamu juga akan ikut stres di dalam sana.Mata sayu Juwi menatap mamanya ragu dan dia berkata, “Entah lah, Ma. Aku tidak bisa tenang sebelum melihat Hendra datang. Aku takut jika dia tidak benar-benar menemuiku,” katanya.Hendra memang tidak pernah berkata akan datang menemui Juwita, melainkan Armaja lah yang akan ditemui lelaki
Setelah mendapatkan bukti itu, polisi langsung memeriksanya. Benar saja, video yang Steve berikan sebagai bukti jelas adalah editan. Banyak bukti yang Armaja bawa sehingga Steve tidak bisa berkutik sekarang. Bukan hanya itu, Armaja juga berhasil menangkap pelaku yang selama ini bersembunyi di belakang Steve, sebagai orang yang mengunggah di media sosial.“Bukan saya yang bersalah, Pak! Dia yang lebih dulu memukul saya!” Steve meronta di tangan polisi. Dia terus menuduh Hendra lah yang sudah memukulnya terlebih dahulu, tapi bukti-bukti yang dibawa oleh Armaja tidak bisa dibohongi.Hendra yang masih sangat shock dengan kejadian ini, hanya bisa diam menyaksikan Armaja dan polisi menyelesaikan masalah mereka. Lelaki itu memeluk putranya erat, menenangkan Alan yang masih sesunggukan.“Dia yang memukul saya! Dia yang seharusnya ditangkap!” Steve menunjuk-nunjuk pada Hendra, sangat memuakkan. Bahkan ketika semua bukti sudah terarah padanya, lelaki itu masih saja ingin menyalahkan Hendra.And
Jalan raya itu sangat ramai oleh mobil-mobil yang berlalu lalang. Tak ada cela jika pun Hendra ingin lari dari kejaran polisi yang tengah menunggunya di luar sana. Pasrah. Hanya itu yang bisa Hendra lakukan sekarang. Dia tidak mungkin berlarian di jalanan menggendong Alan, seperti yang tadi dilakukannya. Bisa-bisa membuat Alan menjadi celaka.“Pak, bagaimana selanjutnya? Kita tidak bisa lewat, apakah kita harus menabrak mobil lainnya agar memberikan jalan?” tanya Rahmat dari bangku kemudi, dia tidak rela bosnya tertangkap begitu saja.Akan tetapi, Hendra sudah lelah. Perkataan Rahmat terlalu berisiko dan dia tidak ingin membuat masalah yang lebih besar.Dia melepaskan sebelah tangan dari punggung Alan, kemudian membuka pintu mobil itu sangat pelan.“Pak, jangan keluar. Bagaimana nasib Alan jika bapak sampai ke kantor polisi?” Rahmat masih mengingatkan.“Kita tidak mungkin membuat masalah yang lebih besar lagi, Mat. Aku tidak ingin kamu ikut ke dalam masalah ini.” Dia pun keluar dari
Taksi yang Hendra tumpangi dengan Alan pun meluncur di jalanan. Sopir taksi itu merasa iba melihat Alan yang menangis berkata takut, dia membayangkan andaikan dirinya bersama anaknya yang ada di posisi Hendra sekarang. Meski sebenarnya pak sopir juga terlihat ketakutan, wajahnya berkeringat saat melihat dua petugas polisi dari kaca spion-nya.“Bapak ini mau ke mana, toh? Saya nggak berani kalo Suria Hotel, itu terlalu jauh, takutnya dikejar sama polisi. Saya juga punya anak istri, Pak, tidak berani berurusan dengan mereka,” kata pak sopir, nadanya gemetar saat bertanya.Hendra pun tidak mungkin melibatkan orang lain dalam kasusnya. Suria Hotel terbilang jauh dari posisi mereka sekarang, sangat benar yang dikatakan sang sopir kalau petugas kepolisian itu mungkin tengah mengejarnya. Lagian, Hendra juga tidak mungkin pergi ke sana lagi, akan sangat gampang jika polisi melacaknya.Beruntung saja ponselnya terselip di saku celana Hendra, sehingga dia bisa menghubungi Rahmat untuk meminta
Ketika Hendra masih memaksa Lilis agar keluar dari mobilnya, dua mobil lainnya datang ke tempat itu. Berhenti tepat di sebelah Hendra, membuatnya bertanya-tanya siapa kira-kira orang yang datang di dalam sana. Hendra menghela napas panjang ketika melihat itu adalah Steve dan beberapa orang dengan kamera besar.Reporter lagi?Astaga... entah sampai kapan Hendra harus bertemu dengan orang-orang itu, dia sudah sangat lelah.Tidak cukup hanya Steve dan reporter saja yang datang ke sana. Tidak lebih dari dua menit, ada mobil polisi yang juga ikut parkir di halaman warga yang luas itu. Entah apa yang akan terjadi di ke depan nanti, Hendra sudah sangat lelah berpikir. Menghadapi Lilis saja sudah membuatnya kesulitan, kenapa Steve harus datang ke sini membawa reporter dan polisi?“Itu perempuan yang menghancurkan kaca mobil saya, tolong tangkap dia, Pak. Meski Lisa adalah istri saya, saya tidak terima mobil saya dirusak begitu saja,” kata Steve pada polisi, menunjuk Lilis di dalam mobil Hendr
“Jangan bawa Alan, Hendra! Kamu nggak boleh bawa dia sebelum kasih duit ke aku!”Hendra sudah berhasil merebut paksa Alan dari Lilis dan Ratna, tapi saat akan membawanya masuk ke mobil, Lilis segera menghentikan Hendra. Perempuan itu betul-betul tak merelakan Hendra pergi tanpa memberinya uang. Lilis bahkan bergantung di kaki Hendra, memegangi agar lelaki itu tidak bisa bergerak.“Kasih aku uang dulu! Kamu nggak boleh pergi dari sini sebelum ngasih aku uang!” kata Lilis terus berteriak, memeluk kaki Hendra sangat erat.Setiap kali Hendra akan melangkah, kakinya selalu ditahan oleh Lilis. Bahkan hampir saja Hendra terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangan.“Lepasin, Lilis! Kamu ini jangan bikin malu!” Hendra berkata geram, orang-orang sudah berkerumun menyaksikan mereka di halaman itu. Sudah seperti suami kejam saja Hendra dengan posisi Lilis memeluk kakinya.“Nggak! Aku nggak bakal lepasin kaki kamu, sebelum kasih aku uang!” sahut Lilis semakin mempererat pelukannya di kaki Hend
Dalam kecewanya yang mendalam terhadap Steve, Lilis mencengkeram baju lelaki itu, lalu merosot perlahan-lahan. Saat itu dia mendengar deru mesin mobil di sebelahnya, dalam keputusasaan dia melihat ke kanan, berharap seseorang mungkin mendengar pertengkarannya dengan Steve. Mungkin seseorang itu bisa bersaksi untuk Lilis, bahwa semua ini sudah direncanakan Steve, dan laki-laki itu adalah alasannya bercerai dari Hendra.“He-Hendra. I-itu Hendra!” seru Lilis penuh harap. Dia berpikir Hendra bisa membantunya untuk itu.Namun, benarkah Hendra mau membantunya? Meski laki-laki itu mendengar pertengkarannya dengan Steve, Hendra tidak mungkin mau membantu Lilis. Harapan yang tadi sempat singgah, perlahan menjadi rasa takut.“Tidak! Dia tidak boleh mengambil Alan!” seru Lilis lantas berdiri. “Jangan ambil Alan! Alan milikku!”Tidak Lilis hiraukan lagi Steve yang kebingungan melihatnya, Lilis sudah berlari kembali ke dalam mobil. Dia harus menghentikan Hendra sebelum lebih dulu mengambil Alan.