[Ca, malam ini gue mau nginep lagi di rumah lo, boleh kan?] Pesan yang dikirim oleh Amara, sahabatku. Ia memang sudah biasa bermalam di rumahku ini. [Gue tanya Mas Sandi dulu, ya.] balasku.[Pasti boleh.] Aku tak membalasnya lagi. Menunggu izin dari Mas Sandi terlebih dahulu saja, setelah itu, barulah kubalas pesannya. Caca nama panggilanku, nama lengkap Ariyani Marisha, menikah dengan Mas Sandi sudah 5 tahun lamanya, dan sudah dikaruniai dua orang anak perempuan yang sekarang usianya 4 tahun dan si bungsu 2 tahun. Setiap sebulan sekali, memang biasanya Amara menginap di rumah kami. Sebab, suaminya tiap bulan pergi ke luar kota. Sepulangnya Mas Sandi bekerja, seperti biasa ia duduk santai di ruang televisi dengan posisi kaki terangkat. Aku pun menghampirinya sambil membawakan secangkir kopi dan cemilan. "Mas, Amara mau nginep lagi.""Ya udah, nggak apa-apa, kasihan lagi hamil besar, ya kan?""Tapi, Mas. Apa kamu nggak risih ada orang lain di rumah ini? Sedangkan kalau orang tuaku
"Beri nama Amar saja, biar mirip ibunya," pungkas laki-laki itu. Suaranya, sepertinya aku tak asing dengan suara itu? Mirip suara Mas Sandi. Dadaku terasa bergetar, aku harus mendombrak pintunya. Pilihannya cuma dua dobrak, atau ketuk pintu dulu? Dobrak ... jangan ... dobrak ... jangan .... Aku pilih dengan jari, selayaknya orang sedang menentukan pilihan. Sebaiknya aku dobrak saja pintu ini. Aku nggak mau ada tamu bermalam di rumah lalu memasukkan laki-laki seenaknya. Satu ... dua ... tiga ....Gubrak .... Aku pun terjatuh ke lantai, lengan dan tanganku sakit sekali akibat mendobrak pintu kamar tamu. "Kenapa lo, Ca? Kenapa dobrak pintu rumah sendiri? Rusak kan jadinya." Amara menghampiriku sambil menyentuh pintu yang rusak. Bukan menolong temannya yang terjatuh akibat mendombrak pintu, ia malah khawatir pintunya yang rusak. "Bangunin kek, lo mah eror banget sih Mar, temen jatuh yang dilihat malah pintu, bukan guenya," cetusku sembari menyodorkan tangan. Kemudian Amara menarik
"Ca, gue balik dulu, ya." Tiba-tiba saja Amara membuyarkan pikiran yang sedang membaca berita tentang dirinya. "Loh, nggak jadi seminggu lo nginepnya?" tanyaku hanya basa-basi. Tombol nonaktifkan kutekan lalu meletakkan ponsel di sofa. Aku bangkit seraya melarang kepergian Amara. Ya, hanya basa-basi saja supaya tak terkesan mengusirnya. "Nggak lah, abisnya dah diusir sama tuan rumah semalam," celetuknya. "Oh gitu, ya udah kalau elu pengen pulang, nggak apa-apa deh, semoga Mas Ferdi cepat pulang dari luar kota, ya." Amara terdiam, ia meletakkan kopernya kembali. "Elu mah nggak ada ibanya, gue pulang dilarang kek, kasian gitu sama gue yang sendirian di rumah," lirihnya padaku. Namun, kali ini perasaanku bilang untuk tidak melarangnya pergi dari sini. Biarkan saja ia pulang, dan segera selidiki apa benar berita yang tadi kubaca di sosial media. "Maaf ya, kayaknya emang sebaiknya elu pulang, soalnya Mama gue mau ke sini, lagian elu mah punya suami orang kaya bukannya ngintil aja ke l
Aku zoom cincin yang dipakai oleh pria tersebut. Namun, tidak terlalu kelihatan persis, aku teringat cincin yang dipakai oleh Mas Sandi, cincin pernikahan kami berdua, melingkar di jari manis sebelah kanannya. Masa iya itu Mas Sandi? Aku mulai berpikir sambil duduk dan tangan menahan dagu ini. Tiba-tiba ada yang datang, seorang laki-laki dan perempuan. "Assalamualaikum," ucap keduanya. Aku pun mengusap layar untuk keluar dari galeri foto, lalu meletakkan ponselku di atas meja. "Waalaikumsalam, ya sebentar!" teriakku dari dalam. Aku buka pintu itu lebar-lebar. Ternyata tamu dekat, tetangga blok yang memang sering berkunjung ke sini, mereka berdua akrab denganku dan suami. Namanya Rosa dan suaminya Gilang. "Loh kamu nggak kerja, Gilang?" tanyaku pada suaminya Rosa, berhubung mereka lebih muda dariku, jadi panggilannya juga hanya nama saja. "Nggak Mbak Caca, kemarin saya ngundurin diri," sahutnya. "Iya, makanya aku ke sini, Mbak. Mau minta tolong sama Mas Sandi, siapa tahu bisa me
"Kamu tahu laki-laki yang berada di foto ini? Atau ini kamu?" tanyaku dengan sembarangan nuduh. "Mbak, aku bukan belain suami sendiri, tapi memang tiap kali ada Amara, aku tarik suami untuk pulang," sahut Rosa. Ternyata ia begitu yakin dengan suaminya. Lalu aku istri macam apa yang mencurigai suami sendiri? "Jadi, laki-laki ini bukan kamu, Gilang? Atau apakah ini suamiku?" tanyaku menyelidik. Pandangan mereka tampak berbeda ketika aku menyudutkan suamiku sendiri. "Assalamualaikum," ucap suara Mbok Yuni dengan kedua anak wanitaku pulang dari sekolah. "Waalaikumsalam, Mbok, langsung ajak anak-anak masuk kamar ya," ucapku. Mbok Yuni baru datang tadi pagi setelah beberapa hari absen karena mudik. Ya, sebenarnya aku bukan tipe wanita yang tidak bisa mengatasi semuanya sendiri, tapi Mas Sandi yang menginginkan ada asisten rumah tangga di rumah ini, sekaligus membantu merawat anak-anak di rumah. "Maaf ya, terganggu, kita lanjut lagi," ucapku sambil menghadapkan kedua lutut ini ke arah R
"Ini apa ya, Mah? Kok kayak pintu gitu," tanyaku. Mama yang mendengar pertanyaanku tertawa renyah. "Kamu itu dari dulu aneh, lucunya nggak ilang-ilang, ini rumahmu, Nak. Kenapa tanya ke mama?" ungkap mama membuatku merasa malu. Tiba-tiba suara klakson mobil terdengar mengejutkan kami berdua. Sepertinya itu Mas Sandi, baru jam berapa ini? Kenapa ia sudah pulang? "Sebentar, Mah. Sepertinya Mas Sandi pulang," ucapku sambil bangkit. Kemudian aku berjalan menuju parkiran rumah. Mas Sandi tampak keluar dari mobil, lalu turun dengan membawa berkas yang sepertinya penting. "Mas, kamu buru-buru sekali, ada apa?" tanyaku sambil mengernyitkan dahi. Mas Sandi tampak mendekap kertas yang tadi ia pegang, tapi ketika melihatku ia sontak mendekap kertas tersebut. "A-aku ada urusan mendadak, ini ada yang ketinggalan juga berkas salinan yang kupegang," ujarnya dengan nada gemetar. Kemudian, ia setengah berlari ke dalam dan mengambil sesuatu, entah apa yang ia ambil, aku pun tak mengetahuinya. Se
Pakaian bayi? Tas ini berisikan pakaian bayi dan perlengkapannya? Aku menelan salivaku, sambil mengurutkan dada aku menghela napas dalam-dalam. Untuk apa pakaian bayi ini? Siapa yang akan melahirkan? Apakah itu Amara? Sahabatku yang sering bermalam di sini? Aku jatuh terduduk, tak kuat menahan ini semua. Sungguh benar-benar keterlaluan jika itu benar-benar terjadi. Pantas saja ada pintu di kamar yang menembus kamar ini. Jangan-jangan ayah dari si jabang bayi itu adalah Mas Sandi. Tiba-tiba suara ponsel berdering, dari Alfa yang menghubungiku. Pasti ia ingin becanda melalui telepon. Enggan rasanya angkat telepon, tapi ia adalah teman baikku yang tulus. "Halo, Ca. Elu di mana?""Di rumah.""Eh, si Amara mau lahiran, masa yang nemenin suami lo, Sandi."Dadaku sesak, ternyata tas yang berisikan baju bayi itu adalah benar milik Amara. Aku menghela napas, berusaha kuat dalam menghadapi ini semua. 'Please Caca, jangan nangis, jangan cengeng, Ca,' gumamku dalam hati sambil mengurutkan dada
"Jangan gegabah, santai dulu, belum tentu suami lo berada di rumah sakit ini dan menemani Amara karena ia yang menghamili, belum tentu!" cetus Alfa. Aku terdiam sejenak ketika hendak turun dari mobilnya. "Lantas, apa yang harus gue lakukan?" tanyaku. "Atur napas dalam-dalam, kita nggak mungkin datang-datang langsung grabak-grubuk. Harus disertai bukti yang akurat," ujar Alfa lagi. Aku atur napasku, lalu tenang sedikit dan berpikir jernih. "Gue telepon Amara, ya. Nanti kalau dia angkat, gue informasi ke lo."Aku mengangguk, menuruti perintah Alfa. Ia pasti menginginkan aku yang terbaik. Sebab, dia benar-benar sahabat sejati yang mencintaiku tulus dan rela mengorbankan hatinya sedari dulu. "Halo," ucap Alfa dengan menekan speaker telepon. Aku pun bersiap untuk mendengarkan apa yang ia ucapkan. "Ya, halo, Fa. Kenapa?""Mau main nih, ada di rumah, nggak?" tanya Alfa dengan mata tetap menyorotku."Gue ... gue nggak ada di rumah, Fa. Masih di rumah sakit, tadi perut gue mules dan lang
Tidak heran jika Vira harus diperiksa kondisi jiwanya. Sebab apa yang hampir dia lakukan memang sudah pasti karena frustasi dengan apa yang terjadi.Sepele memang, mendua saat sudah menjalin ikatan pernikahan. Namun, dampaknya untuk orang yang sangat mempercayai pasangan sepenuhnya itu akan ke jiwa."Anakku nggak gila," ucap Caca untuk kesekian kalinya."Ma, jangan gitu, sabar ya, Mbak Vira hanya diperiksa dulu," tutur Yura untuk sekadar menenangkan.Caca menggelengkan kepalanya. Kemudian dia mundur dan menemui Syam yang tengah bicara dengan Alfa."Syam! Kamu harus bertanggung jawab!" bentak Caca. "Ma, aku pasti akan bertanggung jawab atas apa yang terjadi dengan Vira," timpal Syam. Lelaki yang sangat mencintai Vira pun menyadari kesalahannya. Tiba-tiba dia teringat dengan kejadian itu. Dimana Syam secara tidak sadar menggauli seorang wanita magang di rumah sakit saat jaga malam.Kala itu, Syam tengah bertugas, wanita yang magang satu bulan di rumah sakit memberikan secangkir teh han
"Ada apa, Syam?" Berkali-kali Alfa menegur menantunya itu, tapi Syam masih saja mematung dan tak melanjutkan ucapannya.Akhirnya, Caca tidak sabaran, dia menghampiri Syam yang masih saja diam.Plak!Tanpa basa-basi Caca bersikap tegas. Ini bukan ikut campur urusan rumah tangga anaknya, tapi sikap Caca hanya ingin menegaskan."Saya katakan pada kamu, ya, Syam. Jika kamu berbuat salah, maka tanggung jawab, jangan malah diam!" caci sang mama pada menantunya.Syam berlutut di kaki Caca. Dia menundukkan kepalanya. Nyaris hal ini membuat satpam yang tengah berkeliling pun melerai mereka."Tolong jangan buat keributan, di sini rumah sakit, bukan untuk meributkan sesuatu," ucap satpam sambil menunjuk dengan satu jari.Napas Caca semakin memburu, dia benar-benar tidak sabaran dengan sikap menantunya itu."Syam, kamu dokter tegas dikit!" sentak Caca.Akhirnya Syam angkat bicara, dia memulai dengan kata maaf pada Caca dan Alfa."Ma, Pa, maaf telah menyakiti hati Vira, Syam telah menghamili anak
"Vira tadi mencoba bunuh diri, Mah." Caca kaget ketika Syam mengatakan hal itu padanya."Bunuh diri? Ada apa ini, Syam?" cecar Caca."Mah, ceritanya nanti aja, sekarang susul kami di rumah sakit tempat aku praktek ya," jawab Syam yang berprofesi sebagai dokter.Kemudian Caca pamit pada Yura, dia mengatakan satu hal pada anaknya tentang Vira. Caca sendiri nyaris tak percaya dengan apa yang dilakukan Vira tadi."Mah, aku ikut ya," bujuk Yura.Awalnya Caca tidak mengizinkan, tapi Alfa yang akhirnya membolehkan Yura untuk ikut.Mereka segera ke rumah sakit menemui Vira dan Syam, bahkan Caca menyuruh Alfa untuk mempercepat laju mobil.Sepanjang jalan Caca berprasangka buruk pada Syam, sebab Vira tidak mungkin seperti itu jika tidak ada satu masalah."Pasti mereka lagi ribut, terus Vira benar-benar buntu otaknya," ucap Caca. Bahkan dia menggigit jarinya ketika ngobrol dengan Alfa di dalam mobil."Sudahlah kita positif thinking aja, mungkin Vira lagi banyak pikiran," timpal Alfa mencoba menen
Ketika Caca bicara seperti itu, Yura pun langsung berdiri. Dia menarik pergelangan tangan sang mama lalu sebelah kanannya mencekal paksa sang ayah. Caca dan Alfa diajak pulang oleh Yura."Yura, kita belum selesai bicara," ucap Jimmy."Kamu bicara aja dengan papaku, kalian itu sama, tidak ada yang beda dengan kalian!" sungut Yura.Dia langsung mengembalikan badan dan menarik kedua orang tuanya itu keluar. Mereka langsung pergi dari rumah Sandi dan Amara."Yura! Kamu jangan seperti itu, papa akan kehilangan pekerjaan kalau kamu membatalkan pernikahan!" Sandi berteriak seperti itu pada Yura. Hal itulah yang membuat anak kedua dari pernikahan Sandi dan Caca itu menghentikan langkahnya. Dia menatap sang papa dengan memicingkan matanya. Langkah Yura sangat berat tapi tetap memaksa diri untuk menghampiri sang papa."Bagaimana bisa seorang papa, lebih mementingkan pekerjaan ketimbang hati anaknya? Inikah pantas disebut papa? Aku rasa enggak, ternyata apa yang dilakukan Mama itu sudah sangat b
"Bicarakan di rumah, jangan di jalan seperti ini," ucap Alfa menasihati calon menantunya.Akhirnya mereka kembali ke rumah Sandi. Jimmy menyusul di belakangnya dengan mobil sedan berwarna hitam. Jimmy memicingkan mata sambil tersenyum. Dia mengetuk-ngetuk jarinya di gagang setir. "Kenapa juga gue bisa ketahuan sama Yura. Kalau Papi tahu, kena omel dah gue, secara dia pilihan Papi," gerutu Jimmy sambil menuju rumah Sandi. "Anggi juga kenapa nggak mau putus sih? Malah godain gue terus, nggak kuat kan iman gue ini, apalagi si Bejo, alat perang, nggak bisa diajak kompromi kalau lihat yang seksi," tambah Jimmy lagi.Setibanya di rumah Sandi, mereka langsung masuk. Begitu juga dengan Jimmy, dia mengantongi kunci mobil lalu mengekor di belakang Yura dan Alfa. Mereka sudah saling kenal, jadi sudah tahu silsilah keluarga. Sandi terkejut tiba-tiba ada Jimmy di belakang Alfa dan Yura. Namun, mereka tetap menjaga sikap, Jimmy dipersilakan duduk dan ikut bicara di tengah-tengah perselisihan kelua
Sepanjang jalan Yura menangis sambil menggendong tasnya. Dia kesal pada takdir dan keluarganya sendiri."Kenapa cuma Ayah yang baik padaku? Padahal dia orang lain, tidak ada darah yang mengalir di tubuh Ayah," ucap Yura bermonolog sambil melambaikan tangannya untuk memanggil tukang ojek yang kebetulan ada di pangkalan.Biasanya anak memang mengingat seseorang yang merangkulnya saat saat sedang terpuruk. Tadi Alfa yang selalu mencegah Sandi berbuat macam-macam pada Yura. Jadi dia teringat terus, apalagi ketika Sandi hendak menampar Yura dengan telapak tangan sudah mengambang di depan wajah putrinya itu. Tentu kejadian itu akan diingat Yura dan terngiang-ngiang selalu di kepalanya.Ponsel Yura terus berdering, panggilan masuk dari Caca tak berhenti sejak ia meninggalkan rumah. Yura menoleh ke belakang, ada Alfa yang tengah mengejar ojek yang ditumpangi oleh Yura."Yura! Berhenti, Nak!" Alfa berteriak.Yura menoleh dengan mata berembun. "Ayah yang mengejarku. Papa ke mana?" Yura bicara s
"Yura, sejak kapan kamu di situ, Nak?" Sandi terkejut dan bertanya berbarengan dengan Caca. Mereka berdiri serempak saat mendengar anaknya mengajukan pertanyaan tersebut.Dulu mereka sepakat untuk merahasiakan semuanya dari anak-anak yang masih kecil. Tiap kali Vira dan Yura bertanya kenapa memiliki mama dan papa dua? Mereka selalu kompak karena keduanya adalah orang tua Vira dan Yura. Namun, rahasia itu kini terbongkar dengan sendirinya, bahkan Yura yang tengah patah hati mendengar dengan telinganya sendiri dari mulut kedua orang tuanya.Tentu Yura sudah paham arti kata selingkuh, usianya sudah sangat matang dan bahkan dia sendiri mengalami hal yang sama dengan sang mama.Yura melangkahkan kakinya, dia tidak menjawab sepatah kata pun apa yang dipertanyakan keduanya. Kini Yura berdiri di tengah-tengah mereka."Serapat apa pun bangkai, pasti akan tercium juga, kalian memang pintar menyembunyikan rahasia dari anak sendiri, hebat," ucap Yura, bahkan diiringi dengan tepukan tangan."Yura,
"Ca, kita perlu bicara," ujar Sandi.Kali ini ucapan Sandi membuat Caca gemetar. Akhirnya telepon genggam dialihkan pada Alfa, suaminya."Ada apa sebenarnya?" tanya Alfa."Bisa ke rumahku nggak, Fa?" tanya Sandi balik. "Kita perlu bicara langsung, nggak bisa melalui sambungan telepon," lanjut Sandi.Alfa terdiam sejenak, bola matanya diedarkan ke arah Caca yang kini duduk sambil memegang pelipisnya. Dia tampak memiliki firasat jelek terhadap anaknya itu."Oke, besok ya, sekarang udah malam. Tolong titip Yura, jangan sampai keluar dari rumahmu dulu, besok kami ke sana," timpal Alfa."Ya, ditunggu besok pagi," jawab Sandi.Kebetulan malam ini malam minggu, besok juga hari libur, jadi mereka memang bisa datang menemui Sandi meskipun pagi.Alfa menuntun istrinya untuk ke kamar. Caca yang terlihat murung pun disuruh istirahat oleh Alfa."Kira-kira kabar apa ya? Ya udah kenapa?" Caca bertanya tapi matanya terlihat kosong."Kita nggak bisa nebak meskipun punya prasangka jelek, aku tahu kamu
Dua puluh tahun kemudianVira kini berusia 24 tahun. Ia sudah menikah dengan seorang lelaki bernama Syam. Laki-laki mapan yang berprofesi sebagai seorang dokter. Sementara Yura, usianya kini 22 tahun, rencananya tahun ini akan dilamar oleh seorang pengusaha kaya bernama Jimmy. Laki-laki tersebut hasil perjodohan dari Sandi, ayah kandung Yura."Aku nggak setuju kalau Yura menikah dengan Jimmy, Sayang," ucap Alfa, pria yang menikahi Caca setelah bercerai dengan Sandi. Setelah menikah, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki, usianya masih 18 tahun saat ini, namanya Rafael."Itu pilihan papanya, aku nggak enak nolaknya, Mas," timpal Caca.Dulu mereka memang sahabat, Caca dan Alfa bersatu karena jodoh yang tertukar. Sandi yang dulunya suami Caca justru berjodoh dengan Amara yang merupakan sahabat dari Caca sendiri."Gue juga papanya mereka," sungut Alfa kesal."Tuh kan kumat lagi, kita udah sepakat untuk nggak elu elu gue gue lagi," ketus Caca.Alfa menghela napas, dia membuang tangannya