Suram, kata yang paling pas untuk menggambarkan suasana di rumahku saat ini di mana mantan suamiku dan istrinya yang merupaka tanteku bertandang ke sini. Aku sudah berusaha untuk mengusir mereka, namun mereka sama sekali tidak mau pergi. Mas Akbar memohon agar aku memberinya kesempatan untuk bisa mempunyai waktu bersama Gaffi.Namun, tidak semudah itu akan membagi hak asuh kepadanya yang sudah pernah melepeh kami. Seenaknya saja mau meminta hak asuh sedangkan dahulunya saja dia membuang kami. Tidak akan kubiarkan itu terjadi.Di saat kami masih saling diam dan suasana begitu hening, Ryan datang. Dia datang dengan menyeret kopernya dan hal itu membuat Mas Akbar sedikit tercengang melihatnya. Mungkin yang dia pikir saat ini adalah mengapa Ryan datang ke rumah ini dengan membawa koper.“La, ini aku bawakan makanan dari mama,” kata Ryan dengan lantangnya dan membuat suaranya menggema memenuhi ruangan ruang tamu ku ini.“Eh, ada kalian? Enggak kapok juga ya? Ada apa lagi Mas Akbar?” tanya
49. Aku mengintip kedua tamuku itu pergi meninggalkan rumah. Dengan dua penjanga mereka diseret keluar. Setelahnya pun aku masih melihat Mas Akbar yang menunjuk wajah Tante Anggi seperti sedang memarahinya. Jeglek! Masih dengan aku yang mematung melihat pertengkaran sepasang suami istri itu, tiba-tiba saja Ryan masuk. Dia pun ikut berdiri di sampingku dan melihat bagaimana dua orang itu pergi dengan satu kuda besi yang sama. Keduanya melesat pergi begitu saja. "Aku tidak menyangka bila mereka berani datang ke sini tanpa tahu malu. Terlebih tantemu itu. Bagaimana cara orang tuanya mendidiknya dulu," gumam Ryan yang terdengar begitu jelas di telingaku. Aku terdiam, lalu menatapnya lekat. Kulihat, amarahnya masih membumbung tinggi. Menguasainya dengan menampilkan ekspresi mengerikan. "Dulu, orang tua Tante Anggi itu tidak punya apa-apa. Mereka miskin dan bahkan tante Anggi nyaris putus sekolah semasa SMA. Karena hal itu ayahku yang kasihan kepada mereka lalu membawanya ke kota dan
"Bunda, Bun!" seru putraku yang terdengar begitu nyaring di telingaku. Perlahan aku mendengar suara putraku. Dia berseru memanggilku dengan suara lantangnya begitu nyaring dan membuat tidurku terusik. Sementara di sisiku masih ada lelaki yang baru saja kemarin menjadi suamiku. "Yan, Gaffi sudah bangun itu. Dia panggil aku," kataku dengan mengguncang perlahan lengannya. Matanya masih setia terpejam. Dia seolah begitu menikmati malamnya yang tak begitu panjang. Sebab malamnya yang tak begitu panjang adalah dia yang terus saja mengusikku. Dia seperti orang kelaparan hingga dalam satu malam sudah dua kali dia melahapku bulat-bulat. Sempat ingin menolak, tetapi pada akhirnya aku juga ikut menikmatinya. Iya, aku akui dia berhasil mengubah ranjang ini menjadi begitu panas. "Hem," gumamnya menyahutiku tanpa sedetik pun membuka matanya. "Awas dulu, sebentar saja. Aku keluar dulu sebentar untuk sapa dia," kataku beralasan. "Sebentar ya, jangan lama-lama," ucapnya memperingati. Tidak ku
Satu bulan setelah pernikahanku. Semuanya berjalan baik-baik saja dan aku pikir Mas Akbar tidak lagi datang untuk mengusikku. Kami sudah sangat bahagia dengan dirinya yang menghindar semenjak hari itu entah apa yang suamiku lakukan untuk membuatnya menjauh kala itu, yang jelas dia berhenti menemuiku dan Gaffi.“Nanti siang, mau makan bersama tidak?” tanyaku kepada si CFO yang tampan ini.“Makan bersama? Siang ini kantor harus melakukan banyak persiapan untuk acara besok. Kamu juga sebaiknya siang ini melakukan perawatan Sayang. Akan ada banyak tamu penting ‘kan? Dan kita juga harus mulai terbuka untuk hubungan kita ini kepada publik.”Ryan berbicara sambil terus mengemudi. Sedangkan aku hanya duduk di sampingnya memandang takjub si mantan pacar yang kini berubah menjadi suami. Di saat sedang serius membahas seuatu aku pikir kharismanya bertambah dan itu membuatnya semakin tampan saja.“Erm, iya kamu benar. Untuk Afi, aku atau kamu yang jemput?” tanyaku padanya yang masih saja fokus pa
Menguar aroma karbol rumah sakit setelah petugas kebersihan membersihkannya. Lantai itu tak lagi berdebu sedikit ada perbedaan di atasnya. Berlalu lalang orang datang membesuk sanak saudaranya, dan di sinilah aku di sebuah rumah sakit aku sedang menunggui putraku bertemu dengan ayah kandungnya. Aku hanya menunggu di luar, memastikan bahwa tidka ada celah baginya untuk membawa anakku lari. Mantan ayah mertuaku saat ini tengah duduk di sampingku dan dia berbicara tentang banyak hal yang terjadi hingga menyebabkan Mas Akbar jadi sakit parah seperti ini. "Mewakili anak ayah Nala, ayah minta maaf yang sebesar-besarnya sama kamu," ucap lelaki tua yang duduk di sebelahku dengan raut penyesalan yang menghiasi wajahnya. "Ayah, sudahlah tidka usah minta maaf lagi, semuanya sudah terjadi. Mas Akbar dengan kehidupannya dan Nala juga sudah menemukan kehidupan dan kebahagiaan Nala," kataku yang tidak mau larut dalam duka itu. "Iya ayah tahu, tetapi, entah bagaimana ayah merasa bila semua ini ma
Tidak saling bertegur sapa selama satu hari semenjak aku mengunjungi mantan suamiku itu. Ryan dia terlihat sekali menjaga jarak denganku. Aku masih berpikir apa yang salah dengan kejadian kemarin. Niatku hanya ingin membalas kebaikan mantan ayah mertuaku sudah itu saja tidak lebih. Tetapi apa mau dikata bila suamiku sendiri tidak percaya? Dan malam ini di saat kami menghadiri acara dan juga dia mengumumkan tanggal pernikahan kami, raut wajahnya pun masih terlihat begitu marah kepadaku. Iya hanya kepadaku. Selama acara berlangsung dia masih bisa berpura-pura tersenyum dan memperkenalkan aku kepada semua anggota keluarga, kolega, dan teman-temannya. Akan tetapi setelah semua itu usai keadaan menjadi begitu hening dengan atmosfer di sekitar kami yang mulai terasa berbeda. Dan di sinilah kami sekarang berada di depan televisi yang terus saja menyala seolah tengah menatap kami berdua. "Yan kamu masih marah sama aku? Aku sama dia itu nggak ada apa-apa. Orang aku juga mau ketemu sama dia
54. “Siapa yang mengirim pesan ni untukku?” kataku seorang diri yang sama sekali tidak mengetahui nomor siapa yang mengirimkan pesan tersebut. Hari itu aku lewatkan dengan seperti biasa, menjalani kegiatanku juga tanpa hambatan yang berarti. Sampai tiba sore hari di mana aku dan Gaffi hendak pulang, datanglah seseorang dengan menggunakan kursi rodanya. Ia, dia adalah Mas Akbar. Melihat keadaannya yang tidak berdaya seperti itu jujur saja membuat hatiku terenyuh. Aku iba saat menatapnya demikian. Dia sedang susah dan menderita juga sendirian. Aku tidak tahu ke mana anak dan istrinya semenjak kasus itu terjadi, sedikit rasa penasaran membuatku tidak membuka suara untuk mengusirnya. “Afi,” sapanya lembut kepada buah hati kami. Dengan ayah Ali yang mendorong perlahan kursi roda itu menghantarkannya masuk ke salam tokoku. “Ayah,” sahut Gaffi sambil tersenyum manis dia langsung berlari dan memeluk ayahnya yang satu kakinya masih terluka itu. “Kamu belum sembuh, kenapa datang ke sini?”
55. Aku yakin di saat Ryan mengatakan itu, Mas Akbar pun mendengarnya. Ryan mengatakan tentang masa lalu kami dengan senyuman di wajahnya seakan senyuman itu menyiratkan bahwa dialah pemenang di akhir cerita ini. Aku tidak mengerti mengapa wajahnya tampak biasa saja tepai cara bicaranya sedikit banyak membuat Mas Akabr dan ayah Ali merasa tidak nyaman. “Sudah ini jusmu, aku di sini saja, kamu temui dan tunggui mereka,” kataku kepadanya. Ryan menatapku dan tidak banyak bicara lagi dia kembali ke meja itu dengan tangan kanannya yang memawa kue dan tangan kirinya yang membawa jus buatanku. Dari sekdar makanan saja dia seolah tidak rela bila apa yang aku buat harus diberikan kepada orang lain. Entahlah, tapi memang begitu caranya bersikap posesif. Setelahnya, aku lebih memilih menyibukan diri dengan pelanhgan kami hingga kami tidak punya waktu untuk berbincang secara intens. Sesekali aku hanya membalas senyuman suamiku dan mantan suamiku melirik tajam ke arah kami. Terlihat sekali bila
Dalam sebuah kamar ketika malam tiba, seorang wanita terus saja menggerutu seorang diri sambil memijit kakinyay yang terasa sakit. Nala merasakan sakit dibagian kakinya karena benturan tadi saat di adengan nekat menabrakkan mobilnya pada mobil Akbar. Dia sudah sangat marah kali ini sikap Akbar yang kembali ingin menggodanya membuatnya muak.Terdengar suara pintu terbuka lebar, menampilkan sosok laki-laki dengan stelan jas hitam memasuki kamar tanpa sambutan. Dia hanya tersenyum simpul menatap Nala. Ryan, sama sekali tidak banyak bicara terlebih saat dia mengira bahwa istrinya tidak ada karena mobil mereka juga tidak ada di garasi.“Aku pikir kamu pergi Sayang, ternyata kamu ada di rumah. Mobilmu ke mana?” tanya Ryan sembari meletakan tas dan jasnya dan ia mendekati Nala yang masih duduk membelakanginya di tepi ranjang.“Astaga! Kenapa kakimu bengkak membiru begitu? Kenapa ini tadi Sayang? Kamu kenapa?” tanya Ryan dengan sedikit panik.“Enggak apa-apa, aku enggak sengaja nabrak aja tad
"Sayang, hari ini kamu dulu ya yang jemput Gaffi, aku ada rapat dadakan. Ayah tiba-tiba sakit kepala, jadi aku tidak bisa menjemputnya, aku harus menggantikan ayah Sayang," kata Ryan kepada Nala yang tengah menatakan makan siang suaminya di meja kerja. "Loh, kenapa enggak bilang dari tadi Sayang? Hari ini Gaffi pulang cepat, kalau sampai keduluan Mas Akbar bagaimana?" kata Nala yang seketika terlihat panik. Dia segera merapikan tasnya dan mencium pipi sang suami sebelum pergi.. "Kamu nanti jangan malam-malam ya pulangnya, kita makan malem bareng!" ucap Nala dengan setengah berteriak kepada sang suami yang melambai kepadanya dengan senyuman yang menghiasi bibirnya. "Iya, aku usahakan. Kamu hati-hati nyetirnya!" kata Ryan dengan setengah berseru lantaran Nala yang dnegan cepat melangkah pergi meninggalkan ruangan kerja sang suami. "Dia masih sama saja, tetap menomer satukan keluarga. Hemh ... aku merasa Akbar itu tetaplah gangguan yang besar untuk keluarga kecil kami dan aku haru
61. “Ada apa? Kamu kenapa?” tanya Nala kepada suaminya yang hanya diam setelah penyatuan mereka. Untuk pertama kalinya Ryan menyalakan rokok yang ia bawa di dalam tasnya. Nala terkejut melihat ini. Bagaimana tidak, ini adalah kali pertama Ryan merokok di depan matanya. Mantan dokter itu tadinya sama sekali tidak menghisap benda merugikan itu. Terlihat ada raut kecemasan di wajah Ryan, pria itu terlihat stress dan mempunyai beban pikiran namun di asama sekali tidak mau membagikannya dengan Nala, istrinya. Ia memendamnya seorang diri. “Gimana aku bisa bilang sama dia kalau mantan suaminya itu tadi mengatakan sesuatu yang membuatku begitu terganggu? Akbar ingin merebut Nala kembali dengan caranya. Bukan tidak mungkin itu terjadi, mengingat masih ada Gafi diantara mereka. Gafi adalah jembatan terbaik bagi keduanya bertemu,” pikir Ryan. “Sayang, kamu kenapa? sejak kapan kamu jadi merokok begini?” tanya Nala lagi yang kali ini mendekat sambil memeluk tubuh sang suami dari belakang. Jem
60. "Aku tidak ingin melakukan apa-apa selain memberikan ucapan selamat atas pernikahan kalian," jawab Akbar dengan ketulusannya. Terlihat dengan sangat jelas raut wajah yang tidak rela itu nampak di mimik wajahnya. Si mantan suami itu separuh hatinya telah bergelut dengan rasa kecewa. Wanita yang dulu ya buang iya bohongi sinetron lihat begitu terang benderang dan menjadi pusat perhatian. "Selamat ya Selamat ya semoga awet sampai kakek-kakek dan nenek-nenek," ucap Akbar sembari mengulurkan tangannya dan Ryan pun menerimanya dengan sukarela. "Terima kasih. Aku harap ini benar-benar ucapan yang tulus dan bukan sesuatu yang modus." Ryan membalas ucapan dari Akbar dengan datar dan dingin. Mendengar apa yang Ryan katakan membuat Akbar tertegun. Sepersekian detik iya membeku dan tidak bisa berkata apa-apa. Salah semua kata-kata yang telah ia persiapkan dari rumah ke nilainya begitu saja. Belum sempat dia membalas ucapan Ryan, ayah dan ibunya sudah datang berlarian untuk mencegahnya
59. Hari Pesta PernikahanHiasan mawar putih tersusun begitu cantik di dalam ballroom hotel. Tema garden yang diusung begitu memanjakan mata. Nala mengenakan gaun cantiknya dan berdiri berdampingan dengan Ryan. Senyum cerah menambah cantik parasnya. Dengan begitu anggun dan terlihat mempesona Lala terus saja memamerkan cantik paras dan elok tubuhnya. Ryan pun sedari tadi merasa begitu senang dan berbahagia di hari istimewanya. Hari ini adalah hari di mana resepsi pernikahan itu tiba. Semua tamu dan kolega hadir dalam acara tersebut. Keluarga besar Ryan dan Nala semuanya turut hadir dalam acara pernikahan itu. "Cantiknya istriku," puji Ryan sembari merangkul pinggang ramping Nala. Lelah hanya tersipu membalasnya dengan senyuman kecil. Luapan perasaan bahagia sudah begitu tentara meskipun dia tidak mengutarakannya. Balutan putih di tubuh rampingnya semakin menonjolkan keelokan tubuhnya. Walaupun tadi ketika pertama kali memakainya justru protes lah yang Ryan berikan. Ryan tetap sa
"Enggak, enggak ada. Lagi mikir aja semuanya jadi bisa seperti ini. Kita ini mantan tapi menikah, masih lucu aja bagiku. Apa lagi kalau ingat masa-masa kita pacaran dulu," kata Nala dengan senyuman dibibir tipisnya. "Masa kita pacaran?" ulang Ryan yang kemudian duduk di samping Nala. "Iya, saat kita pacaran dulu," jawab Nala yang sebenarnya hanyalah sebuah kebohongan. Saat ini sebenarnya Nala sedang memikirkan saat di mana dia yang sedang dekat dengan Akbar tiba-tiba mendapatkan fitnah dan harus segera menikah. Terang saja kedua orang tua Nala semakin menentang itu. Ayah dan ibu Nala sedikit banyak sudah menelusuri tentang latar belakang keluarga Akbar. Hal pertama yang membuat ayah dan ibu Nala menolak kala itu adalah ibu Akbar yang doyan sekali berselingkuh. Ibu kandung Akbar bahkan pernah terjerat kasus perselingkuhan dengan paman Nala yang lainnya. Hanya saja, demi menjaga perasaan Nala kala itu, ayah dan ibu masih merahasiakan hal itu sampai detik ini. Tetapi dengan Nina yan
57. Siang itu, mereka diundang untuk datang memeriksa persiapan pesta pernikahan keduanya. Ryan dan Nala keduanya menuju ke kediaman Mama Ratna. Wanita paruh baya itu menyambut bahagia kedua anaknya tersebut. "Afi," sapa mama Ratna kepada Gaffi yang baru saja turun dari mobil. "Nenek!" Gaffi tak kalah senang melihat wanita paruh baya yang ia panggil nenek itu. "Lihat itu senang banget sama anak kecil. Kamu belum ada hasil juga? Aku udah enggak sabar," kata Ryan sembari terus mengusap lenganku. "Belum Yan, kamu kurang dalem nancepnya. Hahahaha," canda Nala sambil tertawa terbahak-bahak. "Enggak usah dalam-dalam aja kamu udah jerit-jerit. Hahaha," balas Ryan yang kemudian membuka pintu dan turun meninggalkan Nala yang hanya bisa menggelengkan kepalanya. "Ih, tapi memang dia bener sih. Setelah aku rasa-rasakan, sensasinya memang beda. Jauh dan tidak seperti pada saat aku bersama Mas Akbar. Punyanya lebih besar dan panjang." Nala membayangkan ukuran milik kedua pria itu. Ryan yan
Pov 3. Setelah hari di mana Gaffi mengatakan apa yang ada di dalam hatinya, setelah itu juga Akbar seolah menarik jarak dari ke duanya. Sebenarnya bukan hanya Gaffi yang Akbar rindukan, melanikan Nala juga. Rasa bersalah itu sangat besar. Membuatnya tersiksa. Terlebih setelah kejadian di mana dia berkelahi sampai di lempar dari lantai dua. Setiap malam Akbar selalu saja mengalami mimpi buruk. Tentang kejadian itu. Kejadian yang menyisakan trauma baginya. “A …!” teriak Akbar saat ia tiba-tiba terjaga. “Ada apa?” tanya bu Rohimah, ibu sambung Akbar yang menunggui Akbar di rumah sakit. “Kamu mimpi buruk itu lagi Bar?” Akbar terlihat panik dengan napasnya yang terengah-engah. Mimpi buruk itu membuat lelaki yang kaki dan tangannya patah itu ketakutan. Di setiap mimpinya dia seakan kembali pada saat kejadian. “Iya Bu, aku kembali lagi pada saat itu, sama persis dan aku melihat bagaimana lelaki itu mendorongku jatuh,” jawab Akbar masih dengan napasnya yang terengah-engah. “Semuanya ha
55. Aku yakin di saat Ryan mengatakan itu, Mas Akbar pun mendengarnya. Ryan mengatakan tentang masa lalu kami dengan senyuman di wajahnya seakan senyuman itu menyiratkan bahwa dialah pemenang di akhir cerita ini. Aku tidak mengerti mengapa wajahnya tampak biasa saja tepai cara bicaranya sedikit banyak membuat Mas Akabr dan ayah Ali merasa tidak nyaman. “Sudah ini jusmu, aku di sini saja, kamu temui dan tunggui mereka,” kataku kepadanya. Ryan menatapku dan tidak banyak bicara lagi dia kembali ke meja itu dengan tangan kanannya yang memawa kue dan tangan kirinya yang membawa jus buatanku. Dari sekdar makanan saja dia seolah tidak rela bila apa yang aku buat harus diberikan kepada orang lain. Entahlah, tapi memang begitu caranya bersikap posesif. Setelahnya, aku lebih memilih menyibukan diri dengan pelanhgan kami hingga kami tidak punya waktu untuk berbincang secara intens. Sesekali aku hanya membalas senyuman suamiku dan mantan suamiku melirik tajam ke arah kami. Terlihat sekali bila