Pov SandiKaca mobilnya dibuka, kemudian terlihat sosok laki-laki yang barusan memberikan klakson untukku. Ternyata Alfa yang datang, kebetulan sekali, akhirnya dia menginjakkan kaki ke rumah ini. Aku sudah geram dengannya, yang selalu ikut campur dengan masalah rumah tangga orang lain. Aku menghampiri mobil honda jazz miliknya. Lelaki inilah yang telah membuat Caca jadi curiga dan akhirnya semuanya terbongkar. Ia pun turun setelah membuka kacamata yang dikenakannya. Aku menghela napas sambil melipatkan kedua tangan ini ke pinggang. Kini kami berdiri sejajar, tingginya tak melebihiku dan tak juga lebih pendek dariku, kami sejajar tapi ia agak sedikit gemuk. "Punya nyali elu ke sini?" sentakku. "Hei, gue cuma bantu bini elu, biar tahu laki-laki yang bersamanya itu tidak hanya tidur dengan dia, lagian Caca cewek baik-baik, terhormat, gue rasa nggak pantes diperlakukan seperti itu. Apalagi elu nikah dengan sahabatnya sendiri," cetus Alfa membuatku geram. Kemudian, aku coba layangk
Pov CacaAku mendapatkan kabar dari tetangga rumah, bahwa ada keributan di depan rumah. Ya, hanya tetangga yang tahu nomor kontakku yang baru, sengaja kusembunyikan dari Mas Sandi, agar ia tahu rasanya kehilangan. "Mbak, ini ada keributan di depan, suami Mbak ngamuk, saya nggak berani mau keluar rumah," ucap tetanggaku dengan suara tersengal-sengal. "Sebentar, Mbak, aku ke depan dulu," jawabku. Aku yang sedang berada di rumah mamaku, dan sedang mengajak Vira dan Yuri bermain, sontak berdiri, kemudian menjauh dari mereka. Untuk bicara serius dengan Mbak Yuni, aku pilih untuk duduk di teras depan. "Maaf, Mbak tadi ada anak-anak, gimana-gimana?" tanyaku lagi. "Itu ada mobil honda jazz di depan rumah, sepertinya ada perkelahian, cepat ke sini, ya, Mbak!" surutnya. "Aku dan Mama segera ke sana, terima kasih, ya, " ujarku. "Baik, Mbak," sahutnya. Aku panggil mama untuk segera ikut denganku, dan meninggalkan Vira dan Yuri pada Mbok Daru. Tidak lama kemudian, melalui telepon, ada ka
Pov AmaraSelepas melahirkan, aku dijemput oleh orang tuaku. Mereka tidak Terima atas apa yang diperbuat oleh keluarga Mas Sandi. Ini murni khilaf, aku tergiur manisnya mulut lelaki tampan milik temanku sendiri. Kini, imbasnya ada pada anakku, yang hingga sampai detik ini tidak memiliki ayah. Tidak hanya itu, semua keluarga pun kini menghindar, mereka mencemooh keluargaku yang turun temurun sebagai pelakor. "Kenapa kamu lakukan ini, Amara? Aib ini membuka aib yang lama." Mama menceramahiku ketika sudah di rumah. "Mah, ini kan bukan aib, Papa dan Mama menghadiri pernikahan siriku, iya kan?" pungkasku. "Mama dan Papa tidak tahu jika Sandi memiliki istri, kamu nggak pernah bilang itu," jawabnya membuatku bergeming. Ya, memang sengaja ini aku rahasiakan, itu semua sengaja, jika mereka tahu, pasti tidak akan merestuinya. "Mama nggak perlu khawatir, aku dan anakku pergi saja," ucapku. "Mama sudah dikeluarkan dari grup keluarga besar, mereka pikir, keluarga kita itu racun untuk memberi
Pov AmaraAku bersama bayi mungilku pergi, entahlah aku tak tahu harus pergi ke mana, yang jelas tidak tinggal bersama kedua orang tuaku, karena hanya menjadi beban mereka saja. Kutinggalkan rumah orang tua, aku tidak ingin membuat mereka malu dan repot atas masalahku ini. Kususuri jalan berliku, teringat bahwa Mas Sandi berada di Polsek, aku pun berinisiatif ke sana. Namun, sebelum memasuki kantor polisi, aku mendapati keramaian di depannya. Sepertinya ada kecelakaan beruntun. Kemudian, aku turun dari taksi online, lalu bergegas ke kantor polisinya. Bukan tak peduli dengan kecelakaan, tapi tak mengenal siapa yang menjadi korban. Tangisan Rama kencang ketika aku melangkah ke arah pintu masuk kantor polisi. Kupaksakan terus melangkah, akan tetapi Rama, putraku terus menjerit. Aku cemas, khawatir di dalam malah membuat gaduh dan kebisingan. Jadi kuputuskan untuk tidak melanjutkan ke dalam. Aku duduk di kursi warung dekat pos polisi, sambil melihat orang berlalu lalang melihat kejad
Pov Amara"Bu Caca katanya," celetuk suster yang baru saja keluar. Resiko menjadi selingkuhan ya seperti ini. Tak punya hak untuk marah karena tidak disebutkan olehnya. Sementara Caca dipanggil, ia berjalan melewati aku yang berdiri menggendong bayi. Hubungan kami tidak seperti dulu lagi, sudah kubilang ini juga bagian resiko dari perselingkuhan. Hubungan persahabatan pun telah kikis seiringnya waktu. Kini, aku pun hanya berdua anakku saja menjalani ini semua. "Ca!" teriakku ketika Caca hampir masuk ke dalam. Langkahnya terhenti, kemudian menungguku untuk menghampirinya. "Ca, titip ini pada Mas Sandi," ujarku sambil menyelipkan cincin pernikahan pada Caca. Tangannya pun aku kepalkan kembali. Caca terpaku melihatku pergi setelah memberikan cincin itu. "Tunggu!" Caca memanggilku kembali. Kemudian suara sepatu terdengar menghampiriku yang baru saja melangkah 3 langkah. Aku menoleh padahal sangat cemas, khawatir Caca tambah membenciku. Kudengar langkahnya semakin cepat, aku pun balik
Pov AmaraBaru saja ingin melihat sosok pria yang nyeletuk kata-kata tak enak didengar itu, Caca tiba-tiba saja menghubungiku. Aku pun turun dari mobil tanpa melihat lelaki yang tadi menghinaku. "Tuh duitnya," cetusku sambil melemparkan uang seratus ribuan. Kemudian aku turun dari mobilnya sambil mengangkat telepon dari Caca. "Halo, Ca, ada apa?" tanyaku sambil merapikan rok panjang ketika turun dari mobil. "Amara, kenapa lo tadi pergi? Mas Sandi ingin bicara," ucap Caca. "Nggak apa-apa, Ca. Gue udah mutusin untuk ninggalin semuanya, termasuk Mas Sandi, maafin gue ya Ca," lirihku pelan. Kemudian, aku melihat mobil yang tadi aku tumpangi masih berada di hadapanku. "Ca, tunggu sebentar, ya!" Aku menunda pembicaraan sebentar, lalu menghampiri mobil itu lagi. Kemudian, kugedor-gedor pintu mobilnya sampai dibukakan jendela. Ia masih memakai masker, kacamata, dan topi. "Lo ngapain masih di sini?" tanyaku. "Ca, nanti gue telepon balik ya, biasa ada masalah sedikit di perjalanan." "Iy
Pov CacaSebelum terjadinya penangkapan dan kecelakaan. "Udahlah, gue nggak apa-apa, Ca." Alfa menenangkan kecemasanku. "Bener, nih?" tanyaku lagi meyakinkan hati ini, sebab Alfa terluka juga karena suamiku. "Kenapa sih? Khawatir ya?" ledek Alfa. "Lagi sakit masih aja ngeledek," sahutku sambil mencubit perutnya. Kemudian, telepon Alfa berdering. Ia segera meraih dan mengangkat teleponnya. Aku yang tidak mau menguping pun memilih duduk di sofa seberang brankar yang ditiduri oleh Alfa. Sambil menunggu Alfa yang masih bicara melalui sambungan telepon, aku pun menanyakan penangkapan Mas Sandi dan Mama mertuaku pada Papa Tyo. [Pah, bagaimana Mama dan Mas Sandi?][Sudah tertangkap, ini Papa sedang di kantor polisi, Mama dan Sandi nggak mau ngaku, penyakitnya selalu begitu.][Semoga mereka sadar, Papa yang sabar ya, Pah. Aku di sini nungguin Alfa dulu.]***Aku tertidur di sofa karena lelah, nunggu Alfa juga tadi lumayan lama angkat teleponnya. Setelah sekitar setengah jam lebih aku t
"Maksud Kak Sony apa ya?" tanyaku penasaran. Apalagi dia baru keluar dari penjara. Rasanya patut dicurigai jika ia bicara yang aneh. "Sandi, dan Amara, kecelakaan bukan nggak sengaja, itu Kakak yang bikin celaka!" Astaga, aku yang masih berada di rumah sakit pun seketika terkejut, lalu segera menjauh dari ruangan Amara. "Kak, kenapa nekat gitu? Aku udah baik-baik saja, kalau kakak ketangkep lagi gimana dengan Mama?" tanyaku. Telepon pun terputus. Aku terduduk lemas, memikirkan ucapan Kak Sony. Bagaimana ini, masalahku sudah hampir selesai, tapi Kak Sony malah bikin masalah baru lagi. Dendam terus yang Kak Sony pikirkan, baru selesai masa hukuman 4 tahun, ia malah bikin ulah lagi. Aku memutuskan untuk pamit, sepertinya harus menyelesaikan ini dengan mamaku. "Amara, aku pamit dulu, oh ya, Rama tidak diizinkan di sini dulu, aku bawa lagi ya," pintaku. Membawa ke ruangan Amara dirawat saja, aku sudah sembunyi-sembunyi. Sebab, bayi yang masih merah tidak diperkenankan masuk. Aku sampa
Tidak heran jika Vira harus diperiksa kondisi jiwanya. Sebab apa yang hampir dia lakukan memang sudah pasti karena frustasi dengan apa yang terjadi.Sepele memang, mendua saat sudah menjalin ikatan pernikahan. Namun, dampaknya untuk orang yang sangat mempercayai pasangan sepenuhnya itu akan ke jiwa."Anakku nggak gila," ucap Caca untuk kesekian kalinya."Ma, jangan gitu, sabar ya, Mbak Vira hanya diperiksa dulu," tutur Yura untuk sekadar menenangkan.Caca menggelengkan kepalanya. Kemudian dia mundur dan menemui Syam yang tengah bicara dengan Alfa."Syam! Kamu harus bertanggung jawab!" bentak Caca. "Ma, aku pasti akan bertanggung jawab atas apa yang terjadi dengan Vira," timpal Syam. Lelaki yang sangat mencintai Vira pun menyadari kesalahannya. Tiba-tiba dia teringat dengan kejadian itu. Dimana Syam secara tidak sadar menggauli seorang wanita magang di rumah sakit saat jaga malam.Kala itu, Syam tengah bertugas, wanita yang magang satu bulan di rumah sakit memberikan secangkir teh han
"Ada apa, Syam?" Berkali-kali Alfa menegur menantunya itu, tapi Syam masih saja mematung dan tak melanjutkan ucapannya.Akhirnya, Caca tidak sabaran, dia menghampiri Syam yang masih saja diam.Plak!Tanpa basa-basi Caca bersikap tegas. Ini bukan ikut campur urusan rumah tangga anaknya, tapi sikap Caca hanya ingin menegaskan."Saya katakan pada kamu, ya, Syam. Jika kamu berbuat salah, maka tanggung jawab, jangan malah diam!" caci sang mama pada menantunya.Syam berlutut di kaki Caca. Dia menundukkan kepalanya. Nyaris hal ini membuat satpam yang tengah berkeliling pun melerai mereka."Tolong jangan buat keributan, di sini rumah sakit, bukan untuk meributkan sesuatu," ucap satpam sambil menunjuk dengan satu jari.Napas Caca semakin memburu, dia benar-benar tidak sabaran dengan sikap menantunya itu."Syam, kamu dokter tegas dikit!" sentak Caca.Akhirnya Syam angkat bicara, dia memulai dengan kata maaf pada Caca dan Alfa."Ma, Pa, maaf telah menyakiti hati Vira, Syam telah menghamili anak
"Vira tadi mencoba bunuh diri, Mah." Caca kaget ketika Syam mengatakan hal itu padanya."Bunuh diri? Ada apa ini, Syam?" cecar Caca."Mah, ceritanya nanti aja, sekarang susul kami di rumah sakit tempat aku praktek ya," jawab Syam yang berprofesi sebagai dokter.Kemudian Caca pamit pada Yura, dia mengatakan satu hal pada anaknya tentang Vira. Caca sendiri nyaris tak percaya dengan apa yang dilakukan Vira tadi."Mah, aku ikut ya," bujuk Yura.Awalnya Caca tidak mengizinkan, tapi Alfa yang akhirnya membolehkan Yura untuk ikut.Mereka segera ke rumah sakit menemui Vira dan Syam, bahkan Caca menyuruh Alfa untuk mempercepat laju mobil.Sepanjang jalan Caca berprasangka buruk pada Syam, sebab Vira tidak mungkin seperti itu jika tidak ada satu masalah."Pasti mereka lagi ribut, terus Vira benar-benar buntu otaknya," ucap Caca. Bahkan dia menggigit jarinya ketika ngobrol dengan Alfa di dalam mobil."Sudahlah kita positif thinking aja, mungkin Vira lagi banyak pikiran," timpal Alfa mencoba menen
Ketika Caca bicara seperti itu, Yura pun langsung berdiri. Dia menarik pergelangan tangan sang mama lalu sebelah kanannya mencekal paksa sang ayah. Caca dan Alfa diajak pulang oleh Yura."Yura, kita belum selesai bicara," ucap Jimmy."Kamu bicara aja dengan papaku, kalian itu sama, tidak ada yang beda dengan kalian!" sungut Yura.Dia langsung mengembalikan badan dan menarik kedua orang tuanya itu keluar. Mereka langsung pergi dari rumah Sandi dan Amara."Yura! Kamu jangan seperti itu, papa akan kehilangan pekerjaan kalau kamu membatalkan pernikahan!" Sandi berteriak seperti itu pada Yura. Hal itulah yang membuat anak kedua dari pernikahan Sandi dan Caca itu menghentikan langkahnya. Dia menatap sang papa dengan memicingkan matanya. Langkah Yura sangat berat tapi tetap memaksa diri untuk menghampiri sang papa."Bagaimana bisa seorang papa, lebih mementingkan pekerjaan ketimbang hati anaknya? Inikah pantas disebut papa? Aku rasa enggak, ternyata apa yang dilakukan Mama itu sudah sangat b
"Bicarakan di rumah, jangan di jalan seperti ini," ucap Alfa menasihati calon menantunya.Akhirnya mereka kembali ke rumah Sandi. Jimmy menyusul di belakangnya dengan mobil sedan berwarna hitam. Jimmy memicingkan mata sambil tersenyum. Dia mengetuk-ngetuk jarinya di gagang setir. "Kenapa juga gue bisa ketahuan sama Yura. Kalau Papi tahu, kena omel dah gue, secara dia pilihan Papi," gerutu Jimmy sambil menuju rumah Sandi. "Anggi juga kenapa nggak mau putus sih? Malah godain gue terus, nggak kuat kan iman gue ini, apalagi si Bejo, alat perang, nggak bisa diajak kompromi kalau lihat yang seksi," tambah Jimmy lagi.Setibanya di rumah Sandi, mereka langsung masuk. Begitu juga dengan Jimmy, dia mengantongi kunci mobil lalu mengekor di belakang Yura dan Alfa. Mereka sudah saling kenal, jadi sudah tahu silsilah keluarga. Sandi terkejut tiba-tiba ada Jimmy di belakang Alfa dan Yura. Namun, mereka tetap menjaga sikap, Jimmy dipersilakan duduk dan ikut bicara di tengah-tengah perselisihan kelua
Sepanjang jalan Yura menangis sambil menggendong tasnya. Dia kesal pada takdir dan keluarganya sendiri."Kenapa cuma Ayah yang baik padaku? Padahal dia orang lain, tidak ada darah yang mengalir di tubuh Ayah," ucap Yura bermonolog sambil melambaikan tangannya untuk memanggil tukang ojek yang kebetulan ada di pangkalan.Biasanya anak memang mengingat seseorang yang merangkulnya saat saat sedang terpuruk. Tadi Alfa yang selalu mencegah Sandi berbuat macam-macam pada Yura. Jadi dia teringat terus, apalagi ketika Sandi hendak menampar Yura dengan telapak tangan sudah mengambang di depan wajah putrinya itu. Tentu kejadian itu akan diingat Yura dan terngiang-ngiang selalu di kepalanya.Ponsel Yura terus berdering, panggilan masuk dari Caca tak berhenti sejak ia meninggalkan rumah. Yura menoleh ke belakang, ada Alfa yang tengah mengejar ojek yang ditumpangi oleh Yura."Yura! Berhenti, Nak!" Alfa berteriak.Yura menoleh dengan mata berembun. "Ayah yang mengejarku. Papa ke mana?" Yura bicara s
"Yura, sejak kapan kamu di situ, Nak?" Sandi terkejut dan bertanya berbarengan dengan Caca. Mereka berdiri serempak saat mendengar anaknya mengajukan pertanyaan tersebut.Dulu mereka sepakat untuk merahasiakan semuanya dari anak-anak yang masih kecil. Tiap kali Vira dan Yura bertanya kenapa memiliki mama dan papa dua? Mereka selalu kompak karena keduanya adalah orang tua Vira dan Yura. Namun, rahasia itu kini terbongkar dengan sendirinya, bahkan Yura yang tengah patah hati mendengar dengan telinganya sendiri dari mulut kedua orang tuanya.Tentu Yura sudah paham arti kata selingkuh, usianya sudah sangat matang dan bahkan dia sendiri mengalami hal yang sama dengan sang mama.Yura melangkahkan kakinya, dia tidak menjawab sepatah kata pun apa yang dipertanyakan keduanya. Kini Yura berdiri di tengah-tengah mereka."Serapat apa pun bangkai, pasti akan tercium juga, kalian memang pintar menyembunyikan rahasia dari anak sendiri, hebat," ucap Yura, bahkan diiringi dengan tepukan tangan."Yura,
"Ca, kita perlu bicara," ujar Sandi.Kali ini ucapan Sandi membuat Caca gemetar. Akhirnya telepon genggam dialihkan pada Alfa, suaminya."Ada apa sebenarnya?" tanya Alfa."Bisa ke rumahku nggak, Fa?" tanya Sandi balik. "Kita perlu bicara langsung, nggak bisa melalui sambungan telepon," lanjut Sandi.Alfa terdiam sejenak, bola matanya diedarkan ke arah Caca yang kini duduk sambil memegang pelipisnya. Dia tampak memiliki firasat jelek terhadap anaknya itu."Oke, besok ya, sekarang udah malam. Tolong titip Yura, jangan sampai keluar dari rumahmu dulu, besok kami ke sana," timpal Alfa."Ya, ditunggu besok pagi," jawab Sandi.Kebetulan malam ini malam minggu, besok juga hari libur, jadi mereka memang bisa datang menemui Sandi meskipun pagi.Alfa menuntun istrinya untuk ke kamar. Caca yang terlihat murung pun disuruh istirahat oleh Alfa."Kira-kira kabar apa ya? Ya udah kenapa?" Caca bertanya tapi matanya terlihat kosong."Kita nggak bisa nebak meskipun punya prasangka jelek, aku tahu kamu
Dua puluh tahun kemudianVira kini berusia 24 tahun. Ia sudah menikah dengan seorang lelaki bernama Syam. Laki-laki mapan yang berprofesi sebagai seorang dokter. Sementara Yura, usianya kini 22 tahun, rencananya tahun ini akan dilamar oleh seorang pengusaha kaya bernama Jimmy. Laki-laki tersebut hasil perjodohan dari Sandi, ayah kandung Yura."Aku nggak setuju kalau Yura menikah dengan Jimmy, Sayang," ucap Alfa, pria yang menikahi Caca setelah bercerai dengan Sandi. Setelah menikah, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki, usianya masih 18 tahun saat ini, namanya Rafael."Itu pilihan papanya, aku nggak enak nolaknya, Mas," timpal Caca.Dulu mereka memang sahabat, Caca dan Alfa bersatu karena jodoh yang tertukar. Sandi yang dulunya suami Caca justru berjodoh dengan Amara yang merupakan sahabat dari Caca sendiri."Gue juga papanya mereka," sungut Alfa kesal."Tuh kan kumat lagi, kita udah sepakat untuk nggak elu elu gue gue lagi," ketus Caca.Alfa menghela napas, dia membuang tangannya