Sang manajer mulai panik saat Seyra mengusulkan hal tersebut untuk membuktikan kebenaran. Tentu saja Joe tidak ingin jika kebusukannya terbongkar hingga membuat posisinya terancam di perusahaan itu. Dia pun tidak akan tinggal diam. Jangan sampai orang-orang penting dari perusahaan pusat itu mengecek CCTV. Bisa dipastikan karirnya akan hancur."Diam kau! Berani sekali kamu berbicara seperti itu," ucap Joe lantang. "Memangnya siapa kamu di sini? Kamu hanya seorang karyawan rendahan yang sengaja menggoda atasannya demi kenaikan gaji."Seyra menggertakkan giginya, amarah mulai mengalir di setiap nadi dan menguasai hatinya. "Kenapa Anda menuduh saya, tuan Manajer? Saya tidak mungkin melakukan hal itu," ujarnya tegas. Dia benar-benar tak menyangka jika sang manajer telah memfitnahnya dengan tuduhan yang tidak masuk akal. "Andalah yang berniat melecehkan saya."Joe berpura-pura terkejut, lalu tersenyum sinis. "Tidak mungkin! Kenapa saya harus melakukan itu? Saya adalah manajermu, tidak mungk
Suasana mencekam terasa di salah satu ruangan kantor. Regan baru saja selesai melihat rekaman CCTV. Sekarang dia menatap tajam Joe yang saat ini berlutut di depan sana. Wajah Regan terlihat bengis, keras dan tak berperasaan. Amarah menguasai dirinya saat teringat jika pria yang sedang berlutut nyaris menyentuh istrinya.Wajah Joe tampak ketakutan, melihat ekspresi dingin dan menyeramkan yang terpancar dari wajah Regan. Dia tidak menyangka jika mengganggu Seyra akan membuatnya dalam posisi berbahaya seperti ini."Kau telah membuat kesalahan besar," ucap Regan dengan suara berat. Dia melenyapkan sikap formalnya. Orang yang sedang berlutut di depan sana tidak pantas dihargai setelah apa yang sudah dia lakukan.Joe menelan ludahnya, merasa gemetar dengan ekpresi wajah Regan yang begitu mendominasi. "Saya benar-benar minta maaf, Tuan. Saya tidak bermaksud mengganggunya."Regan tetap menatap tajam Joe. Matanya terus memancarkan kemarahan yang membuat udara di ruangan kantor itu semakin tega
"Sebenarnya apa yang terjadi? Apa mungkin ada kaitannya dengan Seyra?" tanya Karin dengan wajah kebingungan.Mia mengernyitkan kening. "Aku juga nggak tahu. Bagaimana kalau kita tanya langsung pada Seyra?"Karin mengangguk setuju. "Ayo kita pergi ke mejanya."Tanpa pikir panjang, Karin dan Mia segera mendekati meja Seyra yang tengah fokus dengan pekerjaannya.Untuk sesaat Karin dan Mia saling menatap satu sama lain, seolah memberi isyarat siapa yang akan bertanya pada Seyra. Melihat betapa seriusnya rekan kerjanya itu, membuat Karin dan Mia sedikit merasa tidak nyaman.Namun akhirnya Karin berdehem, mencoba mengalihkan perhatian Seyra. "Hai, Seyra. Bisa minta waktumu sebentar."Seyra menoleh pada Karin, lalu menautkan alisnya. "Ada apa?" "Ada sesuatu yang ingin kami tanyakan." Suara Karin bernada serius."Sesuatu apa?" tanya Seyra, walaupun sebenarnya dia tahu apa yang akan ditanyakan oleh rekan kerjanya itu.Karin terdiam sesaat, matanya melirik ke arah Mia yang berdiri di sampingny
Robert duduk di sofa empuk di ruang kantor, memperhatikan Regan yang tampak duduk di sebelahnya. Sejak tadi, dia mengamati Regan yang terus-terussan menyentuh bibirnya sambil tersenyum tipis. Ada sesuatu yang aneh dengan tingkah laku sepupunya itu, dan Robert curiga jika ada yang tidak beres dengan Regan."Sepertinya ada yang salah denganmu."Suara Robert membuat Regan menoleh, lalu menurunkan jemarinya yang sempat menyentuh bibir miliknya. "Ah, tidak ada yang salah. Hanya perasaanmu saja." Dia mengambil cangkir kopi di atas meja untuk menyembunyikan gelagatnya.Namun, senyum tipis di wajah Regan masih terlihat jelas, membuat Robert semakin curiga. "Jangan membohongiku, Regan! Aku sudah cukup mengenalmu. Lebih baik kau berterus terang padaku."Regan hanya melirik, tidak berniat untuk merespon. Dia lebih tertarik menikmati kopinya dibanding menjawab pertanyaan sepupunya.Reaksi acuh Regan membuat Robert merasa kesal. Namun dia tidak kehabisan akal dan terus mendesak Regan agar mau bert
Seyra berjalan ke tempat parkir dan melihat Regan yang tampak bersandar pada kap mobil. Pria itu tersenyum lembut dan terlihat tampan, membuat Seyra tidak tahan untuk melangkah cepat dan membalas senyuman pria itu."Apa kamu sudah menunggu lama?" tanya Seyra saat langkahnya berhenti tepat di depan pria itu.Regan menegakkan tubuhnya, lalu menjawab. "Hanya beberapa menit." "Apakah beberapa menit itu membuatmu bosan?" goda Seyra sambil membuka pintu mobil."Hampir. Dan aku sempat ingin mendatangi meja kerjamu." Regan mengulas senyum tipis, lalu membantu Seyra menutup pintu mobil. Dia berjalan memutar dan duduk di balik kemudi."Apa kita jadi ke apotik?" Regan menoleh ke arah Seyra yang sedang mengenakan sabuk pengamannya."Jadi. Nggak mungkin aku lupa. Apalagi ibu sangat butuh obat itu," balas Seyra tanpa menoleh ke arah Regan. Dia masih sibuk mengaitkan seat bealt-nya yang belum terkait."Ada apa? Apa kamu mengalami kesulitan?" Regan memperhatikan Seyra yang masih sibuk dengan sabuk p
Di dalam mobil, suasana terasa sunyi. Regan memandangi wajah Seyra dengan seksama, menikmati ekspresi gugup gadis itu. Jemarinya masih mengusap pipi gadis itu, menatapnya dengan penuh perhatian saat perlahan semburat merah muncul di permukaan pipi gadis itu.Regan terpesona dengan sepasang bola mata indah milik Seyra yang sesekali berkedip dan juga bibir mungilnya seperti kuntum bunga mawar. Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak menyentuhnya. Dia ingin merasai bibir itu seperti saat berada di lorong lift kantor. Namun kali ini dia ingin melakukannya lebih lama dan tentunya lebih dalam.Seyra menelan ludah ketika merasakan sentuhan jemari Regan kini beralih ke bibirnya. Dia merasa takjub sekaligus berdebar, bagaimana bisa sentuhan itu mempengaruhinya dan tubuhnya bereaksi tidak normal."Regan, aku ...."Kata-kata Seyra tenggelam kembali ke dalam kerongkongan saat perlahan Regan mendekatkan wajah ke arah Seyra, mendengarkan suaranya yang tersengal ketika napasnya mulai memburu. Dengan
Cukup lama Seyra tidak bereaksi. Dia hanya memasang wajah tenang, tanpa terprovokasi oleh ucapan Tania. Ekspresinya terkendali dan tidak mudah dipahami. Hanya sorot matanya yang terlihat tajam dan tegas.Tania tidak bisa menebak ekspresi dan isi pikirannya, apakah Seyra terpancing dengan ucapannya atau tidak. "Sekarang apa?" tanya Tania dengan memiringkan kepalanya, mengamati ekspresi Seyra. "Apa kau benar-benar merasa tidak bodoh?"Seyra menyunggingkan senyum. Namun senyum itu tampak meremehkan. "Untuk apa kau melakukan ini? Ingin membuatku cemburu?"Seyra berdecih, lalu menatap tajam Tania. "Mana mungkin aku cemburu pada barang bekas yang sudah kubuang. Hanya wanita murahan yang tidak berotak mau memungut sampah tersebut." Dia terdiam sejenak, sambil matanya bergulir mengamati Tania. "Lagi pula aku heran padamu. Kamu itu cantik dan terlihat berpendidikan. Tapi karaktermu sangat berlawanan dengan citra baikmu. Benar-benar sangat disayangkan.""Kau ...." Tania menunjuk Seyra dengan g
"Nggak," tolak Seyra sambil menatap kerutan di dahi Regan. "Kita akan pulang bersama.""Tapi ibu akan cemas di rumah." Regan sengaja memilih alasan tersebut agar Seyra mau pulang terlebih dahulu. Dia tidak yakin jika montir akan cepat datang. Terlebih Tama juga akan datang ke sini. Tidak mungkin jika dia memaki Tama di depan Seyra, sementara gadis itu menganggap Tama sebagai bosnya. Itu akan terlihat mencurigakan."Aku sudah mengirim pesan pada ibu." Seyra menunjukkan ponselnya pada Regan sambil tersenyum. "Dan ibu juga sudah membalas pesanku. Jadi kamu nggak perlu khawatir."Regan menghela napas panjang, tidak bisa memaksa Seyra. Lalu matanya berpaling ke arah mobil yang terparkir tidak jauh darinya. "Aku akan coba mengeceknya sambil menunggu montir datang."Regan bangkit langsung membuka kap mobil untuk melihat apa yang terjadi. Dia memeriksa bagian oli mesin dan sambungan baterai. Setelah beberapa saat mencoba memperbaiki mobil, Regan menyadari bahwa dia memang butuh bantuan."Sepe
"Maaf," kata Seyra pelan. "Maafkan aku. Aku benar-benar tidak bermaksud meragukanmu." Seyra menyentuh lengan Regan dan mengusapnya lembut, membuat tubuh pria itu yang sempat menegang, kini tampak lebih rileks.Satu tangan Regan terangkat dan menyentuh tangan Seyra yang masih berada di lengannya. Dia menggenggamnya dan meremasnya pelan. "Aku harap kamu selalu percaya denganku."Seyra mengangguk, lalu tersenyum. "Aku percaya padamu."Regan mengembuskan napas lega. Di melepaskan tangan Seyra dan beralih menatap ke depan, fokus menyetir.Seyra membenarkan posisi duduknya menghadap ke depan, menatap jalanan yang cukup lengang. Setelah beberapa menit terdiam, akhirnya Seyra kembali bersuara, merasa penasaran dengan wanita yang akan dijodohkan dengan Regan."Regan, wanita yang duduk di dekat kakekmu tadi adalah wanita yang sempat aku temui di butik," kata Seyra sambil memperhatikan ekspresi Regan dari samping. "Aku tidak menyangka jika dia ternyata ... wanita yang dipersiapkan kakek untukmu.
Regan memasang wajah tenang, tanpa terpengaruh dengan suara keras dan kemarahan Bastian. Dia hanya melirik sekilas ke arah wanita yang duduk di sofa tidak jauh dari kakeknya. Dia cukup mengenal wanita itu dan sekarang dia tahu alasan kenapa kakeknya menyuruh cepat-cepat pulang."Kakek, kami datang ke sini dengan maksud baik. Kami hanya ingin memberitahukan jika kami sudah menikah," kata Regan dengan suara rendah, tanpa ada campuran nada emosi."Menikah?" Suara Bastian terdengar marah. "Apa kalian pikir aku akan memberikan restu untuk hubungan kalian?" Dia menggeleng pelan, matanya menyorot tajam pada Regan yang masih berdiri tenang sembari menggandeng tangan Seyra."Jangan berpikir mendapat restu dariku setelah kau menikahi wanita seperti dia!" Bastian menunjuk Seyra yang saat ini tampak menegang di pijakannya.Melihat tatapan tajam Bastian yang tertuju ke arahnya, tanpa sadar Seyra meraih lengan Regan, seolah mencari perlindungan pada suaminya itu."Regan," bisik Seyra pelan, membua
Regan dan Seyra baru saja memasuki butik. Mereka berdua langsung berkeliling untuk mencari pakaian yang cocok. "Seyra, kamu pilihlah pakaian sesukamu. Aku akan menunggumu di sana." Regan menunjuk sofa yang berada di pojok ruangan.Seyra mengangguk. "Apa kamu tidak memilih pakaian?" Dia menunjuk deretan pakaian pria pada Regan. "Tidak perlu. Pakaianku sudah banyak," balas Regan sambil tersenyum."Baiklah." Seyra langsung mulai mengelilingi deretan pakaian yang tersusun rapi di rak. Sementara itu, Regan duduk di sofa yang nyaman di sudut ruangan, sembari membaca majalah mode yang ada di meja kecil.Seyra sibuk memilih-milih pakaian yang sesuai dengan selera dan kebutuhannya. Ia mencoba beberapa gaun, blus dan rok yang ia rasa cocok untuk dipakai dalam berbagai acara."Sepertinya gaun itu bagus." Seyra merasa tertarik dan mendekati gaun itu. Saat ia mengambil sebuah gaun yang dia suka, ia melihat seorang wanita cantik dengan rambut panjang tersusun rapi, sedang memegang gaun yang sama
Seorang wanita cantik dengan tubuh semampai dan langkah anggun memasuki kediaman Osvaldo. Tubuhnya yang sempurna dibalut oleh gaun dan aksesoris berkelas. Dia dijemput oleh seorang pelayan yang membawanya ke ruang keluarga.Wanita itu melangkah dengan mata yang berkeliling, mengamati setiap sudut ruangan yang terlihat megah dan klasik. Lukisan-lukisan tua bergaya renaissance menghiasi dinding. Sementara furniture mewah mencipkatan suasana yang begitu hangat dan nyaman.Di pojok ruangan, wanita itu melihat Bastian yang duduk dengan santainya, menyusuri halaman dari sebuah buku klasik.Sang pelayan mendekat, dan berkata dengan sopan. "Tuan Besar, ada Tamu untuk Anda."Bastian mengangkat kepala dan melihat ke arah wanita cantik itu. Senyum lembut terukir di wajahnya, lalu menutup buku dan meletakkannya di atas meja. "Selamat datang, Lily. Bagaimana kabarmu?" sapa Bastian, menyebut nama wanita cantik itu. "Aku baik, Kek," balas Lily sambil tersenyum manis.Kemudian Bastian mempersilahka
Matahari pagi mulai menerobos lewat cela-cela korden, membuat cahaya hangat memancar dengan lembut ke dalam ruangan. Seyra menggeliat di dalam pelukan Regan, merasa tubuhnya remuk akibat sentuhan ganas suaminya sepanjang malam. Dia tidak menyangka jika Regan begitu bergairah, seolah tidak mempedulikan kebutuhan istirahatnya.Namun meskipun lelah, Seyra tidak bisa menahan senyum saat melihat wajah tampan Regan dari jarak sedekat ini. Dia bisa menikmati semua bagian-bagian wajah pria itu yang tampak sempurna di matanya."Selamat pagi." Regan membuka mata perlahan dan tersenyum hangat pada istrinya.Seyra membalas sapaan Regan dengan bibir cemberut. "Gara-gara kamu, sekarang aku sulit bangun dari tempat tidur."Regan terkekeh pelan. Kedua tangannya semakin erat mendekap Seyra. "Kalau begitu, tidak usah bangun. Kita bisa menghabiskan waktu sepanjang hari di dalam kamar."Seyra mencubit perut kotak-kotak Regan dengan kesal. "Kalau seperti itu, aku bisa-bisa mati di tempat tidur. Kamu tida
Atmosfer ketegangan melingkupi ruangan itu. Terlebih melihat wajah seorang Nyonya Pratama yang tampak mengeras, begitu tidak bersahabat. Tania secara refleks menundukkan kepala saat tatapan tajam Mira seolah ingin mengulitinya. Hubungan dia dan Aldo, belum diketahui oleh Mira. Karena Mira menginginkan Aldo menikah dengan keluarga terpandang dan bersih dari skandal."Tunggu apa lagi! Sekarang keluar!" perintah Mira dengan suara tegas.Tania terhenyak di pijakannya. Dia sedikit mengangkat wajahnya untuk melihat ekspresi Mira yang tidak bersahabat. "Sekali lagi saya minta maaf, Nyonya."Mira hanya menanggapinya dengan wajah dingin. Dia mengibas-ngibaskan tangannya, menyuruh Tania untuk segera keluar.Tania menatap sebentar ke arah Aldo yang hanya diam, tanpa berusaha menahan atau membelanya. Dengan tatapan kecewa, Tania berbalik dan segera keluar dari ruangan itu. Saat sampai di meja ruangannya, ia membuka genggaman tangannya, menatap testpack yang menunjukkan garis dua. Padahal Tania b
Aldo sedang sibuk dengan pekerjaannya di kantor. Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka dengan keras. Mira muncul dengan raut wajah masam dan langsung membanting tasnya di atas meja.Aldo yang sedang fokus memeriksa laporan, tersentak kaget melihat tindakan ibunya. Dia menatap ibunya yang kini duduk di kursi depan meja kerjanya. "Mama kenapa?"Mira menatap tajam Aldo dan menjawab dengan suara yang sedikit tinggi. "Aku tadi bertemu dengan Seyra. Dia mempermalukan mama di toko perhiasan. Aku tidak menyangka, Seyra yang dulunya terlihat sopan dan lembut, kini berubah menjadi kurang ajar dan menghina mama."Wajah Aldo langsung berubah serius ketika mendengar nama Seyra disebut oleh ibunya. Dia menghentikan aktivitasnya sejenak, dan fokus memandang ibunya dengan penuh rasa penasaran. "Seyra? Mantan kekasihku? Apa yang dia lakukan, Ma?"Mira menghela napas panjang sebelum menceritakan kejadian di toko perhiasan tadi. Tentu saja dia melebih-lebihkan kejadian yang sebenarnya, agar Aldo semakin memb
Tatapan sang manajer beralih ke arah Seyra. Matanya bergulir dari atas hingga ke bawah, meneliti penampilan wanita itu. Dia bisa menebak, jika Seyra hanyalah seorang pekerja kantoran."Maaf, Nona. Mungkin lebih baik Nona mengalah. Masih banyak perhiasan model lain di toko ini. Biarlah Nyonya ini yang memiliki perhiasan itu," ucap sang manajer, berusaha masih menjaga kesopanannya."Tidak bisa. Saya yang akan tetap membeli perhiasan ini. Harusnya Anda bersikap profesional," kekeh Seyra pada pendiriannya. Dia tidak sudi menyerahkan perhiasan pilihannya pada orang yang sudah berulang kali menghinanya."Saya mohon, jangan dipersulit! Nona lebih muda. Harusnya Nona bisa mengalah." Manajer itu masih berusaha keras membujuk Seyra.Bila saja yang menginginkan perhiasan itu adalah orang lain, mungkin Seyra akan mau mengalah. Namun Mira sudah menginjak-injak harga dirinya, bahkan menghina ibunya dengan keji, tentu saja Seyra tidak mungkin terima dan mau mengalah, meski Mira lebih tua darinya.Se
"Tidak. Saya yang lebih dulu memilih perhiasan itu. Jadi saya lebih berhak dari Nyonya. Anda tidak bisa ambil barang yang bukan milik Anda." Seyra tidak akan mengalah. Sudah cukup dia dihina dan direndahkan di hari pernikahan. Kali ini dia harus membalas penghinaan itu dan tetap mempertahankan harga dirinya. Dia tidak akan membiarkan Mira menginjak-injak dan mempermalukan dirinya untuk kedua kalinya.Pelayan berusaha memberi pengertian pada Mira. "Maaf, tapi aturan kami adalah barang akan diberikan kepada pelanggan yang lebih dulu memilihnya.""Ini tidak adil!," ucap Mira dengan marah. "Aku tidak mau tahu, pokoknya aku mau kalung itu sekarang juga.""Tapi, Nyonya ...." Mira mengangkat tangannya, menyuruh sang pelayan untuk diam.Kemudian tatapan tajam Mira tertuju pada Seyra yang masih tidak gentar menghadapinya. "Kamu pasti hanya menggertak. Kamu pasti tidak sanggup membayar kalung itu kan?""Saya sanggup," balas Seyra yakin.Mira mengerang kesal. Dia tidak menyangka jika Seyra masi