Hendra berdiri di depan bangunan dua lantai nan mewah itu. Di pintunya dipasangi lampu led membentuk sebuah tulisan ‘Union Cafe’, tempat yang disuruh Lilis untuk dia datangi. Ya, dia akhirnya datang ke tempat itu setelah perdebatan dengan istri dan ibu mertuanya.
Bagi Hendra, harga dirinya sudah tak ada. Dan demi memuaskan hati Lilis juga Ratna, Hendra akan melakukan apa yang mereka minta.
“Pak Hendra?” sapa seorang berpakaian pelayan ‘Bagaimana dia bisa tahu namaku?’ pikir Hendra sejenak. Seakan paham isi kepala Hendra, pelayan itu tersenyum sebelum kembali berbicara. “Silakan, Pak. Bu Juwita menunggu Bapak di dalam.”
Ternyata perempuan itu yang menyuruh pelayan ini. Sebenarnya... seberapa kaya dan hebatnya perempuan bernama Juwita itu, sampai dia tahu Hendra sudah berada di luar sini? Sambil mengikuti pelayan berkemeja putih itu, Hendra terus memikirkan siapa Juwita sebenarnya dan kenapa dia tertarik pada Hendra.
“Gimana? Apa kata Juwita sama kamu? Dia setuju nikah sama kamu kan, Hen? Juwita nggak batalin ucapannya malam itu, kan?”Baru saja Hendra tiba di rumah, Lilis sudah menghujaninya dengan berbagai pertanyaan. Istrinya itu bahkan tidak melihat suasana wajah Hendra yang kusut oleh beratnya beban pikiran. Hendra merasa kecewa pada sikap Lilis yang sangat keterlaluan, tapi hanya pasrah yang bisa dia lakukan.“Kok bengong, sih, Hen? Kamu nggak pergi ke mana-mana, kan? Kamu beneran nemuin Juwita atau malah ke mana, sih?” tanya Lilis sekali lagi.Rasanya tak ada gunanya Hendra berharap Lilis akan sedikit mengerti perasaannya. Wanita yang dia nikahi ini sudah tidak seperti wanita yang dulu Hendra kenal.“Ayo dong, Hen... kamu kenapa hanya diam? Bilang sama aku, apa yang Juwita ucapkan di pertemuan kalian,” paksa Lilis tak menyerah. Suaranya merengek dibuat seperti ingin menangis.“Dia bilang, besok kami menikah. Gima
Hendra masih bergeming, sementara Lilis uring-uringan memikirkan mungkin uangnya akan kembali Juwita ambil saat pernikahan itu berakhir. Lihatlah wajah Lilis yang bengis dengan bibir mencibir, membuat Hendra ingin menjerit karenanya.“Juwita nggak bilang begitu, dia juga nggak bilang mengurangi uang yang kalian janjikan.” Tapi sekali lagi, Hendra tahan gemuruh di dalam dadanya untuk membuat semuanya tetap baik-baik saja.Lilis tersenyum sumringah, kekhawatirannya hilang seketika. “Bagus, dong. Hanya lima tahun, dari mana lagi kita bisa dapat uang dan apartemen mewah? Itu justru menguntungkan kita, Hen! Setelah pernikahan kalian berakhir, kita bisa hidup layak tanpa gangguan siapa pun, benar kan?”Bayangkan saja. Lima tahun bukanlah waktu yang sedikit jika dibandingkan akan segala yang dia dapatkan. Bahkan jika Hendra bekerja sampai tua pun belum tentu mereka akan mendapatkan uang tiga miliar dan apartemen mewah. Lilis tidak keberatan, jus
Lilis masih terlelap saat Hendra terjaga dari tidurnya. Dia tatap wajah wanita yang sudah tiga tahun menjadi istrinya, tampak sangat lugu dengan wajah tidak berdosa. Wajah lugu itu pula lah dulu yang membuat Hendra begitu mencintai Lilis, bahkan sampai detik ini.Bukan hanya wajahnya, tapi sifat apa adanya yang Lilis miliki pun alasan Hendra yakin untuk menikahi Lilis tiga tahun yang lalu. Hendra benar-benar tidak menyangka istri lugunya itu kini sudah sangat berubah, bahkan rela menggadaikan Hendra pada wanita lain. Mendesah, Hendra lantas bangkit dari atas ranjang, tak tahan memikirkan sifat Lilis yang kini tergila-gila akan uang.Hendra adalah lelaki pekerja keras. Pekerjaan apa pun dia lakukan untuk mengumpulkan rupiah demi rupiah. Seperti hari ini, seharusnya Hendra bisa beristirahat menikmati hari liburnya. Tapi Hendra sudah berniat akan mendapatkan uang dari pekerjaan lain di luar sana. Karena itulah Hendra tetap berangkat meski Lilis tidak menyiapkan sarapan un
Lilis masih sibuk dengan uang-uangnya, saat Juwita muncul di ambang pintu. Perempuan yang silau akan uang itu bahkan tidak peduli saat Juwita berkata akan membawa Hendra bersamanya.“Lis, kamu nggak dengar? Aku... harus pergi dengan Nona Juwita,” bisik Hendra, dia sangat malu melihat tingkah istrinya yang sibuk memeluk uang-uangnya.“Dengar dong, Sayang... aku nggak budeg, kok. Yaudah, sana kamu pergi sama Jeng Juwita. Aku harus persiapan beli baju mahal buat acara nanti malam.” Lilis bayangkan dirinya akan hadir di acara pernikahan Hendra dengan pakaian paling mahal. “Oh, ya, Jeng Juwita pake gaun warna apa? Aku bakal beli warna yang sama dengan kemeja Hendra juga.”“Tidak. Aku sudah persiapkan pakaian untuk kami,” sahut Juwita, rasa geli di dalam hatinya melihat Lilis yang sangat keterlaluan.“Terus, aku pake baju lain sendiri, dong? Loh, kita ini kan keluarga, Jeng, harus kompak, dong!”
Nama Lilis menjadi tranding topik di tempat tinggalnya. Orang yang biasa hidup ala kadarnya, bahkan dekat dengan kata miskin kini menjadi seorang billioner. Mobil mewah, pakaian mahal, tas bermerek dan segalanya dia beli dan pamerkan di depan para tetangga.“Nih, Bu Saidah, lihat nih...” kata Lilis, mengangkat tasnya tinggi-tinggi. “Aku baru pulang belanja banyak! Di mobil lebih banyak, tuh, mau lihat nggak?” Lilis buka pintu mobilnya dan menunjukkan barang-barang mahal yang baru dia beli dari butik terkenal di kotanya. “Baca ya nama tokonya, ini bukan barang KW kayak yang kalian beli di pasar-pasar.”Lilis merasa sangat kesal. Sejak pagi tadi dia berkata dirinya sudah menjadi orang kaya, tapi tetangganya masih menganggap dirinya bermimpi. Uang-uang yang Lilis hamburkan juga tidak lantas membuat tetangganya sadar akan kekayaan Lilis sekarang.“Kalian masih belum percaya kalo aku udah kaya?” tanya Lilis, sangat butu
Sementara di sebuah rumah mewah, Hendra duduk mematung tak mampu bergerak. Perasaannya bagaikan tengah duduk di bangku pesakitan, disidang oleh seorang hakim yang sangat kejam. Di sisi kanannya ada Juwita, wanita yang sudah membelinya dari Lilis. Di depan mereka duduk sepasang orang tua yang Juwita sebut sebagai papa dan mamanya. Hendra hanya diam mendengarkan perbincangan mereka yang mulai bersitegang, sebab Juwita sudah menyuruhnya menutup mulut sebelum masuk ke rumah keluarga itu.“Apa-apaan ini? Kamu menolak semua pria yang papa kenalkan, dan tiba-tiba bilang mau menikah? Laki-laki macam apa yang kamu bawa ini, Juwita?”Selama ini Juwita tidak pernah mengatakan niatnya untuk menikah. Bahkan memperkenalkan seorang pria saja, dia sama sekali tidak pernah. Sejak Juwita dan mantan suaminya bercerai dulu, Juwita selalu menutup diri dan menolak semua pria yang dikenalkan keluarga.Lalu tiba-tiba saja dia datang menyebutkan akan menikah malam ini,
Pernikahan Hendra dan Juwita berlangsung sangat cepat. Hanya ada tamu tertentu dan pengurus pernikahan sipil. Kedua orang tua Juwita ikut hadir meski dengan perasaan terpaksa, dan wajahnya sangat tegang dan menunjukkan ketidaksukaan.“Selamat, Juwi, akhirnya kamu punya suami.” Temannya memberi selamat pada Juwita, menyalami kedua pengantin itu.“Terima kasih.”Venny juga hadir di sana. Banyak pertanyaan yang muncul di dalam kepala Vanny, mempertanyakan apa sebenarnya yang terjadi di sana. Dia mengenal Hendra adalah suami dari temannya, Lilis.“Kalian saling mengenal di mana? Terus... sudah berapa lama kalian berhubungan?” tanya Vanny, ingin memastikan apakah mungkin Lilis tidak tahu suaminya bermain gila? Padahal, saat Vanny menawarkan Lilis untuk mencari pria tua, temannya itu sangat mempertimbangkan dirinya sudah menikah. ‘Gila aja kalo Lilis memuja laki-laki brengsek kayak Hendra,’ pikir Vanny sinis.
Ratna terkagum-kagum melihat apartemen Lilis yang sangat mewah. Mulutnya sampai menganga, tidak menyangkan putri satu-satunya akan memiliki apartemen semewah itu."Lis... rumah kamu keren banget! Ibu benar-benar bangga sama kamu, Nak!" pujinya tak main-main."Iya dong, Bu... ini kan apartemen elite, udah pasti isinya keren lah. Semua isinya Juwita yang beliin, aku nggak harus capek-capek keluar duit lagi buat isi perabotan."Gaya Lilis sudah seperti seorang nyonya sungguhan. Yang biasanya dia hanya dasteran di rumah kontraknnya, sekarang gaun selutut itu tidak pernah lepas dari tubuhnya. Kaki jenjangnya juga selalu mengenakan high heels mahal yang siang tadi dia beli.'Coba dari dulu Lilis jual Hendra, kan kita nggak harus hidup miskin lama-lama,' pikir Ratna sambil tertawa di dalam hati. Tak dia pungkiri kesuksesan bahwa putrinya memang sangat pintar mencari seseorang yang mau membeli menantunya yang tidak berguna itu.Apa sih yang dih
Sejenak Hendra menunduk. Dia menatap lantai di bawah kakinya dan memikirkan pertanyaan itu. Cinta... Hendra tersenyum kecil.Tentu saja dia mencintai Juwita, dan cinta itu pula yang membuatnya selalu sabar dengan semua cobaan pernikahan mereka. Tapi Hendra tidak akan lupa bahwa cinta pula yang membuatnya menjadi suami yang terjual. Karena rasa cintanya pada Lilis dan tidak ingin istrinya bercerai, Hendra yang bodoh pun menerima pernikahan tertulis dengan Juwita.Bukankah cinta itu pula yang membuatnya menjadi menderita? Meski sangat mencintai Juwita, Hendra juga ingin mempertahankan harga dirinya.“Mencintai adalah hal yang sangat mematikan, sampai aku menjadi menantu Anda pun itu karena dulu aku mencintai mantan istriku. Jika sekali lagi aku mengalah demi cinta, bukan tak mungkin akan kehilangan harga diri lagi. Maka kuputuskan, bercerai adalah jalan yang sudah sepatutnya,” ucap Hendra dengan yakin.Juwita tidak kuasa mendengar perkataan Hendra, air matannya mengalir lebih deras oleh
Hendra mengangguk, tidak ingin mengulur waktu sehingga membuat orang-orang berharap banyak padanya. Semuanya harus diakhiri agar Juwita tidak terus merendahkannya.“Nggak mungkin,” bisik Juwita patah hati, kedua tangan memegangi kepalanya yang belum mampu menerima kenyataan. “Kamu nggak mungkin menanda tanganinya, kamu pasti berbohong.” Dia tatap suaminya dengan mata memelas, sungguh tidak Juwita harapkan benar-benar bercerai dari Hendra.“Maaf mengecewakan kamu. Tapi... kedatanganku ke sini untuk mengantarkan surat cerai itu.” Hendra mengeluarkan amplop yang Juwita kirimkan itu, dan membuka bagian yang sudah dia tanda tangani. Dia letakkan berkas itu di atas meja agar semua orang bisa melihatnya. “Aku hanya mengabulkan permintaan kamu. Dan lagi, aku rasa kita tidak mungkin meneruskan pernikahan yang sejak awal tidak sehat. Aku tidak ingin terus dikenal sebagai suami yang dibeli, maka itu memang sebaiknya kita bercerai saja.”Sebagai lelaki, Hendra punya harga diri. Meski di awal sud
Berkali-kali Juwita melirik ke pintu utama rumah orang tuanya. Duduknya tak bisa diam, bergeser setiap menit seakan tidak sabaran. Sofa yang didesain sangat empuk itu seakan tidak nyaman menjadi tempatnya. Dia melirik lagi, dan itu terus saja terulang setiap kali dia mendengar suara pergerakan seseorang di sekitarnya.Maria mengamati putrinya itu dari anak tangga, tampak penyesalan dan ragu-ragu di wajah cantik Juwi yang belakangan ini terlihat semakin kurus. Dia mendatangi putrinya dan duduk di sebelah Juwi.“Wi, tenangkan dirimu,” kata Maria, mungkin dengan ucapan itu putrinya bisa merasa lebih baik. “Pikirkan anak di kandungan kamu. Jika mamanya stres, anak kamu juga akan ikut stres di dalam sana.Mata sayu Juwi menatap mamanya ragu dan dia berkata, “Entah lah, Ma. Aku tidak bisa tenang sebelum melihat Hendra datang. Aku takut jika dia tidak benar-benar menemuiku,” katanya.Hendra memang tidak pernah berkata akan datang menemui Juwita, melainkan Armaja lah yang akan ditemui lelaki
Setelah mendapatkan bukti itu, polisi langsung memeriksanya. Benar saja, video yang Steve berikan sebagai bukti jelas adalah editan. Banyak bukti yang Armaja bawa sehingga Steve tidak bisa berkutik sekarang. Bukan hanya itu, Armaja juga berhasil menangkap pelaku yang selama ini bersembunyi di belakang Steve, sebagai orang yang mengunggah di media sosial.“Bukan saya yang bersalah, Pak! Dia yang lebih dulu memukul saya!” Steve meronta di tangan polisi. Dia terus menuduh Hendra lah yang sudah memukulnya terlebih dahulu, tapi bukti-bukti yang dibawa oleh Armaja tidak bisa dibohongi.Hendra yang masih sangat shock dengan kejadian ini, hanya bisa diam menyaksikan Armaja dan polisi menyelesaikan masalah mereka. Lelaki itu memeluk putranya erat, menenangkan Alan yang masih sesunggukan.“Dia yang memukul saya! Dia yang seharusnya ditangkap!” Steve menunjuk-nunjuk pada Hendra, sangat memuakkan. Bahkan ketika semua bukti sudah terarah padanya, lelaki itu masih saja ingin menyalahkan Hendra.And
Jalan raya itu sangat ramai oleh mobil-mobil yang berlalu lalang. Tak ada cela jika pun Hendra ingin lari dari kejaran polisi yang tengah menunggunya di luar sana. Pasrah. Hanya itu yang bisa Hendra lakukan sekarang. Dia tidak mungkin berlarian di jalanan menggendong Alan, seperti yang tadi dilakukannya. Bisa-bisa membuat Alan menjadi celaka.“Pak, bagaimana selanjutnya? Kita tidak bisa lewat, apakah kita harus menabrak mobil lainnya agar memberikan jalan?” tanya Rahmat dari bangku kemudi, dia tidak rela bosnya tertangkap begitu saja.Akan tetapi, Hendra sudah lelah. Perkataan Rahmat terlalu berisiko dan dia tidak ingin membuat masalah yang lebih besar.Dia melepaskan sebelah tangan dari punggung Alan, kemudian membuka pintu mobil itu sangat pelan.“Pak, jangan keluar. Bagaimana nasib Alan jika bapak sampai ke kantor polisi?” Rahmat masih mengingatkan.“Kita tidak mungkin membuat masalah yang lebih besar lagi, Mat. Aku tidak ingin kamu ikut ke dalam masalah ini.” Dia pun keluar dari
Taksi yang Hendra tumpangi dengan Alan pun meluncur di jalanan. Sopir taksi itu merasa iba melihat Alan yang menangis berkata takut, dia membayangkan andaikan dirinya bersama anaknya yang ada di posisi Hendra sekarang. Meski sebenarnya pak sopir juga terlihat ketakutan, wajahnya berkeringat saat melihat dua petugas polisi dari kaca spion-nya.“Bapak ini mau ke mana, toh? Saya nggak berani kalo Suria Hotel, itu terlalu jauh, takutnya dikejar sama polisi. Saya juga punya anak istri, Pak, tidak berani berurusan dengan mereka,” kata pak sopir, nadanya gemetar saat bertanya.Hendra pun tidak mungkin melibatkan orang lain dalam kasusnya. Suria Hotel terbilang jauh dari posisi mereka sekarang, sangat benar yang dikatakan sang sopir kalau petugas kepolisian itu mungkin tengah mengejarnya. Lagian, Hendra juga tidak mungkin pergi ke sana lagi, akan sangat gampang jika polisi melacaknya.Beruntung saja ponselnya terselip di saku celana Hendra, sehingga dia bisa menghubungi Rahmat untuk meminta
Ketika Hendra masih memaksa Lilis agar keluar dari mobilnya, dua mobil lainnya datang ke tempat itu. Berhenti tepat di sebelah Hendra, membuatnya bertanya-tanya siapa kira-kira orang yang datang di dalam sana. Hendra menghela napas panjang ketika melihat itu adalah Steve dan beberapa orang dengan kamera besar.Reporter lagi?Astaga... entah sampai kapan Hendra harus bertemu dengan orang-orang itu, dia sudah sangat lelah.Tidak cukup hanya Steve dan reporter saja yang datang ke sana. Tidak lebih dari dua menit, ada mobil polisi yang juga ikut parkir di halaman warga yang luas itu. Entah apa yang akan terjadi di ke depan nanti, Hendra sudah sangat lelah berpikir. Menghadapi Lilis saja sudah membuatnya kesulitan, kenapa Steve harus datang ke sini membawa reporter dan polisi?“Itu perempuan yang menghancurkan kaca mobil saya, tolong tangkap dia, Pak. Meski Lisa adalah istri saya, saya tidak terima mobil saya dirusak begitu saja,” kata Steve pada polisi, menunjuk Lilis di dalam mobil Hendr
“Jangan bawa Alan, Hendra! Kamu nggak boleh bawa dia sebelum kasih duit ke aku!”Hendra sudah berhasil merebut paksa Alan dari Lilis dan Ratna, tapi saat akan membawanya masuk ke mobil, Lilis segera menghentikan Hendra. Perempuan itu betul-betul tak merelakan Hendra pergi tanpa memberinya uang. Lilis bahkan bergantung di kaki Hendra, memegangi agar lelaki itu tidak bisa bergerak.“Kasih aku uang dulu! Kamu nggak boleh pergi dari sini sebelum ngasih aku uang!” kata Lilis terus berteriak, memeluk kaki Hendra sangat erat.Setiap kali Hendra akan melangkah, kakinya selalu ditahan oleh Lilis. Bahkan hampir saja Hendra terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangan.“Lepasin, Lilis! Kamu ini jangan bikin malu!” Hendra berkata geram, orang-orang sudah berkerumun menyaksikan mereka di halaman itu. Sudah seperti suami kejam saja Hendra dengan posisi Lilis memeluk kakinya.“Nggak! Aku nggak bakal lepasin kaki kamu, sebelum kasih aku uang!” sahut Lilis semakin mempererat pelukannya di kaki Hend
Dalam kecewanya yang mendalam terhadap Steve, Lilis mencengkeram baju lelaki itu, lalu merosot perlahan-lahan. Saat itu dia mendengar deru mesin mobil di sebelahnya, dalam keputusasaan dia melihat ke kanan, berharap seseorang mungkin mendengar pertengkarannya dengan Steve. Mungkin seseorang itu bisa bersaksi untuk Lilis, bahwa semua ini sudah direncanakan Steve, dan laki-laki itu adalah alasannya bercerai dari Hendra.“He-Hendra. I-itu Hendra!” seru Lilis penuh harap. Dia berpikir Hendra bisa membantunya untuk itu.Namun, benarkah Hendra mau membantunya? Meski laki-laki itu mendengar pertengkarannya dengan Steve, Hendra tidak mungkin mau membantu Lilis. Harapan yang tadi sempat singgah, perlahan menjadi rasa takut.“Tidak! Dia tidak boleh mengambil Alan!” seru Lilis lantas berdiri. “Jangan ambil Alan! Alan milikku!”Tidak Lilis hiraukan lagi Steve yang kebingungan melihatnya, Lilis sudah berlari kembali ke dalam mobil. Dia harus menghentikan Hendra sebelum lebih dulu mengambil Alan.