"Terima kasih." Seyra menoleh saat baru saja Regan menghentikan mobilnya di depan lobi. Dia memandangi wajah pria itu dari samping, mengamati garis rahangnya yang tegas."Kamu nggak perlu berterimakasih." Regan memalingkan wajahnya ke arah Seyra, hingga tatapan mereka saling bertemu. "Itu sudah menjadi tanggung jawabku."Regan mengulas senyum tipis, membuat wajah pria itu terlihat lebih tampan berkali-kali lipat. Seyra buru-buru memalingkan wajahnya saat tiba-tiba wajah pria itu mendekat. Dia menahan napas, tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun saat matanya melirik ke bawah, ia baru menyadari jika Regan membantunya untuk melepas sabuk pengaman.Seyra memejamkan matanya erat, merutuki kebodohannya yang sudah berpikiran hal lain. "Kenapa matamu terpejam?"Gadis itu langsung membuka matanya saat mendengar suara Regan. Wajahnya memerah karena malu. Namun ia segera menyembunyikannya dan berusaha mengalihkan suasana agar tidak canggung. "Regan, aku ingin kamu kembali ke ruma
Seyra melirik ke arah manajernya yang berdiri di sudut lift, masih memperhatikannya dengan tatapan dingin. ia berharap dengan sangat jika lift segera sampai di lantai dasar dan ia bisa terbebas dari rasa tak nyaman itu. Waktu terasa berjalan begitu lambat dan detik demi detik terasa seperti jam. Tangannya berkeringat dan dadanya sesak, ia butuh udara segar secepatnya. Tapi lift terus berjalan dengan lajunya yang lamban.Ting!Seyra melangkah keluar dari lift dengan cepat, berharap untuk segera pulang ke rumah setelah hari yang melelahkan di kantor. Ia menoleh ke belakang saat sudah berjalan cukup jauh. Seyra masih melihat manajernya yang masih saja memperhatikannya dengan tatapan menakutkan.Saat sampai di depan pintu lobi, Seyra tersenyum lega saat melihat Regan tiba-tiba muncul di depannya."Kenapa nomornya nggak aktif?" tanya Seyra, suaranya terdengar sedikit kesal."Maaf, ponselku kehabisan batrei," jawab Regan sambil membukakan pintu mobil, kemudian membimbing Seyra untuk masuk
"Dasar gadis tidak tahu diri!" teriak seorang wanita dengan memakai riasan tebal sembari menunjuk seorang gadis yang berdiri di depannya dengan mengenakan gaun pengantin. "Putraku tidak akan datang ke acara pernikahan ini. Kau hanya melakukan hal sia-sia saja. Harusnya kamu mengaca pada dirimu sendiri," sambung Mira, wanita memakai riasan tebal itu dengan suara lantangnya. "Tapi, Tante, Aldo sudah berjanji akan menikahiku hari ini." Seyra, gadis yang mengenakan gaun putih anggun itu tampak membalas sorot mata dingin Mira, seorang wanita paruh baya di depannya yang dia pikir akan menjadi mertuanya. "Menikahimu?" Mira dengan gaya angkuhnya tampak terkikik remeh. Dia menatap Seyra dari atas hingga bawah dengan pandangan merendahkan. "Apa kamu tidak malu mengatakan hal tersebut?" Mira menggeleng masih dengan tatapan merendahkannya. Dia maju mendekat ke arah Seyra dan berhenti tepat satu langkah di depannya. "Kau terlalu menganggap dirimu tinggi. Kau tidak sepadan dengan Aldo. Kau dar
"Kamu belum tidur?" Seyra berjalan masuk ke dalam sembari melirik Regan yang sedang berdiri di depan jendela terbuka. Gadis itu membawa sebuah bantal dan kasur tipis, lalu meletakkannya di atas tempat tidur. "Tidurlah! Ini sudah malam. Besok kamu kerja, kan?" Seyra berjalan mendekati Regan yang masih betah menatap pemandangan di luar jendela. Regan menutup jendelanya rapat, lalu berbalik menatap Seyra yang kini sudah berdiri di depannya, mengenakan piyama tidur. Untuk beberapa saat Regan memperhatikan Seyra yang tampak canggung. Berkali-kali gadis itu mengusap tengkuk untuk mengurangi rasa gugupnya. "Regan, kamu bisa istirahat di tempat tidurku. Aku akan tidur di bawah." Tanpa menunggu tanggapan Regan, Seyra berjalan menuju tempat tidur hendak merapikannya. Namun langkahnya terhenti saat Regan menahan lengannya. "Biar aku yang tidur di lantai." Regan melepas lengan Seyra. Diambilnya kasur tipis yang berada di atas tempat tidur. Lalu menggelarnya di lantai. Regan menoleh k
Siang hari, kantor begitu ramai dan sibuk. Suara mesin fotokopi serta telepon yang berdering menambah kegaduhan di ruangan itu. Seyra tampak sibuk di depan layar komputer dengan ke sepuluh jari-jarinya yang bergerak cepat di atas keyboard. Sudah satu tahun dia bekerja sebagai staf marketing di perusahaan Pratama Corp, atas rekomendasi Aldo. "Seyra, tolong kamu antarkan dokumen laporan tentang hasil kampanye dan aktivitas pemasaran ke ruang direktur," ucap Nadia, salah satu rekannya. Seyra menghentikan aktivitasnya. Wajahnya terangkat menatap rekan kerjanya yang berdiri di seberang bilik mejanya. "Kenapa kamu nggak antarkan sendiri saja?" Rasanya Seyra sangat malas jika dia harus bertemu dengan sang direktur. Entah mengapa ia merasa jika Nadia seolah sengaja melakukan itu. "Nggak bisa. Aku sibuk banget. Buruan sana!" Nadia melempar dokumen hingga mendarat tepat di atas meja Seyra. Seyra berdecak. Meski begitu, ia mengambil dokumen tersebut dan membawanya ke ruang manajer. Langka
Seyra langsung menuju rumah sakit setelah mendengar kabar ibunya dirawat di sana. Dia menutup mulutnya ketika dokter mengatakan jika ibunya harus segera dioperasi."Kami harus segera mengangkat tumor ganas di dalam lambung pasien. Jika tidak, kondisi pasien terancam."Seyra menggeleng kuat saat mendengar kabar itu. Dia tidak menginginkan ibunya dalam kondisi berbahaya. Apa pun yang terjadi ibunya harus selamat. "Tolong saya, Dok! Lakukan apa pun agar ibu saya selamat.""Kalau begitu, silahkan ke ruang administrasi."Seyra berlari menuju ke ruang administrasi. Ketika ia menanyakan soal biaya operasi, lututnya seketika lemas. Dia nyaris ambruk seolah tidak sanggup menopang tubuhnya. Biaya yang dibutuhkan tidaklah sedikit. Dia tidak memiliki tabungan yang cukup untuk membayar biaya operasi tersebut."Ya, Tuhan, ke mana aku harus mendapatkan uang sebanyak itu?"Seyra berjalan lesu ke arah kursi panjang yang berada di taman rumah sakit. Wajahnya menunduk dengan kedua tangan memegangi kepa
"Regan, ibu akan dioperasi dan membutuhkan biaya yang nggak sedikit. Bisakah kamu menolongku?"Dengan wajah basah, Seyra memohon pada Regan. Dia sadar apa yang dilakukan saat ini adalah hal gila. Mana mungkin Regan memiliki uang sebanyak itu untuk membantu operasi ibunya. Sementara pekerjaan dia hanya seorang satpam yang memilki gaji kecil.Seyra hanya mencari peruntungan saja di tengah kekalutannya.Regan hanya terdiam, mengamati wajah Seyra yang tidak berhenti mengeluarkan bulir kristal. Gadis itu tampak kacau dan sangat menyedihkan.Melihat keterdiaman Regan, Seyra mengira jika pria itu merasa keberatan. Dia berpikir jika sudah salah meminta bantuan padanya.Harusnya dia tidak melakukan itu."Maaf, Regan. Aku benar-benar nggak tahu diri. Harusnya aku nggak membebanimu."Seyra mengusap kasar wajahnya. Dia memaksakan senyum, lalu bangkit berdiri. Dia sadar apa yang dilakukannya saat ini benar-benar memalukan. Pria itu sudah menyelamatkan harga dirinya saat pernikahan kemarin. Seharus
Tidak seorang pun yang tahu tentang keberadaan Regan. Sudah beberapa hari ini pria itu tidak menampakkan diri. Seyra pun mulai putus asa dan merasa bingung harus mencari suaminya itu di mana. Dia tidak memiliki nomor ponsel, apalagi mengetahui tempat tinggal pria itu. Seyra merasa cemas. Meskipun pernikahan mereka tidak didasari oleh cinta, seharusnya Regan tidak meninggalkannya begitu saja tanpa kabar. Waktu berlalu tanpa kejelasan. Sampai akhirnya, saat Seyra pulang kerja, Ratih tampak menegurnya ketika melintasi ruang tengah. "Seyra!" Langkah Seyra terhenti. Dia menoleh ke arah ibunya yang saat ini duduk di kursi kayu sambil menatap ke arahnya. "Apa yang sebenarnya terjadi dengan Regan?" Sejak kemarin wanita paruh baya itu terdiam, selain karena kondisinya masih lemah, dia juga tidak ingin ikut campur dalam rumah tangga putrinya. Namun melihat kejanggalan dan kecemasan dalam raut wajah putrinya, tentu saja dia tidak tahan untuk menanyakan penyebabnya. "Mengapa sudah beb