Zea menarik napas panjang setelah berdebat dengan Aleta. Dirinya hanyalah seorang manusia biasa yang memiliki batas kesabaran apalagi Aletta selalu saja mencari gara-gara benar-benar menguras kesabarannya saja tidak di rumah tidak ditempat kerja semua orang sama-sama tidak memiliki otak. Ingin rasanya Zea meraung-raung dan meluapkan segala macam emosi yang ia rasakan, tetapi sayangnya ia tidak bisa melakukan itu semua. Dirinya menyadari jika ia di sini hanyalah seorang karyawan baru, jika dirinya berulah dan macam-macam dia takut kehilangan pekerjaan ini lagi. Zea benar-benar tidak mau kehilangan pekerjaannya lagi, ia tidak mau jika sampai dirinya harus kehilangan pekerjaan yang baru ini. Dia kembali duduk di mejanya dan memejamkan mata. Terbayang kembali bagaimana sikap sang bos padanya. Apa yang dilakukan di ruangan bosnya itu benar-benar membuatnya merinding, ia juga sangat merasa bersalah kepada sang suami Gio. Zea benar-benar merasa begitu sangat pusing sekali. Di lain sisi ia m
Zea menghampiri di mana suaminya menunggu. Langkahnya seperti sangat berat, dia merasa sangat bersalah saat mengingat kekurangan ajaran sang bos tadi. Harusnya dia bisa menampar dengan keras dan memakinya. Namun, dirinya hanya seorang karyawan biasa. Mengapa tadi dirinya sampai terbawa suasana seperti itu, Zea benar-benar tidak habis pikir dengan dirinya sendiri. Sebenarnya yang ia lakukan itu semuanya salah, tetapi harus bagaimana lagi ia pun tidak bisa melawan hawa nafsunya itu. Bagaimana bisa ia sampai terpesona dengan ketampanan bosnya itu. Bagaimana bisa dirinya mengharapkan sebuah balasan dari kecupan singkat itu. Walaupun pada akhirnya ia sadar dengan sebuah kenyataan yang ada. Tapi, ia benar-benar merasa begitu sangat bersalah sekali, ia tidak tahu harus bagaimana lagi sekarang. Dirinya benar-benar merasa begitu sangat bersalah. Apa yang harus ia lakukan Dan apakah ia harus bercerita kepada suaminya mengenai kejadian tadi itu."Sayang." Gio langsung memeluk sang istri. Mengob
Wajah Bu Layla memerah mendengar apa yang dikatakan Gio. Si miskin yang dikiranya bodoh malah melawan dirinya.Dirinya kira si Gio tidak bisa berargumentasi dan tentu saja akan terus-terusan menurut, tetapi sayangnya lelaki itu bisa melawan."Halah sudahlah kalian jangan bertengkar. Saya mau Zea yang menjadi istri ke empat saya!" Juragan teh sudah tidak mau lagi melihat drama seperti itu. Maka ia langsung saja mengatakan hal tersebut, buang-buang waktunya saja."Heh tua Bangka! Sudah tua jangan mikir nikah saja, memang mereka berhutang berapa sampai Anda mau mengambil istri saya?" Geo sudah benar-benar merasa begitu sangat murka melihat wajah juragan teh saja sudah benar-benar tua bengkak, tetapi kelakuannya seperti seorang pujangga saja.Zea ketakutan melihat beberapa preman yang di bawa juragan teh, tapi dirinya pun malah fokus dengan sang suami. Cara marah dan bicara seperti itu malah membuatnya seperti bukan suaminya tapi malah mirip dengan bos besarnya. "Astaga." Zea kembali m
Setelahh mendapat uang, juragan teh pun tersenyum semringah.Walaupun Zea tidak menjadi istrinya setidaknya uangnya itu bisa kembali lagi. Dan kekayaannya pun akan bertambah-tambah lagi. Ia kira pemuda buruk rupa itu hanya omong kosong belaka, ternyata Gio menempati ucapannya. Alan tidak bodoh, dia pun meminta untuk Gio memotret dirinya dengan juragan teh."Dan satu lagi saya membuat sebuah surat perjanjian, mengenai hutang piutang ini semuanya sudah lunas dan jika di kemudian hari pak Rangga masih mengganggu Zea maka saya tidak akan segan-segan membawa kasus ini ke ranah hukum."Sesuai instruksi yang memang telah diberikan oleh Gio sebelumnya, Alan melakukan dengan begitu sangat baik. Memotret dan juga sebuah surat perjanjian itu adalah bagian rencana yang dibuat oleh Gio karena. Lelaki itu tidak mau jika sampai istrinya diganggu oleh juragan teh terus-terusan. "Ya ya baiklah." Juragan teh itu juga terlihat begitu sangat kesal, di sini dirinya seperti tidak memiliki harga diri kare
Mereka semua sudah masuk ke kamar masing-masing setelah semuanya berakhir.Suasana yang benar benar kacau, semuanya diam dan hanya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Termaksuk Bu Layla dan Pak Mansyur. Keduanya sudah berada di dalam kamar.Pak Mansyur masih bungkam seribu bahasa. Ia sangat kesal sekali dengan apa yang dilakukan oleh istrinya. Tak habis pikir selama ini ternyata istrinya berhutang cukup banyak sekali di belakangnya. Padahal ia sudah sangat mempercayai Bu Layla. Melihat hal itu sangat istri pun mencoba mencairkan suasana. "Pa, kenapa papa diam saja?" tanya Bu Layla.Wanita itu sedikit takut, karena selama menikah dengannya tak pernah mendapat tatapan seperti itu. Tapi, hari ini malah membuatnya takut. Pak Mansyur selalu mengikuti apa yang diinginkan olehnya. Namun, kali ini sang suami sangat berbeda dari biasanya. Dirinya sangat yakin dengan apa yang dilakukan oleh suaminya itu adalah sebuah bentuk kemarahan atas apa yang sudah dilakukannya.Namun ia juga tidak ma
Tidak mungkin jika memang benar-benar tak ada sesuatu yang disembunyikan oleh sang suami. Bahkan, dengan mudah mengeluarkan uang 1 M. Bos besar itu, bahkan seperti Gior bosnya di kantor pun akan berpikir untuk mengeluarkan pembiayaan itu. "Kenapa hanya diam?" tanya Gio. Gio heran dengan sikap Zea yang berubah pendiam."Tidak, aku mau tidur Mas. Aku lelah," ujar Zea. Zea pun menarik selimut dan langsung memejamkan mata. Dirinya ingin meyakinkan saja jika tak ada kebohongan di antara dirinya dan sang suami. Namun, tetap saja dalam mata terpejam dia bisa merasakan hawa saat bersama dengan pak Gior. Gio memandang tubuh sang istri yang sudah sejak tadi memunggunginya. Tidak menyangka jika Zea bukannya senang malah terlihat murung. Apa yang sedang dia pikirkan. Ponsel jadulnya berbunyi, Gio melihat panggilan masuk dari Alan. Dia berpikir jika Zea sudah terlelap. Dia pun menerima panggilan itu tanpa curiga."Ada apa Lan?" "Kamu sudah temukan otak dari penggelapan gedung baru itu. Bisa t
"Mau sarapan apa?" tanya Gio.Seperti biasa sikapnya begitu sangat hangat, ia ingin menjadi seorang suami idaman untuk istrinya. Apalagi dia sangat mengetahui bagaimana perlakuan keluarga dari Zea, mereka semua adalah orang-orang toxic yang selalu saja membuatnya merasa emosi."Aku sudah tidak lapar, mau pergi saja langsung ke kantor." Zea memilih untuk menjawab dengan begitu sangat singkat dan juga padat."Yakin kamu tidak sarapan dulu?" Gio kembali lagi bertanya kepada sang istri. Tidak seperti biasanya Zea menolak ajakannya untuk sarapan.Gio bingung kenapa dengan istrinya, tidak biasanya Zea terlihat acuh dan mengabaikannya. Lalu, menolak apa yang ditawarkannya. Sebenarnya apa yang terjadi kepada sang istri, ini bukanlah sikap yang biasanya diperlihatkan Zea, Apakah ia membuat kesalahan sampai-sampai Zea mengacuhkannya seperti ini. Gio benar-benar merasa begitu sangat kesal, ia bingung kesalahan apa yang sudah dirinya perbuat."Aku sudah terlambat, aku tidak mau mencari masalah. N
"Pak Gior," ujar Zea. Tatapan itu, jika awalnya Zea sangat takut menatap sang bos, kini dia memberanikan dirinya untuk lebih lama melihat pria tampan itu. "Kenapa kamu lihat-lihat saya? Kamu naksir saya?" Gior bertanya agar Zea berhenti memandangnya. Zea mengerjakan mata, kalimat itu berhasil menyadarkan dirinya. Lalu mengembuskan napas panjang. Lift terbuka dan Zea buru-buru masuk ke dalam, dan sama halnya dengan Gior yang memang menggunakan lift bersama karna sejak awal memang tak ingin ada perbedaan. Zea melangkah cepat saat lift terbuka, Gio yang sejak tadi heran melihat sikap Zea pun hanya bisa bertanya-tanya dalam hati. Saat melewati meja Zea, Gior menaruh kotak makan. "Buat kamu, awas ga di makan." Tanpa menunggu jawaban dari Zea, Gio pun melangkah ke ruangannya. Namun, sebelum masuk dia di sambut oleh wanita cantik berpakaian sexy. Zea memperhatikannya, seperti ada hawa panas menyelimuti dirinya saat wanita itu tiba-tiba ingin memeluk Gior dan Zea merasa lega saat Gior