"Oh, aku kesal sekali dengan kejadian kemarin Mariana, bisa-bisanya di waktu bahagia aku malah bertemu dengannya," kataku pada Mariana, seorang pelanggan kue yang berubah menjadi teman baikku akhir-akhir ini. "Ya ampun ... Serius La? Tapi dia enggak ngapa-ngapain kamu 'kan?" tanyanya sembari melihatku intens. "Enggak, cuma dia ngejar aku aja mau bilang sesuatu. Hanya saja aku menolaknya. Aku sama sekali tidak mau memberikan dia kesempatan. Terlebih sikap istrinya itu sangat dingin sama anakku," jawabku yang membuatnya mengelus dadanya pelan. "Huh ... Syukurlah. Kalau begitu, kamu bisa lebih tenang menjalani hidup bersama dengan Ryan. Abaikan saja La," ujarnya. "Maunya begitu Mariana, tapi bagaimana terkadang aku merasa berat. Bagaimanapun juga dia adalah ayah anakku. Tapi di sisi lain aku tidak rela bila anakku diasuh oleh ibu tiri yang jahat," kataku dengan jujur. "Sama, aku pun sama. Oh ... Dunia ini menyebalkan. Kamu kalah dengan tantemu, dan aku kalah dengan pembantuku. Oh, m
Permohonan Maafnya “Hai! Sudah dari tadi?” tanyaku pada Ryan dan Gaffi saat aku baru saja kembali dengan Mariana dari karaoke. “Gimana nyanyinya? Banyak sawerannya?” tanya Ryan padaku dengan wajahnya yang sengaja meledekku. Aku hanya bisa mnedengus kesal menanggapi pertanyaannya. Ku lihat Elis dan Rini masih bekerja pada posisinya masing-masing. Mereka tersenyum menyapaku dan aku pun mendekatinya. “Hust!” desisiku pada Elis dan Rini di balik rak kue. “Hei, dari kapan dia ada di sini?” tanyaku dengan berbisik pelan. “Apa Bu?” tanya Elis yang kelihatanya tidak begitu paham dengan apa yang aku tanyakan. “Itu, Pak Ryan. Kapan datangnya?” tanyaku pelan. “Mungkin lebih cepat dia 15 menit Bu.” Rini menjawabku dengan mengedipkan matanya berkali-kali. Agak aneh sih memang tetapi aku tidak mencurigai apapun. “Ehem!” deham Ryan dengan tiba-tiba dan itu membuatku sangat kaget. Aku dengan segera berdiri dan tidak sengaja kepalaku membentur sudut meja. Dug! Rasanya waow banget. Kepalaku la
“Hih! Ada apa lagi datang ke sini?” sentakku yang sudah tidak bisa lagi mengkondisikan nada bicara dan juga mimik mukaku.Iya, dia Mas Akbar. Ada apa dia akhir-akhir ini selalu datang ke sini? Aku begitu kesal saat melihat wajahnya. Tetapi tidak dengan Ryan yang malah dengan santai menyikapi kedatangannya.“Santai Nala, aku hanya ingin ngopi malam ini,” ucapnya dengan sangat tenang menjawab pertanyaan sinisku.“La, jangan kayak gitu, dia itu pelangan,” kata Ryan yang sepertinya menanggapi semua ini dengan biasa saja. Dia biasa, aku yang luar biasa kesalnya.“Ngopi, ngopi. Pulang sajalah sana, apa tidak lihat tokoku ini sudah tutup?” tanyaku bersungut-sungut dengan nada kesal aku pun menatapnya sinis.“Sayang, jangan kayak gitu dong,” bujuk Ryan padaku dengan wajah teduhnya. Jujur saja setiap dia seperti itu hatiku selalu luluh. Dia sangat tahu kelemahanku.“Ish! Menyebalkan,” ketusku yang kemudian pergi naik ke atas ruanganku dengan menarik Gaffi yang sudah mengantuk.“Afi, sama ayah
“Siapa?” tanyaku pada Elis.“Saya juga tidak tahu Bu, baru kali ini saya melihat mereka. Tapi dari penampilannya mereka seperti orang kaya. Mungkin ingin memesan atau mungkin ingin mengajak ibu bekerja sama,” ujar Elis panjang lebar.Aku turun dan sungguh apa yang aku lihat ini membuat dadaku sesak. Wanita perebut mantan suamiku itu datang bersama ibu mertua, ibu kandung Mas Akbar. Ah entah bagaimana, tetapi yang jelas aku muak dengan wajah mereka.Tanpa kupersilahkan duduk, mereka sudah duduk dengan seenaknya tanpa rasa sopan. Tante Anggi duduk menyilangkan kaki dengan gaya angkuhnya. Juga mama Lina yang duduk dengan sinis menatapku.“Ada apa?” tanyaku ketus tanpa mau menatap mereka berdua.“Hih, dasar lo*te, suka banget kamu godain suami aku. Kenapa? Calon suamimu itu tidak panjang?” tanya Anggi dengan nada mengejek.Mendengar itu semua membuat telingaku panas. Aku tidak habis pikir dia bisa berkata seperti itu sementara dia sendiri dulu seperti apa? Iya, dia lebih rendah dari PSK.
47.Setelah kepergiannya, Elis datang mengetuk pintu. Dia terlihat setengah takut untuk mengembalikan kunci toko kepadaku. Aku merasa semua ini adalah suatu rintangan yang memang Tuhan kirimkan kepadaku sebelum aku melangkah ke pernikahan.“Bu, ini kuncinya,” panggil Elis kepadaku dengan perlahan mengetuk pintu.“Iya Lis, sebentar!” sahutku yang kemudian membukakan pintu dan menerima kinci darinya.Sejenak aku menyempatkan diri untuk menoleh ke bawah. Mas Akbar sudah tidak ada lagi, rupanya dia sudah pergi. Oh, aku sangat bersyukur dia tidak menungguku di bawah.“Dia sudah pergi?” tanyaku kepada Elis.“Sudah Bu, sesaat setelah ibu masuk ke sini. Afi sudah tidur Bu?” tanyanya yang rupanya juga mengkhawatirkan keadaan anakku.“Oh iya, bagaimana kalau malam ini kamu tidur di sini sama temani aku. Besok pagi aku antar pulang untuk berganti baju. Aku merasa tidak aman sendirian di sini Lis,” akuku yang memang ketakutan.Aku tahu bagaimana liciknya tante Anggi itu. Dia itu adalah ular yang
Suram, kata yang paling pas untuk menggambarkan suasana di rumahku saat ini di mana mantan suamiku dan istrinya yang merupaka tanteku bertandang ke sini. Aku sudah berusaha untuk mengusir mereka, namun mereka sama sekali tidak mau pergi. Mas Akbar memohon agar aku memberinya kesempatan untuk bisa mempunyai waktu bersama Gaffi.Namun, tidak semudah itu akan membagi hak asuh kepadanya yang sudah pernah melepeh kami. Seenaknya saja mau meminta hak asuh sedangkan dahulunya saja dia membuang kami. Tidak akan kubiarkan itu terjadi.Di saat kami masih saling diam dan suasana begitu hening, Ryan datang. Dia datang dengan menyeret kopernya dan hal itu membuat Mas Akbar sedikit tercengang melihatnya. Mungkin yang dia pikir saat ini adalah mengapa Ryan datang ke rumah ini dengan membawa koper.“La, ini aku bawakan makanan dari mama,” kata Ryan dengan lantangnya dan membuat suaranya menggema memenuhi ruangan ruang tamu ku ini.“Eh, ada kalian? Enggak kapok juga ya? Ada apa lagi Mas Akbar?” tanya
49. Aku mengintip kedua tamuku itu pergi meninggalkan rumah. Dengan dua penjanga mereka diseret keluar. Setelahnya pun aku masih melihat Mas Akbar yang menunjuk wajah Tante Anggi seperti sedang memarahinya. Jeglek! Masih dengan aku yang mematung melihat pertengkaran sepasang suami istri itu, tiba-tiba saja Ryan masuk. Dia pun ikut berdiri di sampingku dan melihat bagaimana dua orang itu pergi dengan satu kuda besi yang sama. Keduanya melesat pergi begitu saja. "Aku tidak menyangka bila mereka berani datang ke sini tanpa tahu malu. Terlebih tantemu itu. Bagaimana cara orang tuanya mendidiknya dulu," gumam Ryan yang terdengar begitu jelas di telingaku. Aku terdiam, lalu menatapnya lekat. Kulihat, amarahnya masih membumbung tinggi. Menguasainya dengan menampilkan ekspresi mengerikan. "Dulu, orang tua Tante Anggi itu tidak punya apa-apa. Mereka miskin dan bahkan tante Anggi nyaris putus sekolah semasa SMA. Karena hal itu ayahku yang kasihan kepada mereka lalu membawanya ke kota dan
"Bunda, Bun!" seru putraku yang terdengar begitu nyaring di telingaku. Perlahan aku mendengar suara putraku. Dia berseru memanggilku dengan suara lantangnya begitu nyaring dan membuat tidurku terusik. Sementara di sisiku masih ada lelaki yang baru saja kemarin menjadi suamiku. "Yan, Gaffi sudah bangun itu. Dia panggil aku," kataku dengan mengguncang perlahan lengannya. Matanya masih setia terpejam. Dia seolah begitu menikmati malamnya yang tak begitu panjang. Sebab malamnya yang tak begitu panjang adalah dia yang terus saja mengusikku. Dia seperti orang kelaparan hingga dalam satu malam sudah dua kali dia melahapku bulat-bulat. Sempat ingin menolak, tetapi pada akhirnya aku juga ikut menikmatinya. Iya, aku akui dia berhasil mengubah ranjang ini menjadi begitu panas. "Hem," gumamnya menyahutiku tanpa sedetik pun membuka matanya. "Awas dulu, sebentar saja. Aku keluar dulu sebentar untuk sapa dia," kataku beralasan. "Sebentar ya, jangan lama-lama," ucapnya memperingati. Tidak ku
Dalam sebuah kamar ketika malam tiba, seorang wanita terus saja menggerutu seorang diri sambil memijit kakinyay yang terasa sakit. Nala merasakan sakit dibagian kakinya karena benturan tadi saat di adengan nekat menabrakkan mobilnya pada mobil Akbar. Dia sudah sangat marah kali ini sikap Akbar yang kembali ingin menggodanya membuatnya muak.Terdengar suara pintu terbuka lebar, menampilkan sosok laki-laki dengan stelan jas hitam memasuki kamar tanpa sambutan. Dia hanya tersenyum simpul menatap Nala. Ryan, sama sekali tidak banyak bicara terlebih saat dia mengira bahwa istrinya tidak ada karena mobil mereka juga tidak ada di garasi.“Aku pikir kamu pergi Sayang, ternyata kamu ada di rumah. Mobilmu ke mana?” tanya Ryan sembari meletakan tas dan jasnya dan ia mendekati Nala yang masih duduk membelakanginya di tepi ranjang.“Astaga! Kenapa kakimu bengkak membiru begitu? Kenapa ini tadi Sayang? Kamu kenapa?” tanya Ryan dengan sedikit panik.“Enggak apa-apa, aku enggak sengaja nabrak aja tad
"Sayang, hari ini kamu dulu ya yang jemput Gaffi, aku ada rapat dadakan. Ayah tiba-tiba sakit kepala, jadi aku tidak bisa menjemputnya, aku harus menggantikan ayah Sayang," kata Ryan kepada Nala yang tengah menatakan makan siang suaminya di meja kerja. "Loh, kenapa enggak bilang dari tadi Sayang? Hari ini Gaffi pulang cepat, kalau sampai keduluan Mas Akbar bagaimana?" kata Nala yang seketika terlihat panik. Dia segera merapikan tasnya dan mencium pipi sang suami sebelum pergi.. "Kamu nanti jangan malam-malam ya pulangnya, kita makan malem bareng!" ucap Nala dengan setengah berteriak kepada sang suami yang melambai kepadanya dengan senyuman yang menghiasi bibirnya. "Iya, aku usahakan. Kamu hati-hati nyetirnya!" kata Ryan dengan setengah berseru lantaran Nala yang dnegan cepat melangkah pergi meninggalkan ruangan kerja sang suami. "Dia masih sama saja, tetap menomer satukan keluarga. Hemh ... aku merasa Akbar itu tetaplah gangguan yang besar untuk keluarga kecil kami dan aku haru
61. “Ada apa? Kamu kenapa?” tanya Nala kepada suaminya yang hanya diam setelah penyatuan mereka. Untuk pertama kalinya Ryan menyalakan rokok yang ia bawa di dalam tasnya. Nala terkejut melihat ini. Bagaimana tidak, ini adalah kali pertama Ryan merokok di depan matanya. Mantan dokter itu tadinya sama sekali tidak menghisap benda merugikan itu. Terlihat ada raut kecemasan di wajah Ryan, pria itu terlihat stress dan mempunyai beban pikiran namun di asama sekali tidak mau membagikannya dengan Nala, istrinya. Ia memendamnya seorang diri. “Gimana aku bisa bilang sama dia kalau mantan suaminya itu tadi mengatakan sesuatu yang membuatku begitu terganggu? Akbar ingin merebut Nala kembali dengan caranya. Bukan tidak mungkin itu terjadi, mengingat masih ada Gafi diantara mereka. Gafi adalah jembatan terbaik bagi keduanya bertemu,” pikir Ryan. “Sayang, kamu kenapa? sejak kapan kamu jadi merokok begini?” tanya Nala lagi yang kali ini mendekat sambil memeluk tubuh sang suami dari belakang. Jem
60. "Aku tidak ingin melakukan apa-apa selain memberikan ucapan selamat atas pernikahan kalian," jawab Akbar dengan ketulusannya. Terlihat dengan sangat jelas raut wajah yang tidak rela itu nampak di mimik wajahnya. Si mantan suami itu separuh hatinya telah bergelut dengan rasa kecewa. Wanita yang dulu ya buang iya bohongi sinetron lihat begitu terang benderang dan menjadi pusat perhatian. "Selamat ya Selamat ya semoga awet sampai kakek-kakek dan nenek-nenek," ucap Akbar sembari mengulurkan tangannya dan Ryan pun menerimanya dengan sukarela. "Terima kasih. Aku harap ini benar-benar ucapan yang tulus dan bukan sesuatu yang modus." Ryan membalas ucapan dari Akbar dengan datar dan dingin. Mendengar apa yang Ryan katakan membuat Akbar tertegun. Sepersekian detik iya membeku dan tidak bisa berkata apa-apa. Salah semua kata-kata yang telah ia persiapkan dari rumah ke nilainya begitu saja. Belum sempat dia membalas ucapan Ryan, ayah dan ibunya sudah datang berlarian untuk mencegahnya
59. Hari Pesta PernikahanHiasan mawar putih tersusun begitu cantik di dalam ballroom hotel. Tema garden yang diusung begitu memanjakan mata. Nala mengenakan gaun cantiknya dan berdiri berdampingan dengan Ryan. Senyum cerah menambah cantik parasnya. Dengan begitu anggun dan terlihat mempesona Lala terus saja memamerkan cantik paras dan elok tubuhnya. Ryan pun sedari tadi merasa begitu senang dan berbahagia di hari istimewanya. Hari ini adalah hari di mana resepsi pernikahan itu tiba. Semua tamu dan kolega hadir dalam acara tersebut. Keluarga besar Ryan dan Nala semuanya turut hadir dalam acara pernikahan itu. "Cantiknya istriku," puji Ryan sembari merangkul pinggang ramping Nala. Lelah hanya tersipu membalasnya dengan senyuman kecil. Luapan perasaan bahagia sudah begitu tentara meskipun dia tidak mengutarakannya. Balutan putih di tubuh rampingnya semakin menonjolkan keelokan tubuhnya. Walaupun tadi ketika pertama kali memakainya justru protes lah yang Ryan berikan. Ryan tetap sa
"Enggak, enggak ada. Lagi mikir aja semuanya jadi bisa seperti ini. Kita ini mantan tapi menikah, masih lucu aja bagiku. Apa lagi kalau ingat masa-masa kita pacaran dulu," kata Nala dengan senyuman dibibir tipisnya. "Masa kita pacaran?" ulang Ryan yang kemudian duduk di samping Nala. "Iya, saat kita pacaran dulu," jawab Nala yang sebenarnya hanyalah sebuah kebohongan. Saat ini sebenarnya Nala sedang memikirkan saat di mana dia yang sedang dekat dengan Akbar tiba-tiba mendapatkan fitnah dan harus segera menikah. Terang saja kedua orang tua Nala semakin menentang itu. Ayah dan ibu Nala sedikit banyak sudah menelusuri tentang latar belakang keluarga Akbar. Hal pertama yang membuat ayah dan ibu Nala menolak kala itu adalah ibu Akbar yang doyan sekali berselingkuh. Ibu kandung Akbar bahkan pernah terjerat kasus perselingkuhan dengan paman Nala yang lainnya. Hanya saja, demi menjaga perasaan Nala kala itu, ayah dan ibu masih merahasiakan hal itu sampai detik ini. Tetapi dengan Nina yan
57. Siang itu, mereka diundang untuk datang memeriksa persiapan pesta pernikahan keduanya. Ryan dan Nala keduanya menuju ke kediaman Mama Ratna. Wanita paruh baya itu menyambut bahagia kedua anaknya tersebut. "Afi," sapa mama Ratna kepada Gaffi yang baru saja turun dari mobil. "Nenek!" Gaffi tak kalah senang melihat wanita paruh baya yang ia panggil nenek itu. "Lihat itu senang banget sama anak kecil. Kamu belum ada hasil juga? Aku udah enggak sabar," kata Ryan sembari terus mengusap lenganku. "Belum Yan, kamu kurang dalem nancepnya. Hahahaha," canda Nala sambil tertawa terbahak-bahak. "Enggak usah dalam-dalam aja kamu udah jerit-jerit. Hahaha," balas Ryan yang kemudian membuka pintu dan turun meninggalkan Nala yang hanya bisa menggelengkan kepalanya. "Ih, tapi memang dia bener sih. Setelah aku rasa-rasakan, sensasinya memang beda. Jauh dan tidak seperti pada saat aku bersama Mas Akbar. Punyanya lebih besar dan panjang." Nala membayangkan ukuran milik kedua pria itu. Ryan yan
Pov 3. Setelah hari di mana Gaffi mengatakan apa yang ada di dalam hatinya, setelah itu juga Akbar seolah menarik jarak dari ke duanya. Sebenarnya bukan hanya Gaffi yang Akbar rindukan, melanikan Nala juga. Rasa bersalah itu sangat besar. Membuatnya tersiksa. Terlebih setelah kejadian di mana dia berkelahi sampai di lempar dari lantai dua. Setiap malam Akbar selalu saja mengalami mimpi buruk. Tentang kejadian itu. Kejadian yang menyisakan trauma baginya. “A …!” teriak Akbar saat ia tiba-tiba terjaga. “Ada apa?” tanya bu Rohimah, ibu sambung Akbar yang menunggui Akbar di rumah sakit. “Kamu mimpi buruk itu lagi Bar?” Akbar terlihat panik dengan napasnya yang terengah-engah. Mimpi buruk itu membuat lelaki yang kaki dan tangannya patah itu ketakutan. Di setiap mimpinya dia seakan kembali pada saat kejadian. “Iya Bu, aku kembali lagi pada saat itu, sama persis dan aku melihat bagaimana lelaki itu mendorongku jatuh,” jawab Akbar masih dengan napasnya yang terengah-engah. “Semuanya ha
55. Aku yakin di saat Ryan mengatakan itu, Mas Akbar pun mendengarnya. Ryan mengatakan tentang masa lalu kami dengan senyuman di wajahnya seakan senyuman itu menyiratkan bahwa dialah pemenang di akhir cerita ini. Aku tidak mengerti mengapa wajahnya tampak biasa saja tepai cara bicaranya sedikit banyak membuat Mas Akabr dan ayah Ali merasa tidak nyaman. “Sudah ini jusmu, aku di sini saja, kamu temui dan tunggui mereka,” kataku kepadanya. Ryan menatapku dan tidak banyak bicara lagi dia kembali ke meja itu dengan tangan kanannya yang memawa kue dan tangan kirinya yang membawa jus buatanku. Dari sekdar makanan saja dia seolah tidak rela bila apa yang aku buat harus diberikan kepada orang lain. Entahlah, tapi memang begitu caranya bersikap posesif. Setelahnya, aku lebih memilih menyibukan diri dengan pelanhgan kami hingga kami tidak punya waktu untuk berbincang secara intens. Sesekali aku hanya membalas senyuman suamiku dan mantan suamiku melirik tajam ke arah kami. Terlihat sekali bila